Home / Pernikahan / Kamu Berulah, Waspadalah! / Chapter 181 - Chapter 190

All Chapters of Kamu Berulah, Waspadalah!: Chapter 181 - Chapter 190

224 Chapters

Next 105

Mas Maftuh diam saja. Kurasa dia juga merasakan apa yang aku rasakan. Dia juga terlihat menunduk terus. "Tak masalah. Emm ... sudah kamu urus surat pindahnya?" tanya Mas Budi lagi. Nampaknya dia tak marah. Tapi nggak tahu juga bagaimana isi hatinya. "Belum. Niatnya besok," jawabku. Ya, karena besok aku berniat ingin memindahkan Azkia. "Kalau menurutku tak usah dipindahkan," ucap Mas Budi. Cukup membuat keningku melipat. Mencerna lebih dalam lagi. Belum paham apa maksudnya. "Kenapa?" tanyaku penasaran. Aku dan Mas Maftuh saling beradu pandang sejenak. "Kamu memindahkan Azkia gara-gara apa?" tanya balik Mas Budi. Kutelan ludah ini sejenak. Jika ditanya seperti itu, rasanya tak enak sekali mau menjelaskan. Karena intinya ingin bapak kandungnya tak mendekat. Kalau didengar memang tak pas. Aku tahu itu. Aku memang tak mau jika Mas Bima mendekati Azkia. Aku tahu mereka bapak dan anak kandung. Kalau di dengar memang jahat sekali. Tapi memang aku tak rela jika Azkia dekat dengan Mas Bim
Read more

TAMAT.

EndingSatu tahun kemudianRencana hanya tinggal rencana. Pusing memikirkan jalan keluar suatu masalah, ternyata Allah telah mempersiapkan jalan keluar itu dengan mudahnya. Jalan keluar yang tak pernah terlintas sama sekali dalam pikiranku. Saat aku tahu Mas Bima keluar dari penjara, hati dan pikiranku kacau balau. Aku takut jika dia mendekati Azkia maka akan berdampak sangat buruk. Entahlah, mungkin benar kata orang, aku terlalu lebay. Aku terlalu mencemaskan anak perempuanku. Tapi biarlah lebay, karena faktanya satu tahun yang lalu, itu yang aku cemaskan, itu yang aku khawatirkan. Aku sudah bingung mencarikan jalan keluar demi kebaikan Azkia, sampai berniat ingin memindahkannya ke Malaysia. Ternyata itu semua hanya rencana, tapi Allah berkehendak lain. Allah ternyata tetap menginginkan Azkia tinggal bersama dan tetap dalam pengawasanku. Saat mendengar dan memastikan kalau Mas Bima masuk penjara lagi, seketika hati ini sakit tapi juga lega. Sakit, karena bagaimanapun dia tetap a
Read more

Season 3 (Bab 1)

"Aku udah muak dengan semua ini!""Kamu pikir kamu aja yang muak, aku nggak muak? Hah? Aku juga muak!""Kamu tuh kebiasaan selalu menjawab ucapan suami!""Terus aku suruh diam? Aku nggak boleh jawab ucapan kamu? Aku harus jadi seperti patung gitu?""Diam!""Kalau aku nggak mau diam Kenapa?""Dasar Istri durh4ka!""Kamu itu suami yang durh4ka!"Plak!Satu tamparan mendarat ke pipi mama begitu saja. Cukup keras, aku yakin itu pasti sangat sakit. Cukup membuatku terkejut. Seperti inilah kehidupanku setiap hari. Selalu melihat pertengkaran kedua orang tuaku. Mereka yang bertengkar, aku yang merasakan sakitnya. Hati ini sangat sakit sekali. "Tampar lagi! Biar kamu puas! Kenapa cuma nampar sekali? Ayo tampar lagi!" Mama menyodorkan pipinya dengan tatapan menyalang. Seolah pipi itu emang sudah terbiasa ditampar oleh tangan papa. Jadi mungkin sudah tak terasa sakit. Walau aku sangat yakin, kalau itu sangat sakit sekali. Sungguh sakit sekali hati ini. Kedua orang tuaku memang masih lengkap.
Read more

Bab 2

"Orang tuamu berantem lagi?" tanya Azkia. Aku memilih keluar dari rumah dan bertemu dengan Azkia. Padahal aku belum cerita apa-apa, tapi Azkia sudah bertanya lebih dulu. Lebih tepatnya dia menerka. Tapi memang seperti itulah, Azkia sudah tahu bagaimana keluargaku. Jadi, jika ekspresiku bersedih dia pasti langsung menduga ke situ. Semuanya sudah aku ceritakan pada Azkia. Aku anggukkan dengan malas kepala ini. Azkia kemudian mengusap punggung ini. Diusap seperti itu oleh Azkia, bukannya tenang tapi malah semakin membuat hati ini sesak luar biasa. Air mata yang tadinya sudah berhenti, kini bergulir begitu saja. "Aku iri sama kamu Azkia." Isakku sesenggukan. Aku melihat kening Azkia melipat. "Kamu iri sama aku?" Azkia mengulang kata itu mungkin hanya untuk memastikan lagi apa yang ia dengar dari mulutku ini. Aku usap pipi ini dengan tangan gemetar. "Iya. Aku sangat iri sama kamu. Hidup kamu bahagia, hidup kamu sempurna, sangat berbeda dengan hidupku." Azkia terlihat menganga. Kemudian
Read more

Bab 3

"Aku perhatikan kamu sering melihat HP. Lagi berbalas chat, ya?" tanyaku kepada Azkia. Azkia dengan ekspresi seolah malu-malu kemudian menganggukkan kepalanya. "Eh, i-iya ... Maaf ya kalau terkesan lebih mengarah ke HP." Segera aku menggelengkan kepala ini, karena menurutku dia tidak perlu minta maaf. "Kenapa kamu minta maaf? Kamu nggak salah. Tapi, kamu nggak mau cerita sama aku. Kamu lagi dekat dengan siapa?" Walau aku teman dekatnya, Azkia tidak pernah menceritakan masalahnya terutama laki-laki. Jadi yang sering cerita itu aku, Azkia menjadi pendengar setia ceritaku. "Aku lagi berbalas chat dengan sahabatku dari kecil. Namanya Gibran. Aku memang tidak pernah menceritakan dia, karena aku cukup cerita dengan mamaku." Jawab Azkia. Lagi, lagi Hati ini terasa tersendal. Semakin iri dengan takdir Azkia. Kapan aku bisa cerita seperti itu dengan mamaku? Azkia bahkan tidak membutuhkan sahabat atau teman, untuk menceritakan masalahnya. Mamanya bisa untuk tempat cerita. Sungguh dia sangat
Read more

Bab 4

"Kamu habis dari mana?" tanya Papa dengan suara seolah sedang menahan marah. Aku baru saja sampai rumah. Kutarik napas ini sejenak, kemudian aku hembuskan secara perlahan. Sudah terbiasa seperti ini, bahkan juga sudah terbiasa melihat Papa marah. Aku menoleh ke arah Papa. Sorot matanya seolah tak suka aku pulang malam. Ya, habis bertemu dengan Azkia tadi, aku memang tidak langsung pulang. Rasanya aku emang enggan untuk pulang. Rumah yang seharusnya bisa untuk menenangkan hati, rumah yang seharusnya bisa untuk beristirahat dengan tenang, tapi faktanya aku tidak merasakan itu. Rumah ini terasa bagaikan di neraka bagiku. "Apakah masih penting aku ini ada di rumah atau tidak?" Sengaja Aku menjawab seperti itu. Rasanya sudah hilang rasa hormatku, karena memang sudah terbiasa seperti ini. Aku tahu itu memang bukan urusanku, aku tahu ini tidak baik, tapi hati sudah terlanjur kesal. Bola mata Papa terlihat semakin membulat, terlihat tak suka dengan apa yang baru saja aku ucapkan. "Yang
Read more

Bab 5

Aku menyeringai kecut begitu saja. Hati ini terasa udah kebal dengan semua drama, yang ada di dalam rumah ini. "Mama yakin Mama sayang sama aku? Kalau kalian sayang sama aku, harusnya kalian tidak bertengkar setiap hari di hadapan aku seperti ini." Setelah berkata seperti itu, aku segera beranjak pergi. Melangkah dengan cepat menuju kamarku, dengan dada yang terasa sangat sesak. "Anak nggak tau diri! Anak kok lama-lama nggak ada sopan santunnya sama orang tua! Itulah didikan kamu! Kamu memang nggak becus jadi orang tua, nggak becus jadi seorang Mama!" Telinga ini mendengar suara papa mem4ki Mama. Seperti itulah. Padahal keadaan lagi seperti ini, bukannya mereka saling intropeksi diri dan sadar diri atas kesalahan mereka, tapi mereka masih terus saling menyalahkan. "Kalau aku nggak becus didik anak, Apa bedanya sama kamu? Kamu kan juga papanya. Kamu kan imam di rumah ini, kamu kepala keluarga di rumah ini. Jadi, kamu juga ikut salah didik anak, makanya dia nggak punya sopan santun
Read more

Bab 6

Keesokan harinya. Aku ingin bertemu Azkia. Hanya dia teman yang bisa aku ajak curhat dan aku yakin curhatanku ke dia, tidak akan bocor kemana-mana. Dia orang yang sangat aku percaya saat ini. Aku sudah membuat janji kepada Azkia, jika hari ini nanti, aku akan main ke rumahnya. Aku sangat nyaman berada di rumah Azkia. Kedua orang tuanya baik begitu juga dengan adik-adiknya. Kedua orang tua Azkia sangat romantis. Nada suaranya juga lembut dan sangat enak didengar. Jika aku boleh meminta, aku ingin sekali menjadi anak dari mereka. Ingin terlahir dari orang tua, seperti orang tua Azkia. Tapi apalah manusia, terlahir ke dunia ini tanpa bisa memilih dan meminta, untuk terlahir dari rahim siapa. Sungguh Azkia sangat bersyukur. Aku memang dekat dengan Azkia, walau hati ini selalu iri dengan semua tingkah lakunya. Terkadang apa yang dia punya juga membuatku iri. Sebenarnya hal sepele, sebenarnya bukan barangnya yang aku inginkan, tapi seolah kasih sayang dari barang itu, yang diberikan o
Read more

Bab 7

Rumah sudah sepi. Mungkin Papa sudah berangkat ke kantor. Sedangkan Mama, mungkin sudah bertemu dengan teman-temannya. Entahlah, aku tidak tahu. Yang aku tahu, rumah ini sudah tidak harmonis lagi. Sudah tidak aku rasakan cinta lagi. Mulai sejak kapan, aku pun lupa. Sebelum aku pergi ke rumah Azkia, aku mengedarkan pandangan terlebih dahulu. Memandang rumah ini. Rumah di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Dibesarkan tanpa adanya cinta. Entah sejak kapan cinta itu menghilang, aku pun tak ingat lagi. Entah sampai kapan akan seperti ini. Rasanya memang sudah tidak betah tinggal di rumah ini. Tapi kalau tidak tinggal di sini, aku mau tinggal di mana?Rumah nenek dari kedua belah pihak cukup jauh. Lagian, aku juga tidak begitu akrab dengan nenek. Baik nenek dari Mama, atau pun nenek dari Papa. Setelah aku puas memandang rumah ini, aku segera beranjak keluar. Segera menuju ke rumah Azkia. Rumah yang aku inginkan, rumah yang aku idamkan. Rumah Azkia sebenarnya biasa saja. Kurang lebih sam
Read more

Bab 8

"Emm, Gibran itu teman aku dari kecil. Bahkan dulu aku sempat mau pindah ke Malaysia, ingin satu sekolahan sama dia gitu. Tapi karena ada suatu hal, akhirnya nggak jadi. Setelah sekian lama, akhirnya sekarang bertemu lagi. Kalau dilihat dari fotonya sih, dia semakin keren daripada waktu kecilnya dulu. Tapi kan, nggak tahu ya namanya difoto sama aslinya itu berbeda apa nggak. Tapi mau seperti apapun dia sekarang, dia tetap sahabatku." Azkia terlihat menikmati saat membicarakan tentang Gibran. Sorot mata Azkia bisa aku lihat, bukan hanya rasa sahabat yang ia rasakan, tapi lebih dari itu. Ah, kenapa aku cemburu ya? Padahal aku tak kenal seperti apa Gibran itu. Lagi, aku merasa iri dengan hidup Azkia. Sedangkan aku sampai detik ini, tak mempunyai teman seperti itu. Terutama teman laki-laki. Siapa laki-laki yang mau dekat sama aku? Sedangkan orang tuaku saja terlihat berantakan. Benar-benar bukan perempuan idaman para lelaki. Berbeda jauh dengan Azkia. "Ayo kalau gitu kita berangkat. Na
Read more
PREV
1
...
1718192021
...
23
DMCA.com Protection Status