Mata Mbak Meri mendadak tak memancarkan kesombongannya itu.
"Kenapa diam, Mbak? Masih mau berkoar membiayai uang rumah sakit anakku, kalau memang Mbak yang bayar, taulah habis berapa," ucapku sengaja menyudutkan Mbak Meri.
Mbak Meri gelagapan menanggapi ucapanku, jelas saja, orang dia nggak bantu sama sekali kok.
"Kamu ini, ngomong apa sih?" Mbak Meri mencebik bibirnya tak bisa menjawab ucapanku.
"Sudahlah, Rum. Kamu masuk rumah saja. Nggak usah diladeni si Meri," ucap Mak Odah mengajakku masuk rumah.
"Bu Maryam, tolong belanjaan dari hamba Allah itu diurus, biarkan yang di plastik merah nggak usah dibawa masuk biar aja disitu." Aku melangkah gontai masuk rumah.
"Hei, Rum! Dasar songong! Madesu nggak tau diri! Dibantu malah begini. Nggak tau terimakasih!" Mbak Meri mencak-mencak.
Aku membalik badan. "Aku memang miskin, tapi bukan berarti kau bebas menghinaku. Pergi kau dari sini sekarang!" Ku usir sekalian Mbak Meri.
Dada ini masih nyeri akibat hinaannya kemarin.
"Lihat saja kamu, Rum, aku nggak akan membantumu lagi!" Mbak Meri mencak-mencak lalu pergi membawa belanjaan yang dia bawa tadi.
Aku puas. Biarlah sekalian ku tolak saja pemberian darinya. Aku nggak mau buntutnya panjang dikemudian hari.
Acara kirim doa untuk Yazid berlangsung khidmad, bahkan tanpa kehadiran Mbak Meri, semua bisa berjalan lancar.
_________
Kini, hari-hariku terasa sepi tanpa kehadiran Yazid. Kudekap baju bekas dipakai Yazid terakhir kalinya. Baju mungil ini, kenangan Yazid untukku.
"Nang, Mama berusaha ikhlas melepas mu, Nang. Do'akan Mama kuat, ya!" ucapku pada nisan makam putraku.
"Pulang, yuk, udah sore. Besok kesini lagi," ajak Mas Rahman.
Aku mengangguk, kami pulang dari makam. Yazidku tetap hidup di hati ini.
Malam harinya, Mas Handoyo datang kerumah.
"Man, istrimu ngomong apa sama Mbakyumu Meri pas acara masak-masak? Mbak mu mencak-mencak dirumah. Aku kena sasaran," Kang Handoyo langsung menodong pertanyaan pada suamiku.
Aku mendengar percakapan mereka, dada ini masih sakit rasanya. Aku keluar membawa dua gelas kopi untuk suamiku dan kakaknya.
"Kenapa Kang? Kakang nggak trima soal ucapanku ke Mbak Meri?" Langsung saja aku nimbrung percakapan mereka. Wajah Kang Handoyo mendadak berubah.
"Kalau istrimu nggak kelewatan, aku nggak akan begitu," bibirku maju lima senti.
"Kamu jangan ngelunjak sama orang tua, Rum. Ajari istrimu itu adab, Man!" Suara Kang Handoyo naik.
Aku berdiri seketika. "Kakang yang harus ngajari Mbak Meri adab. Selama ini dia selalu menghina kami, merendahkan kami. Wajar saja aku marah sama dia, setelah apa yang dia lakukan kepadaku," ucapku lantang. Dada ini naik turun kesal bukan kepalang sama kakak ipar satu ini.
"Kamu ini, sudah ditolong nggak tau terimakasih! Bukankah Meri memberimu uang untuk biaya rumah sakit anakmu kemarin. Meri bilang ia memberimu cuma-cuma, saat kalian datang kerumah!" Kang Handoyo berucap dengan emosi.
Pandai sekali Mbak Meri mengarang cerita.
"Kalau istrimu itu memberi kami uang, nggak mungkin aku minta bantuan sama Bu Aisyah. Kamu itu sudah ditipu istrimu sendiri!" Suaraku tak kalah lantang. Sakit hati ini sakit.
"Dik, sudah, Dik," Mas Rahman memelukku.
Aku duduk sambil berlinang air mata. Kang Handoyo masih mendelik.
"Kang, pagi itu aku memang kerumah sampean, niatnya mau minjam uang sama minjam motor. Tapi bukan pinjaman atau pemberian bantuan yang kami dapat. Malah cacian, hinaan yang diberikan oleh Mbak Meri. Bahkan Mbak Meri bilang hal yang sangat melukai hati kami, Kang," jelas Mas Rahman. "Kalau Mbak Meri kasih kami uang, nggak mungkin kami minta bantuan Bu Aisyah, seperti kata istriku. Mbak Meri bilang uang nggak kenal saudara, Kang," imbuh Mas Rahman.
"Nggak mungkin Meri bilang begitu! Dasar nggak tau terimakasih. Sudah di bantu nggak tau diri!" Kang Handoyo marah lalu pergi dari sini.
Ya Allah, sihir apa yang Mbak Meri pakai untuk menundukkan Kang Handoyo sampai-sampai Kang Handoyo nggak percaya pada kami.
_________
Hari berganti, Alhamdulillah Mas Rahman dapat pekerjaan di kebun karet milik saudara Bu Aisyah. Aku ikut membantu karena dirumah nggak ada kerjaan.
"Mas, Mbak Meri kelewatan banget ya, sampai-sampai dia tega mengadu domba kita." Aku istirahat usai bekerja.
"Entahlah, Mas juga nggak ngerti. Mas bahkan nggak kenal sama sikap Kang Handoyo sekarang. Dia berubah setelah menikah sama Mbak Meri. Bahkan kata Emak, Kang Handoyo nggak merespon pas Emak kesana kemarin," kisah Mas Rahman.
"Biarlah, Dik. Harta membuat mereka berubah. Yuk pulang, sudah siang," ajak Mas Rahman.
Kami pulang, Mas Rahman berhenti di sebuah warung membeli bensin. Kebetulan Mbak Meri juga disana.
"Wah-wah, keluarga madesu romantis, keladang berdua," cibir Mbak Meri terseyum mengejek.
Aku dan Mas Rahman tak menggubris cibiran itu.
"Gimana, semalam kena semprot 'kan dari Mas Handoyo? Emang enak!" cibirnya lagi.
"Maksud Mbak Meri apa ngarang cerita sama Kang Handoyo? Mbak mau fitnah dan adu domba kami dengan Mas Handoyo?" Kujawab saja Mbak Meri.
"Sengaja! Aku sengaja ngarang cerita biar Kang Handoyo benci sama kalian. Dan tujuanku berhasil 'kan? Kang Handoyo sekarang benci sama kalian. Keluarga madesu seperti kalian ini, harus disingkirkan jauh-jauh dari keluargaku," pongah Mbak Meri.
"Apa? Jadi semua yang kamu katakan itu bohong! Keterlaluan kamu Meer!" Suara tegas dan lantang tiba-tiba muncul.
Aku menoleh seketika kearah suara itu. Sosok laki-laki berbaju khusus kerja berdiri terengah-engah, sepeda motor terparkir di sebelahnya. Dia Kang Handoyo.
"Jadi kamu ngarang cerita, hah?!" Kang Handoyo emosi.
"Kau sengaja bikin aku dan Rahman bermusuhan? Benar-benar licik kamu, Mer. Pulang kamu! Kita selesaikan urusan ini dirumah. Pulang sekarang!" bentak Kang Handoyo bengis pada istrinya-Mbak Meri.
Wajah Mbak Meri pucat pasi, sementara Mas Rahman biasa saja tak merespon kakaknya.
"Mas, jangan marah-marah, malu," bujuk Mbak Meri pada suaminya.
"Pulang sekarang juga!" Lagi suara Kang Handoyo menggelegar.
Banyak pasang mata melihat kearah Kang Handoyo. Aku diam menyaksikan adegan didepanku.
Tangan Kang Handoyo kelihatan mengepal, sorot matanya tajam ke arah Mbak Meri. Sementara Mbak Meri pucat pasi menuju motor maticnya lalu pergi.
Mas Rahman segera membayar bensin yang dibelinya, lalu mengajakku pulang.
"Man, tunggu!" Kang Handoyo mencegat motor kami.
"Kenapa, Kang, maaf aku mau pulang, Arum sudah lapar," ucap suamiku.
Aku tahu Mas Rahman pasti malas menanggapi kakaknya ini.
"Nanti sore tolong kerumah, ya!" Kulihat wajah Kang Handoyo memelas.
Motor butut suamiku masih berbunyi. "Maaf, Kang, nanti sore aku mau ziarah ke makam anakku," tolak suamiku halus.
"Kalau nggak bisa sore, malam saja, Man." Lagi Kang Handoyo membujuk suamiku.
Ada apa ini? Apakah Kang Handoyo menyesal dengan kejadian semalam? Kenapa dia bersikeras ingin suamiku datang ke rumahnya?
"Tolong, Man, datang kerumah nanti malam. Kamu juga, ya, Rum. Mau 'kan?"
"Entahlah, Kang. Nanti malam mau tahlilan berdua dirumah. Permisi, Kang, kami mau pulang." Mas Rahman memutar gas motor lalu kami pergi dari sini. "Mas, bangkai yang disembunyikan ketahuan juga. Kang Handoyo sudah tau semuanya dari mulut istrinya sendiri." Aku ngobrol sama Mas Rahman sepanjang perjalanan pulang. "Allah Maha Adi, Dik. Kebenaran pasti terungkap. Oh iya, ba'da Zuhur, Mas mau cari rumput buat pakan kambing, nanti Mas pulang kamu sudah siap lho, kita kemakam Yazid, ya!" ucap Mas Rahman. "Iya, Mas." Kupeluk tubuh kurus suamiku dari belakang. Motor butut ini melaju membawa kami pulang kerumah. ______ Hari mulai sore, aku selesai menyapu halaman rumah, sebuah motor berbelok kehalaman rumahku. Oh, rupanya Mbak Dini. "Mbak Rum, rajin lho!" puji Mbak Dini turun dari motor. Ia tersenyum wanita dengan potongan rambut gaya polwan ini awet muda. "Ah, Mbak Dini. Ini sampahnya banyak. Baru bisa nyapu sekarang." Aku masih sedih. "Yang sabar, Mbak Arum. Yang ikhlas. Oh iya, saya
Ku parkir motor di tempat biasa, aku segera melangkah melepas sendal lalu masuk area makam. "Nang, Mama datang, Le. Mama kesini, Mama kangen Yazid. Yazid datang ke mimpi Mama, ya!" ucapku pada pusara anakku. Segera kubuka buku Yasin, lalu kubaca tahlil berlanjut surat Yasin. "Fasubhanalladzi biyadihi malakutukulisyai i wailaihi turja'un. Shodaqoullohuladzim." Yasin selesai kubaca. "Nang, Mama pulang dulu, ya!" pamitku pada Yazid. Kucium nisan makam putraku. Perlahan tapi pasti langkah kaki ini menjauh dari area makam. Rinduku terurai usai membacakan tahlil dan surat Yasin diatas makam Yazid. Ku pacu lagi motor butut ini. Ku ambil jalan pintas malas lewat depan rumah kakak iparku yang sombong itu. Sampai rumah, Mas Rahman belum pulang. Aku segera mencuci kaki dan tanganku di kamar mandi. "Rum, Arum!" Suara Mak Odah memanggilku. "Aku di sumur, Mak!" teriaku pada Mak Odah. Aku keluar dari kamar mandi, lalu menemui Mak Odah. "Rum, aku goreng ikan, kok inget Yazid, to. Ini buat
"Sapiku hu hu hu! Sapiku!" ratapan tangis dari mulut Mbak Meri terus saja keluar. Mak Odah datang langsung menghampiri Mbak Meri. "Mer! Kamu ini, kemarin keponakan ninggal kamu haha hehe, cengengesan! Sekarang sapi mati ditangisi!" tegur Mak Odah kepada Mbak Meri. Wanita tua ini memang suka ceplas-ceplos kalo ngomong. Mbak Meri nggak melawan, tumben! Biasanya senggol dikit langsung sikat. "Mak Odah nggak ngerti rasanya kehilangan. Sakitnya tuh disini, Mak, hu hu hu," ratapan Mbak Meri masih berlanjut. Aku pengen ketawa, takut dosa. Masa iya tertawa diatas penderitaan kakak ipar. Aku tak sekejam itu, tentu. Aku masih punya perasaan, dan insyaallah bisa menjaga perasaan. "Gimana, Kang, jadi nelpon blantik sapi enggak?" Mas Rahman bertanya kepada Kang Handoyo. "Iyalah, Man. Telpon aja. Tak ambil hape dulu." Kang Handoyo lemas. Laki-laki bertelanjang dada hanya memakai kain sarung itu, nampak syok. Sedang Mbak Meri masih duduk sambil menangis memakai baju kebanggaan para emak Mbak
"Kang jangan main tangan sama istri, nanti tuman!" tegur Mas Rahman. "Kamu nggak usah sok belain aku, dasar madesu!" Mbak Meri malah mencibir Mas Rahman. Kesal? Jangan ditanya. Aku kesal sampe ke ubun-ubun. "Mas, kita pulang aja, yuk," ajakku kepada Mas Rahman. Mas Rahman melirikku sebentar, lalu menatap kakaknya. "Pulang sana! Kelamaan disini nanti nularin virus miskin!" hardik Mbak Meri. Aku nggak tahan di hina, mending aku pulang duluan hatiku saja masih sakit. Aku nggak mau sakit lagi. "Aku duluan pulang Mas, Kang. Perutku mendadak mules denger burung beo ngoceh!" Aku langsung pergi. "Heh madesu! Enak aja ngatain aku burung beo! Dasar kamseupay!" Mbak Meri meneriaki aku. Terserah mulutmu Mbak. Aku mau pulang. Terus, belanja bumbu untuk ngolah daging sapi rejeki malam ini. Sampai rumah, aku segera kebelakang, menuju motor lalu kupacu pergi ke warung. "Mas, aku kewarung dulu beli bumbu, ya!" ucapku saat berpapasan dengan suami dijalan. "Ati-ati, Dik." Motor melaju hingg
Aku tetap memberi kakak-kakak ku uang ini. Namun, mereka hanya mau menerima Lima juta saja. Sedang Bapak dan ibuku malah menolak. "Man, Rum. Kalian 'kan belum punya motor, itu motor Mas dirumah nganggur satu, kalau kamu mau, bayari saja matic yang baru. Masih kisaran sepuluh bulan lah, tadinya Mas beli buat Keisha, eh sekarang anaknya masuk asrama, nganggur deh itu motor," ucap Mas Bambang kakak pertamaku. "Berapa, Mas, harganya? Aku pengen sih, beliin Arum motor, tapi ... ini semua uang Arum. Aku nggak kuasa ding," Mas Rahman nyengir. "Jangan gitu, Mas!" tegurku pada Mas Rahman. "Emang Mas mau ngambil motornya Mas Bambang?" tanyaku memastikan. "Kamu ini, Man. Kamu sudah berkorban menjadi suami terbaik untuk Arum anakku, sampai kurus kering begitu. Mulai sekarang makan yang banyak, kerjanya jangan ngoyo, beli ladang karet yang banyak," ucap Bapakku. Mas Rahman mesem ngguyu. "Nggih Pak." Bapakku mengusap lembut bahu menantu paling ragilnya. Ya, Mas Rahman memang menantu laki-laki
Jangan lupa Krisan ya .... "Aku nggak ada tabungan lah, Kang. Tau sendiri aku cuma buruh, Kang." Mas Rahman berbohong. Tentu saja ku bilang suamiku berbohong. Tabungan kami di Bank jumlahnya fantastis. Tapi, biarlah. Lebih baik Kang Handoyo nggak usah tau. Saudara licik seperti mereka, pasti hanya akan memanfaatkan kami. "Masa, nggak punya, Man?" Atau kamu pinjemin sama kakaknya Arum lah, tolong, Man. Aku butuh sekitar tiga puluh lima juta, Man, untuk bayar denda. Belum lagi untuk biaya rumah sakit Tio sama Meri. Mumet aku, Man. Tolong pinjemin sama kakaknya Arum, ya!" Suara Kang Handoyo menghiba lagi. Aku ingin tertawa mendengar derita kakak iparku. Wajah Mas Rahman datar-datar saja. Sepertinya Mas Rahman juga nggak tertarik membantu kesulitan kakaknya itu. "Aku ini sodaramu juga 'kan, Man. Tolong aku, lah!" pinta Kang Handoyo lagi. Huh! Giliran susah ngaku saudara. Giliran senang lupa segalanya. Itu yang dibilang saudara? Hape kurebut paksa lalu ku nonaktifkan. Gemas sekali ak
Hem, ternyata Mbak Anisa peka sama aku. Bahkan meskipun ku sembunyikan kegundahan hati ini, dia tetap tau. Aku mencuci daun singkong rebus ini. "Kangen Yazid, Mbak. Dua hari kemarin nggak ke makamnya." Aku menunduk. Mbak Anisa mengusap bahuku. "Sabar, Rum, sabar! Nanti, kunjungilah makam anakmu setelah kamu pulang, ya!" Mbak Anisa menghiburku. Saat sedang bercakap-cakap, hape jadul Mas Rahman yang sedang di cas diatas kulkas. Hem, siapa yang nelpon sepagi ini? "Mbak, aku angkat telpon dulu," ucapku pada Mbak Anisa. Dia mengangguk. Kuhampiri ponsel yang berteriak nyaring ini. Lho, Kang Handoyo? Sepagi ini nelpon ada apa lagi sih? "Hallo, assalamualaikum, Kang. Ada apa?" Rasanya malas sekali bicara sama orang ini. "Rum, mana Rahman?" Ya ampun, bukannya jawab salam dulu, malah langsung nanya. "Mas Rahman lagi bantuin bapak bersihin kandang sapi. Kenapa Kang?" Ih, asli malas banget ngobrol sama orang ini. "Rum, kamu sama Rahman hari ini tolong bisa nggak bisa, pulang. Aku butuh
Aku terpaksa menjawab telepon Kang Handoyo. Suara hape ini ku lospek. "Assalamualaikum, Kang! Ada apa lagi?" Ku putar bola mata malas saat menjawab telepon. "Rum, pokoknya, bisa nggak bisa hari ini kalian harus pulang. Aku mumet disini!" Suara Kang Handoyo memaksa. Alisku bertaut. Ku tatap Mas Rahman, ia nampak tak suka. "Lho, ya nggak bisa gitu lah, Kang. Kalo urusan disini belum selesai gimana? Lagian emangnya gampang nyari trepel." Suaraku sengaja ku buat lembut. Mas Rahman berpaling menatap kejalan. Wajahnya nampak bete. "Aku nggak mau tau, Rum. Kalian harus pulang, bantu aku mengurus Meri sama Tio di rumah sakit. Ingat, Rum, Rahman itu adik kandungku, aku ini saudaranya, kamu nggak berhak melarang Rahman untuk membantu kakaknya." Lho, enak saja Kang Handoyo bilang begitu. Dasar nggak tau diri! Giliran susah aja nganggap saudara. Pas seneng ngilang kaya jin. "Siapa yang ngelarang Mas Rahman untuk bantuin sampean? Selama ini setiap sampean susah, Mas Rahman selalu ada buat
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
"Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam
Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S
Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "