Home / Romansa / Istri Nakal Mas Petani / Chapter 121 - Chapter 130

All Chapters of Istri Nakal Mas Petani: Chapter 121 - Chapter 130

281 Chapters

121. Duduk Persoalan

“Berarti Pak Effendi pemilik sebagian besar lahan di sini, ya.” Pak Martin membuka percakapan setelah acara perkenalan selesai.“Wah, enggak juga, Pak. Saya ini awalnya hanya pendatang. Bukan seperti Nak Wira yang penduduk asli sini. Lahan saya belum bisa dibilang banyak.”“Masih kurang banyak, ya, Pak.” Saptono terkekeh-kekeh karena kata-katanya barusan. Ia lalu terdiam saat menyadari tak ada yang tertawa di sana.“Surat-surat tadi mana, Sap? Dikeluarkan aja, dikasih lihat ke Pak Martin untuk dicek.” Wira menepuk pelan lutut Saptono untuk mengeluarkan buntalan map yang mereka bawa. “Mari kita perlihatkan.” Wira langsung menyodorkan surat-surat kepemilikan tanahnya pada Pak Martin.“Bisa bantu cek, Grace?” Pak Martin mengangsurjan map itu pada Bu Grace dan Pak Suseno ikut memajukan letak duduknya untuk ikut melihat tiap lembaran yang dibuka.“Sebagian kebun aren di sini masih dimiliki petani yang hampir semuanya memang warga setempat. Pak Wira juga punya kebun aren. Memangnya kenapa?
last updateLast Updated : 2022-08-29
Read more

122. SENTIMEN

“Jadi, selanjutnya tetap mengikuti timeline rencana yang sudah dibuat sebelumnya? Tadi saya tanya lagi ke Pak Effendi soal kebun aren petani. Beliau sudah yakin benar bahwa memang tidak ada petani yang berniat menjual tanahnya.” Pak Martin turun dari mobil setibanya mereka di lahan yang akan dijadikan proyek baru. Mereka berdiri di tepi jalan dengan tatapan ke tempat yang sama. Wira berdiri menatap hamparan semak rimbun dan pohon-pohon yang panjang-pendek. “Pak Effendi benar. Petani-petani itu memang kemungkinannya kecil sekali mau menjual kebun. Mereka masih memanen aren dan menjualnya pada Pak Effendi dengan harga sangat murah. Pak Effendi mengumpulkannya dan menjual ke pabrik yang sudah melakukan kerjasama dengannya. Hasil penjualan juga dipotong hutang dan bunganya. Makanya … kebun-kebun petani itu masih aman. Tidak dirusak karena memang sebagai sumber pemasukan dia juga.” “Nasib petani yang tidak menjual hasil kebunnya ke Pak Effendi bagaimana?” Tiba-tiba Pak Suseno ikut menyela
last updateLast Updated : 2022-08-29
Read more

123. Alasan Sully

Beberapa saat sebelum Wira tiba di rumah. Pertama kalinya Sully benar-benar merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang istri yang menunggu suaminya pulang ke rumah setelah seharian bekerja. Hari itu, ia merasa benar-benar tak bisa menjangkau Wira. Pesan sepelenya yang berbunyi, ‘Jangan lupa kiriman belanjaan aku, Mas.’ Hanya dibalas dengan satu kata saja, ‘Iya.’ Setelah mendapat jawaban seperti itu, gambaran Wira yang memang benar-benar sibuk, membuatnya harus menahan diri untuk tak menghubungi pria itu lagi. Ia mondar-mandir ke sana kemari di rumah itu. Ia membongkar pakaian di lemari dan menyusunnya sesuai dengan keperluan. Selesai dengan lemari, ia pergi ke dapur untuk duduk dan menggulir ponselnya untuk melihat resep masakan apa yang bisa ia masak untuk menyambut Wira pulang bekerja. Setelah harus bersabar dengan sinyal yang tersendat-sendat, Sully menemukan resep tahu baso yang sepertinya mudah dan layak untuk dicoba. Namun, rencananya itu gagal saat Pak Gagah masuk ke dapur de
last updateLast Updated : 2022-08-29
Read more

124. Menata Hati

Wira menunda kegiatan mandinya untuk memeluk Sully di tepi ranjang. Barusan tadi Sully mengatakan alasan keinginannya untuk hamil secepat mungkin. Suatu alasan yang selama ini tidak pernah terpikirkan oleh Wira. Sangat sederhana, tapi cukup membingungkannya. “Bisa cerita lebih jelas? Biar Mas ngerti.” Wira berdiri dari lantai dan ikut duduk di sebelah Sully. Tulang-tulang wanita itu sepertinya kembali kehilangan tenaga. Atau memang itu sudah menjadi kebiasaan Sully yang sulit mengungkapkan isi hati jika harus beradu pandang dengan lawan bicaranya? Sully menelan ludah. “Kalau aku pulang saat hamil … Ayah mungkin enggak akan marah besar. Ayah enggak akan teriak atau bentak-bentak aku. Apalagi kalau ada Mas. Tapi kalau aku enggak hamil, meski kita pulang sama-sama … kayanya kita bakal kena marah. Terutama Mas. Makanya aku takut .... Jangan sampai Bapak ikut, Mas. Nanti pasti ribut besar. Ayahku beda, Mas. Mau cerita juga malu.” Suara Sully sangat pelan. Kalau ayahnya tahu ia sedang meng
last updateLast Updated : 2022-08-31
Read more

125. Ingin Dipeluk

Kegiatan malam Wira hanya bersandar di tumpukan bantal dan mengamati Sully yang masih betah mengutak-atik macam-macam aksesoris yang Wira tak tahu apa fungsinya. Sekarang meja kecil di sebelah cermin tinggi sudah memiliki laci kecil empat tingkat. Di sebelahnya ada rak kosmetik berbahan akrilik yang bisa diputar. Sully mengatur peralatan kosmetiknya di sana dan menatap teduh jajaran botol-botol berbagai merek yang ia kenakan. Hatinya sedikit terhibur. “Sudah selesai? Ayo, sini baring dekat Mas.” Sully merangkak naik ke ranjang dan menarik satu lengan Wira untuk dijadikannya bantal. Ia masuk ke dalam pelukan pria itu dan bergulung. “Lis … Mas mau,” ucap Wira membelai punggung Sully dan turun sampai berdiam di pinggul. Mengusap dan meremas bagian itu dengan lembut seraya melirik Sully yang menyembunyikan wajahnya. Sebenarnya malam itu ia sudah cukup lelah. Kantuknya pun sudah datang sejak tadi. Tapi menunggui Sully yang lebih terlihat seperti sedang menata hati ketimbang kosmetik-kos
last updateLast Updated : 2022-08-31
Read more

126. Rindu Ibu

Tumpukan gorden yang terletak di bawah jendela kamar saat itu tak lagi membuat percik semangat di hati Sully. Tenaganya entah terbang ke mana. Sangat berbeda dengan saat ia membelanjakan uang Wira membeli benda-benda remeh dalam list-nya. Sebenarnya masih terlalu pagi untuk kehilangan semangat. Tapi perasaan bernama semangat itu seakan ikut pergi bersama Wira yang dua hari belakangan ia rasa … tidak terlalu mengacuhkannya. Dalam satu dus alat tes kehamilan berisi 24 strip. Sally telah menggunakannya dua. Setelah meletakkan dua alat tes yang menunjukkan hasil negatif ke dalam laci di sebelah ranjang, Sully ke lemari merapikan sisa alat tes di dua yang saat itu menjelma menjadi harta yang berharganya selain kosmetik. “Kangen Ibu,” bisiknya, meraih ponsel dan menggulirnya sejenak. “Jam segini ... biasanya Ayah lagi ngapain, ya ....” Sudah berapa tahun ia pergi meninggalkan kampungnya? Setahun lebih? Atau sudah dua tahun? Kenapa ia bisa lupa rutinitas yang dilakukan keluarganya. Sully m
last updateLast Updated : 2022-09-01
Read more

127. Seorang Bagus Prawira

Wajah Ajeng mendadak lebih serius. Melihat tanggapan Suppy, hal yang ia duga selama ini ternyata benar. Wira tidak pernah menceritakan sedikit pun soal masa lalunya. Bukan bercerita hal-hal berlebihan, tapi bukankah wajar jika dalam rumah tangga cerita masa lalu keluarga diceritakan sedikit demi sedikit. Apalagi hal yang akan diceritakannya pada Sully termasuk hal yang penting.“Ibu kami … kalau bisa dibilang wanita paling keibuan yang pernah Mbak kenal. Anggun, manis, feminin, dan sangat lembut. Ibu terlahir dari keluarga terpandang di desanya. Mmm … semoga aja Bapak masih sibuk dengan mesin cucinya, ya.” Ajeng seraya menoleh pintu tengah yang masih tertutup tirai hijau. Sully ikut-ikutan mengerling ke arah yang sama.Ajeng lalu melanjutkan, “Bapak enggak pernah cerita-cerita ke kami, yang sering ngobrol itu Ibu. Bapak kaku.”“Mmmm … kaku? Mirip Mas Wira?” tanya Sully.“Bagus kaku, ya?” Ajeng meringis mendengar ucapan Sully yang benar adanya. Untungnya Sully hanya tertawa.“Ibu cerit
last updateLast Updated : 2022-09-02
Read more

