Permintaan Dion Cukup membuatku bimbang. Aku memang teman dekatnya Azkia. Tapi aku tidak mungkin memenuhi permintaan Dion. Kalau aku penuhi permintaan Dion, bisa jadi Azkia yang marah denganku. Tapi nggak tahu kenapa, aku juga nggak tega sama Dion.Aku belum menyanggupi permintaan Dion. Aku meminta waktu untuk memikirkan ini semua. Sekarang aku seorang diri di dalam kamar. Kamar yang menurutku cukup luas ini. Adanya Gibran bermain ke Indonesia untuk menemui Azkia, cukup membuatku kesepian. Karena aku tak berani mengganggu waktu mereka. Tak berani main ke rumah Azkia. Harusnya ada Gibran, harusnya nambah temen. Harusnya aku tak merasa kesepian seperti ini. Tapi yang terjadi sebaliknya. Lebih baik nggak usah ada Gibran sekalian. Jadi aku bisa bermain dengan Azkia sepuasku dan semauku.Sebenarnya Azkia juga tidak melarangku untuk main ke rumahnya. Cuma aku saja yang tak enak hati dengannya, karena dia sudah sangat lama sekali tidak bertemu dengan Gibran. Apalagi mereka sudah terpisah
"Akhirnya kamu miscall aku juga. Cuci tangan aja kok lama banget, ya. Mau aku telepon kok takut ganggu. Jadi ya memang nunggu miscall dari kamu." Seperti itu ucapan Dion saat aku mengangkat telepon darinya. Memang cukup lama telepon kami tadi mati. Walau sebenarnya hanya cuci tangan alasannya, tapi sebenarnya aku sedang menata hati. Karena memang tidak habis selesai makan."Iya maaf, ya, kalau lama. Tadi ada sesuatu hal yang tak bisa ku jelaskan." Hanya aku bisa tanggapi seperti itu. Aku masih di kamar, cuma sekarang aku duduk di sofa. Sofa mini yang tak jauh dari ranjangku. "Nggak masalah. Kamu mau mengangkat teleponku saja, aku sudah senang banget. Udah nggak sabar ingin tahu jawaban kamu, mau nggak nolong aku." Aku terus menguasai diriku sendiri. Nampaknya teleponan dengan laki-laki, tapi yang dibahas perempuan lain. Azkia, sahabatku sendiri. "Sejujurnya aku bingung sama posisiku. Mau nolong kamu, tapi Azka itu teman dekatku, aku takut dia kecewa karena merasa aku khianati. Tapi
POV Azkia"Aku senang banget bisa bertemu dengan kamu lagi." Ucapan Gibran barusan, cukup membuatku tersenyum. Karena sebenarnya aku sendiri juga sangat senang bisa bertemu lagi dengan Gibran lagi. "Sama, begitu juga denganku. Aku juga sangat senang banget bisa ketemu kamu lagi. Kita sudah cukup lama tak bertemu." Aku pun menanggapi ucapan Gibran dengan hati yang sangat senang. Bibir ini pokoknya selalu melempar senyum. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku ini terhadap Gibran. Yang aku tahu, aku nyaman dengannya. Yang aku tahu, waktu terasa cepat berputar saat berada di sisinya. Aku dan Gibran hanya berdua saja sekarang. Kami sengaja keluar dari rumah, nongkrong santai karena ingin meluapkan apa yang ingin di luapkan. Yang jelas Mama dan Papa sudah puas ngobrol dengan Gibran. Sudah puas juga tanya-tanya bagaimana kabar Tante Putri dan papanya."Aku sudah lama menunggu ini. Menunggu pertemuan kita ini. Entahlah, walaupun sudah terpisah lama, hanya komunikasi lewat sambungan telepon,
"Kamu itu sudah lama, ya, dekat sama Alina?" Ketika aku mengerutkan kening, karena Gibran tanya seperti itu. "Sudah lumayan, sih. Emangnya kenapa?" jawabku dan sengaja tanya balik. Gibran melemparkan senyum tipisnya. "Aku tanya aja. Tapi nggak tahu kenapa, aku merasa gimana gitu, kamu dekat dengan dia." Tentu saja aku semakin penasaran dengan ucapan Gibran barusan. Berusaha mencerna lebih. "Emang Kamu ngerasa gimana? Alina anaknya baik kok selama ini. Selama ini dia juga tidak pernah dekat dengan laki-laki. Emang kamu merasakan gimana, sih?" Tentu saja rasa penasaran semakin menjadi. Karena nggak tahu kenapa, hati ini merasa bagaimana gitu, saat Gibran menyebut nama Alina. "Aku kalau ngomong apa adanya, nanti kamu gimana gitu sama aku." Aku menelan ludah ini sejenak. "Ya nggaklah. Emang kenapa dengan Alina? Yang aku tahu dia sangat baik. Selama ini, dia juga nggak neko-neko." Aku berusaha meyakinkan kepada Gibran, kalau aku akan tetap bisa menguasai diriku, apapun yang akan dia k
"Bagaimana, apakah kamu setuju dengan saranku?" tanyaku kepada Dion. Sudah aku jelaskan bagaimana saran yang menurutku itu terbaik. Menurutku memang terbaik, tapi nggak tahu kalau menurut Dion. Dion tidak langsung menanggapi. Terlihat dia mengusap wajahnya terlebih dahulu. Mungkin dia galau dengan apa yang baru saja aku sampaikan. Entahlah, aku semakin bingung di posisi ini. Pikiran ini rasa terpecah. Begitu juga dengan hati yang semakin kacau rasanya."Aku kurang srek." Aku tarik nafas ini sejenak. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Karena yang namanya saran juga tidak bisa dipaksakan. Kalau yang diberi saran mau, ya syukur, tapi kalau tidak mau, ya juga tidak bisa dipaksakan.Mungkin menurutku saran dariku itu cukup bagus. Tapi bagi Dion itu tidak. Tapi kalau aku menjalankan apa keinginan Dion, aku tidak setuju. Tapi saat aku beri saran, ternyata justru Dion yang gantian tidak srek. Cukup semakin membuat tak enak hati. "Semua terserah kamu Dion. Aku tak bisa membantu lebih. Karena
"Kan ada Gibran. Jadi aku sengaja nggak main dan sengaja juga tidak telepon kamu, karena aku tidak mau ganggu kalian. Kalau ada aku nanti, kamu tidak leluasa ngobrol dengan Gibran. Kalian tidak puas ngobrolnya kalau ada aku. Jadi aku sengaja memberikan kalian waktu untuk berdua. Apalagi kalian baru saja ketemu, setelah sekian lama tidak bertemu." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Karena memang itulah yang terjadi padaku. Aku tak enak hati, jika mengganggu waktu mereka. "Kamu sweet banget, sih. Kamu memang teman yang baik. Tapi aku ingin ketemu kamu lo, boleh nggak?" Hatiku semakin tersayat sayat rasanya. Orang sebaik Azkia, tapi aku masih saja cemburu dengan kehidupannya. Aku iri dengan takdir hidupnya. Kenapa aku harus iri dengan dia? Alina, Alina, harusnya kamu bersyukur memiliki teman seperti Azkia, bukan malah iri dengan hidupnya. Aku sadar aku iri dengan Azkia, tapi aku juga terus mengingatkan diriku sendiri, untuk tidak terus-menerus iri dengan hidup Azkia. Karena aku tidak
Permintaan Gibran untuk mengajak ketemuan bertiga bersama Alina, Cukup membuatku galau sebenarnya. Tapi ya sudahlah, aku turuti saja permintaan Gibran. Di dalam hati ini, aku yakin kalau Alina adalah teman yang baik. Sebenarnya penjelasan Gibran, cukup membuatku tercengang. Antara percaya dan tidak percaya. Tapi nggak mungkin kan Gibran bohong denganku?Atau nggak mungkin kan, Alina tega denganku. Entahlah aku sama-sama nggak yakin, kalau mereka tega denganku karena aku menganggap mereka semua baik. Akhirnya aku sudah menghubungi Alina. Cukup membuatku sedikit lega. Kayaknya Alina tidak ada berpikiran apa-apa tentang aku. Nada suaranya tetap terdengar santai di telinga ini. Mudah-mudahan nanti apa yang disampaikan Gibran, tidak membuat aku dan Alina menjauh. Karena selama ini, aku memang tidak ada masalah dengan Alina. Tidak ada suatu masalah serius dengan Alina. Kami baik-baik saja dan aku berharap akan terus seperti itu. Jadi pengakuan Gibran kemarin, cukup membuatku tercengang.
"Kalian sama-sama penting dalam hidupku. Aku tidak bisa memilih, karena kamu teman di masa kecilku hingga detik ini. Sedangkan Alina, memang bukan teman dari kecil. Tapi semenjak aku kenal dengan dia, dialah yang selalu ada, saat aku lagi sedang ada masalah. Begitu juga sebaliknya, jika Alina sedang ada masalah, aku berusaha menjadi teman terbaik, yang bisa mendengarkan semua cerita dia. Agar uneg-unegnya bisa ia lepaskan dengan sempurna. Agar tak begitu merasakan sakit. Tapi aku juga nggak nyangka kalau ternyata kalian ...."Sengaja tak aku lanjutkan ucapanku. Karena rasanya lidah ini terasa kelu. Sungguh, rasanya tak kuasa. Gibran kemudian meraih tanganku. Meremas tangan ini pelan. Aku merasakan dia sangat tulus denganku. Aku tahu kalau Gibran tulus denganku, tapi aku juga yakin kalau Aliina juga tulus denganku. Juga tulus selama menjadi sahabatku. "Hatimu dari kecil sampai detik ini tidak berubah. Kamu tetap baik dan tetap tidak enakan dengan orang. Itu yang membuatku sakit denga
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda