Home / Pernikahan / Katamu Uang Tak Kenal Saudara / Cobaan berat Arum (ex48)

Share

Cobaan berat Arum (ex48)

Author: Vita Anggraini
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

POV Ari

Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya.

"Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi.

Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak.

"Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!"

"Korban pingsan, cepat darahnya banyak!"

Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum.

Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan.

Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah.

"Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku.

Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ari bingung

    POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi

    Last Updated : 2024-10-29
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ending (TAMAT)

    POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman

    Last Updated : 2024-10-29
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Dasar Madesu

    "Mbak Arum, Yazid bawa saja ke rumah sakit, ya! Saya takut dia kenapa-kenapa. Sudah saya beri obat, panasnya nggak reda-reda." Bagai disambar petir. Kabar dari bidan Esti membuatku bingung. Yazid anak ku yang masih berumur 18 bulan sedang demam tinggi. "Dari kemarin panasnya nggak turun, ke dokter spesialis anak aja, sekalian cek lab, biar tau Yazid sakit apa," ucap Bidan Esti lagi. Lahaulawalaquwata illabillah ... duniaku rasanya runtuh mendengar ucapan Bu Bidan. "Cepat bawa ke rumah sakit sekarang, saya buatkan surat rujukan," ucap Bu bidan Esti lagi. Kulihat Bu Esti menulis pada selembar kertas lalu dimasukkan ke amplop. "Tunjukan surat ini ke IGD biar Yazid cepat ditangani. Cepat, Man bawa anakmu segera!" Bu Esti menyerahkan amplop pada suamiku. Aku menggendong tubuh mungil putra sulung ku yang demam tinggi, Bidan Esti membantuku, Yazid masih merintih namun matanya terpejam. Keningnya ditempel kompres penurun panas. "Sabar ya, Nang! Kita cari obat." Air mataku mulai menete

    Last Updated : 2024-10-29
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Yazid Kritis

    Kami sampai di rumah sakit langsung menuju IGD, Yazid diperiksa dokter. "Demamnya tinggi sekali, Bu. Dirawat saja, ya!" ucap dokter di IGD. "Baik, Dok, lakukan yang terbaik untuk anak saya," ucapku pasrah. Yazidku lemas, matanya terpejam, apakah dia pingsan? Ya Allah, kenapa dengan putraku? Kulihat beberapa perawat mengerubungi tubuh mungil Yazid. Berbagai alat dipasang, Yazid tak mengeluarkan suara. Yazidku ada apa denganmu, Nak? "Bu, anak ibu kritis, harus dibawa keruangan ICU," terang Pak dokter. "Untuk kejelasan penyakit, nunggu hasil laboratorium," imbuh sang perawat. Duniaku runtuh mendengar penjelasan dokter. Kudekati tubuh mungil Yazid yang kini tak memakai baju, hanya popok bayi yang dipakai, berbagai alat menempel ditubuhnya. "Ya Allah, Nang, Yazid yang kuat, ya! Mama sama Bapak disini, Nang!" Tangisku luruh melihat anakku. "Dik, Yazid gimana? Ini tak beliin susu untuk Yazid." Mas Rahman menghampiriku membawakan sekotak susu formula untuk Yazid. "Mas, Tole kritis, M

    Last Updated : 2024-10-29
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ikhlaskan

    "Mas, sampean apa saya yang nemui dokter?" tanyaku pada Mas Rahman. "Aku aja, Dik," jawabnya. Lalu bangkit menuju ruangan dokter. Hatiku deg degan bukan main. Semoga tak ada yang buruk dengan putraku. "Rum, nanti ibu kabarkan sama jama'ah pengajian, biar mereka mendoakan Yazid. Nanti malam, acara yasinan di rumah Bu Ani," ucap Bu Aisyah. Tanganku digenggam erat. Bu Aisyah memang sangat baik, terlebih terhadap keluargaku. Aku beruntung mengenal beliau. Pintu ruangan Dokter terbuka, aku menoleh spontan. Mas Rahman keluar dengan wajah sedih. Ada apa ini? "Mas, Yazid baik-baik saja 'kan?" Aku berdiri menghampiri suamiku. "Sabar, Dik." Mas Rahman memelukku. Aku merasa ada yang nggak beres Mas Rahman mengurai pelukannya. "Dik, Yazid kena radang selaput otak, kata dokter harus dirujuk ke rumah sakit umum daerah," lirih suamiku. "Pihak rumah sakit masih ngirim surat rujukan online keberapa rumah sakit." Mas Rahman lesu. Hancur hatiku mendengar kabar ini. Hidupku seakan tak bermakna m

    Last Updated : 2024-10-29
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Saudara Perhitungan

    Ambulan meraung memecah kesunyian malam. Hatiku semakin lara mendengarnya. Jasad Yazidku di gendongan Simbah Kakungnya. Aku menangis sepanjang jalan dalam dekapan suamiku. Hati ini menyesal kehilangan putraku. Mobil memasuki halaman rumah papan mungilku, aku disambut oleh tetangga. Aku tak kuasa berdiri. Tubuhku diangkat oleh kakakku lalu diletakkan di kamarku. Kamar ini penuh kenangan Yazid. Guling ini, bantal ini, selimut ini, semua ada Yazid. Aku menagis menumpahkan semua yang ada didada ini. "Sabar, Mbak Arum, sabar! Ikhlaskan anakmu, ikhlaskan." Mak Odah menasihatiku. Bu Aisyah muncul dipintu. Beliau langsung masuk memelukku. Aku menagis mengadu kehilangan Yazid. "Rum, kematian itu pasti. Anakmu telah menepati janjinya kepada Allah, dia kembali pada Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ikhlaskan, Rum, ikhlaskan. Jangan kau tangisi kepergiannya, kasihan anakmu. Sekarang minumlah dulu, biar kamu tenang." Bu Aisyah memberiku air minum. Alhamdulillah aku lumayan tenang set

    Last Updated : 2024-10-29
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Kebohongan Meri

    Mata Mbak Meri mendadak tak memancarkan kesombongannya itu. "Kenapa diam, Mbak? Masih mau berkoar membiayai uang rumah sakit anakku, kalau memang Mbak yang bayar, taulah habis berapa," ucapku sengaja menyudutkan Mbak Meri. Mbak Meri gelagapan menanggapi ucapanku, jelas saja, orang dia nggak bantu sama sekali kok. "Kamu ini, ngomong apa sih?" Mbak Meri mencebik bibirnya tak bisa menjawab ucapanku. "Sudahlah, Rum. Kamu masuk rumah saja. Nggak usah diladeni si Meri," ucap Mak Odah mengajakku masuk rumah. "Bu Maryam, tolong belanjaan dari hamba Allah itu diurus, biarkan yang di plastik merah nggak usah dibawa masuk biar aja disitu." Aku melangkah gontai masuk rumah. "Hei, Rum! Dasar songong! Madesu nggak tau diri! Dibantu malah begini. Nggak tau terimakasih!" Mbak Meri mencak-mencak. Aku membalik badan. "Aku memang miskin, tapi bukan berarti kau bebas menghinaku. Pergi kau dari sini sekarang!" Ku usir sekalian Mbak Meri. Dada ini masih nyeri akibat hinaannya kemarin. "Lihat saja

    Last Updated : 2024-10-29
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ipar Kena Musibah

    "Entahlah, Kang. Nanti malam mau tahlilan berdua dirumah. Permisi, Kang, kami mau pulang." Mas Rahman memutar gas motor lalu kami pergi dari sini. "Mas, bangkai yang disembunyikan ketahuan juga. Kang Handoyo sudah tau semuanya dari mulut istrinya sendiri." Aku ngobrol sama Mas Rahman sepanjang perjalanan pulang. "Allah Maha Adi, Dik. Kebenaran pasti terungkap. Oh iya, ba'da Zuhur, Mas mau cari rumput buat pakan kambing, nanti Mas pulang kamu sudah siap lho, kita kemakam Yazid, ya!" ucap Mas Rahman. "Iya, Mas." Kupeluk tubuh kurus suamiku dari belakang. Motor butut ini melaju membawa kami pulang kerumah. ______ Hari mulai sore, aku selesai menyapu halaman rumah, sebuah motor berbelok kehalaman rumahku. Oh, rupanya Mbak Dini. "Mbak Rum, rajin lho!" puji Mbak Dini turun dari motor. Ia tersenyum wanita dengan potongan rambut gaya polwan ini awet muda. "Ah, Mbak Dini. Ini sampahnya banyak. Baru bisa nyapu sekarang." Aku masih sedih. "Yang sabar, Mbak Arum. Yang ikhlas. Oh iya, saya

    Last Updated : 2024-10-29

Latest chapter

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ending (TAMAT)

    POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ari bingung

    POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Cobaan berat Arum (ex48)

    POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Kecelakaan

    "Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Rencana meringkus Handoyo (ex 46)

    Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Meri sadar (ex 45)

    Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    kabar dari Hadi (ex44)

    "Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Handoyo berulah lagi (ex43)

    Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Kesedihan Tio

    Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "

DMCA.com Protection Status