Suara tawa Sherly dan Sahila menggema di dapur bernuansa putih dan biru tua, keduanya sedang membuat sarapan sementara dua lelaki yang belum sah statusnya menjadi suami masing-masing wanita itu saling mengumbar senyum setelah melihat ke arah dapur. “Status jadi penghalang. Saya merasa mengkhianati keluarga Sherly, tapi saya sungguh-sungguh mencintai wanita itu sejak ia berontak saat remaja.” Dion menoleh ke arah Ardan yang mengangguk paham. “Anda sendiri bagaimana, Mas Ardan? Sahila kelihatan sangat mencintai anda.” Ardan menunduk, menyesap kopi di cangkir putih yang dipegangnya sebelum menjawab. “Saya tau. Dan itu yang saya jadikan patokan atas hubungan ini.”“Keluarga anda? Bukan orang tua—”“Secepatnya akan merestui.” Ardan menghembuskan napas selebar dada, udara segar membuat paru-parunya terasa lega. Namun tetap saja, ada celah di sudut dirinya yang merasa ada yang salah. “Sarapan siap,” ujar Sherly yang melingkarkan tangan ke perut berotot Dion. Pria itu menoleh ke belakang,
Ardan kembali ke apartemen dengan keadaan raut wajah ditekuk menahan amarah. Dengan kasar ia membuka baju, mengguyur tubuh di bawah shower kamar mandi sambil menggeram kencang. Ia tak terima Kania menyembunyikan hal ini, ia tak terima jika karena tak direstui anak yang dikandung wanita itu pergi dengan cara dipaksa. Sungguh Ardan murka. Sementara di rumah Imelda, semua orang sibuk mempersiapkan launching toko kue milik Sahila. Araska bahkan memaksa pulang dari negara tempat ia menimba ilmu. “Cuma dua puluh orang tamu undangannya, La?” tanya Imelda. “Iya, Bu.” Suara mobil terdengar berhenti di depan rumah. Sahila berjalan mendekat, ia melihat ayahnya datang namun, tak sendiri. Tangannya saling meremas. Sahila akan melawan, tak mau dijodohkan, ia sepakat akan membahas ini dengan semua orang, tinggal menunggu Ardan kapan waktunya. “Siapa, La?” Rizal mendekat. Ia mengintip dari balik jendela. “Lho, Ayah kamu?!” keduanya beradu tatap, tapi Sahila berlari ke dalam rumah lalu duduk di s
“Imel,” panggil Rizal. Ia tak mendapati istrinya saat terbangun dipagi hari, ranjang sebelahnya kosong. Kemana Imel? Rizal bahkan mencari di kamar mandi, tak ada juga. Setelah selesai melaksanakan sholat subuh, barulah ia keluar kamar, mencari Imelda. Bau masakan juga tak tercium, biasanya makanan untuk sarapan sudah disediakan ibu 4 orang anak itu, Sahila dan Araska dihitung. Suara tangis tertahan seorang wanita terdengar samar, Rizal melangkah pelan, berjalan mendekat ke sumber suara. Bayangan wanita dengan rambut panjang memunggungi arah Rizal berjalan mendekat membuat ia tau siapa sosok tersebut. “Ila,” panggilnya lembut. Sahila beranjak setelah berjongkok. Ia menghapus air matanya dengan cepat, lalu berbalik badan, tersenyum getir menatap Rizal yang terkejut saat melihat wajahnya sembab. “Y–yah,” balasnya dengan kepala tertunduk sambil terus mengatur emosinya. “Ila lagi ngapain di dapur, sendirian. Ibu mana?” “Nggak tau, Yah. Ila nggak lihat Ibu dari tadi. Ayah mau kopi? Ila
Hidup Sahila tak lagi sama, ia kini akan menjadi seorang istri sekaligus ibu. Prasert yang marah dan istrinya yang hanya bisa memohon supaya hadir di acara akad nikah Sahila–ia pindah keyakinan mengikuti Ardan–ditolak pria Thailand itu. Akhirnya, hanya tiga kakak lelaki dari anak kandung Prasert yang hadir mewakilkan di Jakarta. Air mata Sahila jatuh tak terbendung saat bicara dengan ibu sambungnya melalui panggilan video, berkali-kali ia meminta maaf atas kesalahan yang kurang ajar ia buat. Wanita baik itu tidak kecewa, karena sudah jalannya mau apa lagi. Ketiga kakak lelakinya memeluk Sahila bergantian sebelum mereka turun dari mobil untuk masuk ke gedung kantor urusan agama. Pernikahan di lakukan di sana, lalu makan siang sederhana di restoran yang Rizal booking. Para istri dan anak ketiga kakak Sahila juga hadir, mereka yang menjadi pengantar Sahila. Ardan diam, ia memang lantang saat mengucapkan ijab kabul hanya dengan satu tarikan napas. Namun, sorot mata Ardan saat menyematka
Hampir setiap pagi Sahila mual muntah, ia bergelut dengan perubahan tubuhnya seorang diri. Ardan sudah tiga hari pergi, esok baru akan pulang. Tangan Sahila mengusap tengkuknya sendiri. Nasibnya kini tak jelas tentang kisah cintanya, bertahan, hanya itu yang akan ia lakukan. “Sabar, Ila, sabar,” lirihnya kepada diri sendiri. Ia berkumur, lalu mencuci wajah. Langkahnya begitu pelan untuk menuju ke dapur, membuat susu hamil juga sarapan. Suara bel berbunyi, buru-buru ia menepuk wajahnya supaya tampak segar, tak mau siapa pun tau tentang apa yang sedang dihadapi. Klek. suara kode pintu setelah berhasil dibuka kuncinya berbunyi. Sahila membuka pintu. Petugas laundry mengantarkan pakaian yang sudah selesai dicuci dan setrika. “Bu, ini tadi, ada paket di taroh di depan pintu.” wanita muda itu memberikan ke tangan Sahila, sebuah amplop coklat besar. “Terima kasih,” ucapnya. Kemudian ia menutup pintu. Sahila duduk di sofa warna abu-abu muda, tangannya membuka amplop besar dengan cepat. Ia
Ardan melengos, ia menjadi kesal karena Sahila justru akan memilih bertahan dengan keadaan rumah tangga yang tak jelas akan dibawa ke mana. Lelaki itu mengunci kamar, berjalan ke arah meja kerja lalu mulai menyibukan diri demi mengalihkan pikiran. “Kenapa semua jadi begini?” Ardan menyugar rambut dengan kelima jemari tangan dibarengi helaan napas panjang. Kepalanya mendongak, menahan rasa marah juga kecewa atas semua yang terjadi. Menjelang tengah malam, Ardan perlahan terlelap. Dirinya masuk ke alam mimpi, ia melihat seorang anak lelaki berusia empat tahun digendong oleh Imelda. Perlahan Ardan mendekat, wajah anak kecil itu mirip dengannya. Namun, Imelda justru menatap ke arah Ardan dengan begitu marah. Saat Ardan bertanya siapa anak itu dan mengapa mirip dengannya, ia diberitahu jika anak kecil itu putranya, tapi tak memiliki ibu. Ardan berdiri mematung, saat Imelda bergeser, terdapat satu makam dengan nama Sahila. Imel memberi tau jika Ardan sudah membunuh wanita yang berjuang se
Ardan tak bisa berpikir dengan baik setelah Dewa menemuinya di apartemen. Ia duduk di sofa seorang diri, yang ia tau adalah jika hidupnya terasa berantakan. Banyak kesalahan yang sudah ia lakukan, sengaja atau pun tidak. Karir cemerlang dengan uang berlimpah, nyatanya tak bisa membuat tenang hidup lelaki 31 tahun itu, apalagi, kini ia seharusnya bersikap baik dengan Sahila yang menjadi pelampiasan rasa kecewa yang ia rasakan. Sementara itu, kamar rumah sakit yang menjadi tempat Sahila dirawat terasa hampa. Wanita itu seorang diri di sana. Imel dan Rizal baru saja pulang karena ia yang meminta supaya kedua orang tuanya istirahat. Tangannya meraba perut, kandungannya bisa diselamatkan, tapi ia harus istirahat total. Pintu terbuka, dokter masuk bersama seorang perawat. Dokter pria yang terlihat tampan juga gagah menghampiri. “Selamat siang, gimana kondisi anda? Apa ada yang dirasa?” tanyanya. “Siang, Dokter. Saya hanya merasa keram sedikit, apa itu … tidak masalah?” Dokter bernama Gi
Ditemani suami dalam kamar rawat, Sahila justru merasakan sedikit kecanggungan. Pasalnya, sejak mereka menikah baru kali pertama Ardan satu kamar dengannya, walaupun kali ini di kamar rawat. Kedua mata Sahil terbuka perlahan untuk memastikan apakah Ardan sudah tidur. Jam menunjukan di angka satu malam. Sofa bed warna coklat menjadi tempat Ardan beristirahat, seharusnya, tapi nyatanya ia masih terjaga. Beberapa kali Ardan menguap, terlihat mengantuk tapi masih saja berkutat dengan pekerjaan lain yang ia handle. Sahila menghela napa, ingin rasanya meminta Ardan tidur namun, ia takut suaminya akan marah. Ia buru-buru memejamkan mata saat Ardan bergerak dari duduknya ingin beranjak. Tak lama, Sahila merasakan selimut menutupi tubuhnya hingga sebatas dada. Jantungnya begitu berdebar, hingga ia takut untuk membuka mata. Keesokan harinya, Ardan cuti bekerja satu hari. Selain karena alasan istrinya sakit, juga karena ia harus merapikan pakaiannya yang harus dibawa karena akan kembali tingga
"Mas Rizal, anak-anak kenapa nggak ada yang telepon kita? Tumben banget hampir satu minggu nggak kasih kabar. Araska juga, katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini mana? Koper-koper aja yang ada." Imel menggerutu sendiri, ia dan Rizal tengah asik menonton acara TV setelah pulang membeli sarapan bubur ayam di tempat langganan. "Lagi sibuk semua kali, Mel, udah biar aja. Kamu nggak masak buat makan siang?" Rizal meletakkan ponsel miliknya yang sedari tadi ia gunakan untuk membalas pesan singkat teman-teman warga komplek. "Nggak, biar Bibi aja yang masak. Aku kepikiran anak-anak, mana Ardan dan Sahila juga nggak kirim foto Reno sama Bima. Aku kangen cucu-cucu ku juga, Mas ...." Imel tampak kesal, bahkan sedikit menghentakkan kaki ke lantai. "Kok kamu kayak anak kecil gini? Udah tua sayang, uban mu mulai banyak," goda Rizal yang membuat Imel makin kesal. Mendadak muncul Gadis dari arah depan rumah, ia datang bersama Dewa. "Ayah ... Ibu ...," sapa Gadis. "Hai sayang!" teria
Imelda duduk di teras rumah, menatap area depan hingga garasi yang sudah di renovasi menjadi lebih lebar sehingga muat 3 mobil terparkir, karena Rizal memang membeli rumah sebelah kanannya yang sudah lama kosong. "Kenapa kamu bengong?" Rizal memeluk Imelda begitu hangat. Pelukan itu membuat Imel tersenyum lalu menoleh ke samping kanan. Wajah keriput Rizal bahkan tak melunturkan bagaimana Imelda mencintai pria itu begitu luar biasa. "Lagi mikir sisa usia kita, mau lakuin apa. Aku juga mikir, apa anak-anak bisa lepas dari kita dan hidup dengan baik." Helaan napas Rizal menerpa pipi kanan Imelda. "Jangan seperti ini mikirnya, nggak boleh, Mel." Rizal melepaskan pelukan, kemudian berpindah duduk di sebelah istrinya. Ia meraih jemari lembut wanita yang tetap cantik, digenggam erat. "Anak-anak sudah masuk di fase kehidupan yang baru, ada di posisi kita dulu. Kamu nggak bisa khawatir kayak gini. Kita ... cukup perhatikan, biarkan mereka berkreasi dengan rumah tangga mereka, kita nggak bis
Peresmian restoran masakan Indonesia milik Ardan dan Sahila berjalan begitu meriah. Araska bertepuk tangan sambil bersorak ke arah dua kakaknya, hal itu membuat seseorang yang setia berdiri di sebelahnya melirik jengah. Sahila melihat hal itu, sebagai seorang kakak, ia tak mau adiknya mencintai seseorang yang salah. Sahila mendampingi Ardan menjamu tamu undangan yang diantaranya banyak pejabat juga pengusaha sukses kenalan Praset. Dua kakak Sahila juga datang bersama keluarganya, hanya satu kakak lelakinya yang tinggal di London dan tidak bisa pulang ke Thailand. "Mas Ardan, aku ke Araska dulu, ya," pamitnya sambil mengecup pipi Ardan yang kala itu memakai kemeja putih pres body, celana panjang warna krem juga kacamata yang kini setia bertengger di hidung bangirnya. Sama seperti Araska yang memang berkacamata. "Hai, aku kira kamu jadi pulang ke Singapura semalam?" sapa dan sindir Sahila kepada perempuan yang tampak tak nyaman berada di sana. Araska melihat itu, tetapi seolah tertut
"Yakin mau di sini?" Sahila memeluk pinggang Ardan yang merangkul bahunya. "Yakin. Kita bisa mulai semua dari sini, hidup sederhana dan yang penting selalu bersama-sama." Ia mengecup pelipis Sahila. Mereka menatap ke ruko yang di sewa untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Ardan banting setir, menjadi pengusaha restorannya sendiri, dan Sahila mengatur kinerja harian. Keduanya memutuskan akan menetap di sana, merantau di negara yang tak asing bagi Sahila. Lingkungannya juga baik, tak jauh beda dengan di tanah air. "Mana bisa sederhana, kamu nggak lihat di belakang kita? Baru juga kita mau persiapan buka resto ini, mereka udah stand by." Sahila menoleh ke belakang, terlihat beberapa ajudan dari Praset berjaga di sekitar resto. "Kamu bilang sama Papi, jangan berlebihan. Anak-anak juga kasihan jadinya, La," bisiknya. "Iya, nanti aku bilang. Ngomong-ngomong, Reno sama Bima ke mana?" Wanita itu celingukan, mencari keberadaan dua putranya yang sejak beberapa waktu lalu tak tampak
Kaki Sahila melangkah pelan setelah turun dari mobil SUV mewah milik keluarganya yang berhenti di depan rumah tempat tinggalnya. Tangannya terus menggandeng erat jemari Ardan, Bima berada di gendongan Praset, sedangkan Reno sudah membuka pagar rumah yang terbuat dari kayu bercat putih. Halaman yang cukup luas dengan rerumputan yang tertata apik hasil kerja keras Ardan yang memang mau melakukannya sendiri, membuat senyum Sahila merekah. Di teras depan, Rizal, Imel, Dewa beserta istri dan kedua anaknya menyambut dengan wajah penuh bahagia. Kedua tangan Imel ia rentangkan, betapa bersyukur bisa melihat Sahila kembali dalam keadaan sehat. "Ibu," sapa Sahila dengan derai air mata. "Sayang," peluk Imel. "Jangan nangis, Ibu nggak mau ada air mata kesedihan lagi dikeluarga kita selain air mata bahagia," lanjutnya. Sahila mengulur pelukan, mengangguk, lalu berpindah memeluk Rizal. Di dalam rumah, orang suruhan Praset sudah menyiapkan hidangan yang pasti Sahila suka. Jadilah acara sederh
Gaun putih yang dikenakan terasa cocok dan tidak membuat langkah Sahila kesusahan. Justru ia begitu anggun melangkah. Ardan dan Reno menatap sambil mengukir senyuman, di lengan Ardan juga, ada Bima yang menatap ke arah ibunya yang berjalan mendekat. "Aku kangen kamu, La," ucap Ardan lalu terpejam karena Sahila mengecup lembut pipi suaminya, tanpa suara membalas kalimat itu, hanya saja tangan Sahila membelai wajah Ardan yang masih terus terpejam. "Mama," panggil Reno dengan air mata yang jatuh. Air mata bahagia tepatnya. Sahila bergeser, berlutut menyetarakan tinggi tubuh dengan anaknya. "Reno kangen," lirihnya lalu memeluk leher Sahila. Tangan wanita itu mengusap lembut punggung Reno. Tak lama, Sahila berdiri, kembali berhadapan dengan Ardan. Bima menatap Sahila, digendongnya bayi yang bahkan belum genap enam bulan. Dipeluk hangat hingga diciumi gemas putra yang selama hampir sembilan bulan ada di dalam kandungannya. "Ayo kita masuk ke dalam, La," ajak Ardan. Sahila tersenyum, me
Rumah bercat putih itu, menjadi tempat di mana Ardan, Sahila, Reno juga Bima tinggal. Sahila masih koma, tak tau kapan ia akan bangun, dan kini sudah memasuki waktu tiga bulan semenjak kecelakaan itu terjadi. Sejak pagi, Ardan sudah menyiapkan air hangat untuk membersihkan tubuh Sahila dengan cara membasuh perlahan. Reno membantu, ia mengambil handuk, juga pakaian Sahila sambil sesekali melihat Bima yang semakin hari semakin sehat. "Pagi, Sahila," sapa Ardan yang sudah melipat kaos lengan panjangnya hingga siku. "Pagi, Mama," sapa Reno sambil mengecup kening wanita yang masih terbujur tak sadarkan diri. "Reno, kamu lihatin Bima, ya, udah bangun atau belum?" "Iya, Pa." Kemudian Reno berjalan keluar dari kamar orang tuanya menuju kamar lain yang ditempati ia juga Bima. Ardan perlahan melucuti pakaian istrinya, hingga separuh telanjang. Dengan telaten dan perlahan, ia mengelap tubuh istrinya dengan handuk yang sudah dibasahi dengan air hangat. Tangannya mengarah ke wajah, begitu pe
Tepat dua minggu kemudian, kondisi ibu dan bayi stabil, dokter juga memberikan izin untuk keluarga membawa mereka berangkat ke Bangkok, Thailand. "Semua sudah siap, Dan?" Rizal memastikan lagi supaya Ardan tak perlu bolak balik mengurus banyak hal karena tertinggal. "Udah, Yah." Ardan yang sudah resign dari pekerjaannya tampak begitu syok dengan kondisi yang ia alami saat ini. Ambulance sudah bersiap berangkat menuju ke bandara dari rumah sakit. Bima digendong Imelda yang ikut serta juga Rizal. Bayi mungil itu sudah tidak perlu alat bantu napas, kondisinya membaik dengan cepat. Seperti mukjizat yang datang dengan cepat kepada bayi Bima. Reno duduk di mobil yang membawa ia juga Imelda dengan tenang. Wajahnya murung, tapi mau apa lagi, semua sudah keputusan Ardan. Ia juga sedih melihat Sahila masih dalam keadaan koma. "Nenek, Mama nanti bangun, 'kan?" Reno menyandarkan kepala ke bahu kanan Imelda. "Iya. Reno berdoa terus, ya, supaya Mama bangun. Nanti di sana, Reno tetap harus raji
Gibran berlari menghampiri Sahila yang terkapar di tengah jalan dengan kondisi tak sadar. Buru-buru ia menghubungi ambulance lalu memeriksa denyut nadi Sahila. Masih ada namun, lemah. Wajah Gibran panik, ia segera memeriksa kandungan wanita itu, tak ada pergerakan. Ia menjambak kencang rambutnya, lalu menatap wajah istri Ardan yang mulai tampak pucat. Di lain tempat, Ardan terus melamun, ia memegang dada kirinya. Perasaan tak nyaman mendadak datang kepadanya. Pintu ruangan terbuka, Maya menatap panik. "Ada apa?" Ardan masih duduk di tempatnya. Regi melangkah di belakang Maya lalu meraih cepat kunci mobil Ardan yang tergeletak di meja kerja. "Pulang, Dan. Kita temenin lo. Ayo." "Tunggu, ada apa?" Ardan beranjak. Ia bingung. Lalu ponselnya berbunyi, Maya segera menyambar. Mereka berdua seperti tau apa reaksi Ardan jika mendengar langsung berita buruk yang menimpa istrinya. "Ikut kita, Dan. Ayo cepet!" Maya menarik tangan Ardan, Regi sudah berjalan lebih dulu. Tiba di parkiran, Arda