Home / Pendekar / Legenda Pendekar Buruk Rupa / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Legenda Pendekar Buruk Rupa: Chapter 11 - Chapter 20

158 Chapters

11. Suara Tangis Bimala

Semua pun kembali menggunakan jurus meringankan tubuhnya dengan melompat dari pohon satu ke pohon lainnya. Ketika mereka sudah tiba di depan kandang, mereka melihat Laras sedang menangis meraung-raung di hadapan kandang. Sa dan semua heran.“Kenapa istriku?” tanya Sa heran.“Roh jahat itu telah membawa Tanaka pergi, Suamiku!” isak Laras.Sa dan tiga sekawan menoleh ke dalam kandang. Mereka terkejut melihat Tanaka sudah tidak ada di dalam sana. Tanaka pun dengan rapihnya menutupi lubang itu dengan jerami yang ada di dalam kandang itu hingga tak terlihat oleh semuanya.“Arwah penunggu itu memang benar-benar hebat! Dia bisa meloloskan diri dari ajian pelindungku,” ucap Sa tak percaya.“Ayo kita cari Tanaka!” ajak Si dengan paniknya.Empat sekawan pun bergegas pergi mencari Tanaka ke arah batu besar pinggir lembah. Sementara Laras masih menangis sesenggukan di hadapan Kandang itu.***Tanaka yang berhasil meloloskan diri tampak berjalan menyusuri sungai dengan kesalnya. Dia sudah mengguna
Read more

12. Kesedihan Sa

Tanaka masih gelisah di dalam kamarnya. Matanya masih mengawang ke langit-langit kamarnya. Tak lama kemudian pintu kamarnya berderak. Tanaka menoleh, kaget melihat kedatangan Laras. Pemuda itu bergegas bangkit lalu duduk di tepi ranjang. Dia tidak mengenakan topengnya. Wajahnya terlihat jelas sebagaimana aslinya.“Ibu?” ucap Tanakan heran.“Kamu baik-baik saja kan?” tanya Laras heran.Tanaka tersenyum memangguk.“Maafkan atas kebodohan Ayah dan paman-pamanmu,” ucap Laras dengan wajah serius. Dia pun duduk di sebelah Tanaka.“Aku tidak marah sama ayah dan paman-pamanku, Bu,” ucap Tanaka menenangkan hati Ibunya.Laras memperhatikan mimik wajah anaknya dengan heran. Dia bisa melihat jelas ada sendu di kedua bola matanya.“Sebenarnya kamu lagi mikirin apa? Apa ada yang melihat wajahmu terus mengejekmu?” tanya Laras khawatir. “Ibu kan sudah bilang, kamu harus selalu menggunakan topengmu, biar tidak ada yang mengejekmu.”“Bukan karena itu, Bu,” jawab Tanaka.“Terus karena apa?” desak Laras
Read more

13. Pengintaian Malam

Laras sedang menyiapkan makan malam untuk semuanya. Sa datang duluan lalu duduk di atas lantai. Di hadapannya sudah tersaji berbagai hidangan.“Mana yang lainnya?” tanya Laras.“Mereka masih di sungai,” jawab Sa.“Tanaka?”“Ayah tidak tahu, Bu. Mungkin dia masih di kamarnya,” jawab Sa.Laras duduk di hadapan Sa. Lalu memperhatikan wajahnya yang tampak sedih.“Anak sama bapaknya kok sama,” ucap Laras tiba-tiba.Sa mengernyit heran mendengarnya.“Sama bagaimana?” tanya Sa heran.“Tanaka seharian ini tampak sedih, kamu juga sedih. Kalian sebenarnya kenapa?” tanya Laras heran.“Apa kita kembali ke Nusantara saja, Bu?” tanya Sa tiba-tiba.Laras terdiam.“Istriku?”“Bukankah saat ini Nusantara masih belum aman, Suamiku?” tanya balik Laras dengan heran.“Aku ingin mencari tabib untuk mengobati wajah Tanaka. Aku yakin ada tabib di Nusantara yang bisa menyembuhkannya,” ucap Sa.Laras terdiam mendengar itu.“Istriku?”“Tanaka tidak sedang terkena penyakit, suamiku. Tabib-tabib di negeri ini pun
Read more

14. Jurus Tendangan Angin Duduk

Bimala melangkah sendirian sambil membawa buntalan kain. Matanya begitu awas. Jika mendengar sesuatu yang mencurigakan, dia langsung mencabut pedangnya dan kembali meletakkannya di tempat semula jika tidak menemukan yang ditakutkannya. Dia masih trauma dengan sikap Putra Mahkota selama ini. Ya, saat Putra Mahkota mengadakan pesta di istana, dia mengundang seluruh kepala wilayah di negeri Manggala. Saat itu ayahnya dan dirinya datang ke istana, sejak itulah Putra Mahkota tertarik padanya.Bimala heran, saat Putra Mahkota datang membawa pasukannya. Dia memberikan hadiah yang banyak kepada ayahnya dan juga untuk dirinya. Ayahnya menyambut baik kedatangannya. Dia merasa terhormat melihat Putra Mahkota datang mengunjunginya. Hal yang langka dan untuk pertama kalinya seorang Putra Mahkota mengunjungi Tuan Kepala Wilayah. Dan saat itulah Putra Mahkota terang-terangan menyatakan rasa sukanya kepada Bimala.“Aku tidak suka dengannya, Ayah,” ucap Bimala pada Gautam.“Kenapa kau tidak suka padan
Read more

15. Perjalanan di Bawah Bulan

Bimala mendekat pada Tanaka dengan haru.“Terima kasih telah menyelamatkanku,” ucap Bimala.Tanak kikuk.“Sudah menjadi kewajiban umat manusia untuk melindungi sesama manusia,” jawab Tanaka gugup.“Katanya kau pergi?” tanya Bimala.Tanaka salah tingkah, dia takut Bimala mengetahui bahwa saat dia menghilang darinya tadi sebenarnya tidak pergi, melainkan mengikutinya diam-diam dari atas pohon dengan jurus Mengibas-Ngibas Angin dalam Kendi. Jurus yang bisa membuatnya seperti berjalan di atas udara. Hingga kakinya yang melompati pohon demi pohon tak terdengar suara pijakannya.“Malam membuat telingaku lebih jeli mendengar suara,” jawab Tanaka gugup. “Makanya aku tahu ada yang menyerangmu.”Bimala tersenyum. “Kau mengikutiku ya?”“Tidak!” jawab Tanaka gugup.“Bilang saja kalau kau diam-diam mengikutiku,” ucap Bimala tersenyum.“Sumpah! Aku tidak mengikutimu!” ucap Tanaka gugup, untung saja dia mengenakan topeng hingga kegugupannya tidak dapat terbaca oleh gadis itu.“Ya sudah,” ucap Bimala
Read more

16. Yosadana, Sang Putra Mahkota

Prajurit itu rubuh di hadapan Yosadana, sang Putra Mahkota di kerajaan Manggala. Yosadana heran. “Mana Bimala?” tanyanya geram. “Kami tidak berhasil membawanya ke sini, Yang Mulia,” ucap prajurit itu memegangi dadanya yang sakit akibat terkena jurus Tendangan Angin Duduk dari Tanaka. Mendengar itu Yosadana malah menginjak dada prajuritnya. “Kenapa kalian tidak bisa membawanya ke sini?!” tanya Yosadana dengan geram. Prajuritnya tak bisa bicara kaki Putra Mahkota terlalu kuat menginjak dadanya. Yosadana pun menujuk kaki Putra Mahkota agar diangkat supaya dia bisa bicara padanya. Putra Mahkota pun mengangkat kakinya. “Ada seorang pendekar bertopeng yang menyelamatkannya,” jawab prajurit itu. Yosadana terbelalak mendengarnya. “Siapa dia?” “Saya tidak tahu, Yang Mulia!” Putra Mahkota kembali menginjak perut prajurit itu hingga dia kesakitan lalu tidak bisa benapas lagi. Putra Mahkota semakin menekan telapak kakinya hingga kini prajuritnya memuntahkan darah lalu tak lagi bernapas.
Read more

17. Istana Kerajaan Banggala

Istana Kerajaan Banggala tampak megah. Bagunan-bangunan tinggi terbuat dari kayu dan bambu begitu tinggi menjulang. Di alasi bebatuan pipih yang dijadikan sebagai lantainya. Pagar istana terbuat dari bebatuan yang diukir dan dikunci dengan memasukkan paku batu dengan cara melubangi bagian batu untuk penguncunyinya. Atap-atapnya terbuat dari anyaman jerami yang menghitam. Tahan dari panas dan hujan. Istana itu begitu luas. Dikelilingi pagar batu yang tinggi. Untuk memasuki istana itu harus memasuki tujuh gerbang berlapis-lapis. Pagar istana juga dibuat berlapis-lapis agar menjadi pertahanan yang kuat dan tidak gampang dimasuki penyusup. Setiap gerbangnya dijaga ketat oleh para prajurit terbaik kerajaan itu.Bagunan yang paling tengah adalah bangunan utama. Tempat Raja berkumpul dengan para pembesar istana untuk berunding atau memberikan titah pada para pejabat istana. Bagunan itu adalah bangunan yang paling besar dari bangunan lainnya. Di sebelah kanannya adalah kediaman Raja dan Perma
Read more

18. Pertemuan Terakhir

Angin berembus cukup kencang saat Tanaka dan Bimala berhasil turun dari bukit kedua. Bimala tampak lelah, sementara hari sudah hampir petang. Tanaka tampak kasihan melihatnya.“Apa sebaiknya kita istirahat dulu saja?” tanya Tanaka.Bimala menoleh dengan napas tak beraturan pada Tanaka.“Kita istirahat di perkampungan saja,” jawab Bimala. Dia ingin segera tiba pada tujuannya. Dia tak ingin berlama-lama dalam perjalanan. Dia yakin, saat ini pasukan yang dikirim oleh Putra Mahkota pasti sedang mengejarnya.“Memangnya dekat sini ada perkampungan?” tanya Tanaka heran.“Kau belum pernah ke sini sebelumnya?” tanya Bimala heran. Kini dia berhenti.Tanaka ikut berhenti lalu menggeleng.Bimala menunjukkan senyum indahnya. “Pantas saja,” celetuk Bimala.Tanaka heran. “Pantas saja bagaimana?”“Kau tidak tahu kalau di sini ada perkampungan yang sangat terkenal di seluruh penjuru Kerajaan Banggala?” jawab Bimala.Tanaka mengernyit mendengarnya. “Perkampungan terkenal?”“Iya!” jawab Bimala, “Perkamp
Read more

19. Pusaka Tua

Malam sudah datang. Tanaka tampak lelah mengejar langkah pamannya Se yang begitu cepat. Tanaka heran, jalanan yang mereka lalui sepertinya bukan jalan menuju kediamannya.“Tunggu!” teriak Tanaka.Se berhenti melangkah.“Ada apa keponakanku? Sudah paman bilang, jangan dulu banyak tanya! Nanti aku jelaskan padamu kenapa aku mengikutimu ketika kita sudah sampai di rumah,” ujar Se sedikit geram.“Ini bukan jalan pulang,” ujar Tanaka dengan bingung.“Kau pikir hanya jalan yang dilalui gadis itu saja yang harus dilewati?” tanya Se geram.Tanaka memejamkan matanya. Dia menggunakan ajiannya. Se menghela napas. Dia tahu apa yang dilakukan keponakannya itu. Keponakannya pasti sedang menggunakan jurus kucing mengendus. Ajian yang mampu membaui sesuatu yang mencurigakan.“Paman bohong padaku,” ucap Tanaka.“Memangnya apa yang kau endus hingga bisa mengatakan aku berbohong?” tanya Se mencoba memastikan.“Paman tidak membawaku ke rumah, tapi paman mencoba memutar arah untuk kembali ke arah perkampu
Read more

20. Serangan Malam

Bimala duduk termenung di teras rumahnya. Malam kian larut. Kakek dan Neneknya datang dari dalam rumah menghampirinya. Sepiring ubi rebus dan segelas teh manis dibawa Neneknya lalu dihidangkan di dekat Bimala.“Takdir telah datang kepada ayahmu. Jangan kau bersedih lagi. Sekarang ada Kakek dan Nenek yang akan selalu bersamamu,” pinta Kakeknya.Bimala mencoba tersenyum pada Kakeknya. Dia tidak ingin kesedihannya terbaca di mata Kakek dan Neneknya itu.“Aku sudah menerima takdirnya meski sulit, Kek,” sahut Bimala.Kakeknya tersenyum lega melihatnya.“Makan dan minumlah dulu,” pinta Neneknya. “Setelah ini ada sesuatu yang ingin Kakek dan Nenek lakukan untukmu.”Bimala mengernyit heran mendengarnya.“Apa itu, Nek?” tanya Bimala heran.“Makan dan minumlah dulu,” pinta Neneknya.Bimala langsung meraih gelas teh hangat lalu menyeruputnya. Dia membiarkan sepiring ubi di dekatnya.“Aku sudah kenyang, bukan kah tadi kita sudah makan. Jika ada sesuatu yang ingin Nenek dan Kakek katakan, katakanl
Read more
PREV
123456
...
16
DMCA.com Protection Status