Share

Ulah trio racun

Penulis: Vita Anggraini
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-23 12:39:13

Udah capek, panas, laper, malah dipancing emosiku. Kudorong kasar Mbak Lika sambil ku gertak dia. Mengkeret? Yah, wajah Mbak Lika kelihatan mengkeret.

"Ayo, sini, kalo brani! Kita selesaikan masalahnya diluar!" Kuseret kasar Mbak Lika.

"Aduh, tolong ... aku dianiaya!" Mbak Lika sok sedih. Dia berakting seolah aku menghajar dirinya. "aaauuu, sakit!" teriak Mbak Lika sok dramatis.

Uuuggghhh, eneg banget aku sama kelakuan Lika ini.

"Eh, eh, Mbak Arum, sabar, Mbak, sabar!" Mbak Siti berusaha melerai dan menenangkan ku. Tanganku ditarik olehnya.

"Biarin, Mbak ... orang nggak tau adab kaya Lika ini, wajib di beri pelajaran!" Ku tuding wajah menyebalkan Lika ini.

"Eh, Rum ... kamu ini anarkis banget, sih! Apa mentang-mentang udah kaya, seenaknya nganiaya orang!" seru Mbak Lika sok dramatis.

"Kalo kamu nggak mancing emosi, aku nggak akan begini!" sentakku.

Warung jadi ramai gara-gara aku ribut sama Mbak Lika.

Mas Rahman masuk ke warung, lalu menenangkan ku.

"Dek, uwes, Dek ... isin,
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Shima Asul
nunggu bberpaa part lg klo arumh masih bodoh,of q baca,emosi sendiri saya
goodnovel comment avatar
dianrahmat
wuiiii seru nih..... eng ing eeeng.... ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Sabar dek

    Astaghfirullah halazim, mulut Bude Sri, pedas banget melebihi merica dan cabai yang disatukan. "Omong kosong! Fitnah macam apa yang kalian buat ini?!" Aku berontak. "Tuduhan keji kalian ini nggak beradab!" Aku berkata penuh emosi. "Kalian tau, menuduh tanpa bukti sama saja fitnah, dan itu lebih kejam dari pembunuhan!" teriakku penuh emosi. "Sabar, Arum, sabar!" Bu Aisyah menenangkan ku. "Pergi kau dari sini! Aku nggak mau kau disini, dasar penganut ilmu hitam!" Aku menoleh sumber suara itu. Oh, rupanya dari kerabat si musibah, sepertinya dia juga bukan orang sini. "Rum, sebaiknya pulanglah, situasi disini nggak baik," bisik Bu Aisyah. Mak Odah juga mendekatiku, banyak pasangan mata melihat kearahku aneh. Fitnah gila yang ditujukan padaku sangat kejam. "Rum, ayo pulang aja, aku nggak tega liat kamu diginiin. Yang penting kita udah layat," Mak Odah menarik tanganku. "Pergi, sana! Orang sepertimu, tak pantas disini, dasar munafik!" Itu suara Bude Sri. Aku menoleh, kulihat Mbak Me

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-23
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Teganya

    Suara pukulan bertubi-tubi terdengar bersahutan dengan teriakan orang-orang bia*ap ini. Akupun tak luput dari siksaan massa ini. Mukenaku ditarik paksa, aku juga ditampar keras beserta cacian dan makian, samar kudengar teriakan histeris Mak Odah, namun sia-sia, wanita tua itu nggak bisa menolongku. Massa yang sudah gelap mata ini terus menjadikan aku bulan-bulanan mereka. Ya Allah, cobaan apa lagi ini, ya Allah? Apa salah kami ya Allah, teganya fitnah kejam ini. Ku mohon, tunjukan kuasaMu pada kami. Perih, sakit, malu, bercampur jadi satu. Tubuhku lunglai dihempas ke tanah setelah sebuah tamparan keras mendarat dipipi, perih, panas, sakit. Aku merasa ada cairan yang keluar di sudut bibirku. Refleks, kuusap menggunakan mukena, benar, mukena ini berubah warna. "Bakar! Bakar! Bakar habis mereka!" Salah seorang berteriak memicu teriakan yang lainya. Aku menoleh, merangkak kearah suamiku. Astaghfirullah halazim! Mas Rahman kini telah bu*il, hanya tersisa celana dalam saja. Suamiku mer

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-25
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Jangan lapor polisi

    "Mbak Arum, kayaknya Mas Rahman harus dirujuk ke rumah sakit, saya takut ada luka dalam, kondisinya juga lemah, oksigen di sini nggak cukup," terang Bu Esti. "Ya Allah!" pekikku tertahan. Aku bangkit dari bed pasien, tak ku hiraukan rasa sakit dan remuk dibadan ini. Yang kupikirkan hanya suamiku. Aku melangkah cepat mendekati Mas Rahman. Infus, selang oksigen, dan wajah yang diperban sana-sini, membuatku pilu. "Mas Rahman!" Aku menangis histeris. Tak kusangka suamiku separah ini, matanya bahkan bengkak dan biru lebam. Bibirnya pecah. Ya Allah! Kejamnya mereka! "Bawa, Bu, bawa suamiku kerumah sakit, Bu!" Aku memohon pada Bu Esti. "Ayo, Bu Aisyah, tolong antarkan aku pulang! Orang-orang itu harus bertanggung jawab atas semua ini!" Aku histeris marah, benci, emosi, bercampur jadi satu. "Sabar, Rum, sabar! Istighfar, Arum!" Bu Aisyah memelukku sambil menangis. Aku terduduk lunglai dilantai, meratapi nasib malang ini. Ingin memaki, mengumpat, dan berkata kasar. Hatiku bergemuruh la

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-25
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Salahkah aku kaya

    Kutatap tajam Pak Winoto yang terkesan mau melindungi si Juono itu. Entah apa yang dipikiran orang ini. Awas aja jika dia melindungi yang salah, kupastikan dia juga kena batunya. "Bukan maksud saya ngelindungi adik saya, tapi ... kecurigaan warga ini sangat beralasan lho, bagemana tidak ... setelah Yazid wafat, keluarga sampean langsung melejit, ibarat kere ... sekarang munggah bale. Jadi orang kaya baru. Bisa bangun rumah, beli ladang punya sodaranya Pak Harun, bayari ladangnya Mas Handoyo ... belum lagi, katanya denger-denger biayain adik sampean di rumah sakit. Wajarlah kami curiga!" Dengan logat khas Jawanya, Pak Winoto malah menyerang balik. Sependek itu pikiran mereka, apakah mereka nggak bisa sedikit lebih panjang pikirannya? "Lho, Pak Win, sampean jangan ngomong sembrono! Namanya orang, siapa tahu Arum dan Rahman punya tabungan, atau disokong oleh keluarga, asal Bapak tau, keluarga besar dari pihak Arum, mereka beruang semua, bisa jadi 'kan itu semua bantuan dari keluarga A

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-25
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Saudara Sableng pecat aja

    Hari telah berlalu, Mas Rahman juga sudah pindah ke ruang perawatan biasa. Sesuai arahan dari pak Harun, ku tempatkan suamiku di ruang VIP. Mengingat kasus yang kami alami ini sensitif, juga untuk keamanan aku dan Mas Rahman. Kabar dari Mas Ari dan Mas Bambang juga sering ku pantau. Ke dua kakakku itu sedang bekerja sama menyelidiki masalah yang sedang menimpaku. Mas Rahman kondisinya sudah mendingan, tinggal sariawan dan luka di pelipisnya yang belum sembuh. "Mas, mau makan apa?" "Makan, apa, ya? Masih sakit ini, Dek. Kok ya, belum sembuh, sih?" keluh Mas Rahman. Aku juga sariawan, Mas, tapi nggak separah kamu. Badanku juga remuk, pingin pijet rasanya. Tapi ... nanti sajalah, kalau sudah pulang kerumah, aku mau pijet, biar badan ini aga mendingan. Pintu ruangan ini terbuka, aku menoleh, rupanya Mas Ari yang datang. Ibu dan bapak pulang, ada yang harus diurus. "Rum, Man ... Aku udah ngantongi beberapa nama sumber penyebar fitnah ini. Tinggal kita laporkan mereka, ada laki-laki

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-28
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Urus masalahmu sendiri

    Kami berdua duduk berdekatan, hingga hampir tak ada jarak antara kami. "Rum, kamu tau siapa Winoto?" Mas Ari mulai ngajak ngobrol serius. Winoto? Bukanya dia sekdes di desa kami ya? Ada apa dengan dia? "Tau, Mas ... Dia 'kan sekdes di desa. Kenapa, emang?" Mas Ari wajahnya berubah, ada ketegangan disana. "Jadi, sumber utama fitnah itu berasal dari sana. Aku udah nyelidiki ada tidaknya pelaku pesugihan di desamu. Dan, sepertinya ... memang ada. Kalian cuma sebagai kambing hitam saja. Wong kebetulan kalian ekonominya nanjak secara drastis. Tapi, untuk masalah pelaku pesugihan itu siapa, aku belum berani mastiin." Mataku dan mata Mas Ari beradu pandangan. Agak terkejut juga sih, soalnya keluarga Winoto memang setauhu kaya semua, Juono aja yang blangsak. "Dari mana Mas tau?" ceplosku kepo. Mas Ari bersandar di sofa. "Itu urusan mudah," ungkapnya enteng. Urusan mudah? Apa maksudnya? Aku nggak ngerti sama Mas Ari. Biarlah yang penting aku taunya masalah ini segera selesai. "Kapan

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-28
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Winoto yang mencurigakan

    Kuhempaskan bobot tubuhku ke sofa yang ada diruangan rawat suamiku ini. Ruangan yang beberapa hari belakangan ini menjadi rumah singgah untukku dan Mas Rahman. Sengaja memilih kamar VIP, jaga-jaga menghindari kisruh kerusuhan andaikan ada. Tapi, Alhamdulillah ... sejauh ini belum ada. Mas Rahman tidur istirahat kelihatan nyaman. Sementara, hatiku semromong, panas rasanya kesal usai Handoyo menelpon tadi. Hem, dia bilang, ada masalah serius ... masalah apalagi? Hape jadul suamiku berbunyi sebuah pesan masuk ke hape ini. Penasaran 'kan ... kubuka saja pesan itu. [Hei Man, kamu jangan sok bawa-bawa polisi buat kasusmu! Ngaku aja kalo kamu itu kaya lewat pesugihan. Sok bela diri. G0blok kamu bawa-bawa polisi, ngabisin duit] isi pesan Handoyo. Oooo, ceritanya kini kasusku sudah di tangani polisi! Bagus deh! Oke orang-orang rese dikampungku, siap-siap untuk berhadapan dengan hukum, ya! Aku tersenyum puas. Pesan singkat Handoyo ini sudah membuktikan jika Mas Ari dan Mas Bambang bisa dia

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-28
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Trauma

    "Kita liat saja nanti, ada perubahan apa setelah Aldi meninggal, karena ku yakin ... Aldi itu korban pesugihan!" cetus Pak Winoto penuh keyakinan. Darimana dia bisa menyimpulkan bahkan seyakin itu? Meninggalnya Aldi tentu saja musibah, kenapa di hubungkan dengan korban pesugihan? Lagian juga, meninggalnya kecelakaan. "Baik. Kita lihat apa yang terjadi! Dengar Pak Win! Kuperingatkan sekali lagi, hentikan menuduhku melakoni pesugihan, jika kau ingin bebas dari masalah." Kutatap tajam Pak Winoto. Dia malah tertawa seakan mengejek kami. Oke, tertawalah sebelum tawamu berubah kesedihan pilu. Aku yakin, saat polisi menyeretnya ke jeruji besi, pasti dia akan menangis. Tunggulah saatnya tiba. "Jika kau kesini cuma mau bikin masalah, pergi kau sekarang juga!" usirku lantang. ku melangkah melewati Pak Winoto lalu menuju pintu ruangan ini. "Keluar dan tutup pintu dari luar, sebelum kesabaranku habis!" Lagi, kugertak sekdes ini. Dia kelihatan kesal lalu berjalan angkuh melewati ku, sejenak d

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30

Bab terbaru

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ending (TAMAT)

    POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ari bingung

    POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Cobaan berat Arum (ex48)

    POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Kecelakaan

    "Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Rencana meringkus Handoyo (ex 46)

    Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Meri sadar (ex 45)

    Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    kabar dari Hadi (ex44)

    "Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Handoyo berulah lagi (ex43)

    Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Kesedihan Tio

    Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "

DMCA.com Protection Status