Semua mata tertuju kepada Mbak Meri. Maklum, ruangan ini padat penghuni, jadi wajar saja banyak orang disini. Aku mendekati Mbak Meri. "Suamimu menusuk perut Hadi pakai pisau dapur. Sekarang dia buron! Diamlah jangan berkoar, jika kamu berkoar, semua orang disini akan tau," ucapku pelan. Mbak Meri mendelik tak percaya. "Bohong! Jangan fitnah!" Mbak Meri malah nyolot lagi. "Bu, jangan marah-marah! Eling sampean masih sakit, baru aja dari ruang ICU," salah seorang kerabat pasien lain menasehati Mbak Meri. Mbak Meri malah melengos. Dasar nggak tahu adab! Aku duduk di kursi khusus penunggu pasien. Mbak Meri membuang muka. "Bu, gimana keadaan ibu sekarang?" Tio yang sedang sakit masih perhatian kepada ibunya. Oh, iya, aku lupa. Infus Tio harus tetap berjalan juga. Aku bangkit lalu kudoro g kursi roda Tio mendekati ibunya. Kugantung botol infus Tio di tiang infus Mbak Meri. "Ibu sehat. Cuma kakinya aja yang susah buat jalan," ketus Mbak Meri. "Arum! Kamu 'kan yang masukin Tio ke ruma
Kami berjalan bersama menuju ruang perawatan Hadi dan Tio. "Ngomong-ngomong, siapa pula yang sakit? Katamu, Om nya Tio, Om dari keluargamu atau keluarga suami?" Wanita blasteran Jawa Lampung ini kepo. "Oh, adiknya suamiku yang sakit, Yuk. Dia habis operasi perut," sahutku sambil mendorong kursi roda Tio. "Lah, sakit apa pula, sampai operasi perut? Oooo, usus buntu kah?" Mbak Nina menebak. Duh, Iki kepie? Mau dijawab iya, salah! Jawab enggak, takut geger. Kuhela napas berat. "Yaaa ... gitulah!" Hanya itu yang keluar dari mulutku. Kami sampai di ruang perawatan Hadi dan Tio. Ternyata Hadi masih lelap tidur. "Eh, Alhamdulillah Mbak Arum sudah kembali. Aku titip anakku dulu, ada sesuatu yang harus kubeli," ucap Tiara saat melihatku masuk ruangan ini. Adik iparku ini masih saja bersedih. Yah, rasa kecewa dihatinya, pasti mempengaruhi kondisi emosional Tiara. "Nah, mau beli apa? Ini ada kakaknya Mbak Meri," ucapku berusaha mencegah kepergian Tiara. "Ini, keperluan si kecil, Mbak. O
Akhirnya Tio sudah boleh pulang. Mbak Meri juga sudah boleh pulang. Tio minta pulang ke rumahku bersama ibu mertua dan Tiara. Semua keluarga Sepertinya akan berkumpul dirumahku. Keluarga besarku sudah pulang dari pulau Jawa, mereka semua langsung berkunjung menjenguk Hadi. "Hadi, selama masa pemulihan, kalian semua tinggal dirumah kami aja, ya!" pintaku pada Hadi. "Jaraknya dekat, Mas mu juga bisa lebih tenang karena kalian semua disini. Aku meminta Hadi agar mau pulang kerumahku. "Mbak, apa nggak ngerepotin? Aku nggak enak sama sampean," lirih Hadi. Alhamdulillah kini dia sudah mulai pulih. "Mbak sama Mas mu lebih repot, kalo kamu pulang ke rumah ibu. Pokoknya, Mbak minta, kamu pulang ke rumah Mbak. Nggak usah bingung masalah makan. Insyaallah, kita pasti bisa makan." Aku memaksa. "Iya, pulang aja kerumah kami. Mas lebih tenang kalo kalian bersamaku," Mas Rahman ikut membujuk Hadi. "Aku nggak tau harus berterimakasih kepada kalian gimana. Aku bersyukur punya kalian." Hadi menete
Malam harinya .... Usai menunaikan sholat Maghrib berjamaah, aku duduk diteras depan sambil ngeteh. Kepalaku rasanya pusing memikirkan ulah kakak ipar. "Bulik," Tio menghampiriku, wajahnya agak ditekuk. "Eh, Tio. Udah makan, Nang?" Basa-basi ku kepada bocah ini. "Belum. Bulik nggak makan?" Tio berucap gemetar. "Oh, Bulik udah makan, tadi, bareng sama Bulik Tiara. Makanlah sana, nanti ndak sakit." "Bulik, em, aku besok nggak sekolah, ya!" lirih Tio seakan penuh tekanan. Aku kaget bukan main. Kutatap bocah laki-laki berkain sarung dan kaos oblong yang mirip sekali dengan wajah ibunya. "Kenapa, nggak sekolah? Libur?" selidikku penasaran. "Bulik, sebenarnya ... Tio nunggak bayar uang untuk ujian tengah semester, sama uang bulanan komputer. Kata wali kelas tadi, Tio disuruh ngajak wali murid kalo mau ikut ujian tengah semester besok," terang Tio hampir menangis. Aku menghela napas berat, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya agar paru-paru ini penuh udara hingga dadaku nggak sesak.
"Ya, ngomong sama Mbak Meri lah. Ladangnya 'kan masih sehektar yang nggak di sentuh Bank. Maksudku, ladang itu dijual aja buat nutup hutang Bank, dari pada rumah dan ladang kesita," ujar suamiku. "Aku nggak yakin Mbak Meri mau, Mas. Tau sendiri, sifatnya gimana. Mana mau dia rugi," bola mataku mengerling. "Emang hutang Handoyo berapa, Man?" Ibu angkat bicara. "Entah, Bu. Saya kurang tau sisanya berapa." Mas Rahman selonjoran. "Mas, kalo ladang Kang Handoyo dijual, pokoknya, aku mau minta ganti rugi biaya perawatan Mas Hadi selama sakit. Suamiku sakit juga gara-gara Handoyo," Tiara angkat bicara. "Aku nggak iklhas atas apa yang menimpa suamiku. Apalagi Kang Handoyo belum tersentuh hukum. Sampai sekarang pun entah dimana dia," imbuh Tiara. Kupandangi wajah anggota keluarga ini satu persatu. Wajah ibu kelihatan sedih. "Ibu nggak habis pikir, sikap Handoyo kok bisa begini," lirih ibu mertua menyeka air matanya. "Hhhhahhh! Bu, sifat anak beda-beda. Ayam aja sama-sama dari telur, die
Mbak Meri masih terdengar beberapa kali menghiba memohon kepada tamu yang datang. Kami semua saling pandang, terjebak dengan pikiran kami masing-masing. "Ada apa itu?" celetuk Ibu mertua. "Entahlah, Bu. Sepertinya ada masalah lain juga," sahutku masih tetap duduk. "Tapi, Mbak, angsurannya udah macet. Kita juga butuh duit buat modal. Udahlah, mending kita bawa pulang lagi aja," kudengar salah seorang itu berbicara. Ini masalah apaan lagi sih? Kami semua yang berkumpul di ruang tv bengong menunggu drama diluar selesai. "Saya janji, kalo suami saya pulang, segera tak lunasi, tapi tolong ... jangan diambil lagi barangnya!" Lagi Mbak Meri menghiba. "Mbak, kalo nggak punya duit, nggak usah sok sok an beli barang mahal!" cibir seorang diantara tamu diluar. "Kalian, lekas angkut barang itu! Waktu kita nggak banyak!" Terdengar suara memerintah. Nah, apa yang mau diangkut? Aku mengerutkan kening, masih menerka apa yang akan keluar dari rumah ini. Setengah nggak percaya kalau Mbak Meri p
"Silahkan angkut sofa itu. Biar ku buat perhitungan sama orang yang udah nipu aku. Belum tau dia berhadapan dengan siapa!" Mbak Meri meradang. "Jaga emosimu, Mbak! Kau baru sembuh dari sakit. Jangan sampai kambuh lagi," ku ingatkan kakak iparku. Bukan sok perhatian sih, kalau dia sakit, aku juga orang pertama yang repot. Mbak Meri malah mendengus, "Puas kau melihatku susah!" bentak Mbak Meri. Lalu dia nyelonong masuk rumah. Aku geleng-geleng kepala. Hem, kira-kira siapa ya yang nipu Mbak Meri? Lumayan tuh, tiga kali angsuran sofa ditilep. Aku masuk rumah lagi. Ibu dan yang lain masih setia menunggu di ruang tivi, sementara Mbak Meri sibuk berkutat dengan hape androidnya. "Mbak, urusan kita gimana?" celetuk suamiku. "Matamu buta, Man? Nggak liat, baru aja sofaku disita? Ini malah nambahin masalah!" hardik Mbak Meri. Aku gemas, "Mbak, itu baru sofa yang disita, nah kalo sampai pihak bank yang datang nyita rumahmu ini, gimana?" tegasku. Mbak Meri membelalak, lalu ia mengacak ramb
"Tio! Tio!" Saat kami sedang istirahat siang, Tio juga sedang makan, terdengar suara teriakan memanggil nama Tio. "Kayaknya itu suara ibu, Bulik," ucap Tio sambil memegang piring. Beruntung si kecil Rafa tak terusik tidur siangnya. "Kamu selsaikan makanmu, biar Bulik yang nemui ibumu!" Aku segera kedepan menemui Mbak Meri. "Tio! Tio!" teriak Mbak Meri lagi. Aku segera membuka pintu depan. Mbak Meri ini benar-benar nggak tahu sopan santun, siang siang teriak-teriak. "Mbak, bukan hutan ini! Salam bisa 'kan?" ceplosku kesal. "Halah, nggak usah ngajari aku! Mana Tio?" Mbak Meri mendelik. "Tio ada didalam. Lagi makan," sahutku ketus. "Ayo masuk," kubuka pintu lebar-lebar."Nggak sudi! Arum! Kamu jangan coba-coba nyuci otak Tio biar menjauh dariku. Ingat, dia itu anakku!" Mbak Meri membusungkan dada. "Aku tau, Mbak. Tapi, kasihan Tio, karena kurang perhatian, dia lari kesini," ucapku santuy. "Apa maksudmu?!" Mbak Meri menyentak. "Pikir sendiri, deh!" Malas sekali bertengkar denga
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
"Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam
Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S
Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "