Kedekatan aku dan Mbak Meri kini menjadi perbincangan hangat dikalangan ibu-ibu lingkungan tempat tinggalku. Kondisi keluarga kami juga kini jauh diatas Mbak Meri dan Kang Handoyo. "Eh, Mbak Arum, belanja, Mbak?" Mbak Lika menyapaku saat kami bertemu di warung Mbak Siti. "Iya, Mbak Lika, saya mau belanja." Aku memilih sayuran. "Eh, dengar-dengar, Mbak Arum yang nebus rumah Mbak Meri, ya? Wah, duit Mbak Arum banyak juga, ya! Setelah si Yazid meninggal, kok kayaknya sampean itu jadi kaya mendadak, apa jangan-jangan, sampean beneran pakai pesugihan, ya? Yazid di tumbalkan untuk kekayaan kalian!" tuduh Mbak Lika tanpa sensor. Aku mendelik seketika. "Astaghfirullah halazim! Mbak Lika, jangan asal ngomong! Sampean itu kalo nggak tau, mending diem!" tegurku kesal.Mbak Lika menatapku sinis. "Lho, kok, marah?! Aku 'kan cuma nebak aja. Lagian ya, emang kenyataan kok, setelah Yazid mati, kamu mendadak jadi OKB. Gimana kita nggak curiga, coba?" Sinis Mbak Lika. Beberapa ibu-ibu yang sedang
Hari mulai beranjak sore, Mak Odah permisi pulang. Mas Rahman juga barusaja pulang membawa setumpuk rumput diatas motor bututnya. Segera kusiapkan kopi untuk suamiku. Aku baru ingat, sore ini belum ada lauk untuk kami makan, kejadian di warung tadi membuatku gagal berbelanja untuk dimasak sore ini dan besok pagi. Kuhampiri suamiku di kandang kambing, "Mas, aku mau ke warung dulu, itu kopinya sudah siap di atas meja," pamitku pada Mas Rahman. "Oke, makasih, Dik!" Suamiku tersenyum. Segera saja kulangkahkan kaki menuju motor matic yang biasa kupakai. Bismillah, aku menuju warung. Aku nggak boleh sembunyi bahkan takut dengan tuduhan Mbak Lika dan orang-orang disini, toh aku nggak melakukan apa yang mereka tuduhkan itu. Akhirnya aku sampai diwarung Mbak Siti. "Mbak Siti!" Kupanggil si pemilik warung. "Eh, Mbak Arum, mau belanja?" Dia tersenyum ramah. "Iya, Mbak. Maaf, tadi saya nggak jadi belanja. Saya mending pulang daripada ribut," ungkapku menyesal. "Halah, udah, jangan dideng
Mulai sekarang, aku harus menindak tegas siapapun yang menganggu hidupku, tak peduli siapa mereka. Cukup sudah mereka merendahkan ku selama ini. Mataku fokus kembali menatap layar televisi. Kita lihat saja nanti, jika rumor ini terus-terusan viral, aku akan segera bertindak. "Man, istrimu sekarang mulai punya taring. Songong!" ceplos Kang Handoyo. "Oh, jelas! Harus malahan! Selama ini, aku selalu diam, dihina, direndahkan, karena memang kami miskin, tapi ... kalo sampai difitnah, oh, maaf, aku nggak akan ngalah, camkan itu!" tegasku mantap. "Dik, sudah, sebaiknya, kamu istirahat kekamar aja, ya!" Mas Rahman menatap ku penuh harap. Hem, sepertinya suamiku tak ingin aku ribut dengan Kakangnya. Oke, baiklah, aku ngalah. Kumatikan tivi lalu gegas kekamar, lebih baik tidur. Masalah yang satu baru saja kelar, eh, muncul yang baru. Kapan sih hidupku damai? Ada saja yang sirik sama kehidupanku. ________ Hari ini seperti biasa aku membantu suamiku di kebun. "Dik, kamu serius mau bawa k
Udah capek, panas, laper, malah dipancing emosiku. Kudorong kasar Mbak Lika sambil ku gertak dia. Mengkeret? Yah, wajah Mbak Lika kelihatan mengkeret. "Ayo, sini, kalo brani! Kita selesaikan masalahnya diluar!" Kuseret kasar Mbak Lika. "Aduh, tolong ... aku dianiaya!" Mbak Lika sok sedih. Dia berakting seolah aku menghajar dirinya. "aaauuu, sakit!" teriak Mbak Lika sok dramatis. Uuuggghhh, eneg banget aku sama kelakuan Lika ini. "Eh, eh, Mbak Arum, sabar, Mbak, sabar!" Mbak Siti berusaha melerai dan menenangkan ku. Tanganku ditarik olehnya. "Biarin, Mbak ... orang nggak tau adab kaya Lika ini, wajib di beri pelajaran!" Ku tuding wajah menyebalkan Lika ini. "Eh, Rum ... kamu ini anarkis banget, sih! Apa mentang-mentang udah kaya, seenaknya nganiaya orang!" seru Mbak Lika sok dramatis. "Kalo kamu nggak mancing emosi, aku nggak akan begini!" sentakku. Warung jadi ramai gara-gara aku ribut sama Mbak Lika. Mas Rahman masuk ke warung, lalu menenangkan ku. "Dek, uwes, Dek ... isin,
Astaghfirullah halazim, mulut Bude Sri, pedas banget melebihi merica dan cabai yang disatukan. "Omong kosong! Fitnah macam apa yang kalian buat ini?!" Aku berontak. "Tuduhan keji kalian ini nggak beradab!" Aku berkata penuh emosi. "Kalian tau, menuduh tanpa bukti sama saja fitnah, dan itu lebih kejam dari pembunuhan!" teriakku penuh emosi. "Sabar, Arum, sabar!" Bu Aisyah menenangkan ku. "Pergi kau dari sini! Aku nggak mau kau disini, dasar penganut ilmu hitam!" Aku menoleh sumber suara itu. Oh, rupanya dari kerabat si musibah, sepertinya dia juga bukan orang sini. "Rum, sebaiknya pulanglah, situasi disini nggak baik," bisik Bu Aisyah. Mak Odah juga mendekatiku, banyak pasangan mata melihat kearahku aneh. Fitnah gila yang ditujukan padaku sangat kejam. "Rum, ayo pulang aja, aku nggak tega liat kamu diginiin. Yang penting kita udah layat," Mak Odah menarik tanganku. "Pergi, sana! Orang sepertimu, tak pantas disini, dasar munafik!" Itu suara Bude Sri. Aku menoleh, kulihat Mbak Me
Suara pukulan bertubi-tubi terdengar bersahutan dengan teriakan orang-orang bia*ap ini. Akupun tak luput dari siksaan massa ini. Mukenaku ditarik paksa, aku juga ditampar keras beserta cacian dan makian, samar kudengar teriakan histeris Mak Odah, namun sia-sia, wanita tua itu nggak bisa menolongku. Massa yang sudah gelap mata ini terus menjadikan aku bulan-bulanan mereka. Ya Allah, cobaan apa lagi ini, ya Allah? Apa salah kami ya Allah, teganya fitnah kejam ini. Ku mohon, tunjukan kuasaMu pada kami. Perih, sakit, malu, bercampur jadi satu. Tubuhku lunglai dihempas ke tanah setelah sebuah tamparan keras mendarat dipipi, perih, panas, sakit. Aku merasa ada cairan yang keluar di sudut bibirku. Refleks, kuusap menggunakan mukena, benar, mukena ini berubah warna. "Bakar! Bakar! Bakar habis mereka!" Salah seorang berteriak memicu teriakan yang lainya. Aku menoleh, merangkak kearah suamiku. Astaghfirullah halazim! Mas Rahman kini telah bu*il, hanya tersisa celana dalam saja. Suamiku mer
"Mbak Arum, kayaknya Mas Rahman harus dirujuk ke rumah sakit, saya takut ada luka dalam, kondisinya juga lemah, oksigen di sini nggak cukup," terang Bu Esti. "Ya Allah!" pekikku tertahan. Aku bangkit dari bed pasien, tak ku hiraukan rasa sakit dan remuk dibadan ini. Yang kupikirkan hanya suamiku. Aku melangkah cepat mendekati Mas Rahman. Infus, selang oksigen, dan wajah yang diperban sana-sini, membuatku pilu. "Mas Rahman!" Aku menangis histeris. Tak kusangka suamiku separah ini, matanya bahkan bengkak dan biru lebam. Bibirnya pecah. Ya Allah! Kejamnya mereka! "Bawa, Bu, bawa suamiku kerumah sakit, Bu!" Aku memohon pada Bu Esti. "Ayo, Bu Aisyah, tolong antarkan aku pulang! Orang-orang itu harus bertanggung jawab atas semua ini!" Aku histeris marah, benci, emosi, bercampur jadi satu. "Sabar, Rum, sabar! Istighfar, Arum!" Bu Aisyah memelukku sambil menangis. Aku terduduk lunglai dilantai, meratapi nasib malang ini. Ingin memaki, mengumpat, dan berkata kasar. Hatiku bergemuruh la
Kutatap tajam Pak Winoto yang terkesan mau melindungi si Juono itu. Entah apa yang dipikiran orang ini. Awas aja jika dia melindungi yang salah, kupastikan dia juga kena batunya. "Bukan maksud saya ngelindungi adik saya, tapi ... kecurigaan warga ini sangat beralasan lho, bagemana tidak ... setelah Yazid wafat, keluarga sampean langsung melejit, ibarat kere ... sekarang munggah bale. Jadi orang kaya baru. Bisa bangun rumah, beli ladang punya sodaranya Pak Harun, bayari ladangnya Mas Handoyo ... belum lagi, katanya denger-denger biayain adik sampean di rumah sakit. Wajarlah kami curiga!" Dengan logat khas Jawanya, Pak Winoto malah menyerang balik. Sependek itu pikiran mereka, apakah mereka nggak bisa sedikit lebih panjang pikirannya? "Lho, Pak Win, sampean jangan ngomong sembrono! Namanya orang, siapa tahu Arum dan Rahman punya tabungan, atau disokong oleh keluarga, asal Bapak tau, keluarga besar dari pihak Arum, mereka beruang semua, bisa jadi 'kan itu semua bantuan dari keluarga A
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
"Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam
Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S
Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "