Home / Rumah Tangga / Katamu Uang Tak Kenal Saudara / Chapter 101 - Chapter 110

All Chapters of Katamu Uang Tak Kenal Saudara : Chapter 101 - Chapter 110

139 Chapters

Dia bukan siapa-siapa ku

Aku masih saja nggak habis pikir, apa alasan mereka membenciku, hingga tega berbuat begini padaku. Aku nggak pernah mengusik kehidupan mereka, mengganggu, bahkan mendekati bayangan mereka saja aku nggak pernah, tapi mengapa mereka sekejam ini kepadaku? Aku masih tergugu dikamar ini ditemani Bu Aisyah. "Ini minumnya, Bu." Mak Odah masuk menyodorkan segelas air minum. "Rum, minumlah dulu, biar lebih tenang!" Bu Aisyah memintaku minum. "Bismillah, Rum!" Kembali Bu Aisyah membimbingku. Bismillahirrahmanirrahim, kuteguk sedikit demi sedikit air minum ini, tenggorokan rasanya seperti tercekat sesuatu yang membuatku susah menelan. Rasa sedih, kecewa, dan marah, membuatku begini. Ya Robbi, aku nggak tahu dengan rencana dan rahasia yang akan terjadi selanjutnya dalam hidupku, yang pasti, harapanku semoga saja aku diberi kekuatan dalam menghadapi semuanya. Tanpa kuasa-Mu aku bukan apa-apa di dunia ini. Aku masih sesegukan. "Rum, istirahatlah, tenangkan dirimu, ingat ... semua ujian kehidupa
last updateLast Updated : 2022-09-02
Read more

Lagi lagi apes

Perlahan aku bangkit dari jongkok ini, menarik baju suamiku agarvdia berhenti bersitegang dengan emak-emak bar-bar ini. Bau menyengat telur busuk dan tomat busuk membuatku semakin mual. "Mas, ayo pulang! Aku nggak tahan bau ini!" Kutarik baju suamiku. "Dasar Rai gedek! (Muka tembok) nggak seharusnya kalian disini! Cukup sudah masalah yang kalian buat, jangan ambil korban lagi!" Koar Mbak Lika. Ku tatap nanar Mbak Lika yang kini menertawakan kondisiku. Ya Allah, aku mohon, beri aku kesabaran dan kekuatan menjalani semua ini. Aku menuntut keadilan atas semua yang terjadi padaku. Perutku semakin mual. Mas Rahman berusaha mengeluarkan motor dari jalanan berlumpur. Lalu putar balik, nggak jadi berobat. "Pergi kau dasar tukang nyupang!" teriakan mereka memekakkan telinga. Warga lain menyaksikan aku dan suami di perlakukan begini, mulut mereka membisu. Tatapan mereka juga sukitbku artikan. Sepanjang perjalanan pulang aku mual, bau menyengat telur ini Masya Allah! Mas Rahman mempercep
last updateLast Updated : 2022-09-02
Read more

Teror Dari Meri

Perlahan aku dibimbing masuk kedalam rumah. Mataku menangkap sesosok yang kukenal. Mbak Eka. Oh rupanya dia yang memohon barusan. Mbak Eka langsung menujuku kemudian berlutut. "Mbak Arum, tolong ... tolong banget ... jangan denda suamiku, Mbak ... kami orang miskin, Mbak. Kami juga korban, Mbak!" Dia menghiba sambil berlutut. Kepalaku langsung nyut-nyutan melihat ini. "Mas, aku mau istirahat, dulu," lirihku pada suami. "Maaf, Mbak Eka ... Arum butuh istirahat." Mas Rahman segera membawaku kekamar. Merebahkan diri di pembaringan membuatku merasa sedikit lebih baik. Yang kubutuh sekarang hanyalah istirahat saja. Aku nggak mau diganggu dulu. Masalah demi masalah yang menimpaku hari ini sungguh cukup menguras energi dan kesabaranku. Entahlah ... ada apa lagi setelah semua ini terjadi. Malam harinya .... "... pembayaran denda bisa dimulai sekarang, memang sengaja begini, biar mereka punya efek jera. Untuk kejadian tadi siang, sudah ada yang urus. Ketiga orang yang masuk penjara, mala
last updateLast Updated : 2022-09-06
Read more

Awas Kau

pov meri "apa, mas?! kena denda, dan diancam masuk penjara? kok bisa, sih? emang adikmu itu buta, nggak bisa liat siapa kamu! harusnya kamu bebas dari masalah ini, bukanya kena denda segala!" aku emosi banget setelah suamiku pulang dan membawa kabar dia kena denda gara-gara masalah kemarin. niat hati pengen nyingkirin arum dan rahman yang sok kaya, malah kena sial, menyebalkan!" "liat aja, akan kubuat perhitungan sama mereka!" aku bangkit lantas menyambangi kediaman adik suamiku yang nggak tau diri itu. "keluar kau rahman! hadapi aku sekarang juga! kutantang dia biar keluar. emosiku memuncak, kuambil sebuah batu dan kulempar keras kearah jendela kaca rumah saudara lakn*t itu. aku puas banget melihat batu itu menerobos kaca rumah adik suamiku, rasakan kau! mereka memang harus diberi pelajaran karena sudah seenaknya aja main denda suamiku. "keluar kalian! hadapi aku kalo kalian punya nyali!" kembali kutantang mereka. aku berdiri berkacak pinggang, tak kuhiraukan orang-orang yang a
last updateLast Updated : 2022-09-06
Read more

Kasihan Tio

POV Arum Mobil meninggalkan rumah Mas Ari melajukan mobilnya secepat yang dia bisa. Perban dikening ini koyak akibat aku melindungi kepala sewaktu di gebuki oleh Mbak Meri. "Ri, ada kotak P3K di mobilmu?" Ibu perlahan melepas perban di kening ini. "Lukanya masih baru, jadi harus tetap di perban," sambung Ibu. "Mas, coba cari di dalam situ!" Mas Ari memerintah. Aku terpejam menahan nyeri di kening dan pusing di kepala. Punggungku rasanya sakit usai penyerangan Mbak Meri tadi. "Mas, pokoknya ... seret sekalian istri Handoyo itu ke penjara. Ini sudah masuk kategori penganiayaan. Aku nggak trima istriku digebuki!" Mas Rahman geram. Aku diam. Terserah merekalah, mau diapain orang-orang jahat itu. Hati ini rasanya udah dongkol bukan kepalang. Tubuhku tiba-tiba terhuyung kedepan saat Mas Ari mengerem mendadak. "Aduh!" pekik ku menahan sakit. "Kira-kira kalo ngerem!" protes Mas Bambang. Kebiasaan Mas Ari kalau nyetir mobil begini, bikin jantungan para penumpang. "Liat tuh ... didep
last updateLast Updated : 2022-09-08
Read more

Tukang ngadu

POV Arum Samar-samar kudengar suara memanggil namaku. Bau khas semriwing merangsek ke indera penciuman ini, rasa hangat cenderung panas kurasakan di bagian telapak kaki. Udara sejuk seperti di tiupkan tepat di kedua lubang hidungku. "Rum, Arum." Semakin jelas suara itu memanggil. Mata ini berat sekali untuk dibuka, Ya Robbi, ada apa denganku? Lambat laun, mata ini perlahan terbuka. "Alhamdulillah ... sadar akhirnya," Terdengar ibuku berucap syukur. "Bu ... kepalaku pusing," lirihku. "Iya, kamu tadi pingsan, Nduk." Ibu membelai wajahku. "Dek, kamu nggak papa, 'kan? Jangan bikin Mas khawatir, dong!" Mas Rahman memelas. Sedikit kuusahakan menarik bibir membentuk lengkungan senyum, aku mengangguk. "Udah sadar, Mbak nya?" Kini gantian suara orang lain yang tak kukenal bertanya. Oh, iya ... lupa, ini 'kan masih di bidan praktek. Mataku mengerling melihat sekitar. Aku perlahan duduk, Mas Rahman sigap membantuku rasanya ... nggak ingin berlama-lama disini. "Gimana, Mbak ... apa yang
last updateLast Updated : 2022-09-08
Read more

Akhirnya di rawat

Pagi ini, karena sakit perut yang tak tertahankan, serta muntah setiap kali ada makanan atau minuman masuk, akhirnya aku dibawa ke klinik yang berada kurang lebih lima kilometer dari rumah. Sampai di klinik, aku yang lemas langsung di infus, serta di pasang selang oksigen, perutku sakit nggak karuan. Lambat laun, sedikit berkurang rasa mual ini setelah dua botol infus masuk ke tubuhku. "Mbak, masih mual enggak?" Seorang perawat menanyaiku. Kepalaku menggeleng, sambil tetap meringkuk di bed pasien. Ibu dan Mbak Anisa menemaniku disini. "Kalo udah nggak mual, coba makan sedikit-sedikit, Mbak ... biar lambungnya ke isi. Ini minum obat maag dulu. Tolong dibantu, ya, Bu ... minum obat ini dulu, nanti selang sepuluh menit, coba makan sedikit-sedikit. Maag itu harus telaten ngisi perut," terangnya memberi arahan. "Iya, Mbak ... nanti diusahain makan, dikit-dikit," sahut Ibuku. Ngomong mah enak, Mbak ... makan, makan, nggak ngerasain sih kamu. Gerutu ku dalam hati. Semoga kamu nggak ng
last updateLast Updated : 2022-09-16
Read more

Nasib Apes

Rasanya nggak enak banget pas sakit, nggak bisa istirahat enak. "Udahlah, Dek ... jangan mikirin orang lain terus, ikirin dulu kesehatanmu, Tio udah diurus ibu sama bapak dirumah. Kamu istirahat aja, jangan mikir hal aneh-aneh!" Mas Rahman akhirnya malah ngomelin aku. Sebel deh, udah sakit malah diomelin. "Tuh, Mbak ... denger kata suaminya, ya!" Suster pun ikutan nimbrung. Udah, deh ... mainya keroyokan aku pasti kalah. Lebih baik istirahat aja. Perlahan rasa mual hilang, mungkin ini reaksi obat yang disuntikkan barusan. Suster dan Mbak cantik yang duduk di kursi khusus penunggu pasien pun pergi. Tinggal aku dan Mas Rahman. Agak reda sakitnya, aku memilih tidur saja. "Dek, makan dulu, dikit ... aja!" bujuk suamiku. Mau nggak mau, aku nurut apa kata suamiku. Akhirnya kubuka mulut, menyantap dua suap bubur yang tadi sempat di belikan Mbak Anisa. "Udah, aku mau tidur." Kembali ku posisikan tubuhku agar lebih nyaman. Siang hari, kurasakan ruangan ini semakin berisik. Ternyata p
last updateLast Updated : 2022-09-16
Read more

Sedih

Mata kakakku mendelik seketika. "Mas, udah! Jangan diperpanjang!" cegahku saat melihat Mas Ari hendak menghampiri ke bilik sebelah. "Tapi, Rum!" protesnya. Mbak Dewi memegangi tanganku yang diperban. "Kok bisa gini, sih? Udah, pindah ruangan aja! Biar aku yang urus!" Mbak Dewi pergi dari sini. Suster masih berusaha mencari urat yang pas untuk pasang infus. Mas Ari, dan Mbak Anisa-istri Mas Ari mendekat. "Udah makan belum?" Mbak Anisa menatapku sendu. "Udah, dikit tapi." Mas Rahman yang menjawab. Suster satunya datang membawa alat infus selang dan sepertinya jarum dalam sebuah kotak kecil. "Permisi, mau infus disini atau di ruangan sana? Ini sedang persiapan pindah ruangan. Itu bed pasien kelas satu udah otw kesini," terang si Suster. "Nanti ajalah! Diruangan sana!" Sahut Mas Ari. Kakakku langsung keluar. Suara khas bed pasien di dorong terdengar masuk ke ruangan ini. "Permisi!" terdengar suara sedikit teriak. "Jenguk pasien apa demo?!" Kalimat itu kuyakin ditujukan pada pe
last updateLast Updated : 2022-09-17
Read more

Aku kecewa

Diruangan ini, aku lebih nyaman. Ruangan ini hanya diperuntukkan untuk seorang pasien saja. Nggak seperti di ruangan yang tadi. Ditemani kedua kakak ipar, serta kakak kandungku, aku istirahat nyaman. Pikiranku menerawang membuatku susah lelap. Perihnya maag yang kuderita nyatanya bisa menambah derita ini. Yaa Robb, kenapa nggak dicabut saja nyawa ini, agar aku bebas dari siksa dunia dan bisa bertemu dengan Yazid. Dunia ini teramat kejam padaku, sadis, dan tega. "Arum, kenapa? Apa yang kamu pikirin?" Mbak Dewi mengusap lembut tanganku. "Jangan banyak pikiran, biar lekas sembuh," Mbak Anisa mengingatkan. Kedua iparku ini seakan tahu aku banyak pikiran. Rasanya hidupku ini selalu saja diliputi kesialan saja, banyak kejadian yang menyudutkan serta membuatku terpuruk. "Mbak, aku capek, Mbak," lidah ini kelu ingin melanjutkan. "Ssssst, nggak boleh ngomong gitu. Sabar, cobaan manusia beda-beda," Mbak Anisa kembali mengingatkan. "Iya, Rum. Beda orang, beda ujian hidupnya. Lain kamu, l
last updateLast Updated : 2022-09-17
Read more
PREV
1
...
91011121314
DMCA.com Protection Status