Share

Saudara Perhitungan

Penulis: Vita Anggraini
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Ambulan meraung memecah kesunyian malam. Hatiku semakin lara mendengarnya. 

Jasad Yazidku di gendongan Simbah Kakungnya. Aku menangis sepanjang jalan dalam dekapan suamiku. Hati ini menyesal kehilangan putraku. 

Mobil memasuki halaman rumah papan mungilku, aku disambut oleh tetangga. Aku tak kuasa berdiri. Tubuhku diangkat oleh kakakku lalu diletakkan di kamarku. 

Kamar ini penuh kenangan Yazid. Guling ini, bantal ini, selimut ini, semua ada Yazid. 

Aku menagis menumpahkan semua yang ada didada ini. 

"Sabar, Mbak Arum, sabar! Ikhlaskan anakmu, ikhlaskan." Mak Odah menasihatiku. 

Bu Aisyah muncul dipintu. Beliau langsung masuk memelukku. Aku menagis mengadu kehilangan Yazid. 

"Rum, kematian itu pasti. Anakmu telah menepati janjinya kepada Allah, dia kembali pada Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ikhlaskan, Rum, ikhlaskan. Jangan kau tangisi kepergiannya, kasihan anakmu. Sekarang minumlah dulu, biar kamu tenang." Bu Aisyah memberiku air minum. 

Alhamdulillah aku lumayan tenang setelah minum air ini. Rasa lelah dan capek menyelimuti seluruh tubuh ini. Kaki dan tanganku dipijit oleh beberapa tetangga dekat. Aku nggak tau ibuku kemana. Mata ini lelah menangis, lama-lama aku lelap. 

________ 

Pagi ini aku terbangun tanpa tangisan Yazid. Aku kaget bukan main, Yazidku kemana? 

"Yazid! Kamu dimana, Nang?" Aku melompat dari tempat tidur keluar mencari Yazid.  

Betapa terkejutnya aku melihat meja yang ada tepat dihadapanku ini. 

Lahaulawalaquwata illabillah ... tubuhku luruh menatap meja itu. Itu jasad putraku. Dadaku sesak melihat pemandangan ini. Aku tak sanggup bicara. 

Aku terisak dipeluk ibuku dan istrinya kakakku-Mbak Anisa. 

"Sabar, Rum, sabar!" Aku dituntun ke kamar lagi. 

Isak tangisku menjadi. "Aku ingin melihat anakku," ucapku terbata. 

"Boleh, janji jangan nangis. Jangan meneteskan air mata!" Kata Mas Rahman. 

"Ya, aku janji, aku kuat. Aku ingin mencium Yazid. Dia anakku!" Ku tatap lekat Mas Rahman. 

"Baik, harus kuat, jangan nangis. Kalo nangis nggak boleh." Mas Rahman berdiri di depanku. 

Aku bangkit perlahan berjalan menuju meja dimana putraku berbaring. Hati ini hancur melihat sosok terselimuti kain jarik. 

Kubuka perlahan penutup jasad putraku. Wajahnya teduh, ada senyuman diwajahnya. Ia seperti sedang tidur lelap. Kuciumi wajah ini untuk terakhir kalinya. Wajah yang selama ini menghiasi hari-hariku, wajah yang selalu tersenyum ceria kepadaku. Kulampiaskan semua kasih sayang ini kepadanya untuk terakhir kalinya. 

Aku berdiri menatap wajah yang kini tertidur pulas. Tubuhku lunglai, beruntung Mas Rahman menangkap tubuh ini. Aku lemas tak berdaya. Mas Rahman membawaku kekamar. Aku menangis lagi. Aku bersama suamiku dikamar.

"Lebay banget sih! Anak mati ditangisi segitunya. Kamu harusnya bersyukur anakmu mati, coba kalo masih hidup? Berapa duit yang dipake buat berobat? Mikir dong! Jangan cuma nangis digedein!" cibir seseorang diambang pintu. Suara yang sangat ku kenal. Suara dari makhluk l*kn*t tau tahu diri. 

"Apa hak mu komentar disini? Kamu nggak ngrasain apa yang ku rasa. Coba kamu jadi aku!" Emosiku terpancing seketika. 

"Aku ngomong apa adanya, eh, orang mati tuh, cepetan dikubur, bukannya ditangisin nggak jelas begitu. Ditangisi sampe air mata darah, nggak bakal idup lagi, tu anak, dasar madesu! Udah masadepan suram, b*go pula!" Mbak Meri mencebikkan bibirnya.

"Bisa nggak sih nggak bikin ulah disini? Pergi kamu, Mbak!" usir Mas Rahman setengah menyentak. 

"Nggak usah ngegas juga kali," cibir Mbak Meri lalu ia pergi. 

__________ 

Hampir seminggu sudah putraku pergi untuk selamanya, hari ini para tetangga membantu masak untuk acara 7 hari alarhum putraku. 

"Rum, jangan nglamun, Rum, makan dulu nanti kamu sakit," Mak Odah mendekatiku. 

Setelah keluarga besarku dan keluarga Mas Rahman pulang, hanya Mak Odah dan tetangga yang menghiburku. 

Aku duduk di luar, dekat pohon jambu menyaksikan kesibukan para tetangga masak. 

"Assalamualaikum," sapa Bu Aisyah datang. Beliau datang membawa belanjaan banyak. 

"W*'alaikum salam, Ya Allah Bu Aisyah, apa yang Ibu bawa ini? Banyak sekali! Gimana aku membalasnya?" Suaraku serak tertahan.

Bu Aisyah tersenyum teduh sekali. "Arum, nggak usah dipikirin. Ini semua saya sedekahkan untuk acara selamatan anakmu, tolong diterima, ya!" Bu Aisyah tersenyum lagi. 

Aku hampir menangis melihat belanjaan banyak, beras dua karung, ayam lima ekor, mie kuning, minyak satu derigen lima kiloan, Ya Allah Bu Aisyah, mulianya hatimu. 

"Terimakasih banyak, bantuan dari ibu saya terima, Bu!" Ku peluk wanita berjilbab lebar ini. 

"Arum, maaf, saya nggak bisa bantuin masak, hari ini saya mau pergi ke acara saudara, saya pamit, ya! Kamu yang sabar! Insyaallah semua ada hikmahnya," ucap Bu Aisyah. 

"Walah, Bu! Makan jajan dulu ini, ada bakwan," tawar Mak Odah. 

Namun Bu Aisyah kekeh pulang, akhirnya Mak Odah membungkus kan beberapa jajanan yang sudah matang untuk Bu Aisyah, lalu beliau pulang. 

"Ya Allah, Rum, rejeki untuk selamatan Yazid, mengalir, Masya Allah!" Teh Lilis sampai terheran melihat belanjaan banyak. 

"Hei, hei! Udah rame aja disini! Maaf, sif siang aku datangnya telat!" Mbak Meri datang sok heboh. Dia datang menghampiriku. "Eh, Rum, ini belanjaanku, jangan lupa di catet! Ada minyak, gula, mie, catet semuanya! Awas aja kalo mbalikin nggak sesuai!" Mata Mbak Meri menyipit. Sebuah plastik berisi belanjaan diletakkan di dekat kakiku. 

"Ya ampun, Mer! Sama adik sendiri itungan amat! Harusnya kamu tuh bantu adikmu lagi susah," nasihat Mak Odah. 

Mbak Meri mendelik, "Apa? Adik? Ih, sori! Aku nggak level punya adik kaya dia, rakyat jelata, kamseupay! Yang sodaraan bukan aku, tapi Mas Handoyo sama si Rahman pemalas itu," cibir Mbak Meri bersedekap dada sombong. 

Astaghfirullah halazim! Banyak diantara tetanggaku yang ada disini juga ikut beristighfar. 

"Eh, asal kalian semua tau ya, sodara itu orang yang ada hubungan darah. Dan satu lagi, uang nggak kenal saudara!" Mbak Meri sok jumawa.  

Aku berdiri malas. Kubenahi kain sarung yang kupakai. "Bawa pulang aja, Mbak belanjaanmu, aku nggak butuh! Insyaallah untuk selamatan anakku, semuanya cukup, bahkan sisa," ucapku melirik malas wajah glowing Mbak Meri. 

Biar saja sekalian ku tolak belanjaan ini. Aku malas berurusan dengan orang sombong. 

"Hei, dasar madesu nggak tau diri! Di bantuin malah songong!" Mbak Meri berkacak pinggang. "Udah bagus aku kesini bawa belanjaan, jangan sok nolak deh! Nggak ingat kemarin ngemis dirumahku minjem biaya rumah sakit, hah?!" Suara Mbak Meri naik beberapa oktaf. 

Aku berhadapan langsung dengan Mbak Meri. "Ya, kemarin kami memang mengemis ke rumahmu, dan kau hina habis-habisan kami. Bukanya pinjaman yang kami dapat, malah cacian dan perlakuan kasar darimu!" Biar, biar saja semua orang tau. 

"Heh, jangan asal bicara kamu! Siapa yang bayar biaya rumah sakit kalau bukan uang suamiku, hah?!" Mbak Meri kelihatan gusar. 

"Apa? Uang suammimu? Jangan ngarang! Aku ke rumah sakit pakai motor Bu Aisyah, dan uang arisan bulanan yang ku minta. Bahkan kau nggak menjenguk anakku di rumah sakit." Ku ungkap semuanya disini. 

Wajah Mbak Meri berubah seketika. 

"Iya, aku tahu ceritanya, kok. Bu Aisyah yang bilang pas pulang pengajian dari rumah Bu Ani. Nggak nyangka Mbak Meri itu jahat banget sama saudara." Bu Maryam ikut nimbrung. 

"Masih mau ngaku-ngaku?" 

Bab terkait

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Kebohongan Meri

    Mata Mbak Meri mendadak tak memancarkan kesombongannya itu. "Kenapa diam, Mbak? Masih mau berkoar membiayai uang rumah sakit anakku, kalau memang Mbak yang bayar, taulah habis berapa," ucapku sengaja menyudutkan Mbak Meri. Mbak Meri gelagapan menanggapi ucapanku, jelas saja, orang dia nggak bantu sama sekali kok. "Kamu ini, ngomong apa sih?" Mbak Meri mencebik bibirnya tak bisa menjawab ucapanku. "Sudahlah, Rum. Kamu masuk rumah saja. Nggak usah diladeni si Meri," ucap Mak Odah mengajakku masuk rumah. "Bu Maryam, tolong belanjaan dari hamba Allah itu diurus, biarkan yang di plastik merah nggak usah dibawa masuk biar aja disitu." Aku melangkah gontai masuk rumah. "Hei, Rum! Dasar songong! Madesu nggak tau diri! Dibantu malah begini. Nggak tau terimakasih!" Mbak Meri mencak-mencak. Aku membalik badan. "Aku memang miskin, tapi bukan berarti kau bebas menghinaku. Pergi kau dari sini sekarang!" Ku usir sekalian Mbak Meri. Dada ini masih nyeri akibat hinaannya kemarin. "Lihat saja

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ipar Kena Musibah

    "Entahlah, Kang. Nanti malam mau tahlilan berdua dirumah. Permisi, Kang, kami mau pulang." Mas Rahman memutar gas motor lalu kami pergi dari sini. "Mas, bangkai yang disembunyikan ketahuan juga. Kang Handoyo sudah tau semuanya dari mulut istrinya sendiri." Aku ngobrol sama Mas Rahman sepanjang perjalanan pulang. "Allah Maha Adi, Dik. Kebenaran pasti terungkap. Oh iya, ba'da Zuhur, Mas mau cari rumput buat pakan kambing, nanti Mas pulang kamu sudah siap lho, kita kemakam Yazid, ya!" ucap Mas Rahman. "Iya, Mas." Kupeluk tubuh kurus suamiku dari belakang. Motor butut ini melaju membawa kami pulang kerumah. ______ Hari mulai sore, aku selesai menyapu halaman rumah, sebuah motor berbelok kehalaman rumahku. Oh, rupanya Mbak Dini. "Mbak Rum, rajin lho!" puji Mbak Dini turun dari motor. Ia tersenyum wanita dengan potongan rambut gaya polwan ini awet muda. "Ah, Mbak Dini. Ini sampahnya banyak. Baru bisa nyapu sekarang." Aku masih sedih. "Yang sabar, Mbak Arum. Yang ikhlas. Oh iya, saya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Musibah Beruntun

    Ku parkir motor di tempat biasa, aku segera melangkah melepas sendal lalu masuk area makam. "Nang, Mama datang, Le. Mama kesini, Mama kangen Yazid. Yazid datang ke mimpi Mama, ya!" ucapku pada pusara anakku. Segera kubuka buku Yasin, lalu kubaca tahlil berlanjut surat Yasin. "Fasubhanalladzi biyadihi malakutukulisyai i wailaihi turja'un. Shodaqoullohuladzim." Yasin selesai kubaca. "Nang, Mama pulang dulu, ya!" pamitku pada Yazid. Kucium nisan makam putraku. Perlahan tapi pasti langkah kaki ini menjauh dari area makam. Rinduku terurai usai membacakan tahlil dan surat Yasin diatas makam Yazid. Ku pacu lagi motor butut ini. Ku ambil jalan pintas malas lewat depan rumah kakak iparku yang sombong itu. Sampai rumah, Mas Rahman belum pulang. Aku segera mencuci kaki dan tanganku di kamar mandi. "Rum, Arum!" Suara Mak Odah memanggilku. "Aku di sumur, Mak!" teriaku pada Mak Odah. Aku keluar dari kamar mandi, lalu menemui Mak Odah. "Rum, aku goreng ikan, kok inget Yazid, to. Ini buat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Dia Sedih

    "Sapiku hu hu hu! Sapiku!" ratapan tangis dari mulut Mbak Meri terus saja keluar. Mak Odah datang langsung menghampiri Mbak Meri. "Mer! Kamu ini, kemarin keponakan ninggal kamu haha hehe, cengengesan! Sekarang sapi mati ditangisi!" tegur Mak Odah kepada Mbak Meri. Wanita tua ini memang suka ceplas-ceplos kalo ngomong. Mbak Meri nggak melawan, tumben! Biasanya senggol dikit langsung sikat. "Mak Odah nggak ngerti rasanya kehilangan. Sakitnya tuh disini, Mak, hu hu hu," ratapan Mbak Meri masih berlanjut. Aku pengen ketawa, takut dosa. Masa iya tertawa diatas penderitaan kakak ipar. Aku tak sekejam itu, tentu. Aku masih punya perasaan, dan insyaallah bisa menjaga perasaan. "Gimana, Kang, jadi nelpon blantik sapi enggak?" Mas Rahman bertanya kepada Kang Handoyo. "Iyalah, Man. Telpon aja. Tak ambil hape dulu." Kang Handoyo lemas. Laki-laki bertelanjang dada hanya memakai kain sarung itu, nampak syok. Sedang Mbak Meri masih duduk sambil menangis memakai baju kebanggaan para emak Mbak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Rejeki Untuk Arum

    "Kang jangan main tangan sama istri, nanti tuman!" tegur Mas Rahman. "Kamu nggak usah sok belain aku, dasar madesu!" Mbak Meri malah mencibir Mas Rahman. Kesal? Jangan ditanya. Aku kesal sampe ke ubun-ubun. "Mas, kita pulang aja, yuk," ajakku kepada Mas Rahman. Mas Rahman melirikku sebentar, lalu menatap kakaknya. "Pulang sana! Kelamaan disini nanti nularin virus miskin!" hardik Mbak Meri. Aku nggak tahan di hina, mending aku pulang duluan hatiku saja masih sakit. Aku nggak mau sakit lagi. "Aku duluan pulang Mas, Kang. Perutku mendadak mules denger burung beo ngoceh!" Aku langsung pergi. "Heh madesu! Enak aja ngatain aku burung beo! Dasar kamseupay!" Mbak Meri meneriaki aku. Terserah mulutmu Mbak. Aku mau pulang. Terus, belanja bumbu untuk ngolah daging sapi rejeki malam ini. Sampai rumah, aku segera kebelakang, menuju motor lalu kupacu pergi ke warung. "Mas, aku kewarung dulu beli bumbu, ya!" ucapku saat berpapasan dengan suami dijalan. "Ati-ati, Dik." Motor melaju hingg

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Tolong Aku

    Aku tetap memberi kakak-kakak ku uang ini. Namun, mereka hanya mau menerima Lima juta saja. Sedang Bapak dan ibuku malah menolak. "Man, Rum. Kalian 'kan belum punya motor, itu motor Mas dirumah nganggur satu, kalau kamu mau, bayari saja matic yang baru. Masih kisaran sepuluh bulan lah, tadinya Mas beli buat Keisha, eh sekarang anaknya masuk asrama, nganggur deh itu motor," ucap Mas Bambang kakak pertamaku. "Berapa, Mas, harganya? Aku pengen sih, beliin Arum motor, tapi ... ini semua uang Arum. Aku nggak kuasa ding," Mas Rahman nyengir. "Jangan gitu, Mas!" tegurku pada Mas Rahman. "Emang Mas mau ngambil motornya Mas Bambang?" tanyaku memastikan. "Kamu ini, Man. Kamu sudah berkorban menjadi suami terbaik untuk Arum anakku, sampai kurus kering begitu. Mulai sekarang makan yang banyak, kerjanya jangan ngoyo, beli ladang karet yang banyak," ucap Bapakku. Mas Rahman mesem ngguyu. "Nggih Pak." Bapakku mengusap lembut bahu menantu paling ragilnya. Ya, Mas Rahman memang menantu laki-laki

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Permintaan ipar

    Jangan lupa Krisan ya .... "Aku nggak ada tabungan lah, Kang. Tau sendiri aku cuma buruh, Kang." Mas Rahman berbohong. Tentu saja ku bilang suamiku berbohong. Tabungan kami di Bank jumlahnya fantastis. Tapi, biarlah. Lebih baik Kang Handoyo nggak usah tau. Saudara licik seperti mereka, pasti hanya akan memanfaatkan kami. "Masa, nggak punya, Man?" Atau kamu pinjemin sama kakaknya Arum lah, tolong, Man. Aku butuh sekitar tiga puluh lima juta, Man, untuk bayar denda. Belum lagi untuk biaya rumah sakit Tio sama Meri. Mumet aku, Man. Tolong pinjemin sama kakaknya Arum, ya!" Suara Kang Handoyo menghiba lagi. Aku ingin tertawa mendengar derita kakak iparku. Wajah Mas Rahman datar-datar saja. Sepertinya Mas Rahman juga nggak tertarik membantu kesulitan kakaknya itu. "Aku ini sodaramu juga 'kan, Man. Tolong aku, lah!" pinta Kang Handoyo lagi. Huh! Giliran susah ngaku saudara. Giliran senang lupa segalanya. Itu yang dibilang saudara? Hape kurebut paksa lalu ku nonaktifkan. Gemas sekali ak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Minta tolong tapi maksa

    Hem, ternyata Mbak Anisa peka sama aku. Bahkan meskipun ku sembunyikan kegundahan hati ini, dia tetap tau. Aku mencuci daun singkong rebus ini. "Kangen Yazid, Mbak. Dua hari kemarin nggak ke makamnya." Aku menunduk. Mbak Anisa mengusap bahuku. "Sabar, Rum, sabar! Nanti, kunjungilah makam anakmu setelah kamu pulang, ya!" Mbak Anisa menghiburku. Saat sedang bercakap-cakap, hape jadul Mas Rahman yang sedang di cas diatas kulkas. Hem, siapa yang nelpon sepagi ini? "Mbak, aku angkat telpon dulu," ucapku pada Mbak Anisa. Dia mengangguk. Kuhampiri ponsel yang berteriak nyaring ini. Lho, Kang Handoyo? Sepagi ini nelpon ada apa lagi sih? "Hallo, assalamualaikum, Kang. Ada apa?" Rasanya malas sekali bicara sama orang ini. "Rum, mana Rahman?" Ya ampun, bukannya jawab salam dulu, malah langsung nanya. "Mas Rahman lagi bantuin bapak bersihin kandang sapi. Kenapa Kang?" Ih, asli malas banget ngobrol sama orang ini. "Rum, kamu sama Rahman hari ini tolong bisa nggak bisa, pulang. Aku butuh

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ending (TAMAT)

    POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Ari bingung

    POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Cobaan berat Arum (ex48)

    POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Kecelakaan

    "Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Rencana meringkus Handoyo (ex 46)

    Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Meri sadar (ex 45)

    Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    kabar dari Hadi (ex44)

    "Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Handoyo berulah lagi (ex43)

    Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S

  • Katamu Uang Tak Kenal Saudara    Kesedihan Tio

    Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "

DMCA.com Protection Status