Kalau Saptono bisa sesantai dan seluwes itu bercerita soal hubungan bersama istrinya, kenapa ia tidak bisa santai saja membiarkan isi pikiran temannya itu berkelana sendirian. Wira mandi dengan santai di kamar mandi paling belakang. Ia lebih suka mandi air sumur yang segar, ketimbang air yang dialirkan melalui pipa. Terutama setelah melalui matahari yang cukup terik. Air dari pipa biasanya ikut hangat.“Enggak kelamaan, kan?” tanya Wira lagi saat masuk ke kamar dan melewati Saptono.“Kita janjinya cuma makan siang di rumah masing-masing. Enggak ada agenda-agenda pribadi sesudah makan siang.”“Tapi aku belum terlambat. Kamu yang datangnya terlalu cepat.” Wira kembali ngeloyor ke dalam kamar.Wira berpakaian sembari sesekali memandang wajah Sully yang masih tertidur nyenyak. Sepertinya Sully benar-benar menghabiskan seluruh tenaganya hari itu. Ia menyungging senyum. Teringat akan permintaan Sully tadi, ia mencari dompet kain yang biasa digunakannya untuk meletakkan uang jajan wanita itu
“Berarti Pak Effendi pemilik sebagian besar lahan di sini, ya.” Pak Martin membuka percakapan setelah acara perkenalan selesai.“Wah, enggak juga, Pak. Saya ini awalnya hanya pendatang. Bukan seperti Nak Wira yang penduduk asli sini. Lahan saya belum bisa dibilang banyak.”“Masih kurang banyak, ya, Pak.” Saptono terkekeh-kekeh karena kata-katanya barusan. Ia lalu terdiam saat menyadari tak ada yang tertawa di sana.“Surat-surat tadi mana, Sap? Dikeluarkan aja, dikasih lihat ke Pak Martin untuk dicek.” Wira menepuk pelan lutut Saptono untuk mengeluarkan buntalan map yang mereka bawa. “Mari kita perlihatkan.” Wira langsung menyodorkan surat-surat kepemilikan tanahnya pada Pak Martin.“Bisa bantu cek, Grace?” Pak Martin mengangsurjan map itu pada Bu Grace dan Pak Suseno ikut memajukan letak duduknya untuk ikut melihat tiap lembaran yang dibuka.“Sebagian kebun aren di sini masih dimiliki petani yang hampir semuanya memang warga setempat. Pak Wira juga punya kebun aren. Memangnya kenapa?
“Jadi, selanjutnya tetap mengikuti timeline rencana yang sudah dibuat sebelumnya? Tadi saya tanya lagi ke Pak Effendi soal kebun aren petani. Beliau sudah yakin benar bahwa memang tidak ada petani yang berniat menjual tanahnya.” Pak Martin turun dari mobil setibanya mereka di lahan yang akan dijadikan proyek baru. Mereka berdiri di tepi jalan dengan tatapan ke tempat yang sama. Wira berdiri menatap hamparan semak rimbun dan pohon-pohon yang panjang-pendek. “Pak Effendi benar. Petani-petani itu memang kemungkinannya kecil sekali mau menjual kebun. Mereka masih memanen aren dan menjualnya pada Pak Effendi dengan harga sangat murah. Pak Effendi mengumpulkannya dan menjual ke pabrik yang sudah melakukan kerjasama dengannya. Hasil penjualan juga dipotong hutang dan bunganya. Makanya … kebun-kebun petani itu masih aman. Tidak dirusak karena memang sebagai sumber pemasukan dia juga.” “Nasib petani yang tidak menjual hasil kebunnya ke Pak Effendi bagaimana?” Tiba-tiba Pak Suseno ikut menyela
Beberapa saat sebelum Wira tiba di rumah. Pertama kalinya Sully benar-benar merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang istri yang menunggu suaminya pulang ke rumah setelah seharian bekerja. Hari itu, ia merasa benar-benar tak bisa menjangkau Wira. Pesan sepelenya yang berbunyi, ‘Jangan lupa kiriman belanjaan aku, Mas.’ Hanya dibalas dengan satu kata saja, ‘Iya.’ Setelah mendapat jawaban seperti itu, gambaran Wira yang memang benar-benar sibuk, membuatnya harus menahan diri untuk tak menghubungi pria itu lagi. Ia mondar-mandir ke sana kemari di rumah itu. Ia membongkar pakaian di lemari dan menyusunnya sesuai dengan keperluan. Selesai dengan lemari, ia pergi ke dapur untuk duduk dan menggulir ponselnya untuk melihat resep masakan apa yang bisa ia masak untuk menyambut Wira pulang bekerja. Setelah harus bersabar dengan sinyal yang tersendat-sendat, Sully menemukan resep tahu baso yang sepertinya mudah dan layak untuk dicoba. Namun, rencananya itu gagal saat Pak Gagah masuk ke dapur de
Wira menunda kegiatan mandinya untuk memeluk Sully di tepi ranjang. Barusan tadi Sully mengatakan alasan keinginannya untuk hamil secepat mungkin. Suatu alasan yang selama ini tidak pernah terpikirkan oleh Wira. Sangat sederhana, tapi cukup membingungkannya. “Bisa cerita lebih jelas? Biar Mas ngerti.” Wira berdiri dari lantai dan ikut duduk di sebelah Sully. Tulang-tulang wanita itu sepertinya kembali kehilangan tenaga. Atau memang itu sudah menjadi kebiasaan Sully yang sulit mengungkapkan isi hati jika harus beradu pandang dengan lawan bicaranya? Sully menelan ludah. “Kalau aku pulang saat hamil … Ayah mungkin enggak akan marah besar. Ayah enggak akan teriak atau bentak-bentak aku. Apalagi kalau ada Mas. Tapi kalau aku enggak hamil, meski kita pulang sama-sama … kayanya kita bakal kena marah. Terutama Mas. Makanya aku takut .... Jangan sampai Bapak ikut, Mas. Nanti pasti ribut besar. Ayahku beda, Mas. Mau cerita juga malu.” Suara Sully sangat pelan. Kalau ayahnya tahu ia sedang meng
Kegiatan malam Wira hanya bersandar di tumpukan bantal dan mengamati Sully yang masih betah mengutak-atik macam-macam aksesoris yang Wira tak tahu apa fungsinya. Sekarang meja kecil di sebelah cermin tinggi sudah memiliki laci kecil empat tingkat. Di sebelahnya ada rak kosmetik berbahan akrilik yang bisa diputar. Sully mengatur peralatan kosmetiknya di sana dan menatap teduh jajaran botol-botol berbagai merek yang ia kenakan. Hatinya sedikit terhibur. “Sudah selesai? Ayo, sini baring dekat Mas.” Sully merangkak naik ke ranjang dan menarik satu lengan Wira untuk dijadikannya bantal. Ia masuk ke dalam pelukan pria itu dan bergulung. “Lis … Mas mau,” ucap Wira membelai punggung Sully dan turun sampai berdiam di pinggul. Mengusap dan meremas bagian itu dengan lembut seraya melirik Sully yang menyembunyikan wajahnya. Sebenarnya malam itu ia sudah cukup lelah. Kantuknya pun sudah datang sejak tadi. Tapi menunggui Sully yang lebih terlihat seperti sedang menata hati ketimbang kosmetik-kos
Tumpukan gorden yang terletak di bawah jendela kamar saat itu tak lagi membuat percik semangat di hati Sully. Tenaganya entah terbang ke mana. Sangat berbeda dengan saat ia membelanjakan uang Wira membeli benda-benda remeh dalam list-nya. Sebenarnya masih terlalu pagi untuk kehilangan semangat. Tapi perasaan bernama semangat itu seakan ikut pergi bersama Wira yang dua hari belakangan ia rasa … tidak terlalu mengacuhkannya. Dalam satu dus alat tes kehamilan berisi 24 strip. Sally telah menggunakannya dua. Setelah meletakkan dua alat tes yang menunjukkan hasil negatif ke dalam laci di sebelah ranjang, Sully ke lemari merapikan sisa alat tes di dua yang saat itu menjelma menjadi harta yang berharganya selain kosmetik. “Kangen Ibu,” bisiknya, meraih ponsel dan menggulirnya sejenak. “Jam segini ... biasanya Ayah lagi ngapain, ya ....” Sudah berapa tahun ia pergi meninggalkan kampungnya? Setahun lebih? Atau sudah dua tahun? Kenapa ia bisa lupa rutinitas yang dilakukan keluarganya. Sully m
Wajah Ajeng mendadak lebih serius. Melihat tanggapan Suppy, hal yang ia duga selama ini ternyata benar. Wira tidak pernah menceritakan sedikit pun soal masa lalunya. Bukan bercerita hal-hal berlebihan, tapi bukankah wajar jika dalam rumah tangga cerita masa lalu keluarga diceritakan sedikit demi sedikit. Apalagi hal yang akan diceritakannya pada Sully termasuk hal yang penting.“Ibu kami … kalau bisa dibilang wanita paling keibuan yang pernah Mbak kenal. Anggun, manis, feminin, dan sangat lembut. Ibu terlahir dari keluarga terpandang di desanya. Mmm … semoga aja Bapak masih sibuk dengan mesin cucinya, ya.” Ajeng seraya menoleh pintu tengah yang masih tertutup tirai hijau. Sully ikut-ikutan mengerling ke arah yang sama.Ajeng lalu melanjutkan, “Bapak enggak pernah cerita-cerita ke kami, yang sering ngobrol itu Ibu. Bapak kaku.”“Mmmm … kaku? Mirip Mas Wira?” tanya Sully.“Bagus kaku, ya?” Ajeng meringis mendengar ucapan Sully yang benar adanya. Untungnya Sully hanya tertawa.“Ibu cerit
Halo ....Selamat pagi Boeboo tersayang pembaca juskelapa. Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.Di sini saya mau menginformasikan bahwa novel ISTRI NAKAL MAS PETANI sudah tamat di Bab 280. Apabila kemarin ada penulisan TO BE CONTINUED di akhir bab 280 itu adalah kesalahan penulisan dan error revisi yang terlalu lama. Jangan lupa aplikasinya di-update agar mendapat tampilan terbaru dari GOODNOVEL yang semakin kece ya. Nantinya ISTRI NAKAL MAS PETANI akan diberi bonus chapter di saat kita semua sudah rindu.Kabar gembira giveaway-nya adalah MAS WIRA & SULIS akan memberikan merchandise sederhana untuk 50 orang pertama di peringkat GEMS 1-50. Bagi yang namanya tertera di peringkat tersebut bisa mengirimkan alamat ke :ADMIN JUSKELAPA melalui pesan singkat dengan nomor 0 8 2 2 -5 7 8 5-1 2 3 8 dengan menyertakan tangkapan layar peringkat GEMS (vote).AtauBisa kirim pesan melalui sosial media inssstagram ketik : juskelapa_ di pencarian. Buat yang belum beruntung bisa men
Pak Gagah ikut mengangkat gelas teh dan meneguk isinya hampir setengah. Baru menyadari nikmat bertukar cerita yang selama ini diamatinya pada kaum perempuan ternyata juga bisa ia rasakan. Sungguh Pak Gagah ataupun Pak Mangun tidak pernah menyangka bahwa hal yang mereka anggap sebagai tindakan tercela bisa mereka ubah menjadi sesuatu yang membawa masa depan baik untuk desa. “Kamu memang tidak berniat menjodohkan Bagus dan Ratna, kan, Gah?” Pak Mangun meletakkan cangklong di sudut bibirnya. Pak Gagah menggeleng-geleng. “Tidak…tidak. Aku tahu maksud Effendi menekan Ajeng soal hutang dan sertifikat kebun pasti berkaitan dengan Bagus. Ratna itu mondar-mandir terus di dekat rumah sini. Setiap berpapasan jalan yang ditanya Bagus. Tapi Bagus, kan, di Riau.” Pak Mangun tergelak. “Oh, sekarang aku ingat. Karena Ratna sering ke sini kamu jadi kepikiran ide buat ngomong kalau Bagus dijodohkan dengan Ratna.” “Alasan perjodohan itu ditambah dengan banyaknya petani yang terjerat hutang di Effend
Desa Girilayang itu terletak di kaki Merapi. Awalnya desa itu hanya berisi 12 kepala keluarga dengan 34 jiwa. Kakek buyut Pak Mangun dan Pak Gagah disebut-sebut sebagai orang pertama yang tinggal di desa itu untuk pertama kalinya. Secara geografis Desa Girilayang merupakan sebuah punggung bukit yang diisolasi oleh dua jurang di sisi sebelah barat dan timur. Itu sebabnya sebelum pembangunan jembatan seluruh warga desa harus berjalan memutari bukit dan cukup lama berada di jalan untuk bisa sampai ke kota.Pada sebuah peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia Wira pernah menyampaikan pidatonya yang mengatakan bahwa Desa Girilayang adalah tempat di mana semua warganya menjaga adat istiadat yang merupakan warisan leluhur. Juga melestarikan tempat-tempat wisata sejarah berikut pemandangan alam cantiknya untuk mendongkrak kemajuan desa dalam bidang pariwisata.Semua orang setuju dengan apa yang disampaikan Wira dan setuju dengan apa yang dilakukan Kepala Desa Girilayang terpilih itu u
Morning sickness yang dialami Sully berlangsung sampai kehamilannya menginjak usia delapan bulan. Sully mulai kuat terhadap bau-bauan dan bisa makan dalam porsi yang lebih banyak. Jika sebelumnya ia sulit menelan air dingin, masuk bulan kedelapan Sully sudah bisa memanjakan lidahnya dengan es teh manis. Seluruh keluarga besar Pak Gagah ikut senang dengan perubahan baik itu. Sully yang ceria sudah kembali. Pagi hari Sully ikut mendampingi anak-anaknya mandi dan makan. Kerjanya tak hanya bergulung di ranjang saja. Sully sudah mulai rajin seperti biasa. Ia juga mulai menggoda Wira dengan meremas bokongnya atau menggaruk perut pria itu. Wira menyambut bahagia godaan-godaan Sully. Sudah cukup lama pemenuhan kebutuhan batinnya berdasar mood istrinya itu. Menunggu belas kasihan Sully yang mau memberikan dengan sukarela tanpa mulut mengerucut. Memasuki bulan kedelapan mereka sudah kembali bercinta dengan hangat. Kehamilan yang terbebas dari morning sickness, tiga anak laki-lakinya sehat, pa
Kedatangan keluarga Pak Gagah yang hanya berjarak seminggu sebelum pesta pernikahan Oky membuat Pak Anwar menyusun agenda sepadat mungkin untuk mengajak besan berkeliling kampunghalamannya.Hal pertama yang dilakukan Pak Anwar adalah mengajak Pak Gagah melihat kebun kelapa Sully yang dibelikan Wira. Dalam perjalanan menuju kebun itu tak lupa Pak Anwar menunjukkan jalan hasil pengaspalan yang didanai oleh Wira.“Lihat seberapa panjangnya jalan menuju ke kebun kelapa ini, kan? Nah, ini semua Bagus yang mengaspal. Warga yang sudah lama mengharapkan perbaikan jalan bisa ikut menikmati yang dilakukan Bagus. Apa yang dilakukannya ini membawa banyak kebaikan. Bahkan warga yang tidak kenal Bagus secara pribadi malah mengenal namanya. Pernah sekali waktu saya ke kebun kelapa, ada seorang pria yang baru pulang merantau menanyakan soal jalan yang bagus. Orang tuanya langsung mengatakan jalan ini diaspal menantunya Pak Anwar. Namanya Bagus.” Pak Anwar terkekeh-kekeh senang saat menceritakan kisah
Rombongan itu benar-benar ramai. Tiga generasi melalui perjalanan panjang berpindah-pindah moda transportasi. Pak Gagah yang sudah lama tidak melancong jauh bangun paling pagi dibanding yang lain. Pria tua itu mengecek semua bawaan mereka untuk kesekian kalinya.Perjalanan hari itu dimulai dengan Asmari dan seorang supir dari pabrik yang diminta mengantar ke bandara.“Asmari ikut juga, kan, Gus? Masa Hendro resepsi Asmari enggak ikut?” Belum apa-apa Pak Gagah sudah protes karena Asmari yang belakangan dekat dengan Hendro tidak terlihat memiliki tentengan.“Asmari ikut, Pak. Nanti setelah mengantar kita ke terminal keberangkatan dia titip mobil di parkir inap bandara. Asmari berangkatnya satu pesawat bersama Pretty dan ibunya.” Wira baru saja melepas Asmari untuk meletakkan mobil di parkir inap. Pak Gagah yang sedang menggendong Bima pun sepertinya masih punya banyak waktu untuk memperhatikan orang sekitar.“Bapak capek? Bima bisa diletak dulu di stroller. Gantian sama Tika. Dari tadi
Dan bukan Sully namanya kalau segala yang ia lakukan tidak menimbulkan kehebohan orang sekeliling. Malam itu setelah mengutarakan keinginannya dengan cara merajuk, Wira menyanggupi semua hal yang akan dilakukan oleh istrinya itu agar mereka mendapatkan seorang bayi perempuan.Pertama-tama mereka berdua mendatangi praktek Dokter Masayu untuk berkonsultasi. Sully santai saja saat mengutarakan keinginannya. Raut dan gesture-nya sangat percaya diri seperti biasa. Terutama saat Dokter Masayu bertanya, “Sulis sudah mau program bayi perempuan? Awang belum dua bulan.” Dokter Masayu mengingatkan.Wira yang masih mengenakan seragam cokelat mengangguk yakin. “Katanya mau sekarang aja, Dok. Biar sekalian aja.”“Kalau bisa sekarang kenapa harus nanti gitu, Dok. Kemarin hamilnya Awang juga bisa secepat itu. Saya mau tahu tips-tips khusus buat hamil anak perempuan.” Sully bicara dengan kedua tangannya yang melingkari lengan Wira. Ia sudah tidak peduli lagi dengan komentar ketiga kakaknya. Karena jik
Bisa dibilang Sully memasuki masa sedang repot-repotnya. Ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi Wira hadir sendirian. Ulang tahun pabrik yang harusnya bersamaan dengan ulang tahun si kembar ternyata perayaannya harus dilewatkan karena Sully baru melahirkan putra ketiganya.Putra ketiga Sully dan Wira lahir di bulan yang sama dengan kelahiran Bima dan Sakti. Dan keluarga Sully kembali datang dengan formasi yang sama. Sari; kakak Sully adalah orang yang pertama kali tertawa terbahak-bahak setelah mengetahui kehamilan adiknya.Dan hari itu, satu bulan setelah Sully melahirkan Sari kembali datang dengan anak bungsunya yang mulai belajar jalan. Dari ketiga kakak Sully, Sari pulalah yang menggendong putra ketiga adiknya itu sambil mengatakan, “Selamat datang putra ketiga adikku yang dulunya setiap hari ngomong jangan banyak anak.”Karena itu Sully mengerucutkan bibir memandang kakaknya.Keramaian ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi memang senga
Sully sudah melupakan tentang percintaan sore yang dilakukannya dengan penuh semangat dan keringat. Fokusnya sementara hanya tertuju merawat putra kembarnya dan mengerjakan dua tawaran endorsement yang sudah ia sanggupi. Ada dua iklan yang videonya sedang mereka garap. Pil pelancar ASI dan produk korset pelangsing perut. Kedua endorsement itu diterima Sully dengan penuh suka cita. Terlebih tenaga ‘babysitter’ si kembar masih melimpah ruah.Semua orang di rumah sedang berlomba-lomba menjadi sosok yang paling bisa menaklukkan hati si kembar. Semua ingin mendapat sebutan orang yang paling bisa membuat si kembar langsung tenang saat menangis. Termasuk Pak Anwar dan Bu Dahlia yang biasanya sering berdebat kecil. Suami istri itu kini terlihat kompak menjaga cucu laki-laki dari anak bungsu mereka.“Kita harus sering-sering bikin konsep video begini. Biaya produksinya kecil, mengedukasi, juga anti ribet-ribet klub.” Sully sedang membereskan kotak make-upnya.“Konsepnya emang bagus, tapi nggak