Rumah sudah sepi. Mungkin Papa sudah berangkat ke kantor. Sedangkan Mama, mungkin sudah bertemu dengan teman-temannya. Entahlah, aku tidak tahu. Yang aku tahu, rumah ini sudah tidak harmonis lagi. Sudah tidak aku rasakan cinta lagi. Mulai sejak kapan, aku pun lupa. Sebelum aku pergi ke rumah Azkia, aku mengedarkan pandangan terlebih dahulu. Memandang rumah ini. Rumah di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Dibesarkan tanpa adanya cinta. Entah sejak kapan cinta itu menghilang, aku pun tak ingat lagi. Entah sampai kapan akan seperti ini. Rasanya memang sudah tidak betah tinggal di rumah ini. Tapi kalau tidak tinggal di sini, aku mau tinggal di mana?Rumah nenek dari kedua belah pihak cukup jauh. Lagian, aku juga tidak begitu akrab dengan nenek. Baik nenek dari Mama, atau pun nenek dari Papa. Setelah aku puas memandang rumah ini, aku segera beranjak keluar. Segera menuju ke rumah Azkia. Rumah yang aku inginkan, rumah yang aku idamkan. Rumah Azkia sebenarnya biasa saja. Kurang lebih sam
"Emm, Gibran itu teman aku dari kecil. Bahkan dulu aku sempat mau pindah ke Malaysia, ingin satu sekolahan sama dia gitu. Tapi karena ada suatu hal, akhirnya nggak jadi. Setelah sekian lama, akhirnya sekarang bertemu lagi. Kalau dilihat dari fotonya sih, dia semakin keren daripada waktu kecilnya dulu. Tapi kan, nggak tahu ya namanya difoto sama aslinya itu berbeda apa nggak. Tapi mau seperti apapun dia sekarang, dia tetap sahabatku." Azkia terlihat menikmati saat membicarakan tentang Gibran. Sorot mata Azkia bisa aku lihat, bukan hanya rasa sahabat yang ia rasakan, tapi lebih dari itu. Ah, kenapa aku cemburu ya? Padahal aku tak kenal seperti apa Gibran itu. Lagi, aku merasa iri dengan hidup Azkia. Sedangkan aku sampai detik ini, tak mempunyai teman seperti itu. Terutama teman laki-laki. Siapa laki-laki yang mau dekat sama aku? Sedangkan orang tuaku saja terlihat berantakan. Benar-benar bukan perempuan idaman para lelaki. Berbeda jauh dengan Azkia. "Ayo kalau gitu kita berangkat. Na
Di dekat Azkia, aku memang hanya bisa mengandai-andai saja. Menggandai-andai jika hidupku seperti Azkia. Tapi faktanya, hidupku tak seberuntung hidupnya. Walau di dekat Azkia aku selalu merasa iri dengannya, tapi nggak tahu kenapa, setiap hari aku menghampirinya. Setiap hari aku main ke rumahnya. Walau dengan hati yang sangat berkemelut hebat. Merasa upik abu saat bersama Azkia. Tapi, setiap hari aku selalu mencarinya. Lebih baik aku di rumah Azkia, walaupun aku banyak iri dengan hidupnya. Daripada aku harus tinggal di rumah, yang mana setiap hari telinga ini selalu mendengar pertengkaran kedua orang tua. Itu lebih menyakitkan. Maafkan aku Azkia. Nggak tahu apa yang terjadi, jika kamu tahu, jika hatiku ini sangat iri dan cemburu dengan kehidupan yang kamu miliki. ********Kami sudah sampai Bandara dengan selamat. Alhamdulillah. Azkia berkali-kali merapikan dirinya. Merapikan pakaiannya. Seolah dia memang ingin terlihat cantik di depan Gibran. Tapi, kalau aku bicara jujur seperti
"Alina sini!" Askia memanggilku dengan melambaikan tangannya, pertanda meminta aku untuk segera mendekat padanya. Seketika panggilan Azkia barusan membuyarkan lamunanku. Segera aku tanggapi dengan anggukan kepala, pertanda aku memang hendak menghampiri mereka.Lelaki yang bernama Gibran tersebut, barusan juga menoleh ke arahku. Dengan langkah kaki yang terpaksa, aku melangkah mendekati Azkia dan temannya itu. "Ini yang namanya Gibran. Kenalan dulu!" ucap Azkia. Dia terlihat sangat bahagia. Azkia nampak sangat bahagia, sangat jauh berbeda sebelum Gibran datang. Dengan ragu, aku menganggukan kepala ini. Lelaki bernama Gibran tersebut, mengulurkan tangannya. Dengan tangan gemetar, aku membalas uluran tangan dari Gibran. "Gibran.""Alina."Kemudian kami saling melepaskan jabatan tangan ini. Setelah itu, aku menundukkan kepala lagi. Rasa gerogi di dalam hati, sangat aku rasakan. Mudah-mudahan Azkia tak mencurigaiku. "Tanganmu dingin sekali kamu habis dari mana?" tanya Gibran. Ditanya
"Kamu lama kan di sini?" tanya Azkia. Kami sudah berada di rumah makan. Aku merasa menjadi obat nyamuk di antara mereka. Merasa tersisihkan dan bingung juga mau ikut masuk dalam obrolan mereka. Pokoknya aku banyak diamnya."Mungkin satu mingguan. Nanti kamu harus ikut aku pulang ke Malaysia. Harus satu mingguan juga di sana. Aku datang ke sini karena jemput kamu. Bukan hanya sekedar datang aja ini." Aku hanya bisa menelan ludah, mendengar percakapan mereka. Terus aku aduk-aduk makanan ini. Rasanya semakin tak selera makan. Aku melirik ke arah Azkia. Dia terlihat mengulas senyum. Senyum yang sangat terlihat bahagia. Tatapan mata mereka menyiratkan cinta. Itu yang aku nilai dari mereka. Bukan hanya sekedar teman atau sahabat. "Kamu harus ijin dulu dengan ke dua orang tuaku." Azkia seolah memberikan tantangan. Gibran terlihat manggut-manggut masih dengan ekspresi senangnya. Tantangan yang diberikan Azkia, seolah tak ada apa-apa bagi Gibran. Justru dengan senang hati, seolah Gibran mene
Hari ini hatiku cukup sesak, melihat bagaimana kedekatan Azkia dan Gibran. Rasanya semakin iri dan semakin cemburu. Tapi aku bisa apa kecuali diam. Mereka memang sudah berteman sejak lama. Sedangkan aku?Karena semakin sesak dada ini, aku memutuskan untuk pulang. Walau aku sangat tahu, sampai di rumah pun mungkin dada ini semakin sesak, karena mungkin bisa mendengar pertengkaran mama dan papa. Tapi ya sudahlah, memang seperti ini takdir hidupku. Sebelum ada Gibran aku tenang di rumah Azkia. Keluarga mereka adalah keluarga idaman yang aku impikan. Adanya Gibran nggak tahu kenapa, hati ini semakin tak nyaman. Apalagi melihat kedekatan mereka yang sangat membuat orang iri melihatnya. Sesampainya di rumah, aku langsung masuk kamar. Sengaja aku mengunci pintu kamar ini. Kalaupun nanti ada mama dan papa bertengkar, aku tak begitu mendengarnya. Azkia maafkan aku. Maafkan aku yang selalu cemburu dan iri dengan kehidupanmu. Padahal kamu adalah teman yang sangat baik. Bahkan detik ini pun, k
"Kamu ngapain di sini?" Tiba-tiba telinga ini mendengar suara seorang laki-laki. Karena penasaran aku segera menoleh ke arah suara tersebut. "Dion?" Ternyata Dion yang menyapaku. Dia kemudian duduk tak jauh dari kursiku."Tumben sendirian nggak sama Azkia?" Seketika aku menarik napas ini. Apakah dia datang karena aku sendirian? Atau dia datang karena mencari Azkia? Selalu Azkia pemenangnya."Iya, lagi pengen sendiri aja. Kenapa, kamu mencari Azkia?" jawab dan tanyaku balik. "Iya sih aku mencari Azkia. Perempuan cantik yang cukup mencuri perhatian banyak lelaki, termasuk diriku." Jleb!Ucapan Dion barusan, cukup membuatku merasa semakin tak ada apa-apanya dibanding dengan Azkia. Aku yang selalu kemana-mana bersama Azkia, seolah aku hanyalah pelayannya saja. Berarti semua lelaki menoleh ke arahnya, bukan menoleh ke arahku. "Iya Azkia memang cantik." Hanya aku tanggapi seperti itu. Lelaki bernama Dion tersebut, terlihat manggut-manggut seolah membenarkan apa yang aku katakan. Kutari
Permintaan Dion Cukup membuatku bimbang. Aku memang teman dekatnya Azkia. Tapi aku tidak mungkin memenuhi permintaan Dion. Kalau aku penuhi permintaan Dion, bisa jadi Azkia yang marah denganku. Tapi nggak tahu kenapa, aku juga nggak tega sama Dion.Aku belum menyanggupi permintaan Dion. Aku meminta waktu untuk memikirkan ini semua. Sekarang aku seorang diri di dalam kamar. Kamar yang menurutku cukup luas ini. Adanya Gibran bermain ke Indonesia untuk menemui Azkia, cukup membuatku kesepian. Karena aku tak berani mengganggu waktu mereka. Tak berani main ke rumah Azkia. Harusnya ada Gibran, harusnya nambah temen. Harusnya aku tak merasa kesepian seperti ini. Tapi yang terjadi sebaliknya. Lebih baik nggak usah ada Gibran sekalian. Jadi aku bisa bermain dengan Azkia sepuasku dan semauku.Sebenarnya Azkia juga tidak melarangku untuk main ke rumahnya. Cuma aku saja yang tak enak hati dengannya, karena dia sudah sangat lama sekali tidak bertemu dengan Gibran. Apalagi mereka sudah terpisah
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda