"Aku udah muak dengan semua ini!""Kamu pikir kamu aja yang muak, aku nggak muak? Hah? Aku juga muak!""Kamu tuh kebiasaan selalu menjawab ucapan suami!""Terus aku suruh diam? Aku nggak boleh jawab ucapan kamu? Aku harus jadi seperti patung gitu?""Diam!""Kalau aku nggak mau diam Kenapa?""Dasar Istri durh4ka!""Kamu itu suami yang durh4ka!"Plak!Satu tamparan mendarat ke pipi mama begitu saja. Cukup keras, aku yakin itu pasti sangat sakit. Cukup membuatku terkejut. Seperti inilah kehidupanku setiap hari. Selalu melihat pertengkaran kedua orang tuaku. Mereka yang bertengkar, aku yang merasakan sakitnya. Hati ini sangat sakit sekali. "Tampar lagi! Biar kamu puas! Kenapa cuma nampar sekali? Ayo tampar lagi!" Mama menyodorkan pipinya dengan tatapan menyalang. Seolah pipi itu emang sudah terbiasa ditampar oleh tangan papa. Jadi mungkin sudah tak terasa sakit. Walau aku sangat yakin, kalau itu sangat sakit sekali. Sungguh sakit sekali hati ini. Kedua orang tuaku memang masih lengkap.
"Orang tuamu berantem lagi?" tanya Azkia. Aku memilih keluar dari rumah dan bertemu dengan Azkia. Padahal aku belum cerita apa-apa, tapi Azkia sudah bertanya lebih dulu. Lebih tepatnya dia menerka. Tapi memang seperti itulah, Azkia sudah tahu bagaimana keluargaku. Jadi, jika ekspresiku bersedih dia pasti langsung menduga ke situ. Semuanya sudah aku ceritakan pada Azkia. Aku anggukkan dengan malas kepala ini. Azkia kemudian mengusap punggung ini. Diusap seperti itu oleh Azkia, bukannya tenang tapi malah semakin membuat hati ini sesak luar biasa. Air mata yang tadinya sudah berhenti, kini bergulir begitu saja. "Aku iri sama kamu Azkia." Isakku sesenggukan. Aku melihat kening Azkia melipat. "Kamu iri sama aku?" Azkia mengulang kata itu mungkin hanya untuk memastikan lagi apa yang ia dengar dari mulutku ini. Aku usap pipi ini dengan tangan gemetar. "Iya. Aku sangat iri sama kamu. Hidup kamu bahagia, hidup kamu sempurna, sangat berbeda dengan hidupku." Azkia terlihat menganga. Kemudian
"Aku perhatikan kamu sering melihat HP. Lagi berbalas chat, ya?" tanyaku kepada Azkia. Azkia dengan ekspresi seolah malu-malu kemudian menganggukkan kepalanya. "Eh, i-iya ... Maaf ya kalau terkesan lebih mengarah ke HP." Segera aku menggelengkan kepala ini, karena menurutku dia tidak perlu minta maaf. "Kenapa kamu minta maaf? Kamu nggak salah. Tapi, kamu nggak mau cerita sama aku. Kamu lagi dekat dengan siapa?" Walau aku teman dekatnya, Azkia tidak pernah menceritakan masalahnya terutama laki-laki. Jadi yang sering cerita itu aku, Azkia menjadi pendengar setia ceritaku. "Aku lagi berbalas chat dengan sahabatku dari kecil. Namanya Gibran. Aku memang tidak pernah menceritakan dia, karena aku cukup cerita dengan mamaku." Jawab Azkia. Lagi, lagi Hati ini terasa tersendal. Semakin iri dengan takdir Azkia. Kapan aku bisa cerita seperti itu dengan mamaku? Azkia bahkan tidak membutuhkan sahabat atau teman, untuk menceritakan masalahnya. Mamanya bisa untuk tempat cerita. Sungguh dia sangat
"Kamu habis dari mana?" tanya Papa dengan suara seolah sedang menahan marah. Aku baru saja sampai rumah. Kutarik napas ini sejenak, kemudian aku hembuskan secara perlahan. Sudah terbiasa seperti ini, bahkan juga sudah terbiasa melihat Papa marah. Aku menoleh ke arah Papa. Sorot matanya seolah tak suka aku pulang malam. Ya, habis bertemu dengan Azkia tadi, aku memang tidak langsung pulang. Rasanya aku emang enggan untuk pulang. Rumah yang seharusnya bisa untuk menenangkan hati, rumah yang seharusnya bisa untuk beristirahat dengan tenang, tapi faktanya aku tidak merasakan itu. Rumah ini terasa bagaikan di neraka bagiku. "Apakah masih penting aku ini ada di rumah atau tidak?" Sengaja Aku menjawab seperti itu. Rasanya sudah hilang rasa hormatku, karena memang sudah terbiasa seperti ini. Aku tahu itu memang bukan urusanku, aku tahu ini tidak baik, tapi hati sudah terlanjur kesal. Bola mata Papa terlihat semakin membulat, terlihat tak suka dengan apa yang baru saja aku ucapkan. "Yang
Aku menyeringai kecut begitu saja. Hati ini terasa udah kebal dengan semua drama, yang ada di dalam rumah ini. "Mama yakin Mama sayang sama aku? Kalau kalian sayang sama aku, harusnya kalian tidak bertengkar setiap hari di hadapan aku seperti ini." Setelah berkata seperti itu, aku segera beranjak pergi. Melangkah dengan cepat menuju kamarku, dengan dada yang terasa sangat sesak. "Anak nggak tau diri! Anak kok lama-lama nggak ada sopan santunnya sama orang tua! Itulah didikan kamu! Kamu memang nggak becus jadi orang tua, nggak becus jadi seorang Mama!" Telinga ini mendengar suara papa mem4ki Mama. Seperti itulah. Padahal keadaan lagi seperti ini, bukannya mereka saling intropeksi diri dan sadar diri atas kesalahan mereka, tapi mereka masih terus saling menyalahkan. "Kalau aku nggak becus didik anak, Apa bedanya sama kamu? Kamu kan juga papanya. Kamu kan imam di rumah ini, kamu kepala keluarga di rumah ini. Jadi, kamu juga ikut salah didik anak, makanya dia nggak punya sopan santun
Keesokan harinya. Aku ingin bertemu Azkia. Hanya dia teman yang bisa aku ajak curhat dan aku yakin curhatanku ke dia, tidak akan bocor kemana-mana. Dia orang yang sangat aku percaya saat ini. Aku sudah membuat janji kepada Azkia, jika hari ini nanti, aku akan main ke rumahnya. Aku sangat nyaman berada di rumah Azkia. Kedua orang tuanya baik begitu juga dengan adik-adiknya. Kedua orang tua Azkia sangat romantis. Nada suaranya juga lembut dan sangat enak didengar. Jika aku boleh meminta, aku ingin sekali menjadi anak dari mereka. Ingin terlahir dari orang tua, seperti orang tua Azkia. Tapi apalah manusia, terlahir ke dunia ini tanpa bisa memilih dan meminta, untuk terlahir dari rahim siapa. Sungguh Azkia sangat bersyukur. Aku memang dekat dengan Azkia, walau hati ini selalu iri dengan semua tingkah lakunya. Terkadang apa yang dia punya juga membuatku iri. Sebenarnya hal sepele, sebenarnya bukan barangnya yang aku inginkan, tapi seolah kasih sayang dari barang itu, yang diberikan o
Rumah sudah sepi. Mungkin Papa sudah berangkat ke kantor. Sedangkan Mama, mungkin sudah bertemu dengan teman-temannya. Entahlah, aku tidak tahu. Yang aku tahu, rumah ini sudah tidak harmonis lagi. Sudah tidak aku rasakan cinta lagi. Mulai sejak kapan, aku pun lupa. Sebelum aku pergi ke rumah Azkia, aku mengedarkan pandangan terlebih dahulu. Memandang rumah ini. Rumah di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Dibesarkan tanpa adanya cinta. Entah sejak kapan cinta itu menghilang, aku pun tak ingat lagi. Entah sampai kapan akan seperti ini. Rasanya memang sudah tidak betah tinggal di rumah ini. Tapi kalau tidak tinggal di sini, aku mau tinggal di mana?Rumah nenek dari kedua belah pihak cukup jauh. Lagian, aku juga tidak begitu akrab dengan nenek. Baik nenek dari Mama, atau pun nenek dari Papa. Setelah aku puas memandang rumah ini, aku segera beranjak keluar. Segera menuju ke rumah Azkia. Rumah yang aku inginkan, rumah yang aku idamkan. Rumah Azkia sebenarnya biasa saja. Kurang lebih sam
"Emm, Gibran itu teman aku dari kecil. Bahkan dulu aku sempat mau pindah ke Malaysia, ingin satu sekolahan sama dia gitu. Tapi karena ada suatu hal, akhirnya nggak jadi. Setelah sekian lama, akhirnya sekarang bertemu lagi. Kalau dilihat dari fotonya sih, dia semakin keren daripada waktu kecilnya dulu. Tapi kan, nggak tahu ya namanya difoto sama aslinya itu berbeda apa nggak. Tapi mau seperti apapun dia sekarang, dia tetap sahabatku." Azkia terlihat menikmati saat membicarakan tentang Gibran. Sorot mata Azkia bisa aku lihat, bukan hanya rasa sahabat yang ia rasakan, tapi lebih dari itu. Ah, kenapa aku cemburu ya? Padahal aku tak kenal seperti apa Gibran itu. Lagi, aku merasa iri dengan hidup Azkia. Sedangkan aku sampai detik ini, tak mempunyai teman seperti itu. Terutama teman laki-laki. Siapa laki-laki yang mau dekat sama aku? Sedangkan orang tuaku saja terlihat berantakan. Benar-benar bukan perempuan idaman para lelaki. Berbeda jauh dengan Azkia. "Ayo kalau gitu kita berangkat. Na
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda