Semua Bab Katamu Uang Tak Kenal Saudara : Bab 81 - Bab 90

139 Bab

Saya sudah hancur

Aku tersenyum, sepertinya es cincau seger nih. "Mandi dulu, deh. Bau! Nanti selesai mandi, mau es cincaunya!" Aku segera melepas baju seragam kerja, lalu segera bebersih. Segar sekali setelah mandi. Rasa capek dan lelah berangsur hilang. Usai berganti baju, aku menuju kedapur. "Mbak, itu es cincaunya udah siap, kalo kurang manis, tambahin sirup gula sendiri," ucap Tiara, ia masih menyusui si kecil. "Oke, makasih, ya, Nduk!" Semenjak Tiara dan ibu tinggal disini, aku merasa nggak kesepian. Kami semua akur, jadi ya damai dan tentram. Aku menikmati es cincau buatan adik iparku. Tiara memang pandai mengolah daun cincau menjadi jajanan seperti ini. Sambil istirahat siang, kuteguk segarnya es ini. "Mbak! Mbak, Arum!" Tiba-tiba Tiara masuk ke dapur tergopoh-gopoh. Aku yang sedang meneguk es cincau hampir tersedak. Kulihat wajah Tiara panik. Ada apa ini? "Mbak, maaf. Duh, itu, Mbak, didepan, anu!" Tiara nampak kikuk dan bingung. Aku bingung menghadapi sikap Tiara, "Ada apa, Nduk? Sant
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

Titik rendah Meri

Rasa penasaran ini, mendorongku untuk semakin mendekat. Nampak jelas Mbak Meri menangis ngesot dilantai teras rumahnya, seperti anak kecil yang mainannya direbut. "Pak, saya hancur sehancur hancurnya, huhuhu ...," ratap Mbak Meri. Aku segera mendekati kakak iparku. Segalak apapun dia kepadaku, melihat dia susah, hati ini nggak tega. Aku berlutut disamping tubuh Mbak Meri. "Mbak," lirihku, berusaha ingin menenangkannya. Disini, hanya ada bapak-bapak entah siapa mereka. Bahkan Bude Sri yang notabenenya cs kentel Mbak Meri, menghilang usai anaknya menipu kemarin. "Ngapain kamu disini?!" Mbak Meri malah mendorongku membuat tubuh ini limbung untung ada Mak Odah yang sigap menopang ku. "Puas kamu, Rum! Kalo kamu kesini cuma untuk ngetawain aku ... pulang sana!" Mbak Meri mengusirku. "Aku sudah hancur! Jangan kau tambah dengan tatapan ngeyek itu!" lanjutnya. Nah, siapa pula yang berniat ngeyek alias menghina dia? Aku kesini ingin membantu, kalau aku bisa. Mbak Meri Mbak Meri, kenapa si
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

Tamu saat hujan deras

Bayangan rumah Mbak Meri disegel sebenarnya mulai muncul dibenak ku sejak tadi. Tapi, semua itu kutepis. Aku masih berharap rumah itu nggak disita hari ini. Kalau sampai disita, alamat aku yang mumet. Aku segera masuk rumah, mengunci pintu dan menyalakan lampu. Kamar Hadi dan Tiara sedikit terbuka pintunya, aku masuk, sedikit melihat adik ipar dan anaknya istirahat. Kulihat, jendela masih terbuka, segera kututup pelan-pelan, lalu aku keluar. Saat menutup pintu, suara halilintar mengagetkanku. Bahkan membuat anak Hadi menangis. "Ya Allah! Tiara, anakmu didekap! Hujannya deres geledeknya juga besar!" seruku spontan pada Tiara. "Iya, Mbak. Geludugnya kok keras banget!" Tiara berucap sambil menenangkan putranya. Tio juga mematung di ruang tengah sambil mendekap kain sarung. "Kamu kenapa, Yo?" Alisku bertaut. "Itu, geledeknya, keras banget. Aku mau sholat, kaget, Bulik!" serunya. Aku sedikit senyum. Ibu mertua juga keluar kamar. "Walah, hujannya deres benget! Jemuran belum diangkat
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

Melaratnya Meri

Aku urung membuka pintu. Rasa kesal tadi siang masih singgah dihati ini. Kutarik nafas dalam, berusaha agar bisa tenang. Kupastikan diriku benar-benar siap menghadapi kakak iparku itu. "Rum, kenapa?" Ibu menepuk bahuku membuatku berjingkat. Kulihat, ibu, Hadi, Tiara dan suamiku telah berdiri di belakangku. Kupandangi wajah mereka satu-persatu. "Bu, haruskah kubuka pintu rumah ini?" Aku setengah berbisik. "Ibu tau, hatimu baik. Semua terserah padamu saja." Ibu mengusap bahuku lagi. Kutatap suamiku, dia mengangguk. Ah, sepertinya mau nggak mau, pintu ini harus kubuka. "Bismillah," lirihku saat membuka pintu. Mbak Meri berbalik perlahan menatapku. Wajahnya sendu dibalut kesedihan tiada tara. Badannya menggigil menahan dingin karena bajunya basah kuyup. "Astaghfirullah halazim! Mbak Meri, masuk, Mbak!" seruku. Hati ini mendadak iba melihat keadaanya yang memprihatinkan. "Enggak, aku numpang neduh aja disini," lirih Mbak Meri. "Jangan gitu, Mbak! Pintu rumahku terbuka untukmu. Ay
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

Kembalinya Handoyo

Aku mengangguk sambil duduk di ranjang peraduan. "Tadi emang ada mobil dan bapak-bapak kaya kemaren ke rumah Kakangmu. Aku sempet kesana, sih. Tapi, diusir sama Mbak Meri. Eh, sekarang malah kesini orangnya." Aku berkisah kejadian tadi siang. Kami terdiam bermain dengan opini masing-masing. Aku masih agak syok dengan kedatangan Mbak Meri kesini. Apalagi setelah dia berucap rumahnya disita. Begitu singkatnya waktu mengubah nasib seseorang dari kaya-raya menjadi rakyat jelata. Miris memang. "Dik, gimana kalo kita tebus aja rumah Kakang yang disita Bank itu," usul suamiku. Mataku membelalak tak percaya. "Maksudnya, Mas?" "Ya, kita tebus rumah itu, Dik. Tapi, yaa tentu saja atas persetujuan Mbak Meri. Biar nggak ada masalah dikemudian hari," jelasnya mantap. Ah, kayaknya pasti akan ada masalah dikemudian hari kalau rumah itu ditebus. "Ah, enggaklah, Mas. Biarin aja. Aku males buntutnya," tolakku halus. "Tau 'kan, kakak ipar kita itu sifatnya gimana?" Mataku beradu dengan mata Mas Ra
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

rumor tak sedap

Kedekatan aku dan Mbak Meri kini menjadi perbincangan hangat dikalangan ibu-ibu lingkungan tempat tinggalku. Kondisi keluarga kami juga kini jauh diatas Mbak Meri dan Kang Handoyo. "Eh, Mbak Arum, belanja, Mbak?" Mbak Lika menyapaku saat kami bertemu di warung Mbak Siti. "Iya, Mbak Lika, saya mau belanja." Aku memilih sayuran. "Eh, dengar-dengar, Mbak Arum yang nebus rumah Mbak Meri, ya? Wah, duit Mbak Arum banyak juga, ya! Setelah si Yazid meninggal, kok kayaknya sampean itu jadi kaya mendadak, apa jangan-jangan, sampean beneran pakai pesugihan, ya? Yazid di tumbalkan untuk kekayaan kalian!" tuduh Mbak Lika tanpa sensor. Aku mendelik seketika. "Astaghfirullah halazim! Mbak Lika, jangan asal ngomong! Sampean itu kalo nggak tau, mending diem!" tegurku kesal.Mbak Lika menatapku sinis. "Lho, kok, marah?! Aku 'kan cuma nebak aja. Lagian ya, emang kenyataan kok, setelah Yazid mati, kamu mendadak jadi OKB. Gimana kita nggak curiga, coba?" Sinis Mbak Lika. Beberapa ibu-ibu yang sedang
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

Hoaks yang menyebar

Hari mulai beranjak sore, Mak Odah permisi pulang. Mas Rahman juga barusaja pulang membawa setumpuk rumput diatas motor bututnya. Segera kusiapkan kopi untuk suamiku. Aku baru ingat, sore ini belum ada lauk untuk kami makan, kejadian di warung tadi membuatku gagal berbelanja untuk dimasak sore ini dan besok pagi. Kuhampiri suamiku di kandang kambing, "Mas, aku mau ke warung dulu, itu kopinya sudah siap di atas meja," pamitku pada Mas Rahman. "Oke, makasih, Dik!" Suamiku tersenyum. Segera saja kulangkahkan kaki menuju motor matic yang biasa kupakai. Bismillah, aku menuju warung. Aku nggak boleh sembunyi bahkan takut dengan tuduhan Mbak Lika dan orang-orang disini, toh aku nggak melakukan apa yang mereka tuduhkan itu. Akhirnya aku sampai diwarung Mbak Siti. "Mbak Siti!" Kupanggil si pemilik warung. "Eh, Mbak Arum, mau belanja?" Dia tersenyum ramah. "Iya, Mbak. Maaf, tadi saya nggak jadi belanja. Saya mending pulang daripada ribut," ungkapku menyesal. "Halah, udah, jangan dideng
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

Lika yang menyebalkan

Mulai sekarang, aku harus menindak tegas siapapun yang menganggu hidupku, tak peduli siapa mereka. Cukup sudah mereka merendahkan ku selama ini. Mataku fokus kembali menatap layar televisi. Kita lihat saja nanti, jika rumor ini terus-terusan viral, aku akan segera bertindak. "Man, istrimu sekarang mulai punya taring. Songong!" ceplos Kang Handoyo. "Oh, jelas! Harus malahan! Selama ini, aku selalu diam, dihina, direndahkan, karena memang kami miskin, tapi ... kalo sampai difitnah, oh, maaf, aku nggak akan ngalah, camkan itu!" tegasku mantap. "Dik, sudah, sebaiknya, kamu istirahat kekamar aja, ya!" Mas Rahman menatap ku penuh harap. Hem, sepertinya suamiku tak ingin aku ribut dengan Kakangnya. Oke, baiklah, aku ngalah. Kumatikan tivi lalu gegas kekamar, lebih baik tidur. Masalah yang satu baru saja kelar, eh, muncul yang baru. Kapan sih hidupku damai? Ada saja yang sirik sama kehidupanku. ________ Hari ini seperti biasa aku membantu suamiku di kebun. "Dik, kamu serius mau bawa k
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

Ulah trio racun

Udah capek, panas, laper, malah dipancing emosiku. Kudorong kasar Mbak Lika sambil ku gertak dia. Mengkeret? Yah, wajah Mbak Lika kelihatan mengkeret. "Ayo, sini, kalo brani! Kita selesaikan masalahnya diluar!" Kuseret kasar Mbak Lika. "Aduh, tolong ... aku dianiaya!" Mbak Lika sok sedih. Dia berakting seolah aku menghajar dirinya. "aaauuu, sakit!" teriak Mbak Lika sok dramatis. Uuuggghhh, eneg banget aku sama kelakuan Lika ini. "Eh, eh, Mbak Arum, sabar, Mbak, sabar!" Mbak Siti berusaha melerai dan menenangkan ku. Tanganku ditarik olehnya. "Biarin, Mbak ... orang nggak tau adab kaya Lika ini, wajib di beri pelajaran!" Ku tuding wajah menyebalkan Lika ini. "Eh, Rum ... kamu ini anarkis banget, sih! Apa mentang-mentang udah kaya, seenaknya nganiaya orang!" seru Mbak Lika sok dramatis. "Kalo kamu nggak mancing emosi, aku nggak akan begini!" sentakku. Warung jadi ramai gara-gara aku ribut sama Mbak Lika. Mas Rahman masuk ke warung, lalu menenangkan ku. "Dek, uwes, Dek ... isin,
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

Sabar dek

Astaghfirullah halazim, mulut Bude Sri, pedas banget melebihi merica dan cabai yang disatukan. "Omong kosong! Fitnah macam apa yang kalian buat ini?!" Aku berontak. "Tuduhan keji kalian ini nggak beradab!" Aku berkata penuh emosi. "Kalian tau, menuduh tanpa bukti sama saja fitnah, dan itu lebih kejam dari pembunuhan!" teriakku penuh emosi. "Sabar, Arum, sabar!" Bu Aisyah menenangkan ku. "Pergi kau dari sini! Aku nggak mau kau disini, dasar penganut ilmu hitam!" Aku menoleh sumber suara itu. Oh, rupanya dari kerabat si musibah, sepertinya dia juga bukan orang sini. "Rum, sebaiknya pulanglah, situasi disini nggak baik," bisik Bu Aisyah. Mak Odah juga mendekatiku, banyak pasangan mata melihat kearahku aneh. Fitnah gila yang ditujukan padaku sangat kejam. "Rum, ayo pulang aja, aku nggak tega liat kamu diginiin. Yang penting kita udah layat," Mak Odah menarik tanganku. "Pergi, sana! Orang sepertimu, tak pantas disini, dasar munafik!" Itu suara Bude Sri. Aku menoleh, kulihat Mbak Me
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
7891011
...
14
DMCA.com Protection Status