Semua Bab Katamu Uang Tak Kenal Saudara : Bab 21 - Bab 30

139 Bab

Gelagat aneh

Pulang dari warung, hatiku puas bisa memberi pelajaran kepada Bude Sri cs-nya Mbak Meri. Selama ini dia selalu ikut-ikutan menghinaku. Pagi ini, kubuat dia melongo. Aku harus segera mengeksekusi bahan masakan ini, lalu membantu suamiku di ladang. _______ "Mas, sarapan dulu," ucapku setelah motor ku parkir di kebun karet yang kami garap. Sebuah plastik berisi bekal makanan kuambil dari motor. "Masak apa, Dik?" Mas Rahman membuka bungkusan ini. "Balado telur, Mas. Sekalian buat ngirim ke rumah sakit nanti siang." Aku duduk ditanah. Suasana teduh dibawah pohon karet membuat nyaman. "Tadi Kang Handoyo telepon, katanya Mbak Meri hari ini sudah boleh pulang. Tapi ... Tio masih harus dirawat." Mas Rahman mulai menyantap nasi bungkus bekal yang ku bawa. "Terus jadi ngirim makanan engga?" Alisku bertaut. Mas Rahman meneguk air bekal minumnya. "Ya jadi. Ini mulung dulu, langsung kesana. Siapa lagi yang mau ngirim makanan ke mereka kalau bukan kita?" Mas Rahman menatapku ekspresi wajahn
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

Aku punya Saksi

"Ah enggak, hoak itu. Semalam aku kesana suara Mbak Meri aja kenceng kaya toa kok," ucapku jujur. Kubuka lagi plastik pemberian Bude Sri kucek lagi isinya apa. "Mak Odah, Mbak Lilis, aku minta tolong kalian ikut ngecek baju ini, ya! Takutnya nanti timbul masalah gara-gara baju ini. Tau sendiri 'kan iparku itu gimana." Mataku menatap Mak Odah dan Mbak Lilis bergantian. Mak Odah meletakkan sayur asem kedalam, lalu dia keluar lagi ikut memeriksa baju Mbak Meri. "Nggak ada apa-apa nya kok. Baju dua potong, celana dua potong," ucap Mbak Lilis. "Iya, aman kok, Rum. Tenang aja, nanti kalo Meri berulah, biar Emak yang ngadepin." Mak Odah siap pasang badan. Aku tersenyum, "Makasih lho, Mak." Kuusap lembut bahu Emak. "Aku mau mandi dulu, nanti mau ke rumah sakit lagi," ungkapku pada kedua orang ini. Merekapun mengerti lalu permisi pulang. Suamiku pulang saat aku selesai mandi. "Mas, udah langsung dibagi uangnya?" tanyaku pada Mas Rahman, sambil menjemur pakaian yang telah kucuci. Uang ha
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

Egois

Aku melenggang pergi dari ruang perawatan Mbak Meri. Mending cari makanan dan minuman yang bikin kenyang dan adem. "Mas, ayok ikut aku! Kita cari makan diluar aja," ajakku pada Mas Rahman. Kamipun berjalan bersama mencari tempat nongkrong yang asyik sambil makan. Usai makan siang, pas azan Dzuhur berkumandang. Aku dan suami mencari mushola terdekat untuk tunaikan kewajiban. "Dik, kamu tadi bawa nasi bungkus berapa?" Mas Rahman duduk disampingku usai kami sholat. "Lima bungkus, Mas. Untuk kita semua. Tapi, bukanya ucapan trimakasih yang ku dapat malah cuitan sumbang," keluhku kesal. "Hah, entahlah, Dik. Mas juga nggak habis pikir, kok mereka setega itu. Liat tadi, Kang Handoyo pun nggak nawari kita makan. Jan kebangeten," ucap Mas Rahman ia merebahkan diri di ubin. Mending ngadem di mushola ini, ayem, ketimbang di dalam ruangan sana. ber-AC tapi rasanya mendidih. "Mas, cukup ini terakhir kalinya kita berurusan sama keluarga Kang Handoyo orang yang nggak tau terimakasih itu. Beso
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

biar bukti yang bicara

_________ "Heh madesu, bangun!" Suara sumbang terdengar jelas ditelinga. "Enak ya tidur diruang ber-AC!" Mataku perlahan terbuka, menatap sosok yang berdiri mendelik kearahku. Yah, Mak Lampir bangun. Aku segera duduk bersandar di dinding. "Bulik, siap-siap, hari ini sudah boleh pulang," lirih Tio. Aku menoleh Tio lalu tersenyum. Kemana Mas Rahman dan Kang Handoyo? Kok nggak ada? Ah, lebih baik cuci muka dulu, biar seger. "Hei, mau kemana kamu?" Mbak Meri mendelik lagi. Tangannya memegangi botol infus yang masih separuh. Aku malas menanggapi Mbak Meri. Lebih baik ketoilet aja. Keluar dari toilet, datang dua orang perawat menghampiri Tio dan Mbak Meri. "Hari ini boleh pulang, tinggal nunggu infusnya habis. Tolong administrasi diurus ke kasir, biar bisa segera pulang," ucap perawat itu ramah. Kuraih hapeku di tas, kunci layar kubuka, ternyata dilayar sudah tertera jam tiga lebih sepuluh menit. Hem, rupanya sudah sore. "Hei Arum! Sampai rumah nanti kalo barangku ada yang hilang
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

Handoyo Minta Uang

Setelah mendapat penjelasan dari Mbak Lilis, Mak Odah menarik tanganku untuk keluar dari rumah ini. "Dasar wong licik, maen fitnah Arum sembarang. Tak labrak sekalian si Sri itu," Mak Odah berapi-api. "Mak, Mak, jangan! Nggak usah, biarin aja. Toh kita udah tau siapa yang licik, sekarang tinggal kita kudu mawas diri aja biar nggak kecolongan," cegahku pada Mak Odah. Kalau sampai Mak Odah ngelabrak Bude Sri, bisa perang dunia ke lima. "Aku jengkel, Rum!" Dada Mak Odah naik turun. Wanita tua berdaster ini terbakar emosi. "Rum, kita datengin Bude Sri aja, yuk! Aku punya bukti kok!" Mbak Lilis malah meyulut perkara lagi. "Nggak usahlah Mbak Lilis, bukan ranah kita. Yang penting sekarang 'kan udah terbukti aku nggak salah. Biar jadi urusan Kang Handoyo itu. Kita nonton aja," ucapku santai. "Pulang, yuk! Aku capek. Makasih sudah mau bantuin aku ya!" Kami akhirnya pulang. Mas Rahman membawa motor matic, aku berjalan bersama Mak Odah dan Mbak Lilis. ___________ "Man Rahman!" Suara Kan
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

main Cerdik

"Mak, uangnya nanti nunggu nimbang karet, ya!" Kuulas senyum pada Mak Odah. "Iya, nggak papa. Yang penting tu kambing laku. Ya udah, Mak pulang dulu." Wanita tua berdaster inipun undur diri. Suamiku pulang mencari rumput. Bersamaan dengan kedatangan Kang Handoyo. "Rum, uangnya udah ada 'kan?" Lagi-lagi uang diotaknya Kang Handoyo. "Iya, ada! Nggak sabaran banget sih!" Ketusku bibir ini maju. "Mana! Aku butuh sekarang!" Tangan Kang Handoyo langsung menadah. Mataku membulat sempurna. Benar-benar nggak punya aturan ni orang. Seenaknya saja minta uang begini. "Enak aja! Ada prosesnya. Tunggu aja dirumahmu sana. Nanti ku antar uangnya. Oh iya, siapin surat menyurat juga. Ada uang ada surat." Tegasku mantap. Kang Handoyo berpikir sejenak. Kali ini aku harus cerdas berhadapan dengan dia. "Baik, akan kusiapkan suratnya. Ingat uangnya harus tiga puluh juta. Jangan sampai kurang!" Kang Handoyo sok mengancam. Aku tersenyum sinis, "Iya iya. Bawel!" ketusku. Kang Handoyo pun pergi. Bagu
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

Si mulut pedas

Sedikitpun aku tak gentar pada Mbak Meri. Aku memang anak bungsu, tapi ... karakterku bisa lebih kuat dari anak sulung. "Ayo pulang, Mas! Oh, iya, Kang. Mulai besok, ladang yang sudah kubeli mau tak garap." Aku melenggang lagi keluar rumah Kang Handoyo penuh kemenangan. Andai saja dinasti ego, sombong, dan medit mereka nggak setinggi Monas, pasti sikapku bisa lebih manis. "Dik, dapet kembalian empat ratus ribu," Mata Mas Rahman berbinar. Tanganya mendekap map surat-menyurat jual-beli ladang. Aku menyeringai, "Biarin aja. Sekali-sekali ngadalin Kakak Ipar, masa kita terus yang dikadalin." Kami pulang dengan hati senang. ___________ Beberapa hari berlalu. Aku dan suami sudah menggarap ladang milik Mas Rahman usai kami beli dari Kang Handoyo. "Mas, aku mau bayarin kambingnya si Parmin, kambing mandul. Lumayanlah nanti di sembeleh untuk lauk selamatan empat puluh hari Yazid 'kan hampir sampai." Aku sibuk menata getah karet kedalam kotak. "Ide bagus, Dik. Semoga Yazid tenang disana
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

Sabar

"Mbak Meri masuk rumah sakit 'kan gara-gara tau suaminya mau dipenjara. Sudah sapinya mati, anaknya sakit, eh, ketambahan suaminya mau dipenjara, jelas syok lah." Mbak Dini membalik tempe mendoan yang digoreng. "Eh, Mbak Dini, Mbak Meri itu kaya, lho! Nggak mungkin kekurangan duit!" Mbak Lika membela Mbak Meri. Aku tersenyum mendengar kegigihan Mbak Lika membela Mbak Meri, di suap apa sih sampai segitunya. "Entahlah, bukti yang bicara Mbak Lika!" Tegas Mbak Dini. "Percumah kaya kalo saudara susah nggak dibantuin, ya nggak Mbak Arum?" Mbak Dini menatapku alisnya naik turun. "Huh, kaya nggak tau si Meri aja. Dia bilang 'kan uang nggak kenal sodara!" Mbak Menik ikutan nimbrung. "Memang! Uang itu nggak kenal sodara!" Suara lantang terdengar familiar ditelinga. "Pantesan kupingku panas, ternyata lagi digosipin disini." Aku dan yang lain menoleh ke arah sumber suara. Rupanya Mbak Meri, wanita yang dadanannya cetar ini berdiri membawa seplastik tanggung mungkin isinya belanjaan. "Nik,
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

Nasib Tio

"Meri! Anakmu, Mer!" Bu Atun berteriak lagi. Ada apa sih? Kenapa Bu Atun heboh begitu? Anak Mbak Meri Tio 'kan sudah besar kelas satu SMP kenapa diributin? "Ih, Bu Atun, kenapa sih, heboh? Kenapa sama anakku? Ganteng 'kan! Jelas, ibunya aja cantik." Mbak Meri kelihatan sewot dengan kedatangan Bu Atun. "Iya, ya! Anak Mbak Meri nggak kaya anak si Arum, masih kecil udah penyakitan," cerocos Mbak Lika. Huh, kalau saja dia yang mengalami semuanya, apa kabar? Orang kok pinternya nyacat doang. Hatiku kesal. "Meri, anakmu jatuh dari motor. Nabrak cor-coran jembatan, itu lo, disana!" Bu Atun mengungkap kejadian yang menimpa Tio. "Apa?!" Mbak Meri terkejut ia berteriak. Astaghfirullah halazim, Tio jatuh dari motor? "Tio jatuh, Mbak Arum!" Mbak Dini menolehku. "Ya Allah, Mbak! Ayo kesana, Mbak! Kita tolong Tio!" Aku segera bangkit lalu melesat kearah Bu Atun. "Ya ampun, Tioku gimana ini, ya ampun Tio jatuh, duh Gusti!" Mbak Meri malah berdrama duduk di bangku kecil. Nggak jelas banget,
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

Dasar Aneh

Tio masih bersandar di badanku saat kakinya di tali. Setelah kaki Tio selesai ditali, lalu tangan Tio juga ikut ditali. Ya Allah hati ini nggak tega melihat Tio menderita. "Sakit, Bulik! Sakit!" Tio meracau kesakitan. "Tio! Tio! Hu hu hu! Tio!" Mbak Meri berteriak berjalan di gandeng Mbak Lika menuju kesini sambil menangis."Awas kamu! Jangan sentuh anakku!" Mbak Meri mendorong kasar tubuhku membuat aku yang tak siap didorong terguling, kepala Tio pun terbentur keras di lantai. Seketika Tio pingsan. Semuanya terkejut. Mbak Meri menangis histeris sambil mengguncang tubuh putranya hingga menyebabkan kaki dan tangan Tio tergeser lagi. Aku segera menyingkir dari tubuh Tio, tapi kakiku tertimpa tubuh Tio membuatku tak bisa berkutik."Mbak Meri! Jangan digoyang kenceng-kenceng! Kaki sama tangan Tio nggak boleh banyak gerak. Lagian udah ditolongi nggak tau trimakasih, malah Mbak Arum didorong kasar!" Pak Supri menegur keras Mbak Meri. "Ini semua gara-gara kamu Arum!" Mbak Meri mendorong
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
14
DMCA.com Protection Status