Sedikitpun aku tak gentar pada Mbak Meri. Aku memang anak bungsu, tapi ... karakterku bisa lebih kuat dari anak sulung. "Ayo pulang, Mas! Oh, iya, Kang. Mulai besok, ladang yang sudah kubeli mau tak garap." Aku melenggang lagi keluar rumah Kang Handoyo penuh kemenangan. Andai saja dinasti ego, sombong, dan medit mereka nggak setinggi Monas, pasti sikapku bisa lebih manis. "Dik, dapet kembalian empat ratus ribu," Mata Mas Rahman berbinar. Tanganya mendekap map surat-menyurat jual-beli ladang. Aku menyeringai, "Biarin aja. Sekali-sekali ngadalin Kakak Ipar, masa kita terus yang dikadalin." Kami pulang dengan hati senang. ___________ Beberapa hari berlalu. Aku dan suami sudah menggarap ladang milik Mas Rahman usai kami beli dari Kang Handoyo. "Mas, aku mau bayarin kambingnya si Parmin, kambing mandul. Lumayanlah nanti di sembeleh untuk lauk selamatan empat puluh hari Yazid 'kan hampir sampai." Aku sibuk menata getah karet kedalam kotak. "Ide bagus, Dik. Semoga Yazid tenang disana
"Mbak Meri masuk rumah sakit 'kan gara-gara tau suaminya mau dipenjara. Sudah sapinya mati, anaknya sakit, eh, ketambahan suaminya mau dipenjara, jelas syok lah." Mbak Dini membalik tempe mendoan yang digoreng. "Eh, Mbak Dini, Mbak Meri itu kaya, lho! Nggak mungkin kekurangan duit!" Mbak Lika membela Mbak Meri. Aku tersenyum mendengar kegigihan Mbak Lika membela Mbak Meri, di suap apa sih sampai segitunya. "Entahlah, bukti yang bicara Mbak Lika!" Tegas Mbak Dini. "Percumah kaya kalo saudara susah nggak dibantuin, ya nggak Mbak Arum?" Mbak Dini menatapku alisnya naik turun. "Huh, kaya nggak tau si Meri aja. Dia bilang 'kan uang nggak kenal sodara!" Mbak Menik ikutan nimbrung. "Memang! Uang itu nggak kenal sodara!" Suara lantang terdengar familiar ditelinga. "Pantesan kupingku panas, ternyata lagi digosipin disini." Aku dan yang lain menoleh ke arah sumber suara. Rupanya Mbak Meri, wanita yang dadanannya cetar ini berdiri membawa seplastik tanggung mungkin isinya belanjaan. "Nik,
"Meri! Anakmu, Mer!" Bu Atun berteriak lagi. Ada apa sih? Kenapa Bu Atun heboh begitu? Anak Mbak Meri Tio 'kan sudah besar kelas satu SMP kenapa diributin? "Ih, Bu Atun, kenapa sih, heboh? Kenapa sama anakku? Ganteng 'kan! Jelas, ibunya aja cantik." Mbak Meri kelihatan sewot dengan kedatangan Bu Atun. "Iya, ya! Anak Mbak Meri nggak kaya anak si Arum, masih kecil udah penyakitan," cerocos Mbak Lika. Huh, kalau saja dia yang mengalami semuanya, apa kabar? Orang kok pinternya nyacat doang. Hatiku kesal. "Meri, anakmu jatuh dari motor. Nabrak cor-coran jembatan, itu lo, disana!" Bu Atun mengungkap kejadian yang menimpa Tio. "Apa?!" Mbak Meri terkejut ia berteriak. Astaghfirullah halazim, Tio jatuh dari motor? "Tio jatuh, Mbak Arum!" Mbak Dini menolehku. "Ya Allah, Mbak! Ayo kesana, Mbak! Kita tolong Tio!" Aku segera bangkit lalu melesat kearah Bu Atun. "Ya ampun, Tioku gimana ini, ya ampun Tio jatuh, duh Gusti!" Mbak Meri malah berdrama duduk di bangku kecil. Nggak jelas banget,
Tio masih bersandar di badanku saat kakinya di tali. Setelah kaki Tio selesai ditali, lalu tangan Tio juga ikut ditali. Ya Allah hati ini nggak tega melihat Tio menderita. "Sakit, Bulik! Sakit!" Tio meracau kesakitan. "Tio! Tio! Hu hu hu! Tio!" Mbak Meri berteriak berjalan di gandeng Mbak Lika menuju kesini sambil menangis."Awas kamu! Jangan sentuh anakku!" Mbak Meri mendorong kasar tubuhku membuat aku yang tak siap didorong terguling, kepala Tio pun terbentur keras di lantai. Seketika Tio pingsan. Semuanya terkejut. Mbak Meri menangis histeris sambil mengguncang tubuh putranya hingga menyebabkan kaki dan tangan Tio tergeser lagi. Aku segera menyingkir dari tubuh Tio, tapi kakiku tertimpa tubuh Tio membuatku tak bisa berkutik."Mbak Meri! Jangan digoyang kenceng-kenceng! Kaki sama tangan Tio nggak boleh banyak gerak. Lagian udah ditolongi nggak tau trimakasih, malah Mbak Arum didorong kasar!" Pak Supri menegur keras Mbak Meri. "Ini semua gara-gara kamu Arum!" Mbak Meri mendorong
"Hei Meri! Waras dikit bisa enggak? Tau anaknya luka butuh pertolongan malah ngurusin motor. Dasar nggak jelas!" Mbak Dini ngomel. "Iya, Mbak Meri ini aneh. Mbak Arum, ayo saya antar ke tempat bidan Esti." Mbak Arini menarik lenganku. Mbak Meri menatapku penuh kebencian. "Arum! Kamu yang bawa Tio ke Bidan, kamu juga yang harus bayar!" teriak Mbak Meri. "Astaghfirullah halazim!" Mbak Dini mengusap dada. "Dasar aneh! Tio anakmu Mer! Kelewatan banget sih kamu! Amit-amit jabang bayik, jangan turun anak cucu, kelakuanmu!"Semua orang disini menatap kearah Mbak Meri dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ayo, Mbak Arum kita susul Tio." Mbak Arini menggandengku lalu kami pergi menyusul Tio. "Tio!" Aku melesat masuk keruangan tindakan begitu sampai di tempat Bu Esti. Tio sudah sadar, ia menangis lagi saat lukanya dibersihkan. Kulihat Tio merintih dan menangis di pembaringan. Bu Esti mulai membersihkan luka Tio."Kok bisa kaya gini, to!" Bu Esti menangani Tio. "Kayaknya ngebut, Bu. Motor
"Bulik, aku haus," lirih Tio bersandar di dinding. Hatiku iba melihat penderitaan Tio. Ku singkirkan rasa malas ini, lalu aku kedapur mengambil air minum. "Mas, gara-gara Tio jatuh, motor baruku remuk! Mana kridit nya belum lunas, udah rusak. Puas kamu Tio? Puas?! Kaki patah tangan patah, duit lagi duit lagi!" Itu seperti suara Mbak Meri, rupanya dia sudah pulang. Aku harus siap-siap, kalo dia bikin onar, aku nggak akan tinggal diam. Aku keluar membawa nampan berisi teko air minum dan gelas. Mbak Meri berkacak pinggang, sambil ngomel nggak jelas. "Heh, lancang kamu masuk dapurku!" Mbak Meri mendelik saat melihatku keluar dari dapur membawa air minum. 'Kan, dugaanku benar. Pasti kena sasaran. Meskipun yang ku lakukan itu benar, tetap saja salah dimata Mbak Meri. "Aku yang minta Bulik ngambilin minum." Tio angkat bicara. "Kenapa kamu biarkan orang miskin ini masuk dapur ibu? Bisa-bisa bumbu dan perabotan ku hilang diambil dia!" Telunjuk Mbak Meri mengarah kepadaku. Ada yang nyer
"Cukup, Mer! Cukup! Jangan terus kau salahkan Arum. Justru Arum yang nemenin Tio di tempat Bu Esti tadi. Kamu malah nggak ada, padahal kamu ibunya. Setega itu kamu sama Tio!" Kang Handoyo tersulut emosi. "Loh, harus dong! Emang si madesu itu pembawa s*al! Liat, Mas! Gara-gara bergaul sama si Arum, masa depan Tio suram, Tio cacat Mas! Apa yang mau dibanggain dari anak cacat, hah?!" Mbak Meri emosinya tak terkontrol hingga peluru nylekit keluar dari mulutnya. PLAK Hadiah tamparan mendarat cantik dipipi nan glowing, membuat Mbak Meri terhuyung limbung saking kuatnya tamparan itu. "Ibu macam apa kamu Mer?! Anak sendiri kau bilang cacat. Kelewatan kamu!" Dada Kang Handoyo naik turun. Aku langsung menoleh Tio yang menangis, pasti hati Tio sakit mendengar kalimat ibunya yang nylekit itu. "Bulik, Tio nggak berguna, ya? Tio mati aja ya, Bulik. Tio nggak mau nyusahin Ibu," tangis Tio menggema. Kupeluk erat keponakanku ini, kuusap dan kusemangati Tio. "Jangan dengerin omongan ibumu! Dia l
Perutku perih, karena memang belum makan. Tapi, Mbak Meri tak menawari makanan. Kutahan saja rasa lapar ini. "Duit bisa dicari, yang penting anakku sehat!" Kang Handoyo berlalu kedapur. Entahlah mau apa dia. Mbak Meri duduk jegang, sambil melahap makanannya, tanpa menawariku. "Bulik, ikut aku berobat, ya!" Mata Tio memohon kepadaku. "Duh, gimana, ya? Maaf, Bulik kayaknya nggak bisa ikut, Nang. Bulik harus siap-siap sebentar lagi mau selamatan empat puluh hari Dik Yazid. Tio yang sabar, 'kan ada bapak yang nemenin." Kubujuk Tio. Ada sorot kesedihan yang teramat sangat dimata Tio. Kasihan dia. "Mas, itu motornya gimana? Motor juga butuh dandan." Ketus Mbak Meri, kulihat ia makan sambil ngomong. Ya Allah, lebih mikirin motor daripada anak? Astaghfirullah halazim! Bener-bener ni orang. Aku mengelus dada. "Mer, kamu ini aneh, anakmu itulo yang harus dipikirin! Motor dideler banyak, Mer! Kalo Tio, cuma satu-satunya anak kita, Mer!" Kang Handoyo mengingatkan Mbak Meri. Kang Handoyo
POV AUTHOR Runtutan kehidupan Arum dan Rahman telah dilewati, cobaan silih berganti datang menghampiri. Kini, Arum telah keluar dari rumah sakit setelah kritis usai kecelakaan, beruntung nyawanya selamat. "Dek ... kenapa ngelamun diluar?" Rahman menghampiri istrinya yang berdiri bersedekap dada menatap kearah jalanan yang sepi. "Aku kangen Yazid, Mas ... dia kangen nggak ya, sama aku?" Air mata Arum meleleh membasahi pipinya. Rahman merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. "Yazid udah seneng disana, Dek ... kita doakan saja, semoga kelak kita bisa bertemu dan berkumpul di surga." Rahman mengusap punggung Arum. "Mas, semoga setelah ini, keadaan akan semakin membaik, ya!" harap Arum terisak. "Insyaallah, Dek ... setelah badai berlalu akan ada hari cerah dihiasi pelangi." Rahman membelai wajah Arum istrinya yang kini sudah mulai pulih. "Tolong, jangan buat aku bersedih lagi. Tolong jangan gegabah pergi sendirian lagi, tolong temani aku sampai tua. Hanya kamu yang kupunya." Rahman
POV Ari "Tadi anda datang-datang marah-marah dan nuntut minta ganti rugi. Apa anda nggak mikir, adik saya di ruang operasi meregang nyawa gara-gara ulah bocah ugal-ugalan itu!" "Sabar, Mas, sabar! Kita bicarakan ini baik-baik." Seorang laki-laki merangkulku menjauhkan dari orang-orang ini. Halah, basi! Tadi aja semangat kek mau makan orang, sekarang mlempem. Kesal bukan main hati ini. "Lepas! Jangan sentuh aku!" Kuhempas tangan laki-laki ini. "Sabar, Mas, sabar!" "Sabar Anda bilang? Gimana aku bisa sabar sementara adikku satu-satunya masih berjuang didalam sana!" "Keluarga pasien Arum!" Aku berjingkat saat nama adikku disebut, langkahku langsung menuju kearah sumber suara. "Saya keluarga pasien Arum! Saya kakaknya!" Degup jantung ini kian kencang. "Mari ke ruangan dokter." Tanpa ragu, aku segera menuju ruangan dokter sesuai arahan seorang perawat. "Anda keluarga pasien atas nama Arum?" "Iya, Dok, saya kakak kandungnya." Aku duduk cemas berhadapan dengan dokter ini. "Begi
POV Ari Barusaja aku dan Angga keluar dari kafe usai berbincang dengan Arum adikku perihal masalah yang menyangkut iparnya, tiba-tiba saja diujung jalan terjadi kecelakaan. Jantungku berdegup tak beraturan pikiranku teringat pada Arum, adik perempuanku satu-satunya. "Lakalantas, Ri!" Angga berteriak lalu berlari langsung ke arah lokasi. Aku juga ikut berlari mengekor Angga. Rekanku itu memang seorang polisi jadi dia sigap bergerak. "Angkat, ayo angkat! Kasihan, kepalanya berdarah!" "Korban pingsan, cepat darahnya banyak!" Terdengar suara orang panik. Perasaan ini semakin khawatir. Apalagi saat kulihat celana warna cokelat sama persis dengan yang dipakai adikku Arum. Aku merangsek kedalam kerumunan, Angga mengurus motor yang mengalami kecelakaan. Allah huu Robbi! "Arum!" Teriakku tak percaya. "Arum!" Ya Allah! Adikku! Mataku berembun melihat kepalanya bersimbah darah. "Ayo, tolong cepat bawa adik saya ke rumah sakit!" Teriakku. Kubopong segera tubuh perempuan yang kini tak sa
"Mas, kalo langsung di tembak mati, keknya keenakan Handoyo, Mas. Soalnya dia nggak ngerasain derita dan sakit dulu. Tapi kalo sekedar dilumpuhkan dan efek jera, kayaknya lebih bisa memberi dia pelajaran, Mas," usulku. Entah mengapa nggak rela aja bila Handoyo langsung ditembak mati. Aku ingin, dia hidup sengsara, menderita dulu sebelum nyawanya pulang kepada Yang Maha kuasa. Rasa kesal, jengkel dan marah ini membuat aku ingin melihatnya menderita. Dia yang memaksaku berbuat jahat. "Kami juga akan memilih keputusan, Mbak. Jika membahayakan petugas, apa boleh buat, kami harus mengambil tindakan tegas. Handoyo itu penjahat berbahaya, licin, dan licik." Rekan polisi Mas Ari angkat bicara. "Kami berharap, Handoyo bisa kooperatif agar mudah prosesnya. Tapi, jika dia melawan terpaksa kami beri hadiah." Aku manggut-manggut mendengar penjelasan anggota polisi ini. "Kamu tenang aja, Rum, insyaallah Angga dan tim-nya akan menyelesaikan semuanya dengan baik, kita bantu doa saja. "Iya, Mas.
Satu masalah belum selesai, muncul masalah lain lagi, kapan kepalaku ini berhenti tegang? Rasanya lelah dengan masalah yang silih berganti datang dan penyebabnya hanya satu, Handoyo, manusia b*a*ap itu. Aku duduk di kursi tunggu memijat pelipisku yang terasa pening. "Gimana ini, Dek? Kalau Mas tinggal nengokin ibu, apakah kamu nggak papa disini sama Tio? Mas bingung, Dek." Mas Rahman duduk disampingku. Dia menunduk kelihatan berpikir. Buntu seketika otakku ini. Haduh, puyeng banget menghadapi masalah yang tiada habisnya. "Ya udah, Mas jenguk ibu aja dulu. Mau gimana lagi, nggak mungkin ku tingalkan Tio sendiri disini, dia masih bocah. Belum lagi kalau harus nebus obat." Pasrah, itulah yang kulakukan sekarang. "Ya udah, Mas berangkat sekarang, Dek!" Suamiku bangkit. Aku juga bangkit. Hati ini rasanya pengen ikut kesana, tapi ... Meri dan Tio masih butuh aku. Arrrgghhh, menyebalkan! Perlahan pungung Mas Rahman hilang dibalik lorong rumah sakit ini. "Bulek, Oom nggak kesini?" Tiba-
Telpon mendadak terputus dan ketika di telpon kembali nomor Hadi nggak aktif. Hatiku semakin cemas, apalagi setelah mendengar tangisan Tiara tadi. "Mas, ibu kenapa, Mas?" aku hampir menangis. "Mas juga nggak tau, Dek." Mas Rahman ikutan cemas. Duh, jangan-jangan Handoyo bikin ulah pula disana, gimana ini? Aku takut orang itu berbuat nekat mencelakai ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Handoyo kini sudah hilang hati nuraninya. "Mas, kalo Handoyo bikin ulah disana, gimana, Mas?" Mas Rahman lantas keluar kamar meninggalkan aku. Ya Allah, semoga saja nggak terjadi hal yang buruk sama ibu mertua. Meskipun aku sempat kesal pada beliau tapi mendengar beliau susah aku juga nggak tega. Benar-benar bikin pusing semua ini. Kapan Handoyo tertangkap lagi? Aku takut jika dia sampai mencelakai orang lagi. Cukup sudah satpam rumah sakit yang jadi korban, jangan ada korban lagi. Kurapikan kembali baju usai dikerok suamiku. Keluar kamar mengambil teh yang telah dibuat Tio. "Bulek, Oom mau ke
"Hallo selamat pagi," sapa seorang suster di ujung telepon. "Pagi," "Maaf, apa benar ini pihak keluarga pasien Meri?" "Iya, Sus benar!" Aku sedikit gugup. "Maaf, Bu, bisa tolong ke ruangan dokter sekarang, ada beberapa obat pasien yang harus di tebus diluar apotik kami. Persediaan obat diapotik kami kebetulan kosong dan sedang dalam proses pengiriman." Oh, nebus obat. Kukira ada keadaan genting tentang ibunya Tio itu. Lumayan lega rasanya. "Oh, baik, Sus. Saya usahakan bisa segera kesana secepatnya!" Tanpa pikir panjang aku segera menyanggupi untuk menemui dokter. Sambungan telepon kemudian ditutup lalu aku segera bersiap. Kubangunkan suamiku dan memberitahu bahwa aku harus ke rumah sakit sekarang juga. "Hati-hatilah, nanti mas nyusul!" Aku pergi kerumah sakit sambil jalan kaki. "Mbak, mau kemana?" tanya seorang ibu-ibu perih baya padaku. "Mau ke rumah sakit, Bu!" Kami berjalan bersama. "Rumah sakit itu?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu ini kelihatan ramah. "Oh, sam
Kadang aku miris dengan hidupku, aku selalu menguatkan orang lain, padahal kehidupanku sendiri nggak ada yang nguatin, yang ada malah direcikon aja. "Tio, Bulek boleh tanya?" "Apa, Bulek?" Dia menoleh. "Em, apa kamu tau kapan Pak Hari sama ibumu ijab qobul?" Dia menatapku sejenak lalu menggeleng. Nah, Tio anaknya aja nggak tau Meri dan Pak Hari menikah, ini gimana sih? "Mereka dekat tuh mulai buka nya lapak karet baru itu, Bulek. Selebihnya aku nggak tau. Tapi Pak Hari sering main kerumah sejak kenal sama ibu. Harga karet kita juga beda sama yang lain, punya ku dan ibu selalu dibayari tinggi," ungkap Tio. O, o, o ... begitu rupanya. Hmmm, bisa jadi mereka pacaran klik langsung nikah. Tapi ... nikahnya gimana, ya sah apa enggak? Meri 'kan masih istri sah Handoyo. Ah, pusing. "Ya udahlah, nggak usah dipikirin. Mandi sana, bentar lagi magrib!" Malam ini, aku suami, dan Tio makan malam bersama lalu Istirahat. ______ Pagi hari aku dibangunkan oleh suara dering telpon seseorang. S
Apa sebenarnya yang disembunyikan Pak Hari, dan siapa pak Bagyo? Duh, tambah pusing aja kepalaku ini. Kuputuskan masuk kosan untuk istirahat. "Bulek, kipasnya dikamar satu. Disini satu. Aku tidur diluar aja, deh." Tio merebahkan dirinya sambil nonton tivi yang baru dipasang. "Iya. Makasih. Oom kemana?" "Mandi," sahutnya masih sambil rebahan. Aku ber-oh ria lalu ke kamar untuk istirahat. Mas Rahman masuk kamar mendekati tas lalu mengambil baju. "Mas, ada yang aneh!" desisku sambil rebahan di kasur yang tersedia. Suamiku menoleh sambil memakai kaos oblong. "Aneh, apanya yang aneh?" Kini Mas Rahman menyisir rambutnya. "Ya, aneh, Mas. Tetangga lingkungan sini nggak kenal tau sama Pak Hari. Kata mereka pemilik kos-kosan ini Pak Bagyo. Apa nggak aneh, coba? Siapa Pak Bagyo?" Aku bangun bersandar di dinding. Mas Rahman kelihatan berpikir sejenak. "Pak Bagyo? Hem ... kaya pernah dengar." Wajahnya seakan berusaha mengingat sesuatu. Aku sendiri malah bingung mikirin siapa Pak Bagyo. "