"Mas, sampean apa saya yang nemui dokter?" tanyaku pada Mas Rahman.
"Aku aja, Dik," jawabnya. Lalu bangkit menuju ruangan dokter.
Hatiku deg degan bukan main. Semoga tak ada yang buruk dengan putraku.
"Rum, nanti ibu kabarkan sama jama'ah pengajian, biar mereka mendoakan Yazid. Nanti malam, acara yasinan di rumah Bu Ani," ucap Bu Aisyah. Tanganku digenggam erat.
Bu Aisyah memang sangat baik, terlebih terhadap keluargaku. Aku beruntung mengenal beliau.
Pintu ruangan Dokter terbuka, aku menoleh spontan. Mas Rahman keluar dengan wajah sedih. Ada apa ini?
"Mas, Yazid baik-baik saja 'kan?" Aku berdiri menghampiri suamiku.
"Sabar, Dik." Mas Rahman memelukku. Aku merasa ada yang nggak beres Mas Rahman mengurai pelukannya.
"Dik, Yazid kena radang selaput otak, kata dokter harus dirujuk ke rumah sakit umum daerah," lirih suamiku. "Pihak rumah sakit masih ngirim surat rujukan online keberapa rumah sakit." Mas Rahman lesu.
Hancur hatiku mendengar kabar ini. Hidupku seakan tak bermakna menghadapi kenyataan sepahit ini. Yazidku, kenapa harus kamu Nang? Tubuhku lemas, lunglai seketika, pandanganku hampir kabur.
"Istighfar, Rum, Istighfar!" Suara Bu Aisyah ditelinga ini.
Radang selaput otak bukan penyakit sepele. Ya Allah, kuatkan Yazid ya Allah.
"Bu, Yazid, Bu, Yazid." Aku menangis menghadapi kenyataan hidup ini.
"Sabar, Rum, sabar, kita doakan Yazid, ya!"
"Bu, tolong ASI-nya diperah lagi, ya! Kondisi adek bayinya semakin menurun, dibantu ASI, ya! Semoga lekas stabil agar bisa dirujuk ke rumah sakit lain," terang seorang perawat wanita kepadaku. Ia menyerahkan dot bertuliskan nama Yazid.
Aku segera menyeka air mata ini, aku harus memerah ASI, untuk Yazid, demi Yazid.
"Mas aku mau cuci tangan dulu." Aku bangkit meskipun lemas. Berjalan ke toilet mencuci tangan, lalu kuperah ASI ini.
Bu Aisyah pamit pulang. Tinggal aku dan suamiku saja disini. Mas Rahman mengirim ASI ke petugas ICU. Kupandangi Yazid dari balik dinding kaca.
Hingga sore menjelang Maghrib, kami masih berdua saja. Saudara Mas Rahman tak kesini.
"Arum!" Suara familiar terdengar ditelinga. Aku menoleh, ternyata ibu, bapak, dan para kakakku yang datang.
Aku berhambur memeluk ibu menangis menumpahkan segala sesak didada ini. Mas Rahman juga, ia dipeluk kakak-kakakku.
"Yazid harus dirujuk ke rumah sakit umum," ucapku sambil menangis. "Yazid kena radang selaput otak, Bu!" tangisku kembali pecah.
Ibu menenangkan aku. Menguatkan jiwa yang rapuh ini.
"Bu, Arum! Bisa ikut saya sebentar?" Seorang perawat cantik menghampiriku.
"Iya, Mbak, saya bisa." Aku bangkit lalu ikut Mbak perawat.
"Pakai bajunya, Bu!" kata Mbak perawat.
Aku menurut lalu memakai baju khusus, aku masuk ruang ICU.
Suara mesin-mesin alat kesehatan saling bersahutan.
"Bu, kami minta, dampingi putranya, ya! Sejak tadi denyut jantungnya melemah. Semoga dengan kehadiran Ibu disini, bisa membuat dedek bayinya semangat." Perawat itu menyarankan aku untuk menemani Yazid.
Yazid diam. "Nang, kamu bisa dengar Mama, Nang? Ini Mama, Le. Yazid kuat, ya! Yazid anak Mama. Jangan nyerah sayang." Air mataku menetes membasahi tempat tidur Yazid.
"Yaa Nabii salam 'alaikaa, Ya rosul salam salam 'alaika, ya habib salam 'alaika, sholawattulloh 'alaika," Aku bersholawat untuk Yazid. Sholawat yang selalu membuat Yazid tenang jika sedang rewel. "Nang, Yazid, sembuh ya, Le! Nanti Mama buatin among-among kalau Yazid sembuh." Kuajak berdialog buah hatiku yang kini tergolek tak berdaya. Kucium tangan mungilnya yang tak diinfus.
Ya Allah sakit hati ini melihat putraku. Tolong Yazid Ya Allah. Samar kulihat mata Yazid bergerak, seperti terbuka sedikit. Hatiku senang bukan main.
"Le, kuat ya, Nang! Mama percaya Yazid bisa." Terus kuberi sugesti pada Yazid.
Sepertinya Maghrib sudah masuk, aku meminta pada Mbak perawat untuk sholat dulu.
"Yazid, Mama sholat dulu, ya! Yazid gantian ditungguin Bapak, ya, Le." Pamitku pada Yazid. Kuciumi kening dan tangan mungil putraku.
Aku gegas berjalan meninggalkan ruangan ini. Mas Rahman memapakku di depan pintu.
"Tolong gantian temenin Yazid, Mas, aku mau sholat."
"Ibu boleh masuk enggak, Rum? Ibu pingin liat Yazid." Ibu memelas.
Kutanyakan pada petugas yang berjaga. Boleh katanya tapi sebentar saja. Ibuku masuk ke ruang ICU bersama Mas Rahman. Aku sholat Maghrib.
Selesai sholat aku menuju ruang ICU lagi.
"Dik, Yazid mau dibawa keluar, dirujuk ke rumah sakit A," ucap Mas Rahman.
Benar, kulihat dari dinding kaca, beberapa perawat mengelilingi Yazid.
"Bu, siap-siap, adik bayinya mau dirujuk. Sebentar lagi kita berangkat," ucap seorang perawat wanita. Tangannya mendekap map. Entah apa isinya.
"Kamu sama Rahman ikut ambulan, bapak dan yang lain ngikutin dari belakang, pakai mobil Mas mu," ucap Bapakku.
Yazidku keluar dari ruangan ICU, didorong cepat oleh beberapa perawat menuju keluar rumah sakit ini.
"Pastikan denyut jantungnya stabil, kalau lemah, pasien gagal diberangkatkan." Kudengar percakapan serius diantara para perawat ini.
Yazid mendekati ambulan. Niiiiit! Suara alat kesehatan yang terhubung pada tubuh Yazid berbunyi. Semua perawat panik.
"Panggil dokter!" teriak perawat yang lain.
Aku berusaha mendekati Yazid, tapi dicegah.
"Yazidku!" Aku menangis hati ini merasakan sesuatu yang tak bisa ku ungkapkan.
"Tolong tenang, Bu. Biar ditangani dokter dulu." Seorang perawat berkata demikian kepadaku.
Yazidku dibawa ke IGD entah diapakan dia. Semua perawat sibuk mengurusi Yazid. Aku luruh sambil berteriak anakku! Anakku!
Aku takut terjadi sesuatu pada Yazid. Aku takut kehilangannya, dia putraku satu-satunya.
"Maaf, Pak, Bu. Adik Yazid sudah pulang. Yang sabar, ya!"
Kalimat itu muncul membuat duniaku gelap seketika.
"Arum, Arum!" Samar kudengar namaku dipanggil. Mataku terbuka. Kepalaku pusing.
"Yazid!" ucapku. Aku ingat Yazid. Aku dipeluk Ibu. Ternyata aku berbaring di brankar perawatan.
"Rum, yang sabar. Ikhlaskan anakmu, Nduk." Ibu mengusapku penuh kasih.
Aku menangis meronta memanggil nama Yazid. Kenapa kamu ninggalin Mama Dek, Mama masih mau nyusuin kamu! Nyuapin kamu! Ngajak main kamu! Kalau kamu pergi, siapa yang minum air susu ini Dek?
Tangisku pecah di ruangan ini. Rasanya tak percaya aku telah kehilangan buah hatiku.
"Kenapa harus Yazid, Ya Allah, kenapa harus Yazid?"
Ambulan meraung memecah kesunyian malam. Hatiku semakin lara mendengarnya. Jasad Yazidku di gendongan Simbah Kakungnya. Aku menangis sepanjang jalan dalam dekapan suamiku. Hati ini menyesal kehilangan putraku. Mobil memasuki halaman rumah papan mungilku, aku disambut oleh tetangga. Aku tak kuasa berdiri. Tubuhku diangkat oleh kakakku lalu diletakkan di kamarku. Kamar ini penuh kenangan Yazid. Guling ini, bantal ini, selimut ini, semua ada Yazid. Aku menagis menumpahkan semua yang ada didada ini. "Sabar, Mbak Arum, sabar! Ikhlaskan anakmu, ikhlaskan." Mak Odah menasihatiku. Bu Aisyah muncul dipintu. Beliau langsung masuk memelukku. Aku menagis mengadu kehilangan Yazid. "Rum, kematian itu pasti. Anakmu telah menepati janjinya kepada Allah, dia kembali pada Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ikhlaskan, Rum, ikhlaskan. Jangan kau tangisi kepergiannya, kasihan anakmu. Sekarang minumlah dulu, biar kamu tenang." Bu Aisyah memberiku air minum. Alhamdulillah aku lumayan tenang set
Mata Mbak Meri mendadak tak memancarkan kesombongannya itu. "Kenapa diam, Mbak? Masih mau berkoar membiayai uang rumah sakit anakku, kalau memang Mbak yang bayar, taulah habis berapa," ucapku sengaja menyudutkan Mbak Meri. Mbak Meri gelagapan menanggapi ucapanku, jelas saja, orang dia nggak bantu sama sekali kok. "Kamu ini, ngomong apa sih?" Mbak Meri mencebik bibirnya tak bisa menjawab ucapanku. "Sudahlah, Rum. Kamu masuk rumah saja. Nggak usah diladeni si Meri," ucap Mak Odah mengajakku masuk rumah. "Bu Maryam, tolong belanjaan dari hamba Allah itu diurus, biarkan yang di plastik merah nggak usah dibawa masuk biar aja disitu." Aku melangkah gontai masuk rumah. "Hei, Rum! Dasar songong! Madesu nggak tau diri! Dibantu malah begini. Nggak tau terimakasih!" Mbak Meri mencak-mencak. Aku membalik badan. "Aku memang miskin, tapi bukan berarti kau bebas menghinaku. Pergi kau dari sini sekarang!" Ku usir sekalian Mbak Meri. Dada ini masih nyeri akibat hinaannya kemarin. "Lihat saja
"Entahlah, Kang. Nanti malam mau tahlilan berdua dirumah. Permisi, Kang, kami mau pulang." Mas Rahman memutar gas motor lalu kami pergi dari sini. "Mas, bangkai yang disembunyikan ketahuan juga. Kang Handoyo sudah tau semuanya dari mulut istrinya sendiri." Aku ngobrol sama Mas Rahman sepanjang perjalanan pulang. "Allah Maha Adi, Dik. Kebenaran pasti terungkap. Oh iya, ba'da Zuhur, Mas mau cari rumput buat pakan kambing, nanti Mas pulang kamu sudah siap lho, kita kemakam Yazid, ya!" ucap Mas Rahman. "Iya, Mas." Kupeluk tubuh kurus suamiku dari belakang. Motor butut ini melaju membawa kami pulang kerumah. ______ Hari mulai sore, aku selesai menyapu halaman rumah, sebuah motor berbelok kehalaman rumahku. Oh, rupanya Mbak Dini. "Mbak Rum, rajin lho!" puji Mbak Dini turun dari motor. Ia tersenyum wanita dengan potongan rambut gaya polwan ini awet muda. "Ah, Mbak Dini. Ini sampahnya banyak. Baru bisa nyapu sekarang." Aku masih sedih. "Yang sabar, Mbak Arum. Yang ikhlas. Oh iya, saya
Ku parkir motor di tempat biasa, aku segera melangkah melepas sendal lalu masuk area makam. "Nang, Mama datang, Le. Mama kesini, Mama kangen Yazid. Yazid datang ke mimpi Mama, ya!" ucapku pada pusara anakku. Segera kubuka buku Yasin, lalu kubaca tahlil berlanjut surat Yasin. "Fasubhanalladzi biyadihi malakutukulisyai i wailaihi turja'un. Shodaqoullohuladzim." Yasin selesai kubaca. "Nang, Mama pulang dulu, ya!" pamitku pada Yazid. Kucium nisan makam putraku. Perlahan tapi pasti langkah kaki ini menjauh dari area makam. Rinduku terurai usai membacakan tahlil dan surat Yasin diatas makam Yazid. Ku pacu lagi motor butut ini. Ku ambil jalan pintas malas lewat depan rumah kakak iparku yang sombong itu. Sampai rumah, Mas Rahman belum pulang. Aku segera mencuci kaki dan tanganku di kamar mandi. "Rum, Arum!" Suara Mak Odah memanggilku. "Aku di sumur, Mak!" teriaku pada Mak Odah. Aku keluar dari kamar mandi, lalu menemui Mak Odah. "Rum, aku goreng ikan, kok inget Yazid, to. Ini buat
"Sapiku hu hu hu! Sapiku!" ratapan tangis dari mulut Mbak Meri terus saja keluar. Mak Odah datang langsung menghampiri Mbak Meri. "Mer! Kamu ini, kemarin keponakan ninggal kamu haha hehe, cengengesan! Sekarang sapi mati ditangisi!" tegur Mak Odah kepada Mbak Meri. Wanita tua ini memang suka ceplas-ceplos kalo ngomong. Mbak Meri nggak melawan, tumben! Biasanya senggol dikit langsung sikat. "Mak Odah nggak ngerti rasanya kehilangan. Sakitnya tuh disini, Mak, hu hu hu," ratapan Mbak Meri masih berlanjut. Aku pengen ketawa, takut dosa. Masa iya tertawa diatas penderitaan kakak ipar. Aku tak sekejam itu, tentu. Aku masih punya perasaan, dan insyaallah bisa menjaga perasaan. "Gimana, Kang, jadi nelpon blantik sapi enggak?" Mas Rahman bertanya kepada Kang Handoyo. "Iyalah, Man. Telpon aja. Tak ambil hape dulu." Kang Handoyo lemas. Laki-laki bertelanjang dada hanya memakai kain sarung itu, nampak syok. Sedang Mbak Meri masih duduk sambil menangis memakai baju kebanggaan para emak Mbak
"Kang jangan main tangan sama istri, nanti tuman!" tegur Mas Rahman. "Kamu nggak usah sok belain aku, dasar madesu!" Mbak Meri malah mencibir Mas Rahman. Kesal? Jangan ditanya. Aku kesal sampe ke ubun-ubun. "Mas, kita pulang aja, yuk," ajakku kepada Mas Rahman. Mas Rahman melirikku sebentar, lalu menatap kakaknya. "Pulang sana! Kelamaan disini nanti nularin virus miskin!" hardik Mbak Meri. Aku nggak tahan di hina, mending aku pulang duluan hatiku saja masih sakit. Aku nggak mau sakit lagi. "Aku duluan pulang Mas, Kang. Perutku mendadak mules denger burung beo ngoceh!" Aku langsung pergi. "Heh madesu! Enak aja ngatain aku burung beo! Dasar kamseupay!" Mbak Meri meneriaki aku. Terserah mulutmu Mbak. Aku mau pulang. Terus, belanja bumbu untuk ngolah daging sapi rejeki malam ini. Sampai rumah, aku segera kebelakang, menuju motor lalu kupacu pergi ke warung. "Mas, aku kewarung dulu beli bumbu, ya!" ucapku saat berpapasan dengan suami dijalan. "Ati-ati, Dik." Motor melaju hingg
Aku tetap memberi kakak-kakak ku uang ini. Namun, mereka hanya mau menerima Lima juta saja. Sedang Bapak dan ibuku malah menolak. "Man, Rum. Kalian 'kan belum punya motor, itu motor Mas dirumah nganggur satu, kalau kamu mau, bayari saja matic yang baru. Masih kisaran sepuluh bulan lah, tadinya Mas beli buat Keisha, eh sekarang anaknya masuk asrama, nganggur deh itu motor," ucap Mas Bambang kakak pertamaku. "Berapa, Mas, harganya? Aku pengen sih, beliin Arum motor, tapi ... ini semua uang Arum. Aku nggak kuasa ding," Mas Rahman nyengir. "Jangan gitu, Mas!" tegurku pada Mas Rahman. "Emang Mas mau ngambil motornya Mas Bambang?" tanyaku memastikan. "Kamu ini, Man. Kamu sudah berkorban menjadi suami terbaik untuk Arum anakku, sampai kurus kering begitu. Mulai sekarang makan yang banyak, kerjanya jangan ngoyo, beli ladang karet yang banyak," ucap Bapakku. Mas Rahman mesem ngguyu. "Nggih Pak." Bapakku mengusap lembut bahu menantu paling ragilnya. Ya, Mas Rahman memang menantu laki-laki
Jangan lupa Krisan ya .... "Aku nggak ada tabungan lah, Kang. Tau sendiri aku cuma buruh, Kang." Mas Rahman berbohong. Tentu saja ku bilang suamiku berbohong. Tabungan kami di Bank jumlahnya fantastis. Tapi, biarlah. Lebih baik Kang Handoyo nggak usah tau. Saudara licik seperti mereka, pasti hanya akan memanfaatkan kami. "Masa, nggak punya, Man?" Atau kamu pinjemin sama kakaknya Arum lah, tolong, Man. Aku butuh sekitar tiga puluh lima juta, Man, untuk bayar denda. Belum lagi untuk biaya rumah sakit Tio sama Meri. Mumet aku, Man. Tolong pinjemin sama kakaknya Arum, ya!" Suara Kang Handoyo menghiba lagi. Aku ingin tertawa mendengar derita kakak iparku. Wajah Mas Rahman datar-datar saja. Sepertinya Mas Rahman juga nggak tertarik membantu kesulitan kakaknya itu. "Aku ini sodaramu juga 'kan, Man. Tolong aku, lah!" pinta Kang Handoyo lagi. Huh! Giliran susah ngaku saudara. Giliran senang lupa segalanya. Itu yang dibilang saudara? Hape kurebut paksa lalu ku nonaktifkan. Gemas sekali ak
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
"Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam
Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S
Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "