"Mbak Arum, Yazid bawa saja ke rumah sakit, ya! Saya takut dia kenapa-kenapa. Sudah saya beri obat, panasnya nggak reda-reda."
Bagai disambar petir. Kabar dari bidan Esti membuatku bingung. Yazid anak ku yang masih berumur 18 bulan sedang demam tinggi.
"Dari kemarin panasnya nggak turun, ke dokter spesialis anak aja, sekalian cek lab, biar tau Yazid sakit apa," ucap Bidan Esti lagi.
Lahaulawalaquwata illabillah ... duniaku rasanya runtuh mendengar ucapan Bu Bidan.
"Cepat bawa ke rumah sakit sekarang, saya buatkan surat rujukan," ucap Bu bidan Esti lagi.
Kulihat Bu Esti menulis pada selembar kertas lalu dimasukkan ke amplop.
"Tunjukan surat ini ke IGD biar Yazid cepat ditangani. Cepat, Man bawa anakmu segera!" Bu Esti menyerahkan amplop pada suamiku.
Aku menggendong tubuh mungil putra sulung ku yang demam tinggi, Bidan Esti membantuku, Yazid masih merintih namun matanya terpejam. Keningnya ditempel kompres penurun panas.
"Sabar ya, Nang! Kita cari obat." Air mataku mulai menetes.
"Wes cepet bawa anakmu segera!" titah Bu Esti lagi. "Nggak usah bayar disini."
Setelah berucap terimakasih, aku dan suami meninggalkan rumah praktek bidan Esti.
Mas Rahman mengengkol motor butut kami lalu aku membonceng dibelakang, Yazid kudekap erat.
"Dik, kita kerumah Kang Handoyo, dulu. Mas mau pinjem motor sekalian pinjam uang sama Kang Handoyo." Motor melaju kencang.
Aku tak bergeming, pikiranku tertuju pada Yazid. Motor masuk halaman rumah Kang Handoyo. Rumah yang bagus dan indah.
Mas Rahman turun tergesa dari motor, langsung mengetuk pintu rumah kakaknya.
"Kang, Kang Handoyo! Kang! Kang Handoyo!"
Aku berjalan menuju teras sambil mendekap Yazid ku yang merintih lirih.
"Heh! Kalau bertamu itu yang sopan! Dasar madesu!" Mbak Meri membuka pintu lalu marah-marah.
Madesu adalah sebutan bagi keluarga ku yang artinya masa depan suram. Kata itu selalu muncul dari mulut Mbak Meri -istri Kang Handoyo.
"Ngapain pagi-pagi kesini? Bukanya kerja, malah bawa anak istri kesini. Kalau mau minta makan jangan disini. Ini bukan panti sosial!" hardik Mbak Meri. Tangannya memegang paha ayam goreng, mulutnya masih mengunyah.
"Kang Handoyo, ada, Mbak?" Mas Rahman bicara gugup.
"Nggak ada! Kakangmu itu rajin kerja, jam segini masih diladanglah nggak kaya kamu, pemalas!" cibir Mbak Meri menatap Mas Rahman dan aku jijik.
Memang ini masih pagi jika bertamu, tapi bagaimana lagi, ini darurat.
"Maaf, Mbak, saya kesini mau minjem motor sekalian minjem uang. Saya mau bawa Yazid ke rumah sakit Mbak," ucap suamiku menghiba.
"Apa?! Mau pinjem motor sama uang?!" Mata Mbak Meri Mendelik. "Heh, orang miskin jangan sok sok an berobat ke rumah sakit!"
"Tapi, Mbak, kata Bu bidan Yazid harus dibawa ke rumah sakit, Yazid butuh penanganan dokter, Mbak," ucap Mas Rahman lagi.
"Halah, alasan! Orang miskin tuh tau diri, berobat semampunya aja!" bentak Mbak Meri.
"Tolong, Mbak, pinjami saya uang Lima ratus ribu aja, Mbak. Saya janji akan saya kembalikan secepatnya," ucap Mas Rahman lagi.
"Heh! Kau pikir aku dan kakakmu itu ngumpulin uang mudah, hah?! Seenaknya saja pinjam sesukamu. Disini bukan bank, tau!" Mbak Meri mencak-mencak. "Aku muak sama orang miskin seperti mu bisanya cuma nyusahin orang aja. Asal kau tau, uang tak kenal saudara. Nggak ada sesen pun uang untukmu!" Suara Mbak Meri melengking.
"Kalau begitu, saya minjam motor saja, Mbak," Mas Rahman masih berusaha meminta bantuan kakak iparnya.
"Enak saja! Nggak bisa, motor itu mau ku bawa arisan. Nggak akan kupinjamkan padamu, nanti kalau rusak mau kau ganti pake apa, hah!? Kau jual tempe istrimu juga nggak akan mampu membayar gati ruginya!"
Astaghfirullah halazim! Hatiku seperti diremas sakit sekali, telingaku panas mendengar hinaan dari Mbak Meri.
"Pergi kalian dari sini! Jangan harap aku mau bantu kalian. Dasar orang miskin! Kau dan aku beda kasta!" ucap Mbak Meri sombong.
Dadaku berdenyut nyeri, mentang-mentang hidupnya kecukupan, Mbak Meri bebas menghinaku begitu.
"Pergi kamu, pergi!" Mbak Meri mendorong tubuh suamiku, membuatnya terhuyung.
Aku segera menolong suamiku, mata Mas Rahman berembun. Ku dekap tubuh mungil Yazid yang kian lemas, mata mungil ini terpejam. Aku dan Mas Rahman melangkah pergi membawa luka dari sini.
Saudara yang kami anggap bisa membantu, malah sebaliknya. Motor berbunyi lagi lalu melaju meninggalkan rumah ini.
"Mas, kita ke rumah Bu Aisyah saja, sekarang jadwal ngocok arisan bulanan, kali aja bisa kita minta untuk biaya Yazid kerumah sakit, Mas. Aku kemarin sudah setor, kok," tawar ku pada Mas Rahman. Air mata ini meluncur tak tertahan.
"Ya wes kita kesana saja." Mas Rahman memacu motor menuju rumah Bu Aisyah.
Sampai sana aku segera turun. Benar ibu-ibu berkumpul hendak mengocok arisan.
"Bu, Bu Aisyah! Tolong saya!" tangisku pecah saat datang kerumah Bu Aisyah.
Mereka menghampiriku, "Arum, ada apa?" Bu Aisyah terkejut melihatku.
"Saya pinjam motor sekaligus minta tolong pinjem uang arisan, Yazid sakit, dia harus dibawa ke rumah sakit," ucapku menangis.
Para ibu-ibu mendekat lalu mengecek suhu badan putraku yang masih tinggi.
"Ya ampun, panas banget." Mbak Dini wajahnya cemas.
"Ya sudah, saya ambilkan surat motor dulu, Man, helm di samping rumah. Itu motornya," ucap Bu Aisyah setengah berlari masuk rumah.
Aku menunggu sambil menjawab beberapa pertanyaan ibu-ibu yang ada disini.
"Bu-ibu, arisan bulan ini yang nembus Mbak Arum, kasihan dia. Biar uangnya untuk berobat Yazid," ucap Bu Aisyah wanita paruh baya berjilbab besar ini memberikan kunci motor dan surat kepada suamiku.
"Dini, berikan uang arisan sama Mbak Arum, biar mereka segera ke rumah sakit!" titah Bu Aisyah.
Mbak Dini menghampiriku, lalu memberikan uang arisan. "Mbak Arum, ini baru ngumpul dua juta, yang sejuta belum kumpul." Mbak Dini menyerahkan uang kepadaku.
"Nggak papalah, makasih ya," ucapku pada mereka.
"Rum, bawa segera Yazid ke rumah sakit, kalau ada apa-apa kabari saya segera," pesan Bu Aisyah.
"Iya, Bu, makasih atas pengertiannya," ku seka air mata ini.
Aku dan Mas Rahman pergi ke rumah sakit memakai motor Bu Aisyah. Sepanjang perjalanan, ku dekap putraku sambil terus berdo'a dan berharap semoga Yazid baik-baik saja.
"Ya Allah, lindungilah putraku, selamatkan dia ya Allah," lirihku
Sambil berpegangan erat pada suamiku motor melaju membawa kami ke rumah sakit. Hati ini sakit mengingat hinaan dari kakak ipar bermulut jahat tadi.
Yazid ku masih saja demam. Ya Allah, tolong kami ya Allah, tolong putraku.
Air mataku luruh beriringan dengan doa-doa yang ku rapalkan untuk putraku.
Saat susah begini, saudara malah menghina kami. Setidaknya jika tidak mau membantu jangan hina keadaan kami. Tangisku mengiringi nestapa kehidupan yang tengah kulalui.
Mbak Meri, tak 'kan kulupakan semua penghinaanmu terhadap ku. Andai saja kau merasakan sebentar saja jadi aku, apakah kau sanggup?
Kami sampai di rumah sakit langsung menuju IGD, Yazid diperiksa dokter. "Demamnya tinggi sekali, Bu. Dirawat saja, ya!" ucap dokter di IGD. "Baik, Dok, lakukan yang terbaik untuk anak saya," ucapku pasrah. Yazidku lemas, matanya terpejam, apakah dia pingsan? Ya Allah, kenapa dengan putraku? Kulihat beberapa perawat mengerubungi tubuh mungil Yazid. Berbagai alat dipasang, Yazid tak mengeluarkan suara. Yazidku ada apa denganmu, Nak? "Bu, anak ibu kritis, harus dibawa keruangan ICU," terang Pak dokter. "Untuk kejelasan penyakit, nunggu hasil laboratorium," imbuh sang perawat. Duniaku runtuh mendengar penjelasan dokter. Kudekati tubuh mungil Yazid yang kini tak memakai baju, hanya popok bayi yang dipakai, berbagai alat menempel ditubuhnya. "Ya Allah, Nang, Yazid yang kuat, ya! Mama sama Bapak disini, Nang!" Tangisku luruh melihat anakku. "Dik, Yazid gimana? Ini tak beliin susu untuk Yazid." Mas Rahman menghampiriku membawakan sekotak susu formula untuk Yazid. "Mas, Tole kritis, M
"Mas, sampean apa saya yang nemui dokter?" tanyaku pada Mas Rahman. "Aku aja, Dik," jawabnya. Lalu bangkit menuju ruangan dokter. Hatiku deg degan bukan main. Semoga tak ada yang buruk dengan putraku. "Rum, nanti ibu kabarkan sama jama'ah pengajian, biar mereka mendoakan Yazid. Nanti malam, acara yasinan di rumah Bu Ani," ucap Bu Aisyah. Tanganku digenggam erat. Bu Aisyah memang sangat baik, terlebih terhadap keluargaku. Aku beruntung mengenal beliau. Pintu ruangan Dokter terbuka, aku menoleh spontan. Mas Rahman keluar dengan wajah sedih. Ada apa ini? "Mas, Yazid baik-baik saja 'kan?" Aku berdiri menghampiri suamiku. "Sabar, Dik." Mas Rahman memelukku. Aku merasa ada yang nggak beres Mas Rahman mengurai pelukannya. "Dik, Yazid kena radang selaput otak, kata dokter harus dirujuk ke rumah sakit umum daerah," lirih suamiku. "Pihak rumah sakit masih ngirim surat rujukan online keberapa rumah sakit." Mas Rahman lesu. Hancur hatiku mendengar kabar ini. Hidupku seakan tak bermakna m
Ambulan meraung memecah kesunyian malam. Hatiku semakin lara mendengarnya. Jasad Yazidku di gendongan Simbah Kakungnya. Aku menangis sepanjang jalan dalam dekapan suamiku. Hati ini menyesal kehilangan putraku. Mobil memasuki halaman rumah papan mungilku, aku disambut oleh tetangga. Aku tak kuasa berdiri. Tubuhku diangkat oleh kakakku lalu diletakkan di kamarku. Kamar ini penuh kenangan Yazid. Guling ini, bantal ini, selimut ini, semua ada Yazid. Aku menagis menumpahkan semua yang ada didada ini. "Sabar, Mbak Arum, sabar! Ikhlaskan anakmu, ikhlaskan." Mak Odah menasihatiku. Bu Aisyah muncul dipintu. Beliau langsung masuk memelukku. Aku menagis mengadu kehilangan Yazid. "Rum, kematian itu pasti. Anakmu telah menepati janjinya kepada Allah, dia kembali pada Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ikhlaskan, Rum, ikhlaskan. Jangan kau tangisi kepergiannya, kasihan anakmu. Sekarang minumlah dulu, biar kamu tenang." Bu Aisyah memberiku air minum. Alhamdulillah aku lumayan tenang set
Mata Mbak Meri mendadak tak memancarkan kesombongannya itu. "Kenapa diam, Mbak? Masih mau berkoar membiayai uang rumah sakit anakku, kalau memang Mbak yang bayar, taulah habis berapa," ucapku sengaja menyudutkan Mbak Meri. Mbak Meri gelagapan menanggapi ucapanku, jelas saja, orang dia nggak bantu sama sekali kok. "Kamu ini, ngomong apa sih?" Mbak Meri mencebik bibirnya tak bisa menjawab ucapanku. "Sudahlah, Rum. Kamu masuk rumah saja. Nggak usah diladeni si Meri," ucap Mak Odah mengajakku masuk rumah. "Bu Maryam, tolong belanjaan dari hamba Allah itu diurus, biarkan yang di plastik merah nggak usah dibawa masuk biar aja disitu." Aku melangkah gontai masuk rumah. "Hei, Rum! Dasar songong! Madesu nggak tau diri! Dibantu malah begini. Nggak tau terimakasih!" Mbak Meri mencak-mencak. Aku membalik badan. "Aku memang miskin, tapi bukan berarti kau bebas menghinaku. Pergi kau dari sini sekarang!" Ku usir sekalian Mbak Meri. Dada ini masih nyeri akibat hinaannya kemarin. "Lihat saja
"Entahlah, Kang. Nanti malam mau tahlilan berdua dirumah. Permisi, Kang, kami mau pulang." Mas Rahman memutar gas motor lalu kami pergi dari sini. "Mas, bangkai yang disembunyikan ketahuan juga. Kang Handoyo sudah tau semuanya dari mulut istrinya sendiri." Aku ngobrol sama Mas Rahman sepanjang perjalanan pulang. "Allah Maha Adi, Dik. Kebenaran pasti terungkap. Oh iya, ba'da Zuhur, Mas mau cari rumput buat pakan kambing, nanti Mas pulang kamu sudah siap lho, kita kemakam Yazid, ya!" ucap Mas Rahman. "Iya, Mas." Kupeluk tubuh kurus suamiku dari belakang. Motor butut ini melaju membawa kami pulang kerumah. ______ Hari mulai sore, aku selesai menyapu halaman rumah, sebuah motor berbelok kehalaman rumahku. Oh, rupanya Mbak Dini. "Mbak Rum, rajin lho!" puji Mbak Dini turun dari motor. Ia tersenyum wanita dengan potongan rambut gaya polwan ini awet muda. "Ah, Mbak Dini. Ini sampahnya banyak. Baru bisa nyapu sekarang." Aku masih sedih. "Yang sabar, Mbak Arum. Yang ikhlas. Oh iya, saya
Ku parkir motor di tempat biasa, aku segera melangkah melepas sendal lalu masuk area makam. "Nang, Mama datang, Le. Mama kesini, Mama kangen Yazid. Yazid datang ke mimpi Mama, ya!" ucapku pada pusara anakku. Segera kubuka buku Yasin, lalu kubaca tahlil berlanjut surat Yasin. "Fasubhanalladzi biyadihi malakutukulisyai i wailaihi turja'un. Shodaqoullohuladzim." Yasin selesai kubaca. "Nang, Mama pulang dulu, ya!" pamitku pada Yazid. Kucium nisan makam putraku. Perlahan tapi pasti langkah kaki ini menjauh dari area makam. Rinduku terurai usai membacakan tahlil dan surat Yasin diatas makam Yazid. Ku pacu lagi motor butut ini. Ku ambil jalan pintas malas lewat depan rumah kakak iparku yang sombong itu. Sampai rumah, Mas Rahman belum pulang. Aku segera mencuci kaki dan tanganku di kamar mandi. "Rum, Arum!" Suara Mak Odah memanggilku. "Aku di sumur, Mak!" teriaku pada Mak Odah. Aku keluar dari kamar mandi, lalu menemui Mak Odah. "Rum, aku goreng ikan, kok inget Yazid, to. Ini buat
"Sapiku hu hu hu! Sapiku!" ratapan tangis dari mulut Mbak Meri terus saja keluar. Mak Odah datang langsung menghampiri Mbak Meri. "Mer! Kamu ini, kemarin keponakan ninggal kamu haha hehe, cengengesan! Sekarang sapi mati ditangisi!" tegur Mak Odah kepada Mbak Meri. Wanita tua ini memang suka ceplas-ceplos kalo ngomong. Mbak Meri nggak melawan, tumben! Biasanya senggol dikit langsung sikat. "Mak Odah nggak ngerti rasanya kehilangan. Sakitnya tuh disini, Mak, hu hu hu," ratapan Mbak Meri masih berlanjut. Aku pengen ketawa, takut dosa. Masa iya tertawa diatas penderitaan kakak ipar. Aku tak sekejam itu, tentu. Aku masih punya perasaan, dan insyaallah bisa menjaga perasaan. "Gimana, Kang, jadi nelpon blantik sapi enggak?" Mas Rahman bertanya kepada Kang Handoyo. "Iyalah, Man. Telpon aja. Tak ambil hape dulu." Kang Handoyo lemas. Laki-laki bertelanjang dada hanya memakai kain sarung itu, nampak syok. Sedang Mbak Meri masih duduk sambil menangis memakai baju kebanggaan para emak Mbak
"Kang jangan main tangan sama istri, nanti tuman!" tegur Mas Rahman. "Kamu nggak usah sok belain aku, dasar madesu!" Mbak Meri malah mencibir Mas Rahman. Kesal? Jangan ditanya. Aku kesal sampe ke ubun-ubun. "Mas, kita pulang aja, yuk," ajakku kepada Mas Rahman. Mas Rahman melirikku sebentar, lalu menatap kakaknya. "Pulang sana! Kelamaan disini nanti nularin virus miskin!" hardik Mbak Meri. Aku nggak tahan di hina, mending aku pulang duluan hatiku saja masih sakit. Aku nggak mau sakit lagi. "Aku duluan pulang Mas, Kang. Perutku mendadak mules denger burung beo ngoceh!" Aku langsung pergi. "Heh madesu! Enak aja ngatain aku burung beo! Dasar kamseupay!" Mbak Meri meneriaki aku. Terserah mulutmu Mbak. Aku mau pulang. Terus, belanja bumbu untuk ngolah daging sapi rejeki malam ini. Sampai rumah, aku segera kebelakang, menuju motor lalu kupacu pergi ke warung. "Mas, aku kewarung dulu beli bumbu, ya!" ucapku saat berpapasan dengan suami dijalan. "Ati-ati, Dik." Motor melaju hingg
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
"Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam
Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S
Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "