"Ah enggak, hoak itu. Semalam aku kesana suara Mbak Meri aja kenceng kaya toa kok," ucapku jujur. Kubuka lagi plastik pemberian Bude Sri kucek lagi isinya apa. "Mak Odah, Mbak Lilis, aku minta tolong kalian ikut ngecek baju ini, ya! Takutnya nanti timbul masalah gara-gara baju ini. Tau sendiri 'kan iparku itu gimana." Mataku menatap Mak Odah dan Mbak Lilis bergantian. Mak Odah meletakkan sayur asem kedalam, lalu dia keluar lagi ikut memeriksa baju Mbak Meri. "Nggak ada apa-apa nya kok. Baju dua potong, celana dua potong," ucap Mbak Lilis. "Iya, aman kok, Rum. Tenang aja, nanti kalo Meri berulah, biar Emak yang ngadepin." Mak Odah siap pasang badan. Aku tersenyum, "Makasih lho, Mak." Kuusap lembut bahu Emak. "Aku mau mandi dulu, nanti mau ke rumah sakit lagi," ungkapku pada kedua orang ini. Merekapun mengerti lalu permisi pulang. Suamiku pulang saat aku selesai mandi. "Mas, udah langsung dibagi uangnya?" tanyaku pada Mas Rahman, sambil menjemur pakaian yang telah kucuci. Uang ha
Aku melenggang pergi dari ruang perawatan Mbak Meri. Mending cari makanan dan minuman yang bikin kenyang dan adem. "Mas, ayok ikut aku! Kita cari makan diluar aja," ajakku pada Mas Rahman. Kamipun berjalan bersama mencari tempat nongkrong yang asyik sambil makan. Usai makan siang, pas azan Dzuhur berkumandang. Aku dan suami mencari mushola terdekat untuk tunaikan kewajiban. "Dik, kamu tadi bawa nasi bungkus berapa?" Mas Rahman duduk disampingku usai kami sholat. "Lima bungkus, Mas. Untuk kita semua. Tapi, bukanya ucapan trimakasih yang ku dapat malah cuitan sumbang," keluhku kesal. "Hah, entahlah, Dik. Mas juga nggak habis pikir, kok mereka setega itu. Liat tadi, Kang Handoyo pun nggak nawari kita makan. Jan kebangeten," ucap Mas Rahman ia merebahkan diri di ubin. Mending ngadem di mushola ini, ayem, ketimbang di dalam ruangan sana. ber-AC tapi rasanya mendidih. "Mas, cukup ini terakhir kalinya kita berurusan sama keluarga Kang Handoyo orang yang nggak tau terimakasih itu. Beso
_________ "Heh madesu, bangun!" Suara sumbang terdengar jelas ditelinga. "Enak ya tidur diruang ber-AC!" Mataku perlahan terbuka, menatap sosok yang berdiri mendelik kearahku. Yah, Mak Lampir bangun. Aku segera duduk bersandar di dinding. "Bulik, siap-siap, hari ini sudah boleh pulang," lirih Tio. Aku menoleh Tio lalu tersenyum. Kemana Mas Rahman dan Kang Handoyo? Kok nggak ada? Ah, lebih baik cuci muka dulu, biar seger. "Hei, mau kemana kamu?" Mbak Meri mendelik lagi. Tangannya memegangi botol infus yang masih separuh. Aku malas menanggapi Mbak Meri. Lebih baik ketoilet aja. Keluar dari toilet, datang dua orang perawat menghampiri Tio dan Mbak Meri. "Hari ini boleh pulang, tinggal nunggu infusnya habis. Tolong administrasi diurus ke kasir, biar bisa segera pulang," ucap perawat itu ramah. Kuraih hapeku di tas, kunci layar kubuka, ternyata dilayar sudah tertera jam tiga lebih sepuluh menit. Hem, rupanya sudah sore. "Hei Arum! Sampai rumah nanti kalo barangku ada yang hilang
Setelah mendapat penjelasan dari Mbak Lilis, Mak Odah menarik tanganku untuk keluar dari rumah ini. "Dasar wong licik, maen fitnah Arum sembarang. Tak labrak sekalian si Sri itu," Mak Odah berapi-api. "Mak, Mak, jangan! Nggak usah, biarin aja. Toh kita udah tau siapa yang licik, sekarang tinggal kita kudu mawas diri aja biar nggak kecolongan," cegahku pada Mak Odah. Kalau sampai Mak Odah ngelabrak Bude Sri, bisa perang dunia ke lima. "Aku jengkel, Rum!" Dada Mak Odah naik turun. Wanita tua berdaster ini terbakar emosi. "Rum, kita datengin Bude Sri aja, yuk! Aku punya bukti kok!" Mbak Lilis malah meyulut perkara lagi. "Nggak usahlah Mbak Lilis, bukan ranah kita. Yang penting sekarang 'kan udah terbukti aku nggak salah. Biar jadi urusan Kang Handoyo itu. Kita nonton aja," ucapku santai. "Pulang, yuk! Aku capek. Makasih sudah mau bantuin aku ya!" Kami akhirnya pulang. Mas Rahman membawa motor matic, aku berjalan bersama Mak Odah dan Mbak Lilis. ___________ "Man Rahman!" Suara Kan
"Mak, uangnya nanti nunggu nimbang karet, ya!" Kuulas senyum pada Mak Odah. "Iya, nggak papa. Yang penting tu kambing laku. Ya udah, Mak pulang dulu." Wanita tua berdaster inipun undur diri. Suamiku pulang mencari rumput. Bersamaan dengan kedatangan Kang Handoyo. "Rum, uangnya udah ada 'kan?" Lagi-lagi uang diotaknya Kang Handoyo. "Iya, ada! Nggak sabaran banget sih!" Ketusku bibir ini maju. "Mana! Aku butuh sekarang!" Tangan Kang Handoyo langsung menadah. Mataku membulat sempurna. Benar-benar nggak punya aturan ni orang. Seenaknya saja minta uang begini. "Enak aja! Ada prosesnya. Tunggu aja dirumahmu sana. Nanti ku antar uangnya. Oh iya, siapin surat menyurat juga. Ada uang ada surat." Tegasku mantap. Kang Handoyo berpikir sejenak. Kali ini aku harus cerdas berhadapan dengan dia. "Baik, akan kusiapkan suratnya. Ingat uangnya harus tiga puluh juta. Jangan sampai kurang!" Kang Handoyo sok mengancam. Aku tersenyum sinis, "Iya iya. Bawel!" ketusku. Kang Handoyo pun pergi. Bagu
Sedikitpun aku tak gentar pada Mbak Meri. Aku memang anak bungsu, tapi ... karakterku bisa lebih kuat dari anak sulung. "Ayo pulang, Mas! Oh, iya, Kang. Mulai besok, ladang yang sudah kubeli mau tak garap." Aku melenggang lagi keluar rumah Kang Handoyo penuh kemenangan. Andai saja dinasti ego, sombong, dan medit mereka nggak setinggi Monas, pasti sikapku bisa lebih manis. "Dik, dapet kembalian empat ratus ribu," Mata Mas Rahman berbinar. Tanganya mendekap map surat-menyurat jual-beli ladang. Aku menyeringai, "Biarin aja. Sekali-sekali ngadalin Kakak Ipar, masa kita terus yang dikadalin." Kami pulang dengan hati senang. ___________ Beberapa hari berlalu. Aku dan suami sudah menggarap ladang milik Mas Rahman usai kami beli dari Kang Handoyo. "Mas, aku mau bayarin kambingnya si Parmin, kambing mandul. Lumayanlah nanti di sembeleh untuk lauk selamatan empat puluh hari Yazid 'kan hampir sampai." Aku sibuk menata getah karet kedalam kotak. "Ide bagus, Dik. Semoga Yazid tenang disana
"Mbak Meri masuk rumah sakit 'kan gara-gara tau suaminya mau dipenjara. Sudah sapinya mati, anaknya sakit, eh, ketambahan suaminya mau dipenjara, jelas syok lah." Mbak Dini membalik tempe mendoan yang digoreng. "Eh, Mbak Dini, Mbak Meri itu kaya, lho! Nggak mungkin kekurangan duit!" Mbak Lika membela Mbak Meri. Aku tersenyum mendengar kegigihan Mbak Lika membela Mbak Meri, di suap apa sih sampai segitunya. "Entahlah, bukti yang bicara Mbak Lika!" Tegas Mbak Dini. "Percumah kaya kalo saudara susah nggak dibantuin, ya nggak Mbak Arum?" Mbak Dini menatapku alisnya naik turun. "Huh, kaya nggak tau si Meri aja. Dia bilang 'kan uang nggak kenal sodara!" Mbak Menik ikutan nimbrung. "Memang! Uang itu nggak kenal sodara!" Suara lantang terdengar familiar ditelinga. "Pantesan kupingku panas, ternyata lagi digosipin disini." Aku dan yang lain menoleh ke arah sumber suara. Rupanya Mbak Meri, wanita yang dadanannya cetar ini berdiri membawa seplastik tanggung mungkin isinya belanjaan. "Nik,
"Meri! Anakmu, Mer!" Bu Atun berteriak lagi. Ada apa sih? Kenapa Bu Atun heboh begitu? Anak Mbak Meri Tio 'kan sudah besar kelas satu SMP kenapa diributin? "Ih, Bu Atun, kenapa sih, heboh? Kenapa sama anakku? Ganteng 'kan! Jelas, ibunya aja cantik." Mbak Meri kelihatan sewot dengan kedatangan Bu Atun. "Iya, ya! Anak Mbak Meri nggak kaya anak si Arum, masih kecil udah penyakitan," cerocos Mbak Lika. Huh, kalau saja dia yang mengalami semuanya, apa kabar? Orang kok pinternya nyacat doang. Hatiku kesal. "Meri, anakmu jatuh dari motor. Nabrak cor-coran jembatan, itu lo, disana!" Bu Atun mengungkap kejadian yang menimpa Tio. "Apa?!" Mbak Meri terkejut ia berteriak. Astaghfirullah halazim, Tio jatuh dari motor? "Tio jatuh, Mbak Arum!" Mbak Dini menolehku. "Ya Allah, Mbak! Ayo kesana, Mbak! Kita tolong Tio!" Aku segera bangkit lalu melesat kearah Bu Atun. "Ya ampun, Tioku gimana ini, ya ampun Tio jatuh, duh Gusti!" Mbak Meri malah berdrama duduk di bangku kecil. Nggak jelas banget,
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
"Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam
Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S
Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "