Semua Bab Istri Nakal Mas Petani: Bab 131 - Bab 140

281 Bab

131. Pagi Hangat

Seperti malam-malam panas yang mereka lewati di ranjang, Wira selalu menjelma sebagai sosok pria berbeda. Wira malam itu bukan seperti Wira yang ia kenal. Wira bukan pria canggung dan penuh keraguan ketika berurusan dengan kepuasan wanita yang dinikahinya. Pria yang malu-malu itu sudah tak ada lagi tiap mereka di ranjang. Wira selalu mendominasi.Sully yang ingin dimanja mendapatkan hal yang diinginkannya malam itu. Setelah melepaskan kerinduan akan kecupan dan kemampuan Sully memanjakan bagian spesial tubuhnya, Wira merebahkan Sully dan mengecupi tiap sudut tubuh wanita itu. Menggoda Sully dengan mengecup perut wanita itu. Hingga kecupan itu terus melorot sampai ke bagian yang ditujunya.Wira berlama-lama memanjakan bagian bawah tubuhnya. Menekuk kaki Sully dan menunduk di antara paha wanita itu. Sully terkesiap sedetik, lalu terhanyu. Wira menyesapnya, mempermainkan dan memanjakan Sully dengan lidahnya. Hingga godaan Wira di titik paling sensitifnya, membawa Sully ke puncak kenikmat
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-09-08
Baca selengkapnya

132. English Breakfast

Saptono terperangah beberapa saat di halaman. Setengah bingung, setengah terpukau. Lamunannya buyar saat Wira pelan-pelan menurunkan Sully dari gendongannya.“Pak, masuk dulu. Suami saya belum sarapan. Jangan pergi sekarang, ya," kata Sully pada Saptono.Kepala Saptono mengangguk-angguk otomatis. Tadinya, karena sebuah kabar yang baru ia terima, ia berencana mengajak Wira langsung berangkat pagi itu. Tapi, suara dan binar wajah Sully membuatnya lupa. Langkah kakinya bagai terhipnotis menuju teras rumah Pak Gagah.“Aku buatin teh dan roti. Tunggu di ruang tamu,” pinta Sully saat bicara dari balik tubuh Wira. Ia meninggalkan pintu depan sebelum“Sap! Masuk dulu.”Masih mengangguk-angguk, Saptono melepaskan alas kakinya di undakan tangga teratas dan melangkah menyeberangi teras. Dalam sepuluh menit pertama kedatangannya ke rumah Pak Gagah, Saptono sudah dua kali terperangah. Yang pertama karena melihat Wira keluar menyahuti panggilannya sambil menggendong istri, yang kedua karena ia disa
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-09-09
Baca selengkapnya

133. Kecemasan Tengkulak

Sudah dua hari Pak Effendi merasa tak enak dengan hal-hal kecil yang mengganggu pikirannya. Hal remeh memang. Tapi sangat tak biasa. Beberapa di antaranya adalah seorang petani yang berhutang dan ditemuinya di perjalanan. Terjadi percakapan singkat di antara mereka.“Pak Iyan, apa kabar? Kemarin saya lewat kebun kenapa enggak kelihatan? Biasa Pak Iyan tanggal segini sudah setor panen? Yah … paling kalau lewat sehari dua hari pasti ada ngasih kabar, toh?”“Nah, itu, Pak. Saya baru aja berniat datang ke rumah Bapak. Tapi … sekarang belum sempat. Besok aja, ya. Sekarang saya permisi dulu. Buru-buru, nih.”Hal yang biasa saja bagi orang lain, tapi pertama kali dalam hidupnya Pak Effendi dibuat terperangah. Seorang petani yang memiliki hutang mengabaikannya. Hatinya mulai dihantui ketakutan bahwa para petani sedang mengikuti tren para debitur yang lebih galak ketimbang krediturnya.Kali kedua yang membuat Pak Effendi bingung adalah seorang petani yang juga memiliki hutang, tiba-tiba mendat
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-09-17
Baca selengkapnya

134. Tawaran Pak Gagah

Dua orang pegawai koperasi masih duduk di kursi teras dan menatap majikannya seakan menunggu perintah.“Kalian cari tahu siapa penanggung jawab pembangunan vila di ujung desa itu. Apa orang desa ini juga? Saya bakal menghubungi perangkat desa buat nanya siapa pemilik asli proyek itu. Saya penasaran kenapa proyek itu dimulai bersamaan dengan petani-petani itu membayar hutangnya.” Pak Effendi menatap sepeda motor yang menghilang di kegelapan malam.“Dua orang aja yang bayar hutangnya, Pak?” tanya salah seorang pegawai koperasi.“Pakai ‘saja’ kamu ngomong? Yang dua itu saja mungkin bakal bikin petani lain berani berbuat hal yang sama. Kalian cari tahu itu aja. Kalau sampai ada warga desa yang terlibat di proyek itu dan ada hubungannya dengan pendana petani-petani itu, saya bakal habisi sekalian. Kalau perlu kita bakar proyeknya. Pengkhianat memang harus diperlakukan begitu. Mau untung dari petani, tapi menikung usaha saya.”Kedua pegawai koperasi tersentak mendengar kata ‘bakar’. “Apa en
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-09-17
Baca selengkapnya

135. Permulaan Seteru

“Wir, kamu dengar apa yang aku bilang tadi, kan? Soal Pak Effendi yang uring-uringan. Dua petani udah menerima uang dari perusahaan dan membayar hutang beserta bunganya ke Pak Effendi. Dua bagian kebun aren petani udah berhasil bebas. Sekarang surat-suratnya ada di tangan pengacara perusahaan.” Saptono bicara saat motor menuju ujung desa. “Sudah, Sap. ternyata baru dua orang yang berani mengalihkan pinjamannya ke perusahaan. Yang lain masih belum. Alasannya, pikir-pikir dulu. Padahal, sudah jelas mereka pasti takut sama pak Effendi.” Wira menjawab dari boncengan. “Kalau pergerakannya lambat begini, rencana kamu bisa berantakan, Wir,” sambung Saptono. “Engak apa-apa kalau petani menimbang matang keputusan mereka. Proyeknya juga sedang berjalan. Alat-alat berat sudah lengkap, kantor sementara juga sudah berdiri. Selama menunggu bahan bangunan, petani bisa berpikir dengan tenang.” Perjalanan menuju proyek itu kemudian diwarnai dengan keduanya yang diam melewati jalanan naik-turun berb
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-09-20
Baca selengkapnya

136. Kekecewaan Sully

Sepeninggal Pak Effendi, Saptono langsung masuk ke kantor. Wajahnya lebih khawatir dari Wira. “Edan kamu, Wir. Udah siap betul kayanya nerima murkanya Pak Effendi. Apa enggak takut dia malah bikin macam-macam?”Wira yang sedang mengernyit berpikir hanya mengangkat bahu untuk menjawab Saptono. “Timnya pengacara … Bu Yulia maksudnya, datang jam berapa? Seperti biasa?” tanya Wira pada seorang pria yang menenteng helm proyek di tangan kanannya.“Seperti biasa, Pak. Mungkin sebentar lagi datang,” jawab pria itu.“Wira, semua buruh tukang tiba hari ini. Seperti yang kamu instruksikan kemarin, aku sudah membagi di mana mereka menginap. Sebagian di paguyuban, di kantor ini, juga tiga rumah warga yang kita kontrak. Sebagian buruh pekerja juga memakai warga sini. Untuk catering pekerja, aku limpahkan ke Mbak Ajeng, tapi katanya dia enggak sanggup ambil semua, jadi bakal pakai catering tambahan. Ternyata Mbak Ajeng punya sub-kontraktor juga, ya Wir. Dan sepertinya aku udah bisa jadi sekretaris k
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-09-21
Baca selengkapnya

137. Taktik Baru

“Masakanku ini memang enggak terlalu enak untuk bisa buat suamiku pulang makan siang ke rumah. Tapi kalau karena wanita glowing berpakaian rapi gitu bikin Mas betah dis ini, jangan lupa … aku lebih cantik waktu tiba di desa ini. Aku jadi begini karena ngikut Mas."Perkataan Sully memang tidak cukup keras untuk didengar orang lain. Suaranya teredam oleh alat-alat berat yang sedang bekerja dibarengi teriakan-teriakan mandor proyek. Suara chain saw yang tajam juga cukup membuat tiap orang meringis. Suara Sully memang teredam.Wira tersentak. Refleks menoleh ke bagian sekat triplek tempatnya tadi duduk bersama Saptono dan pengacara wanita bernama Yulia. Ketika mengerling Sully, wajah wanita itu semakin kesal.“Lis, Mas enggak paham maksud kamu. Mas memang ngomong enggak bisa pulang makan siang. Tapi bukan karena Mas duduk betah dengan ibu pengacara itu. Mas belum lama duduk di sana. Kamu cemburu?”“Aku? Cemburu?” Sully menelan ludah menatap Wira lekat-lekat. Ia merasa lututnya lemas. Tang
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-09-25
Baca selengkapnya

138. Serangan

“Dua kali lipat?” ulang Saptono. “Kamu enggak lagi mabuk ayam panggang itu, kan?” Ia melirik sepotong paha ayam yang tersisa dan masih teronggok di rantang.“Enggak usah bawa-bawa ayam panggang. Mau nyobain? Ini benar-benar enak. Lebih enak dari dugaanku. Istriku makin jago masak,” kata Wira, menyodorkan rantang pada Saptono.“Yakin kamu udah kenyang?”“Yakin enggak mau?” Wira menarik rantang.Saptono menahan rantang cepat-cepat. “Ya, mau. Langsung ditarik aja,” kata Saptono, menarik selembar tisu dan mengangkat paha ayam.“Lumayan capek negosiasi sama petani soal pengembalian. Mereka sudah cukup bahagia kalau bunga pinjamannya dibebaskan Pak Effendi. Meski enggak bayar bunga, tanah mereka masih ditahan dan hasil panen tetap harus lewat Pak Effendi kalau mau jual. Tapi buat mereka hal itu sudah cukup menguntungkan. Makanya … aku akan tawarkan pembayaran lunas ke Pak Effendi dan memberi mereka jumlah yang sama sebagai imbalan.”“Mereka sulit mengerti, ya, Wir?”“Sebagian besar sulit me
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-09-27
Baca selengkapnya

139. Tumpah Ruah

Dengan tangan yang masih gemetar, Sully mencari nomor ponsel Rino di daftar kontak. “Telfon Rino. Aku harus tahu apa si tua bangka Effendi itu benar-benar ketemu Rino atau gertak-gertak modal lihat akun gosip.” Saat jarinya berada di atas tombol panggil, Sully terdiam. “Kalau si tua bangka enggak ada ngomong sama Rino, Rino yang enggak tahu persoalan bisa tahu, dong. Nanti malah dikira aku nyariin dia. Ck!” Sully meletakkan ponselnya ke lantai. Ia melipat tangan dan menenggelamkan wajahnya. Setelah menarik napas dalam-dalam, Sully kembali meraih ponselnya. “Aku perlu orang yang ngerti masalah ini buat ngobrol. Aku perlu Oky,” gumam Sully. Dengan tangan yang masih gemetar, Sully menghubungi nomor ponsel Oky.Panggilan itu tak perlu waktu lama untuk tersambung.“Ada apa? Tumben nelfon.” Sambutan dari Oky memang tidak perlu dipertanyakan lagi. Selama ini pesan-pesannya bertanya kabar dan topik rencana ke depan selalu ditanggapi dengan kata-kata, “Nanti aja bahas soal itu. Yang penting B
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-09-28
Baca selengkapnya

140. Hambar

Perkataan Sully bagai sambaran petir bagi Wira. Ia terdiam sejenak menatap wajah Sully yang memerah karena amarah di depannya. Sedetik, ia sempat mengerling pintu kamar. Menajamkan telinganya mendengar langkah kaki di luar kamar. Pertengkaran itu sepertinya tak mungkin dihindari, tapi setidaknya ia mengamankannya dari pendengaran Pak Gagah.Wira mencengkeram lengan Sully dan membawanya ke tepi ranjang. “Dengar Mas dulu, Lis … jangan teriak-teriak.”“Enggak usah pegang-pegang. Aku bisa sendiri.” Sully menepis tangan Wira, tapi duduk di tepi ranjang seperti permintaan pria itu padanya. “Mau ngomong apa lagi? Kalau Mas mau ngomong soal cemburu lagi, mending enggak usah ngomong Mas. Itu sama aja dengan Mas enggak ngerti apa yang aku maksud.”“Lis ….” Wira kembali meraih tangan Sully. “Mas minta maaf kalau selama ini enggak pernah ngomong masalah proyek di ujung desa itu. Mas enggak ada maksud apa-apa.”“Enggak ada maksud apa-apa, tapi Mas bikin aku enggak ngerti apa-apa soal Mas. Orang di
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-10-04
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1213141516
...
29
DMCA.com Protection Status