Home / Romansa / Istri Nakal Mas Petani / Chapter 151 - Chapter 160

All Chapters of Istri Nakal Mas Petani: Chapter 151 - Chapter 160

281 Chapters

151. Tak Bersisa

Tak jauh dari Sully yang sedang menangis tersedu-sedu, Oky berdiri mematung di balik tirai. Pendengarannya tak salah. Dokter memang mengatakan kalau Sully baru sajakehilangan janin yang dikandungnya. Ternyata Sully memang hamil. Atau lebih tepatnya kalau sahabatnya itu tak menyadari kehamilannya. Dan dari suara tangisan Sully, juga dari suara Wira yang sangat lembut, sepertinya keduanya sangat mengharapkan kehamilan itu. Oky menelan ludah. Entah sejak kapan keduanya mulai menjalankan peran suami-istri yang sesungguhnya, ia tidak tahu. Sully dan Wira saling mencintai.Oky menarik napas dalam-dalam. Harusnya ia sudah bisa menebak hal itu dari awal. Meski sejuta kali Wira mengatakan kalau Sully bukan tipe wanita idamannya, tapi Wira tetaplah laki-laki normal. Pria kota yang terbiasa melihat wanita cantik saja akan mudah jatuh cinta dengan Sully. Apalagi pria seperti Wira yang terlihat lurus dan jauh dari hingar bingar hedonisme perkotaan. Sully bagai dunia baru yang akan menimbulkan rasa
last updateLast Updated : 2022-11-12
Read more

152. Memecah Kebisuan

Bagi Sully, beberapa bulan kehidupannya berjalan bagai mimpi. Ia yang tadinya hidup tanpa masalah dan tanpa kekurangan di kota, kembali harus melarikan diri saat terjebak dalam hutang yang sama sekali tak pernah ia sangka. Ia merasa tidak pernah menjahati siapa pun.Bagai mimpi, ia terdampar di gapura Desa Girilayang dan bertemu dengan seorang pria yang dengan mudah membawanya ke rumah dengan alasan yang hampir sama terdesak seperti dia.Sully tak pernah berpikir akan mengakhiri masa lajangnya secepat itu. Ia bahkan pernah berpikir untuk memanjangkan masa sendirinya demi satu kata. Kebebasan. Ia ingin menjadi perempuan bebas tanpa seorang pun yang membatasi apa yang dilakukannya. Ia sudah lepas dari ayahnya yang ia pikir sangat kolot. Jadi, ia tidak mau lagi terjebak dengan seseorang yang mengatur hidupnya.Lalu … dengan naifnya ia jatuh cinta pada pria sederhana yang memperhatikannya dengan cara sederhana, namun terasa sangat istimewa baginya. Wira yang sederhana dan pemalu malah mem
last updateLast Updated : 2022-11-14
Read more

153. Memang Mertua Idaman

Berkali-kali di dalam dirinya, Sully memperingatkan bahwa ia boleh egois saat itu. Tak semestinya ia mengkhawatirkan Wira yang terlihat tidak terlalu mengkhawatirkannya. Dua minggu berada di rumah, tidak membawa perubahan besar atas sikap Wira. Pria itu masih sibuk dengan urusannya tanpa menyisakan waktu luang untuk bicara dari hati ke hati.Mungkin Wira lelah. Atau mungkin Wira sedang tak banyak waktu untuk lebih mengkhawatirkan istrinya sendiri. Atau … Wira sedang mempersiapkan sesuatu untuk dirinya?“Belum pernah lihat panen kacang tanah, kan? Ayo, duduk di sini. Kamu cuma perlu duduk santai aja. Jangan ngapa-ngapain.” Pak Gagah menyodorkan bangku setinggi mata kaki yang sudah diberinya alas tumpukan kain.“Bapak kayanya lagi enggak sehat. Iya, kan? Bapak pucat,” kata Sully saat ia dan Pak Gagah berdua saja di kebun belakang. Ia tak mau menoleh ke belakang untuk melihat apa Wira mengikuti mereka. Dua minggu lebih banyak diam dan bicara secukupnya pada pria itu membuat keadaan merek
last updateLast Updated : 2022-11-14
Read more

154. Tamu Tak Disangka

Dari kamar, perkataan Pak Effendi sangat jelas terdengar. Bisa jadi, salah seorang keluarga Subardi yang berada di luar rumah pun bisa ikut mendengar.Sully terdiam bagai dihantam sesuatu yang tidak pernah terpikir olehnya. Itu terlalu cepat dan frontal untuk langsung diucapkan di depan Pak Gagah. Ia bahkan belum bersiap-siap untuk mengatakan semua itu pada Wira.Sully beringsut gelisah. Wira sedang menatap jendela yang tertutup seakan menanti lanjutan obrolan Pak Gagah dan Pak Effendi. Nyatanya, tak ada lanjutan. Hanya suara hempasan pagar kayu yang terdengar lebih keras. Pak Effendi pergi meninggalkan halaman dengan emosi yang ia sulut sendiri.“Kamu istirahat, ya. Kata Bapak, jangan tidur. Sebentar lagi makan malam,” kata Wira, bangkit dari ranjang.“Mas,” panggil Sully, menahan lengan Wira. Ia mencoba bangkit dari ranjang.Wira dengan cepat menahan bahu Sully. “Enggak perlu menjelaskan apa-apa sekarang. Kamu istirahat dulu. Mas mau ngomong sama Bapak.” Ia mengangguk demi meyakinka
last updateLast Updated : 2022-11-14
Read more

155. Pergumulan Para Pria

Sully setengah menjerit saat Rino menyeret masuk ke sebuah SUV yang belakangan ia tahu kalau Rino menyewa mobil itu dari kota terdekat ditambah dengan jasa seorang supir.“Lepas! Sinting! Nanti orang kira aku ngapa-ngapain sama kamu.” Sully melepaskan tangan Rino yang mencengkeram pergelangannya.“Memangnya orang mau mengira kita ngapain? Kamu kenapa, sih, Sul? Kamu bohong, kan, soal udah nikah? Itu enggak benar, kan?” Kali ini Rino memegangi kedua bahu Sully agar wanita itu menghadap ke arahnya.“Kamu apa, sih? Lepasin. Aku masih sakit,” ketus Sully, kembali menepis tangan Rino dari bahunya. “Minta mobil ini berhenti. Kita balik ke rumah tempat tinggal aku tadi.”“Kita ngobrol dulu sampai semuanya kelar, selesai, jelas, baru aku kembalikan kamu ke sana. Atau kamu mau ikut aku balik ke Jakarta?”“Jangan sinting! Aku udah sering bilang kalau aku udah nikah...aku udah punya suami. Kamu maunya apa, sih? Siapa yang kasih tahu ke kamu aku ada di sini? Siapa?!”Mobil terus melaju menuju kel
last updateLast Updated : 2022-11-20
Read more

156. Puncak Kekecewaan

Urusan Wira di minggu-minggu itu memang sangat padat. Dari mulai hadir sebagai pelapor insiden kebakaran yang mengharuskannya mondar-mandir ke kantor polisi, menemui pihak asuransi yang bertanya banyak hal, rapat bersama penanam modal, mendatangi perangkat Desa Girilayang yang dinilainya tak becus, dan tak lupa menjenguk Saptono. Namun, akhir-akhir ini semua kelelahan akibat insiden proyek itu belum ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan suasana rumah yang terasa semakin hambar. Sully belum bersikap normal sejak kehilangan janin yang ia kandung. Komunikasi mereka semakin terbatas. Sepatah-sepatah, sepotong-sepotong, bahkan semua pertanyaan kebanyakan dijawab dengan ya atau tidak saja. Mereka seperti kembali ke masa awal pertama kali bertemu. Yaitu, hanya sepasang orang asing yang tinggal di kamar yang sama dan tak bertegur sapa. Tumpukan-tumpukan lelah yang dirasakan Wira semakin menggunung. Terlebih, ketika beberapa hari yang lalu ia mendapati Sully mengunggah video endorse baru k
last updateLast Updated : 2022-11-20
Read more

157. Mungkin Perpisahan

“Mau pulang ke mana? Ini rumah kamu. Di sini ada Mas, suami kamu, ada Bapak juga. Kita bicarakan masalah kita pelan-pelan.” Wira merendahkan suaranya, namun masih bergeming. Mematung menatap Sully yang memandangnya dengan sepasang mata paling berani yang pernah ia lihat. Sully tak pernah seperti itu. Dalam keadaan paling marah sebelum-sebelumnya, sorot mata Sully tak pernah lebih berani dari yang dilihat Wira malam itu. “Kamu masih sakit. Mas enggak ngajak kamu ngobrol yang berat-berat karena Mas mau kamu cepat pulih. Mas mau kamu bisa jadi Sulis yang ceria, yang banyak ngomong, yang masakin Mas ini-itu.”“Aku capek, Mas. Itu bukan aku yang sebenarnya. Aku bukan perempuan penurut kaya gitu. Aku yang bodoh karena terlalu berusaha keras biar orang-orang di sini suka denganku. Aku rela enggak jadi diri sendiri demi disukai bapaknya Mas.” Ketika mengatakan itu, Sully mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia tak mau Wira melihat ketidakjujuran dalam sorot matanya.Wira menelan ludah pel
last updateLast Updated : 2022-11-21
Read more

158. Setelah Sekian Lama

Tidak seperti perdebatan mereka yang sudah-sudah, kali ini Oky tidak mau bicara sambil berteriak satu sama lain. Tiga hari yang lalu Oky menyimak pertengkaran sepasang suami istri itu dari ruang tamu. Bukan hanya dia, tapi ada Pak Gagah juga. Wajah pria tua itu tak perlu ditanya lagi bagaimana sedihnya. Mungkin menyiratkan kekesalan, amarah, juga ketidaksabaran.“Kamu harus tidur. Sudah larut,” kata Pak Gagah pada Oky ketika suara perdebatan dari kamar Wira sudah tak terdengar.Oky mengangguk dan meninggalkan ruang tamu. Entah kenapa ia dan Pak Gagah saling memaklumi soal mencuri dengar percakapan itu. Di depan pintu kamarnya, Oky berputar untuk melihat Pak Gagah yang kembali duduk dengan cangkir teh di tangan. “Bapak juga tidur,” kata Oky pelan. Pak Gagah mengangguk samar.Jika orang mendengar untuk pertama kali, apa yang diucapkan Sully pasti sangat mengejutkan. Wanita itu memang bisa mengatakan hal yang tidak bisa dikatakan orang lain dengan mudah. Tapi, sebagai sahabatnya Oky juga
last updateLast Updated : 2022-11-22
Read more

159. Tak Semua Wanita Sama

Setelah perdebatan di malam hari itu, Wira memang membiarkan Sully menenangkan diri dengan tidak mengungkit topik obrolan perdebatan mereka. Terutama soal tas.Hari ketiga, Wira harus memajukan jadwal meeting para pemilik saham di salah satu hotel berbintang yang jaraknya paling dekat dengan Desa Girilayang. Pembahasan meeting itu amat penting untuk keberlanjutan pembangunan pabrik.Wira sudah bisa menarik napas lega. Penelitian Polis, Penelitian Klaim, bahkan penunjukan Lost Adjuster yang dilakukan oleh perusahaan asuransi berjalan dengan lancar. Penilaian kerugian yang dialami proyek pabrik pengolahan gula aren dapat diterima dengan baik. Meski sebelumnya Wira sempat mendapat penolakan oleh pihak asuransi di beberapa benda bernilai tinggi yang ikut terbakar, setelah memakai jasa Lost Adjuster pihak Tertanggung maupun Penanggung sudah sepakat dengan angka ganti rugi yang wajar.“Besok kontrol ke orthopedi lagi, kan?” Wira baru menginjakkan kakinya di teras saat Saptono meneleponnya.
last updateLast Updated : 2022-11-26
Read more

160. Sebuah Pandangan Baru

Wira yang tadi setengah melamun menatap permukaan meja kini mulai mengangkat kepala dan menegakkan duduknya. Ia sama sekali tidak pernah berpikir tentang apa yang baru saja dikatakan oleh Oky. Baginya, menyelesaikan masalah Sully cukup melunasi semua perkara hutang-piutang wanita itu. Meski ada beberapa hal yang ia ingin bereskan dengan caranya sendiri. Namun, sepertinya saat itu ia memang harus mendengarkan Oky lebih dulu.“Diam-diam Mbak Oky pasti tahu kalau setelah keguguran Sulis jarang banget mau memulai obrolan dengan saya. Selalu saya yang ajak Sulis buat ngobrol lebih dulu.”“Jangan mengeluh karena kopi kita dingin. Karena dia pernah hangat tapi kita mendiamkannya.” Oky tertawa kecil. “Ternyata ucapan anak senja ada benarnya juga,” gumam Oky seraya menggeleng pelan.Wira diam cukup lama sebelum kembali melanjutkan. “Kemarin-kemarin saya mau masalah selesai satu persatu. Jadi, saya mulai dari yang tingkat urgensinya paling tinggi. Yang lebih darurat. Saya menilai urusan pembang
last updateLast Updated : 2022-11-26
Read more
PREV
1
...
1415161718
...
29
DMCA.com Protection Status