Share

Saudara Sableng pecat aja

Penulis: Vita Anggraini
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-28 17:05:07

Hari telah berlalu, Mas Rahman juga sudah pindah ke ruang perawatan biasa. Sesuai arahan dari pak Harun, ku tempatkan suamiku di ruang VIP. Mengingat kasus yang kami alami ini sensitif, juga untuk keamanan aku dan Mas Rahman.

Kabar dari Mas Ari dan Mas Bambang juga sering ku pantau. Ke dua kakakku itu sedang bekerja sama menyelidiki masalah yang sedang menimpaku.

Mas Rahman kondisinya sudah mendingan, tinggal sariawan dan luka di pelipisnya yang belum sembuh.

"Mas, mau makan apa?"

"Makan, apa, ya? Masih sakit ini, Dek. Kok ya, belum sembuh, sih?" keluh Mas Rahman.

Aku juga sariawan, Mas, tapi nggak separah kamu. Badanku juga remuk, pingin pijet rasanya. Tapi ... nanti sajalah, kalau sudah pulang kerumah, aku mau pijet, biar badan ini aga mendingan.

Pintu ruangan ini terbuka, aku menoleh, rupanya Mas Ari yang datang. Ibu dan bapak pulang, ada yang harus diurus.

"Rum, Man ... Aku udah ngantongi beberapa nama sumber penyebar fitnah ini. Tinggal kita laporkan mereka, ada laki-laki
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Urus masalahmu sendiri

    Kami berdua duduk berdekatan, hingga hampir tak ada jarak antara kami. "Rum, kamu tau siapa Winoto?" Mas Ari mulai ngajak ngobrol serius. Winoto? Bukanya dia sekdes di desa kami ya? Ada apa dengan dia? "Tau, Mas ... Dia 'kan sekdes di desa. Kenapa, emang?" Mas Ari wajahnya berubah, ada ketegangan disana. "Jadi, sumber utama fitnah itu berasal dari sana. Aku udah nyelidiki ada tidaknya pelaku pesugihan di desamu. Dan, sepertinya ... memang ada. Kalian cuma sebagai kambing hitam saja. Wong kebetulan kalian ekonominya nanjak secara drastis. Tapi, untuk masalah pelaku pesugihan itu siapa, aku belum berani mastiin." Mataku dan mata Mas Ari beradu pandangan. Agak terkejut juga sih, soalnya keluarga Winoto memang setauhu kaya semua, Juono aja yang blangsak. "Dari mana Mas tau?" ceplosku kepo. Mas Ari bersandar di sofa. "Itu urusan mudah," ungkapnya enteng. Urusan mudah? Apa maksudnya? Aku nggak ngerti sama Mas Ari. Biarlah yang penting aku taunya masalah ini segera selesai. "Kapan

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-28
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Winoto yang mencurigakan

    Kuhempaskan bobot tubuhku ke sofa yang ada diruangan rawat suamiku ini. Ruangan yang beberapa hari belakangan ini menjadi rumah singgah untukku dan Mas Rahman. Sengaja memilih kamar VIP, jaga-jaga menghindari kisruh kerusuhan andaikan ada. Tapi, Alhamdulillah ... sejauh ini belum ada. Mas Rahman tidur istirahat kelihatan nyaman. Sementara, hatiku semromong, panas rasanya kesal usai Handoyo menelpon tadi. Hem, dia bilang, ada masalah serius ... masalah apalagi? Hape jadul suamiku berbunyi sebuah pesan masuk ke hape ini. Penasaran 'kan ... kubuka saja pesan itu. [Hei Man, kamu jangan sok bawa-bawa polisi buat kasusmu! Ngaku aja kalo kamu itu kaya lewat pesugihan. Sok bela diri. G0blok kamu bawa-bawa polisi, ngabisin duit] isi pesan Handoyo. Oooo, ceritanya kini kasusku sudah di tangani polisi! Bagus deh! Oke orang-orang rese dikampungku, siap-siap untuk berhadapan dengan hukum, ya! Aku tersenyum puas. Pesan singkat Handoyo ini sudah membuktikan jika Mas Ari dan Mas Bambang bisa dia

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-28
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Trauma

    "Kita liat saja nanti, ada perubahan apa setelah Aldi meninggal, karena ku yakin ... Aldi itu korban pesugihan!" cetus Pak Winoto penuh keyakinan. Darimana dia bisa menyimpulkan bahkan seyakin itu? Meninggalnya Aldi tentu saja musibah, kenapa di hubungkan dengan korban pesugihan? Lagian juga, meninggalnya kecelakaan. "Baik. Kita lihat apa yang terjadi! Dengar Pak Win! Kuperingatkan sekali lagi, hentikan menuduhku melakoni pesugihan, jika kau ingin bebas dari masalah." Kutatap tajam Pak Winoto. Dia malah tertawa seakan mengejek kami. Oke, tertawalah sebelum tawamu berubah kesedihan pilu. Aku yakin, saat polisi menyeretnya ke jeruji besi, pasti dia akan menangis. Tunggulah saatnya tiba. "Jika kau kesini cuma mau bikin masalah, pergi kau sekarang juga!" usirku lantang. ku melangkah melewati Pak Winoto lalu menuju pintu ruangan ini. "Keluar dan tutup pintu dari luar, sebelum kesabaranku habis!" Lagi, kugertak sekdes ini. Dia kelihatan kesal lalu berjalan angkuh melewati ku, sejenak d

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Jangan benci kami Tio

    Malam ini, aku kedatangan tamu. Pak Harun dan Bu Aisyah, Mbak Dini dengan suaminya. Serta beberapa tetangga yang respek menjenguk kami. Mak Odah, Mbak Lilis, Mbak Eka, membantuku membuat hidangan untuk para tamu. "Rum, duduklah saja, biar Mak dan yang lain yang beresin semua ini!" titah Mak Odah. "Iya, Mbak Arum, duduk aja, istirahat. Ini udah mau beres, kok," timpal Mbak Lilis. Aku ikutan menata roti, kacang, dan beberapa kue biskuit ke dalam toples untuk suguhan pe para tamu. Tok tok tok Pintu belakang diketuk saat kam sedang sibuk menyiapkan hidangan. "Siapa?" Mbak Eka berteriak. "Tio, Bulek!" jawab suara dari luar. Aku berhenti sejenak lalu berjalan mendekati pintu, kubuka pintu ini. Tio langsung memelukku erat, "Bulek ... Tio pikir, kita nggak bisa ketemu lagi." Tio menangis. Kubalas dekapan erat keponakanku ini. Bahkan aku ikutan meneteskan air mata. Kuusap punggung remaja yang kini tingginya hampir melebihi aku. "Ayo masuk!" Kuajak Tio masuk. Dia mengurai pelukanny

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-31
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Denda dan penjara

    Tio mengurai pelukannya. Dia menangis, terisak menyeka sudut matanya yang basah. Lalu Tio menatapku. "Bulek, Tio ikhlas, kalau memang bapak dan ibu harus dipenjara. Tapi ... aku malu, Bulek ... pasti nanti disekolahan, aku dibully sama temen-temen. Kalau mereka tau, bapak ibuku masuk penjara," Tio kembali menyeka air matanya menggunakan lengan atas. Jleb Kalimat Tio menghujam sanubariku. Benar, juga yang dia bilang. Tio pasti akan menjadi bulan-bulanan teman-temannya. Tapi, bukankah anak Winoto juga sepantaran dengan Tio? Lalu anaknya Darman, Saepudin, Jumali, pak Kusir, rata-rata satu kelas dengan Tio. "Nang, liat Bulek, Nang!" Ku pegang bahu Tio hingga membuat remaja ini mengangkat wajahnya menatapku. Lelehan air mata masih terlihat jelas dipipinya. "Bukan cuma orang tuamu saja yang kena dalam kasus ini, banyak, Nang ... kamu jangan takut, andaipun nanti orangtuamu harus mendekam di penjara, kau nggak akan Bulek biarkan mendapat bully an dari teman-temanmu," terangku pada Tio.

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-31
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ujian tiap orang berbeda

    Suasana menjadi tegang, apalagi setelah Mak Odah membeberkan kasus Lika kemarin, dan menyatakan bahwa para pelaku penganiayaan adalah sebagian besar keluarga dan anak buah Winoto. Aku sendiri kesal bukan kepalang, kok bisa-bisanya sih, Kang Handoyo dan Mbak Meri itu bersekutu dengan keluarga Winoto cs, apa untungnya, coba? Hanya demi membuatku jatuh, sampai segitunya iparku berusaha untuk meruntuhkan ku. "Ya kalo urusan hukum, pasti mereka tetap kena hukuman. Cuma, kita juga harus selektif menentukan siapa sebenarnya tersangka pada kasus ini. Jangan sampai, orang yang cuma ikut-ikutan malah dia yang dipenjara, sedang pelaku utama, bebas keluyuran," usul Pak Harun. "Nah, benar, ini. Kita tau masalah ini menyangkut orang banyak, makanya daftar nama-nama yang tertulis ini juga akan di seleksi lagi." Sambung Mas Bambang. "Ini bukan lagi masalah pribadi, ini sudah menyangkut khalayak umum, kita perlu saksi banyak dalam kasus ini." timpal suami Mbak Dini. "Aku mau jadi saksi!" "Aku ju

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-31
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Dia bukan siapa-siapa ku

    Aku masih saja nggak habis pikir, apa alasan mereka membenciku, hingga tega berbuat begini padaku. Aku nggak pernah mengusik kehidupan mereka, mengganggu, bahkan mendekati bayangan mereka saja aku nggak pernah, tapi mengapa mereka sekejam ini kepadaku? Aku masih tergugu dikamar ini ditemani Bu Aisyah. "Ini minumnya, Bu." Mak Odah masuk menyodorkan segelas air minum. "Rum, minumlah dulu, biar lebih tenang!" Bu Aisyah memintaku minum. "Bismillah, Rum!" Kembali Bu Aisyah membimbingku. Bismillahirrahmanirrahim, kuteguk sedikit demi sedikit air minum ini, tenggorokan rasanya seperti tercekat sesuatu yang membuatku susah menelan. Rasa sedih, kecewa, dan marah, membuatku begini. Ya Robbi, aku nggak tahu dengan rencana dan rahasia yang akan terjadi selanjutnya dalam hidupku, yang pasti, harapanku semoga saja aku diberi kekuatan dalam menghadapi semuanya. Tanpa kuasa-Mu aku bukan apa-apa di dunia ini. Aku masih sesegukan. "Rum, istirahatlah, tenangkan dirimu, ingat ... semua ujian kehidupa

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-02
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Lagi lagi apes

    Perlahan aku bangkit dari jongkok ini, menarik baju suamiku agarvdia berhenti bersitegang dengan emak-emak bar-bar ini. Bau menyengat telur busuk dan tomat busuk membuatku semakin mual. "Mas, ayo pulang! Aku nggak tahan bau ini!" Kutarik baju suamiku. "Dasar Rai gedek! (Muka tembok) nggak seharusnya kalian disini! Cukup sudah masalah yang kalian buat, jangan ambil korban lagi!" Koar Mbak Lika. Ku tatap nanar Mbak Lika yang kini menertawakan kondisiku. Ya Allah, aku mohon, beri aku kesabaran dan kekuatan menjalani semua ini. Aku menuntut keadilan atas semua yang terjadi padaku. Perutku semakin mual. Mas Rahman berusaha mengeluarkan motor dari jalanan berlumpur. Lalu putar balik, nggak jadi berobat. "Pergi kau dasar tukang nyupang!" teriakan mereka memekakkan telinga. Warga lain menyaksikan aku dan suami di perlakukan begini, mulut mereka membisu. Tatapan mereka juga sukitbku artikan. Sepanjang perjalanan pulang aku mual, bau menyengat telur ini Masya Allah! Mas Rahman mempercep

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-02

Bab terbaru

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ending (TAMAT)

    POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ari bingung

    POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Cobaan berat Arum (ex48)

    POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Kecelakaan

    "Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Rencana meringkus Handoyo (ex 46)

    Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Meri sadar (ex 45)

    Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    kabar dari Hadi (ex44)

    "Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Handoyo berulah lagi (ex43)

    Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Kesedihan Tio

    Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "

DMCA.com Protection Status