"Silahkan angkut sofa itu. Biar ku buat perhitungan sama orang yang udah nipu aku. Belum tau dia berhadapan dengan siapa!" Mbak Meri meradang. "Jaga emosimu, Mbak! Kau baru sembuh dari sakit. Jangan sampai kambuh lagi," ku ingatkan kakak iparku. Bukan sok perhatian sih, kalau dia sakit, aku juga orang pertama yang repot. Mbak Meri malah mendengus, "Puas kau melihatku susah!" bentak Mbak Meri. Lalu dia nyelonong masuk rumah. Aku geleng-geleng kepala. Hem, kira-kira siapa ya yang nipu Mbak Meri? Lumayan tuh, tiga kali angsuran sofa ditilep. Aku masuk rumah lagi. Ibu dan yang lain masih setia menunggu di ruang tivi, sementara Mbak Meri sibuk berkutat dengan hape androidnya. "Mbak, urusan kita gimana?" celetuk suamiku. "Matamu buta, Man? Nggak liat, baru aja sofaku disita? Ini malah nambahin masalah!" hardik Mbak Meri. Aku gemas, "Mbak, itu baru sofa yang disita, nah kalo sampai pihak bank yang datang nyita rumahmu ini, gimana?" tegasku. Mbak Meri membelalak, lalu ia mengacak ramb
"Tio! Tio!" Saat kami sedang istirahat siang, Tio juga sedang makan, terdengar suara teriakan memanggil nama Tio. "Kayaknya itu suara ibu, Bulik," ucap Tio sambil memegang piring. Beruntung si kecil Rafa tak terusik tidur siangnya. "Kamu selsaikan makanmu, biar Bulik yang nemui ibumu!" Aku segera kedepan menemui Mbak Meri. "Tio! Tio!" teriak Mbak Meri lagi. Aku segera membuka pintu depan. Mbak Meri ini benar-benar nggak tahu sopan santun, siang siang teriak-teriak. "Mbak, bukan hutan ini! Salam bisa 'kan?" ceplosku kesal. "Halah, nggak usah ngajari aku! Mana Tio?" Mbak Meri mendelik. "Tio ada didalam. Lagi makan," sahutku ketus. "Ayo masuk," kubuka pintu lebar-lebar."Nggak sudi! Arum! Kamu jangan coba-coba nyuci otak Tio biar menjauh dariku. Ingat, dia itu anakku!" Mbak Meri membusungkan dada. "Aku tau, Mbak. Tapi, kasihan Tio, karena kurang perhatian, dia lari kesini," ucapku santuy. "Apa maksudmu?!" Mbak Meri menyentak. "Pikir sendiri, deh!" Malas sekali bertengkar denga
Aku tersenyum, sepertinya es cincau seger nih. "Mandi dulu, deh. Bau! Nanti selesai mandi, mau es cincaunya!" Aku segera melepas baju seragam kerja, lalu segera bebersih. Segar sekali setelah mandi. Rasa capek dan lelah berangsur hilang. Usai berganti baju, aku menuju kedapur. "Mbak, itu es cincaunya udah siap, kalo kurang manis, tambahin sirup gula sendiri," ucap Tiara, ia masih menyusui si kecil. "Oke, makasih, ya, Nduk!" Semenjak Tiara dan ibu tinggal disini, aku merasa nggak kesepian. Kami semua akur, jadi ya damai dan tentram. Aku menikmati es cincau buatan adik iparku. Tiara memang pandai mengolah daun cincau menjadi jajanan seperti ini. Sambil istirahat siang, kuteguk segarnya es ini. "Mbak! Mbak, Arum!" Tiba-tiba Tiara masuk ke dapur tergopoh-gopoh. Aku yang sedang meneguk es cincau hampir tersedak. Kulihat wajah Tiara panik. Ada apa ini? "Mbak, maaf. Duh, itu, Mbak, didepan, anu!" Tiara nampak kikuk dan bingung. Aku bingung menghadapi sikap Tiara, "Ada apa, Nduk? Sant
Rasa penasaran ini, mendorongku untuk semakin mendekat. Nampak jelas Mbak Meri menangis ngesot dilantai teras rumahnya, seperti anak kecil yang mainannya direbut. "Pak, saya hancur sehancur hancurnya, huhuhu ...," ratap Mbak Meri. Aku segera mendekati kakak iparku. Segalak apapun dia kepadaku, melihat dia susah, hati ini nggak tega. Aku berlutut disamping tubuh Mbak Meri. "Mbak," lirihku, berusaha ingin menenangkannya. Disini, hanya ada bapak-bapak entah siapa mereka. Bahkan Bude Sri yang notabenenya cs kentel Mbak Meri, menghilang usai anaknya menipu kemarin. "Ngapain kamu disini?!" Mbak Meri malah mendorongku membuat tubuh ini limbung untung ada Mak Odah yang sigap menopang ku. "Puas kamu, Rum! Kalo kamu kesini cuma untuk ngetawain aku ... pulang sana!" Mbak Meri mengusirku. "Aku sudah hancur! Jangan kau tambah dengan tatapan ngeyek itu!" lanjutnya. Nah, siapa pula yang berniat ngeyek alias menghina dia? Aku kesini ingin membantu, kalau aku bisa. Mbak Meri Mbak Meri, kenapa si
Bayangan rumah Mbak Meri disegel sebenarnya mulai muncul dibenak ku sejak tadi. Tapi, semua itu kutepis. Aku masih berharap rumah itu nggak disita hari ini. Kalau sampai disita, alamat aku yang mumet. Aku segera masuk rumah, mengunci pintu dan menyalakan lampu. Kamar Hadi dan Tiara sedikit terbuka pintunya, aku masuk, sedikit melihat adik ipar dan anaknya istirahat. Kulihat, jendela masih terbuka, segera kututup pelan-pelan, lalu aku keluar. Saat menutup pintu, suara halilintar mengagetkanku. Bahkan membuat anak Hadi menangis. "Ya Allah! Tiara, anakmu didekap! Hujannya deres geledeknya juga besar!" seruku spontan pada Tiara. "Iya, Mbak. Geludugnya kok keras banget!" Tiara berucap sambil menenangkan putranya. Tio juga mematung di ruang tengah sambil mendekap kain sarung. "Kamu kenapa, Yo?" Alisku bertaut. "Itu, geledeknya, keras banget. Aku mau sholat, kaget, Bulik!" serunya. Aku sedikit senyum. Ibu mertua juga keluar kamar. "Walah, hujannya deres benget! Jemuran belum diangkat
Aku urung membuka pintu. Rasa kesal tadi siang masih singgah dihati ini. Kutarik nafas dalam, berusaha agar bisa tenang. Kupastikan diriku benar-benar siap menghadapi kakak iparku itu. "Rum, kenapa?" Ibu menepuk bahuku membuatku berjingkat. Kulihat, ibu, Hadi, Tiara dan suamiku telah berdiri di belakangku. Kupandangi wajah mereka satu-persatu. "Bu, haruskah kubuka pintu rumah ini?" Aku setengah berbisik. "Ibu tau, hatimu baik. Semua terserah padamu saja." Ibu mengusap bahuku lagi. Kutatap suamiku, dia mengangguk. Ah, sepertinya mau nggak mau, pintu ini harus kubuka. "Bismillah," lirihku saat membuka pintu. Mbak Meri berbalik perlahan menatapku. Wajahnya sendu dibalut kesedihan tiada tara. Badannya menggigil menahan dingin karena bajunya basah kuyup. "Astaghfirullah halazim! Mbak Meri, masuk, Mbak!" seruku. Hati ini mendadak iba melihat keadaanya yang memprihatinkan. "Enggak, aku numpang neduh aja disini," lirih Mbak Meri. "Jangan gitu, Mbak! Pintu rumahku terbuka untukmu. Ay
Aku mengangguk sambil duduk di ranjang peraduan. "Tadi emang ada mobil dan bapak-bapak kaya kemaren ke rumah Kakangmu. Aku sempet kesana, sih. Tapi, diusir sama Mbak Meri. Eh, sekarang malah kesini orangnya." Aku berkisah kejadian tadi siang. Kami terdiam bermain dengan opini masing-masing. Aku masih agak syok dengan kedatangan Mbak Meri kesini. Apalagi setelah dia berucap rumahnya disita. Begitu singkatnya waktu mengubah nasib seseorang dari kaya-raya menjadi rakyat jelata. Miris memang. "Dik, gimana kalo kita tebus aja rumah Kakang yang disita Bank itu," usul suamiku. Mataku membelalak tak percaya. "Maksudnya, Mas?" "Ya, kita tebus rumah itu, Dik. Tapi, yaa tentu saja atas persetujuan Mbak Meri. Biar nggak ada masalah dikemudian hari," jelasnya mantap. Ah, kayaknya pasti akan ada masalah dikemudian hari kalau rumah itu ditebus. "Ah, enggaklah, Mas. Biarin aja. Aku males buntutnya," tolakku halus. "Tau 'kan, kakak ipar kita itu sifatnya gimana?" Mataku beradu dengan mata Mas Ra
Kedekatan aku dan Mbak Meri kini menjadi perbincangan hangat dikalangan ibu-ibu lingkungan tempat tinggalku. Kondisi keluarga kami juga kini jauh diatas Mbak Meri dan Kang Handoyo. "Eh, Mbak Arum, belanja, Mbak?" Mbak Lika menyapaku saat kami bertemu di warung Mbak Siti. "Iya, Mbak Lika, saya mau belanja." Aku memilih sayuran. "Eh, dengar-dengar, Mbak Arum yang nebus rumah Mbak Meri, ya? Wah, duit Mbak Arum banyak juga, ya! Setelah si Yazid meninggal, kok kayaknya sampean itu jadi kaya mendadak, apa jangan-jangan, sampean beneran pakai pesugihan, ya? Yazid di tumbalkan untuk kekayaan kalian!" tuduh Mbak Lika tanpa sensor. Aku mendelik seketika. "Astaghfirullah halazim! Mbak Lika, jangan asal ngomong! Sampean itu kalo nggak tau, mending diem!" tegurku kesal.Mbak Lika menatapku sinis. "Lho, kok, marah?! Aku 'kan cuma nebak aja. Lagian ya, emang kenyataan kok, setelah Yazid mati, kamu mendadak jadi OKB. Gimana kita nggak curiga, coba?" Sinis Mbak Lika. Beberapa ibu-ibu yang sedang
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
"Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam
Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S
Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "