Sully masih tercenung dengan satu tangannya berada di bahu Wira. Dengan tangannya yang terus berpindah menggaruk cambang, lalu menyisir rambut belakang Wira dengan jemarinya, Sully mengernyit memikirkan di mana ia terakhir kali melihat bungkusan itu. Tiba-tiba …. PLAKK Sully menepuk bahu Wira. Semua orang tersentak memandangnya. “Aku ingat. Ternyata udah aku pindahkan. Enggak di kantongan itu lagi. Dasar Sully…Sully….” Sully cepat-cepat masuk ke kamar dan kembali sejurus kemudian dengan bungkusan yang sudah berbeda. Ia terkekeh-kekeh sendirian. “Maaf udah nungguin lama,” katanya, duduk di sebelah Wira. Wira terlihat menarik napas lega. Kini semua perhatian tertuju pada tangan Sully yang sedang mengeluarkan beberapa botol perawatan wajah dan kosmetik. Ia juga mengeluarkan kemeja batik dan cokelat-cokelat yang dibelinya di bandara. “Nah, ini krim malam, pelembab, sunscreen buat Mbak Ajeng. Lipstik dan compact powdernya juga aku beliin. Kalau malam pakainya krim malam aja. Kalau sian
“Lis ….” Ajeng kembali duduk dan menggenggam tangan Sully. “Itu enggak apa-apa. Itu cuma …. Pokoknya yang di dalam pasti ada. Itu enggak apa-apa. Itu normal. Semua wanita begitu. Dan kalau memang enggak ada masalah sama kamu dan Bagus, semuanya tinggal nunggu waktu dan rezeki aja. Mbak yakin kalau sebentar lagi Mbak pasti gendong keponakan.” Ajeng tak pernah mendapat tanggapan dari perkataannya seperti yang dilakukan Sully malam itu. Sully melebarkan matanya dan menarik senyum lebar. Sully juga gantian menggenggam tangannya dengan erat. Dalam beberapa detik saja, wajah Sully sudah kembali ceria. “Wah … aku lega banget dengarnya. Aku kira keluar semua sampai enggak ada yang bersisa.” Sully tertawa kecil diiringi dengan Ajeng yang tersenyum geli memandangnya. “Sudah lega?” tanya Ajeng. Sully mengangguk. “Udah. Makasih, Mbak.” Sully melingkarkan tangannya di bahu Ajeng. Ajeng ikut mengangguk dan menepuk-nepuk lengan Sully. Teringat sesuatu, Sully menegakkan tubuhnya memandang Ajeng.
Mungkin benar apa yang dikatakan orang-orang selama ini padanya. Ia terlalu aneh, juga naif. Oky juga sering mengatakan hal serupa. Ia sering buru-buru memutuskan suatu hal seperti tidak ada hari esok. Semua yang dilakukannya selalu berdasar ‘lihat bagaimana nanti saja’, ‘yang penting hari ini’. Bahkan sampai sebulan lebih Wira menikahinya, ia sebenarnya belum memikirkan bagaimana cara mengatakan kepada keluarga, terlebih ayahnya bahwa ia sudah memiliki seorang suami.Jika dulu impiannya memiliki dapur dengan seperangkat kitchen mahal dan alat masak serba canggih menjadi salah dalam daftar wish list-nya, kini ia cukup lega memiliki dapur sederhana dengan mengetahui kenyataan bahwa ia tidak dituntut harus memasak. Jika dulu impiannya memiliki suami pengusaha yang pergi kerja dengan setelan jas lengkap, aroma parfum memenuhi seisi kamar dan berangkat mengendarai mobil Eropa terbaru, kini Sully sudah bahagia melihat suaminya yang mengenakan kaus oblong, berkeringat dan memegang sebilah p
“Jangan ngeledek. Ini masih pagi …. Tehnya diminum dulu.” Wira tidak meladeni perkataan Saptono.“Aku serius, Wir. Kamu lihat wajahku sekarang. Apa aku kelihatan meledek kamu? Meledek karena yang tadi? Ya, enggak, Wir. Aku ini cenderung ke mupeng. Sejak resepsi kemarin, aku baru ketemu istri kamu lagi, ya tadi itu. Setiap malam pasti enak, kan, Wir? Kamu ada minum jamu? Biar tahan lama meski begituan tiap malam. Istriku sering ngambek.” Saptono kembali menoleh ke pintu belakang rumah.Wira ikut menoleh ke belakang rumah. “Kamu lihat apa? Istriku enggak akan keluar lagi. Enggak aku perbolehkan keluar rumah selama ada tamu laki-laki. Jadi, kamu bisa dengan tenang ngomong sama aku,” tutur Wira santai.Saptono meluruskan duduknya. “Ehem! Jadi, memang enggak ada rahasianya?” tanya Saptono keras kepala. “Kalau gitu aku tanya istrimu aja nanti,” sambung Saptono menggoda temannya.“Jangan macam-macam,” gumam Wira santai. Ia kemudian menutup buku dan kembali menyimpannya ke dalam plastik. “Dat
Sully gelisah hilir-mudik di kamar. Percakapan di luar terdengar jelas di telinganya sejak tadi. Awalnya ia ingin mengabaikan karena mengingat ucapan Wira soal ‘urusan laki-laki’. Namun, sejak mengantarkan teh ke hadapan Pak Effendi, ia bisa merasakan aura tidak menyenangkan dari pria itu. Apalagi ketika namanya disebut-sebut dalam percakapan. “Menikah dengan Ratna enggak akan bikin Mas Wira bangkrut? Kurang ajar ….” Sully menempelkan telinganya ke dekat lubang kunci. “Mustahil Mas Wira mau dinikahkan sama Ratna. Dia juga enggak bego. Kecerdasannya terbukti waktu ngajak aku nikah. Huh!” Sully mencibir. Sementara itu di ruang tamu. “Kalau kamu serius, biar saya yang hubungi pengusaha itu sekarang. Setidaknya saya ada untung sedikit. Saya ambil tanah itu dengan harga murah dari petaninya. Masa sudah sekian lama saya enggak dapat untung sama sekali.” Pak Effendi mengambil ponselnya dari saku kemeja dan menghubungi seseorang. “Suara musiknya apa enggak bisa dipelankan? Mau ngomong juga
“Naik motorku aja, biar bisa sambil ngobrol,” kata Saptono. Wira naik ke boncengan tanpa pertanyaan. Ia sudah tahu maksud Saptono. Obrolan Saptono pasti bukan hanya sekedar pembicaraan transaksi penjualan tanah beberapa hari ke depan. Tapi soal kehangatan hubungan suami istri. Entah apa lagi yang membuat temannya itu penasaran. “Maaf lagi, nih … aku masih penasaran. Bukan cuma penasaran sebenarnya. Tapi lebih ke heran. Kamu itu berubah banget, lho, Wir. Dari yang kaku-kaku gitu … kok, bisa jadi begitu. Kasih aku tips-tipsnya. Biar aku kembali hangat dengan istriku. Istriku banyak diamnya. Tiap ditanya jawabannya selalu enggak ada apa-apa. Padahal anak baru satu. Hubungan ranjang sudah anyep.” Wira tertawa kecil. “Kamu, kok, ketawa? Aku serius,” omel Saptono dari depan. “Sebelumnya kamu lebih percaya diri kalau ngomong soal begitu-begitu. Sekarang, kok, malah jadi gini?” “Kemarin-kemarin mukamu enggak seceria ini. Uring-uringan. Mirip seperti aku sekarang. Itu tanda belum tercukup
Lirikan mata Sully sudah cukup menjelaskan kalau saat itu ia sadar Pak Gagah sudah menghabiskan setengah porsi dari chicken steak yang ia masak. Sully sudah merelakan kalau Wira bukan orang pertama yang mencicipi keberhasilan masakannya itu. Pak Gagah yang biasa selalu jujur memprotes, sedang bersantap dengan lahap. Itu sudah merupakan bayaran atas kehebohannya beberapa saat yang lalu.“Memang enak, Gus. Kamu sudah pernah makan beginian? Kalau di kota pasti banyak dijual di restoran, kan?”“Sudah pernah, Pak. Tapi yang bikinin Sulis belum pernah.”“Kalau gitu harus dimakan sekarang. Itu sayurnya Bapak yang kukus. Khawatir kalau Sulis pakai tungku, rumah kita bisa terbakar. Semua bisa jadi setik. Kamu juga makan, Lis. Sudah lewat tengah hari,” kata Pak Gagah, mengerling Sully sekilas.Baru memuji sedetik, detik berikutnya ia harus tahu penyebab mertuanya ikut membantu tadi. Sully berdecak kemudian duduk di sebelah Wira.“Bapak minta satu lagi, ya. Porsi segitu enggak sampai ke dasar lam
Tadinya saat menanggalkan pakaian Sully, Wira masih mengingat soal Saptono atau pria lain dari paguyuban yang akan datang menjemputnya. Tapi pikiran itu lenyap seiring dengan lumatan bibir mereka yang saling menyambut. Sully yang sebelumnya sibuk ingin mempraktekkan fungsi pakaian pria yang dibeli sepertinya juga ikut lupa. Sully memejamkan mata dan kedua tangannya tak bisa diam menggaruk kepala Wira yang menunduk di antara lipatan kakinya.Suasana rumah itu sangat lengang. Hanya terdengar desahan dan erangan halus yang lolos dari bibir meski sudah susah payah menahannya.“Udah, Mas,” erang Sully, menarik lengan Wira yang memegangi kedua pahanya begitu erat.Wira menyudahi kegemaran barunya dan merangkak di atas tubuh Sully. Ia lalu kembali tergoda untuk singgah mencumbu sepasang dada indah yang disodorkan padanya. Memang sulit baginya untuk bisa melakukan percintaan singkat. Ia belum puas dengan tiap sudut tubuh Sully. Mencecap, menyesap dan bermain dengan bibir, juga lidahnya.Sambi
Halo ....Selamat pagi Boeboo tersayang pembaca juskelapa. Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.Di sini saya mau menginformasikan bahwa novel ISTRI NAKAL MAS PETANI sudah tamat di Bab 280. Apabila kemarin ada penulisan TO BE CONTINUED di akhir bab 280 itu adalah kesalahan penulisan dan error revisi yang terlalu lama. Jangan lupa aplikasinya di-update agar mendapat tampilan terbaru dari GOODNOVEL yang semakin kece ya. Nantinya ISTRI NAKAL MAS PETANI akan diberi bonus chapter di saat kita semua sudah rindu.Kabar gembira giveaway-nya adalah MAS WIRA & SULIS akan memberikan merchandise sederhana untuk 50 orang pertama di peringkat GEMS 1-50. Bagi yang namanya tertera di peringkat tersebut bisa mengirimkan alamat ke :ADMIN JUSKELAPA melalui pesan singkat dengan nomor 0 8 2 2 -5 7 8 5-1 2 3 8 dengan menyertakan tangkapan layar peringkat GEMS (vote).AtauBisa kirim pesan melalui sosial media inssstagram ketik : juskelapa_ di pencarian. Buat yang belum beruntung bisa men
Pak Gagah ikut mengangkat gelas teh dan meneguk isinya hampir setengah. Baru menyadari nikmat bertukar cerita yang selama ini diamatinya pada kaum perempuan ternyata juga bisa ia rasakan. Sungguh Pak Gagah ataupun Pak Mangun tidak pernah menyangka bahwa hal yang mereka anggap sebagai tindakan tercela bisa mereka ubah menjadi sesuatu yang membawa masa depan baik untuk desa. “Kamu memang tidak berniat menjodohkan Bagus dan Ratna, kan, Gah?” Pak Mangun meletakkan cangklong di sudut bibirnya. Pak Gagah menggeleng-geleng. “Tidak…tidak. Aku tahu maksud Effendi menekan Ajeng soal hutang dan sertifikat kebun pasti berkaitan dengan Bagus. Ratna itu mondar-mandir terus di dekat rumah sini. Setiap berpapasan jalan yang ditanya Bagus. Tapi Bagus, kan, di Riau.” Pak Mangun tergelak. “Oh, sekarang aku ingat. Karena Ratna sering ke sini kamu jadi kepikiran ide buat ngomong kalau Bagus dijodohkan dengan Ratna.” “Alasan perjodohan itu ditambah dengan banyaknya petani yang terjerat hutang di Effend
Desa Girilayang itu terletak di kaki Merapi. Awalnya desa itu hanya berisi 12 kepala keluarga dengan 34 jiwa. Kakek buyut Pak Mangun dan Pak Gagah disebut-sebut sebagai orang pertama yang tinggal di desa itu untuk pertama kalinya. Secara geografis Desa Girilayang merupakan sebuah punggung bukit yang diisolasi oleh dua jurang di sisi sebelah barat dan timur. Itu sebabnya sebelum pembangunan jembatan seluruh warga desa harus berjalan memutari bukit dan cukup lama berada di jalan untuk bisa sampai ke kota.Pada sebuah peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia Wira pernah menyampaikan pidatonya yang mengatakan bahwa Desa Girilayang adalah tempat di mana semua warganya menjaga adat istiadat yang merupakan warisan leluhur. Juga melestarikan tempat-tempat wisata sejarah berikut pemandangan alam cantiknya untuk mendongkrak kemajuan desa dalam bidang pariwisata.Semua orang setuju dengan apa yang disampaikan Wira dan setuju dengan apa yang dilakukan Kepala Desa Girilayang terpilih itu u
Morning sickness yang dialami Sully berlangsung sampai kehamilannya menginjak usia delapan bulan. Sully mulai kuat terhadap bau-bauan dan bisa makan dalam porsi yang lebih banyak. Jika sebelumnya ia sulit menelan air dingin, masuk bulan kedelapan Sully sudah bisa memanjakan lidahnya dengan es teh manis. Seluruh keluarga besar Pak Gagah ikut senang dengan perubahan baik itu. Sully yang ceria sudah kembali. Pagi hari Sully ikut mendampingi anak-anaknya mandi dan makan. Kerjanya tak hanya bergulung di ranjang saja. Sully sudah mulai rajin seperti biasa. Ia juga mulai menggoda Wira dengan meremas bokongnya atau menggaruk perut pria itu. Wira menyambut bahagia godaan-godaan Sully. Sudah cukup lama pemenuhan kebutuhan batinnya berdasar mood istrinya itu. Menunggu belas kasihan Sully yang mau memberikan dengan sukarela tanpa mulut mengerucut. Memasuki bulan kedelapan mereka sudah kembali bercinta dengan hangat. Kehamilan yang terbebas dari morning sickness, tiga anak laki-lakinya sehat, pa
Kedatangan keluarga Pak Gagah yang hanya berjarak seminggu sebelum pesta pernikahan Oky membuat Pak Anwar menyusun agenda sepadat mungkin untuk mengajak besan berkeliling kampunghalamannya.Hal pertama yang dilakukan Pak Anwar adalah mengajak Pak Gagah melihat kebun kelapa Sully yang dibelikan Wira. Dalam perjalanan menuju kebun itu tak lupa Pak Anwar menunjukkan jalan hasil pengaspalan yang didanai oleh Wira.“Lihat seberapa panjangnya jalan menuju ke kebun kelapa ini, kan? Nah, ini semua Bagus yang mengaspal. Warga yang sudah lama mengharapkan perbaikan jalan bisa ikut menikmati yang dilakukan Bagus. Apa yang dilakukannya ini membawa banyak kebaikan. Bahkan warga yang tidak kenal Bagus secara pribadi malah mengenal namanya. Pernah sekali waktu saya ke kebun kelapa, ada seorang pria yang baru pulang merantau menanyakan soal jalan yang bagus. Orang tuanya langsung mengatakan jalan ini diaspal menantunya Pak Anwar. Namanya Bagus.” Pak Anwar terkekeh-kekeh senang saat menceritakan kisah
Rombongan itu benar-benar ramai. Tiga generasi melalui perjalanan panjang berpindah-pindah moda transportasi. Pak Gagah yang sudah lama tidak melancong jauh bangun paling pagi dibanding yang lain. Pria tua itu mengecek semua bawaan mereka untuk kesekian kalinya.Perjalanan hari itu dimulai dengan Asmari dan seorang supir dari pabrik yang diminta mengantar ke bandara.“Asmari ikut juga, kan, Gus? Masa Hendro resepsi Asmari enggak ikut?” Belum apa-apa Pak Gagah sudah protes karena Asmari yang belakangan dekat dengan Hendro tidak terlihat memiliki tentengan.“Asmari ikut, Pak. Nanti setelah mengantar kita ke terminal keberangkatan dia titip mobil di parkir inap bandara. Asmari berangkatnya satu pesawat bersama Pretty dan ibunya.” Wira baru saja melepas Asmari untuk meletakkan mobil di parkir inap. Pak Gagah yang sedang menggendong Bima pun sepertinya masih punya banyak waktu untuk memperhatikan orang sekitar.“Bapak capek? Bima bisa diletak dulu di stroller. Gantian sama Tika. Dari tadi
Dan bukan Sully namanya kalau segala yang ia lakukan tidak menimbulkan kehebohan orang sekeliling. Malam itu setelah mengutarakan keinginannya dengan cara merajuk, Wira menyanggupi semua hal yang akan dilakukan oleh istrinya itu agar mereka mendapatkan seorang bayi perempuan.Pertama-tama mereka berdua mendatangi praktek Dokter Masayu untuk berkonsultasi. Sully santai saja saat mengutarakan keinginannya. Raut dan gesture-nya sangat percaya diri seperti biasa. Terutama saat Dokter Masayu bertanya, “Sulis sudah mau program bayi perempuan? Awang belum dua bulan.” Dokter Masayu mengingatkan.Wira yang masih mengenakan seragam cokelat mengangguk yakin. “Katanya mau sekarang aja, Dok. Biar sekalian aja.”“Kalau bisa sekarang kenapa harus nanti gitu, Dok. Kemarin hamilnya Awang juga bisa secepat itu. Saya mau tahu tips-tips khusus buat hamil anak perempuan.” Sully bicara dengan kedua tangannya yang melingkari lengan Wira. Ia sudah tidak peduli lagi dengan komentar ketiga kakaknya. Karena jik
Bisa dibilang Sully memasuki masa sedang repot-repotnya. Ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi Wira hadir sendirian. Ulang tahun pabrik yang harusnya bersamaan dengan ulang tahun si kembar ternyata perayaannya harus dilewatkan karena Sully baru melahirkan putra ketiganya.Putra ketiga Sully dan Wira lahir di bulan yang sama dengan kelahiran Bima dan Sakti. Dan keluarga Sully kembali datang dengan formasi yang sama. Sari; kakak Sully adalah orang yang pertama kali tertawa terbahak-bahak setelah mengetahui kehamilan adiknya.Dan hari itu, satu bulan setelah Sully melahirkan Sari kembali datang dengan anak bungsunya yang mulai belajar jalan. Dari ketiga kakak Sully, Sari pulalah yang menggendong putra ketiga adiknya itu sambil mengatakan, “Selamat datang putra ketiga adikku yang dulunya setiap hari ngomong jangan banyak anak.”Karena itu Sully mengerucutkan bibir memandang kakaknya.Keramaian ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi memang senga
Sully sudah melupakan tentang percintaan sore yang dilakukannya dengan penuh semangat dan keringat. Fokusnya sementara hanya tertuju merawat putra kembarnya dan mengerjakan dua tawaran endorsement yang sudah ia sanggupi. Ada dua iklan yang videonya sedang mereka garap. Pil pelancar ASI dan produk korset pelangsing perut. Kedua endorsement itu diterima Sully dengan penuh suka cita. Terlebih tenaga ‘babysitter’ si kembar masih melimpah ruah.Semua orang di rumah sedang berlomba-lomba menjadi sosok yang paling bisa menaklukkan hati si kembar. Semua ingin mendapat sebutan orang yang paling bisa membuat si kembar langsung tenang saat menangis. Termasuk Pak Anwar dan Bu Dahlia yang biasanya sering berdebat kecil. Suami istri itu kini terlihat kompak menjaga cucu laki-laki dari anak bungsu mereka.“Kita harus sering-sering bikin konsep video begini. Biaya produksinya kecil, mengedukasi, juga anti ribet-ribet klub.” Sully sedang membereskan kotak make-upnya.“Konsepnya emang bagus, tapi nggak