Home / Thriller / Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah: Chapter 11 - Chapter 20

52 Chapters

Menguak Siapa Helen

Sepulang sekolah, sudah terlihat kue-kue basah di meja, tetapi masih dalam dus. Begitu juga nasi tumpeng yang sudah dihias dengan sangat cantik. Terlihat Bapak dan Ibu sangat semangat menggelar tikar dan membenahi rumah agar tampak nyaman saat tamu datang nanti.Hari ini aku pulang cepat, sekitar pukul 13.00. Jadi, jam setengah tiga pun sudah berada di rumah. Sebelum membantu pekerjaan, Ibu menyuruh aku dan Via untuk makan dulu. Namun, aku memilih menemui Ita yang katanya sedang bermain boneka di kamarku.Saat pintu dibuka, terlihat Ita tengah tertawa. Gadis kecil itu lebih senang, bermain di kamar sendirian. Aku pun menghampirinya, tawa Ita seketika berhenti. Bahkan, ia mendelik tak suka. "Lagi apa, Dek?" tanyaku duduk di sampingnya. Ita menyimpan boneka yang sedari tadi ia pegang, wajahnya terlihat ketus. "Kakak ganggu aja. Aku lagi main sama Helen," ucapnya dengan bibir mencebik seperti bebek. "Helen itu boneka, ya? Seumuran siapa?" Aku bertanya dengan hati-hati sambil menunjuk
Read more

Jelmaan Bapak

Azan Magrib berkumandang, Bapak sudah pergi ke mesjid. Kami pun para wanita, sudah bersiap salat di kamar masing-masing. Kecuali Ita, seperti biasa, gadis itu ada kegiatan mengaji bersama anak tetangga.Karpet sudah digelar, makanan pun sudah siap di piring. Begitu juga dengan nasi tumpengnya. Beberapa Al-Quran disediakan, barangkali ada yang tidak membawa. Alhamdulillah, aku telah usai melaksanakan kewajiban Magrib. Usai zikir dan berdoa, pandanganku mengarah pada lemari kecil sisi ranjang. Teringat akan buku aneh di dalam sana. Masih menggunakan mukena, aku membuka laci dan mengeluarkan semua buka yang sampulnya masih sangat bagus. Buku itu aku Sejajarkan, lalu mengambil ponsel dan memotret semuaya tanpa terlewat. Mungkin, setelah pengajian, aku akan komunikasin bersama Aldy. Setelahnya, buku itu pun kumasukan kembali. Suara piring di luar menandakan Ibu telah selesai salat. Aku langsung membuka mukena dan bersiap untuk keluar. Namun, arah mataku selalu saja ingin menatap lukisa
Read more

Tarian Mistis

Pengajian berjalan lancar, untung saja Ustad Imran bisa memberi alasan baik pada tamu yang hadir. Aku tidak sabar menunggu mereka pulang sebab penasaran dengan paket yang kutemukan di halaman. Saat menemukan paket, aku mengendap ke rumah bagian samping dan melempar benda itu lewat jendela kamar. Entah di mana jatuhnya, bisa juga di kolong ranjang. Yang penting dalam keadaan aman.Satu per satu tamu berpamitan pulang, ada juga yang masih menikmati camilan kue basah dalam piring. Hingga masuk waktu ba'da Isya, akhirnya tidak ada tamu yang tersisa—kecuali Pak Ustad. Sepertinya pria sepuh itu akan menepati janjinya untuk membersihkan rumah ini dari hal gaib.Bapak mempersilakan Pak Ustad untuk masuk ke ruang tamu, supaya bisa lebih fokus untuk mengobrol. Toh, Bapak belum tahu kejadian yang menimpa Ustad Imran sampai beliau telat datang. Aku dan Via sibuk mencuci piring di dapur, sambil menguping apa saja yang dibicarakan oleh Bapak. Kebetulan, dua ruangan ini saling bersebelahan dan tid
Read more

Penelusuran

"Gila, Put, rumah kamu tambah serem. Via itu Sepertinya dilihatin kejadian masa lalu, kayaknya," ucap Rena berapi-api. Gadis bertubuh sintal itu memang paling semangat jika aku bercerita tentang keadaan di rumah. Jam istirahat, seperti biasa kami mengobrol tentang hal mistis yang aku alami, hanya saja kali ini kami memilih untuk tinggal di kelas, bukan di kantin lagi. Aku sengaja menceritakan tentang rentetan kejadian, sampai ucapan Via tadi pagi. Masing-masih dari sahabatku punya spekulasi dan sudut pandang yang berbeda. Seperti Aldy, dia lebih menebak jika satu keluarga itu sengaja dibunuh karena unsur pekerjaan, mengingat kepala keluarganya adalah dosen. Untuk masalah buku, itu hanya sebuah koleksi saja. Dia lebih berpikir realistis. Rena, lebih mengarah ke bisikan setan yang membuat mereka bunuh diri. Gadis itu bilang, setan bisa memanipulasi pikiran manusia untuk berbuat hal yang aneh-aneh, termasuk mencelakai diri sendiri. Kalau Bagas, ia lebih condong ke perjanjian dengan i
Read more

Siapa Megan

Pintu kututup segera, lantas menarik kursi meja makan dan meletakannya di depan pintu untuk menjadi penghalang. Terdengar suara langkah kaki di tangga, selanjutnya knop berputar-putar seperti ada seseorang di dalam yang minta dibukakan. Badanku mundur perlahan, tetapi berhenti tepat di depan meja makan dan berjongkok di sana seraya menutup telinga karena bising mendengar teriakan minta tolong dari dalam. Belum lagi suara ketukan pintu, membuat bulu kuduk merinding seketika. "Put, kamu sedang apa?" tanya Ibu yang tiba-tiba datang, membuatku menarik napas panjang dan mengusap dada karena kaget. Ibu menoleh ke arah kursi di depan pintu kemudian menariknya dan meletakkannya kembali pada posisi semula. Ibu menarikku untuk bangkit dan duduk. Beliau terlihat menuang air ke gelas dan memberikannya padaku. "Minum Neng, jangan lupa baca bismillah."Aku mengangguk dan melakukan apa yang Ibu suruh. "Apa cuma aku yang kena teror di sini?" tanyaku seraya meletakan gelas di atas meja makan."Engg
Read more

Menantang Gaib

Sore hari, aku duduk di taman belakang sembari menatap pohon besar di depan sana. Bagian bawahnya gosong, membuat aku membayangkan betapa mengerikannya kejadian tiga tahun yang lalu itu. Otakku berpikir keras tentang pertemuan dengan Rey tadi pagi. Sayangnya, aku mengakhiri obrolan karena harus pergi ke pasar. Kami pun hanya bertukan nomor HP dan sampai saat ini pria itu belum menghubungi. Aku meraih ponsel di saku celana, mengecek notifikasi yang masuk. Namun, tidak ada pesan satu pun dari Rey. Apa aku harus menghubunginya duluan?"Bu, Bapak pergi dulu, ya." Suara Bapak membuatku menoleh ke arah pintu. Sontak aku turun dari kursi kemudian menghampiri beliau di ruang tamu yang masih menggulung kemejanya. Penampilannya sangat rapi."Mau ke mana sore-sore gini, Pak?" tanyaku. Bapak membetulkan kerahnya seraya tersenyum, lantas menjawab, "Mau ke rumah bosnya Kang Budi, Neng.""Kenapa harus menjelang Magrib gini, sih, Pak. Kenapa gak besok pagi aja atuh. Mencurigan," ketusku seraya mel
Read more

Via dan Ita Hilang

Tepat hari ini, liburan sekolah dimulai—kelas 12 sudah mulai menghadapi pemantapan dan juga Try Out. Belum lagi rapat-rapat guru yang membuat pembelajaran diliburkan selama tujuh hari ke depan.Aku punya waktu selama itu untuk bisa membuka misteri demi misteri di rumah ini. Mungkin. Aku juga akan izin pergi ke Jakarta dengan alasan liburan bersama ayahnya Rena. Begitupun Rena yang sudah bicara pada ayahnya agar jadi perantara kepergian kami kali ini. Gadis manja itu punya seribu macam akal untuk melakukan apa saja. Hari ini aku membuat beberapa camilan sebab Rena, Aldy, dan Bagas akan datang ke sini. Ibu sibuk membantu. Sementara Via masih diam di kamar Ibu. Gadis itu sakit lagi, badannya kembali panas. "Neng Put, antarkan makanan buat Via," perintah Ibu, aku langsung menghampiri beliau. Saat mengambil nampan, ponselku di atas meja bergetar—ternyata notifikasi pesan.[Put, bisa ketemu nanti siang? Di Kafe I L U Cikole. Kamu tahu kan?] Aku langsung membalas pesan dari Rey itu [Jam b
Read more

Membuka Mata Batin

Aku tidak memedulikan ucapan Kang Budi, lebih memilih membuka helm dan cepat-cepat masuk rumah. Begitu juga teman-temanku yang membantu menyisir setiap sudut. Bahkan, Aldy dan Bagas pamit mengelilingi desa.Tempat seperti kolong ranjang dan lemari pun tak lepas dari pengamatan. Hasilnya nihil, mereka tidak ada. Saat aku, Ibu, dan Rena sedang panik, terlihat Lusi menatap pohon di halaman belakang. Mungkin ada yang dilihat oleh gadis itu atau ... entahlah. Satu tempat yang belum aku datangi hanya ruang bawah tanah. Bagaimana jika mereka ada di sana. Misal, Via penasaran lalu mengajak Ita, tapi Via tidak akan seceroboh itu. Hatiku gusar menatap pintu ruangan yang belum terinjak oleh kami. Bapak pun sempat akan masuk untuk memindahkan barang, tetapi selalu saja ada halangan. Apa sekarang waktunya aku masuk?Ibu duduk di kursi, ia tergugu meratapi kejadian ini. Mungkin beliau lelah mencari kedua putrinya sendirian.Perlahan tanganku mulai terulur, mencoba menyentuh knop dengan jantung be
Read more

Masuk Ruang Bawah Tanah

Di tengah rasa mual dan pusing, aku malah fokus pada makhluk di belakang Lusi. Di merayap dari satu tembok, ke tembok yang lain lalu kembali lagi di belakang Lusi. Tangannya kini menyentuh pundak gadis itu, rambut putihnya melambai-lambai, seakan tertiup angin.Kulit melepuh dan kuku panjangnya membuatku bergedik ngeri. Makhluk itu merayap kembali, berpindah pada Bagas. Menyentuh kepala pemuda itu, bahkan lidahnya hampir saja menyentuh permukaan wajah Bagas. Tubuh Bagas bergetar, menatap kami secara bergantian. Tidak ada yang berani bicara sebab ingat pepatah Lusi untuk pura-pura tidak melihat kehadiran mereka. Tanganku semakin erat digenggam oleh Rena. Hingga tatapanku beralih pada gadis berseragam, aku yakin itu Megan. Tidak terlalu jelas karena sebagian wajahnya rusak, begitu pun dengan Helen. Belum lagi wanita-wanita berbaju putih tinggi besar dengan rambut menyentuh lantai."Tutup mata kalian." Ucapan Lusi membuat aku langsung menutup mata. Mungkin yang lain juga sama. Seketika
Read more

Bangkitnya Arwah Jahat

Napasku terasa sesak, bahkan rasanya paru-paru sudah terbakar. Mungkin beberapa detik lagi aku akan mati. Dalam remang-remang cahaya, terdengar suara Bagas memanggil. Setelahnya, banyak langkah kaki mendekatiku. Aku hanya merasa, tubuhku ditarik dan cekikan pun terlepas. Hingga akhirnya aku terbatuk-batuk. Mataku mulai bisa melihat lagi, di sampingku Rena tengah pingsan dalam pelukan Lusi. Di belakang, Bagas dan Aldy sibuk mengusap-ngusap punggungku. "Kayaknya, suasana masih belum kondusif. Mending kita keluar aja, yuk. Hawanya gak enak," ucap Lusi. "Kamu gak apa-apa, kan, Put?" Tepukan gadis itu membuatku mengangguk pelan. Tak lama, Rena pun sadarkan diri. Kami akhirnya bangkit untuk segera pergi dari gudang ini. Saat naik tangga, aku menoleh pada beberapa lukisan yang berhasil dibuka penutupnya. Wajah mereka berbeda-beda. Siapa mereka? Dan sekilas, aku melihat sosok Megan berdiri di sana. Untungnya kejadian barusan tidak membuat Ibu bangun. Cepat-cepat, kami para wanita, kembali
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status