Home / Romansa / Istri Nakal Mas Petani / Chapter 111 - Chapter 120

All Chapters of Istri Nakal Mas Petani: Chapter 111 - Chapter 120

281 Chapters

111. Kejutan-Kejutan Kecil

Pak Gagah sedang mendekap kayu bakar ketika Sully tiba dengan senyum lebar dan dua kantong belanjaan. “Pak! Sulis pulang!” seru Sully. Senyumnya merekah. “Bagus mana? Kamu diminta turun duluan?” tanya Pak Gagah dengan wajah curiga. “Enggak, kok, enggak …. Mas lagi nurunin semua bawaan dari mobil. Sulis bawa ini,” kata Sully mengangkat kantong belanjaannya. Namun, gerakannya terhenti menyadari perubahan pada bagian belakang rumah itu. “Ada yang berubah. Tempat nyuci piringnya pindah. Itu apa, Pak?” Sully tak menunggu Pak Gagah menjawab. Langsung melewati bapak mertuanya dan menuju bangunan kecil yang ditambah di belakang dapur. Tangannya langsung membuka pintu. “Bagaimana? Bapak yakin kalau kamu suka. Soalnya nyari closet merek itu susah. Mesti pesan lagi. Enggak tahu apa bedanya. Padahal gunanya sama aja. Itu kamar mandi buat kamu. Bapak lebih suka di belakang. Apa enaknya mandi air hangat,” kata Pak Gagah panjang lebar. “Wah … closet duduk, ada mesin pemanas air, ada shower. Lant
last updateLast Updated : 2022-08-18
Read more

112. Pertanyaan Sully

Sully masih tercenung dengan satu tangannya berada di bahu Wira. Dengan tangannya yang terus berpindah menggaruk cambang, lalu menyisir rambut belakang Wira dengan jemarinya, Sully mengernyit memikirkan di mana ia terakhir kali melihat bungkusan itu. Tiba-tiba …. PLAKK Sully menepuk bahu Wira. Semua orang tersentak memandangnya. “Aku ingat. Ternyata udah aku pindahkan. Enggak di kantongan itu lagi. Dasar Sully…Sully….” Sully cepat-cepat masuk ke kamar dan kembali sejurus kemudian dengan bungkusan yang sudah berbeda. Ia terkekeh-kekeh sendirian. “Maaf udah nungguin lama,” katanya, duduk di sebelah Wira. Wira terlihat menarik napas lega. Kini semua perhatian tertuju pada tangan Sully yang sedang mengeluarkan beberapa botol perawatan wajah dan kosmetik. Ia juga mengeluarkan kemeja batik dan cokelat-cokelat yang dibelinya di bandara. “Nah, ini krim malam, pelembab, sunscreen buat Mbak Ajeng. Lipstik dan compact powdernya juga aku beliin. Kalau malam pakainya krim malam aja. Kalau sian
last updateLast Updated : 2022-08-19
Read more

113. Pagi-pagi Pangku-pangkuan

“Lis ….” Ajeng kembali duduk dan menggenggam tangan Sully. “Itu enggak apa-apa. Itu cuma …. Pokoknya yang di dalam pasti ada. Itu enggak apa-apa. Itu normal. Semua wanita begitu. Dan kalau memang enggak ada masalah sama kamu dan Bagus, semuanya tinggal nunggu waktu dan rezeki aja. Mbak yakin kalau sebentar lagi Mbak pasti gendong keponakan.” Ajeng tak pernah mendapat tanggapan dari perkataannya seperti yang dilakukan Sully malam itu. Sully melebarkan matanya dan menarik senyum lebar. Sully juga gantian menggenggam tangannya dengan erat. Dalam beberapa detik saja, wajah Sully sudah kembali ceria. “Wah … aku lega banget dengarnya. Aku kira keluar semua sampai enggak ada yang bersisa.” Sully tertawa kecil diiringi dengan Ajeng yang tersenyum geli memandangnya. “Sudah lega?” tanya Ajeng. Sully mengangguk. “Udah. Makasih, Mbak.” Sully melingkarkan tangannya di bahu Ajeng. Ajeng ikut mengangguk dan menepuk-nepuk lengan Sully. Teringat sesuatu, Sully menegakkan tubuhnya memandang Ajeng.
last updateLast Updated : 2022-08-19
Read more

114. Yang Merusak Pagi

Mungkin benar apa yang dikatakan orang-orang selama ini padanya. Ia terlalu aneh, juga naif. Oky juga sering mengatakan hal serupa. Ia sering buru-buru memutuskan suatu hal seperti tidak ada hari esok. Semua yang dilakukannya selalu berdasar ‘lihat bagaimana nanti saja’, ‘yang penting hari ini’. Bahkan sampai sebulan lebih Wira menikahinya, ia sebenarnya belum memikirkan bagaimana cara mengatakan kepada keluarga, terlebih ayahnya bahwa ia sudah memiliki seorang suami.Jika dulu impiannya memiliki dapur dengan seperangkat kitchen mahal dan alat masak serba canggih menjadi salah dalam daftar wish list-nya, kini ia cukup lega memiliki dapur sederhana dengan mengetahui kenyataan bahwa ia tidak dituntut harus memasak. Jika dulu impiannya memiliki suami pengusaha yang pergi kerja dengan setelan jas lengkap, aroma parfum memenuhi seisi kamar dan berangkat mengendarai mobil Eropa terbaru, kini Sully sudah bahagia melihat suaminya yang mengenakan kaus oblong, berkeringat dan memegang sebilah p
last updateLast Updated : 2022-08-21
Read more

115. Menantu Paling Mahal

“Jangan ngeledek. Ini masih pagi …. Tehnya diminum dulu.” Wira tidak meladeni perkataan Saptono.“Aku serius, Wir. Kamu lihat wajahku sekarang. Apa aku kelihatan meledek kamu? Meledek karena yang tadi? Ya, enggak, Wir. Aku ini cenderung ke mupeng. Sejak resepsi kemarin, aku baru ketemu istri kamu lagi, ya tadi itu. Setiap malam pasti enak, kan, Wir? Kamu ada minum jamu? Biar tahan lama meski begituan tiap malam. Istriku sering ngambek.” Saptono kembali menoleh ke pintu belakang rumah.Wira ikut menoleh ke belakang rumah. “Kamu lihat apa? Istriku enggak akan keluar lagi. Enggak aku perbolehkan keluar rumah selama ada tamu laki-laki. Jadi, kamu bisa dengan tenang ngomong sama aku,” tutur Wira santai.Saptono meluruskan duduknya. “Ehem! Jadi, memang enggak ada rahasianya?” tanya Saptono keras kepala. “Kalau gitu aku tanya istrimu aja nanti,” sambung Saptono menggoda temannya.“Jangan macam-macam,” gumam Wira santai. Ia kemudian menutup buku dan kembali menyimpannya ke dalam plastik. “Dat
last updateLast Updated : 2022-08-22
Read more

116. Kembali Bekerja

Sully gelisah hilir-mudik di kamar. Percakapan di luar terdengar jelas di telinganya sejak tadi. Awalnya ia ingin mengabaikan karena mengingat ucapan Wira soal ‘urusan laki-laki’. Namun, sejak mengantarkan teh ke hadapan Pak Effendi, ia bisa merasakan aura tidak menyenangkan dari pria itu. Apalagi ketika namanya disebut-sebut dalam percakapan. “Menikah dengan Ratna enggak akan bikin Mas Wira bangkrut? Kurang ajar ….” Sully menempelkan telinganya ke dekat lubang kunci. “Mustahil Mas Wira mau dinikahkan sama Ratna. Dia juga enggak bego. Kecerdasannya terbukti waktu ngajak aku nikah. Huh!” Sully mencibir. Sementara itu di ruang tamu. “Kalau kamu serius, biar saya yang hubungi pengusaha itu sekarang. Setidaknya saya ada untung sedikit. Saya ambil tanah itu dengan harga murah dari petaninya. Masa sudah sekian lama saya enggak dapat untung sama sekali.” Pak Effendi mengambil ponselnya dari saku kemeja dan menghubungi seseorang. “Suara musiknya apa enggak bisa dipelankan? Mau ngomong juga
last updateLast Updated : 2022-08-22
Read more

117. Masakan Buat Suami

“Naik motorku aja, biar bisa sambil ngobrol,” kata Saptono. Wira naik ke boncengan tanpa pertanyaan. Ia sudah tahu maksud Saptono. Obrolan Saptono pasti bukan hanya sekedar pembicaraan transaksi penjualan tanah beberapa hari ke depan. Tapi soal kehangatan hubungan suami istri. Entah apa lagi yang membuat temannya itu penasaran. “Maaf lagi, nih … aku masih penasaran. Bukan cuma penasaran sebenarnya. Tapi lebih ke heran. Kamu itu berubah banget, lho, Wir. Dari yang kaku-kaku gitu … kok, bisa jadi begitu. Kasih aku tips-tipsnya. Biar aku kembali hangat dengan istriku. Istriku banyak diamnya. Tiap ditanya jawabannya selalu enggak ada apa-apa. Padahal anak baru satu. Hubungan ranjang sudah anyep.” Wira tertawa kecil. “Kamu, kok, ketawa? Aku serius,” omel Saptono dari depan. “Sebelumnya kamu lebih percaya diri kalau ngomong soal begitu-begitu. Sekarang, kok, malah jadi gini?” “Kemarin-kemarin mukamu enggak seceria ini. Uring-uringan. Mirip seperti aku sekarang. Itu tanda belum tercukup
last updateLast Updated : 2022-08-23
Read more

118. Godaan di Siang Bolong

Lirikan mata Sully sudah cukup menjelaskan kalau saat itu ia sadar Pak Gagah sudah menghabiskan setengah porsi dari chicken steak yang ia masak. Sully sudah merelakan kalau Wira bukan orang pertama yang mencicipi keberhasilan masakannya itu. Pak Gagah yang biasa selalu jujur memprotes, sedang bersantap dengan lahap. Itu sudah merupakan bayaran atas kehebohannya beberapa saat yang lalu.“Memang enak, Gus. Kamu sudah pernah makan beginian? Kalau di kota pasti banyak dijual di restoran, kan?”“Sudah pernah, Pak. Tapi yang bikinin Sulis belum pernah.”“Kalau gitu harus dimakan sekarang. Itu sayurnya Bapak yang kukus. Khawatir kalau Sulis pakai tungku, rumah kita bisa terbakar. Semua bisa jadi setik. Kamu juga makan, Lis. Sudah lewat tengah hari,” kata Pak Gagah, mengerling Sully sekilas.Baru memuji sedetik, detik berikutnya ia harus tahu penyebab mertuanya ikut membantu tadi. Sully berdecak kemudian duduk di sebelah Wira.“Bapak minta satu lagi, ya. Porsi segitu enggak sampai ke dasar lam
last updateLast Updated : 2022-08-25
Read more

119. Nasib Saptono

Tadinya saat menanggalkan pakaian Sully, Wira masih mengingat soal Saptono atau pria lain dari paguyuban yang akan datang menjemputnya. Tapi pikiran itu lenyap seiring dengan lumatan bibir mereka yang saling menyambut. Sully yang sebelumnya sibuk ingin mempraktekkan fungsi pakaian pria yang dibeli sepertinya juga ikut lupa. Sully memejamkan mata dan kedua tangannya tak bisa diam menggaruk kepala Wira yang menunduk di antara lipatan kakinya.Suasana rumah itu sangat lengang. Hanya terdengar desahan dan erangan halus yang lolos dari bibir meski sudah susah payah menahannya.“Udah, Mas,” erang Sully, menarik lengan Wira yang memegangi kedua pahanya begitu erat.Wira menyudahi kegemaran barunya dan merangkak di atas tubuh Sully. Ia lalu kembali tergoda untuk singgah mencumbu sepasang dada indah yang disodorkan padanya. Memang sulit baginya untuk bisa melakukan percintaan singkat. Ia belum puas dengan tiap sudut tubuh Sully. Mencecap, menyesap dan bermain dengan bibir, juga lidahnya.Sambi
last updateLast Updated : 2022-08-26
Read more

120. Pertemuan Kejutan

Kalau Saptono bisa sesantai dan seluwes itu bercerita soal hubungan bersama istrinya, kenapa ia tidak bisa santai saja membiarkan isi pikiran temannya itu berkelana sendirian. Wira mandi dengan santai di kamar mandi paling belakang. Ia lebih suka mandi air sumur yang segar, ketimbang air yang dialirkan melalui pipa. Terutama setelah melalui matahari yang cukup terik. Air dari pipa biasanya ikut hangat.“Enggak kelamaan, kan?” tanya Wira lagi saat masuk ke kamar dan melewati Saptono.“Kita janjinya cuma makan siang di rumah masing-masing. Enggak ada agenda-agenda pribadi sesudah makan siang.”“Tapi aku belum terlambat. Kamu yang datangnya terlalu cepat.” Wira kembali ngeloyor ke dalam kamar.Wira berpakaian sembari sesekali memandang wajah Sully yang masih tertidur nyenyak. Sepertinya Sully benar-benar menghabiskan seluruh tenaganya hari itu. Ia menyungging senyum. Teringat akan permintaan Sully tadi, ia mencari dompet kain yang biasa digunakannya untuk meletakkan uang jajan wanita itu
last updateLast Updated : 2022-08-27
Read more
PREV
1
...
1011121314
...
29
DMCA.com Protection Status