128. Kau Semakin Jauh

“Oke … malam aja katanya,” gumam Sully, menutup tudung saji dan kembali menumpuk alat makan menjadi satu. Ia lalu menyusul Wira ke kamar dan duduk di tepi ranjang mengamati gerak-gerik pria itu. Berharap kalau Wira mengatakan sesuatu soal kain jendela dan pintu yang berubah warna, termasuk yang ada di kamar mereka.Hampir sepuluh menit duduk tanpa sapaan dari Wira, Sully bangkit. Namun, tiba-tiba Wira menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Persis berada di dekat Sully. Menelungkup dengan satu tangan memegangi pergelangan Sully.“Temani Mas dulu, Lis. Hari ini Mas capek banget,” kata Wira.Sully kembali duduk dan Wira langsung melingkarkan tangan di pinggangnya. Ia lalu sedikit menggeser posisi untuk menoleh Wira yang menyembunyikan wajah di belakang tubuhnya. Tangannya tak bisa menjangkau kepala Wira. Namun, tangannya bisa mengusap punggung telanjang pria itu.“Enggak mandi?” tanya Sully, mengusap punggung Wira.“Sebentar lagi. Mas mau baring sebentar sambil peluk kamu. Setengah hari di l
last updateLast Updated : 2022-09-04
Read more

129. Rasa Bersalah Wira

Kemesraan mereka baru terjadi beberapa detik yang lalu. Wira Bahkan merasa belum menyampaikan maksudnya dengan benar. Tapi Sully sudah berjalan melewatinya dan pergi menuju langit yang merangkak gelap. Setelah meneriakkan nama Sully, Wira membeku. Lupa akan kehadiran orang lain di rumah itu. Bapaknya sendiri. Dan pikirannya itu pun belum usai saat terdengar seruan dari belakang tubuhnya.“Sulis kenapa?”“Enggak apa-apa. Mungkin ke rumah Pretty,” jawab Wira, kembali masuk ke kamar dan mengambil selembar kaus oblong untuk ia kenakan.“Kok, mungkin? Yang barusan teriak manggil Sulis itu kamu, kan?”“Aku enggak teriak, Pak. Cuma kaget karena Sullu langsung keluar. Aku keluar nyusul Sulis.” Wira meninggalkan Pak Gagah menuju pintu depan.“Memangnya Sulis ngambek kenapa, Gus?” tanya pak Gagah.“Enggak ngambek, Pak. Cuma ada keperluan ke rumah Pretty, tapi enggak sabar nunggu aku selesai mandi. Ya, udah. Ini aku susulin, kok. Bapak tenang aja.” Saat memutar tubuhnya membelakangi Pak Gagah, W
last updateLast Updated : 2022-09-06
Read more

130. Ingin Dimanja

Kekesalan Sully pada Wira sebenarnya belum benar-benar surut. Awalnya ia menyahuti Wira dengan jawaban pendek-pendek saja. Tapi melihat betapa gigih pria itu mengajaknya bicara dengan bertanya dengan soal-soal kesukaanya, membuat Sully tak sadar kembali ke dirinya yang biasa.Pemahaman itu kembali datang menghampiri Sully. Paham bahwa ia sudah menikahi seorang pria yang mengaku baru merintis hal baru saat membangun rumah tangga dengannya, paham bahwa Wira memang seorang pria yang sejak awal tak banyak bicara, juga paham bagaimana ritme kehidupan di desa. Sully kembali meminta dirinya memahami bahwa ia sudah menerima Wira.“Kayanya aku mau beli taplak meja lagi, Mas. Boleh? Aku lupa ada beberapa meja yang perlu taplak tapi luput dari hitunganku.” Sully berusaha nada suaranya kembali seperti semula. Kalau ingin cepat semuanya kembali normal, bukankah meminta sesuatu akan terlihat lebih serius?“Boleh…boleh. Perlu apa lagi? Beli aja. Perabotan rumah memang sudah lama enggak pernah digant
last updateLast Updated : 2022-09-07
Read more
PREV
1
...
1112131415
...
29
DMCA.com Protection Status