Ardan kembali pulang, setelah memarkirkan kendaraan roda dua miliknya, bergegas ia masuk ke dalam rumah. Pandangannya dikejutkan dengan Imelda yang duduk di ruang makan seorang diri. “Ardan,” panggilnya. Pria itu menoleh, menatap ibunya sambil berdiri di samping sekat yang memisahkan ruang TV dan ruang makan. “Sini …, Ibu mau ngomong,” lanjutnya. Ardan mengangguk pelan, masih terlihat raut wajah tak enak hati juga segan dengan Imel. Ditariknya kursi perlahan, ia duduk bersisian dengan ibunya. “Apa kamu bisa janji sama Ibu, untuk nggak berbuat diluar batas norma agama dan sosial kita?” To the point, tak perlu Imel basa basi–sifatnya memang seperti itu. “Maafin Ardan, Bu,” tuturnya. Imel mengangguk. “Tolong pegang kata-kata kamu, ya, Nak. Ibu kecewa sama kamu, jangan sampai kamu ulangi lagi kesalahan kayak gini apa kamu mau Ibu benar-benar marah?” “Nggak, Bu. Ardan, salah dan khilaf.” Kepala Ardan tertunduk. Imel mengulurkan tangan untuk mengusap kepala sang putra kedua. “Yaudah,
Terakhir Diperbarui : 2022-07-03 Baca selengkapnya