Beranda / Pernikahan / Air Mata Maduku / Bab 31 - Bab 40

Semua Bab Air Mata Maduku: Bab 31 - Bab 40

105 Bab

Clarissa

Pintu lift terbuka. Aku melangkah cepat lebih dulu saat melihat Devan sudah berada di lobby. Sepertinya Devan sedang menghubungi seseorang. Pria itu melambaikan satu tangannya padaku. Devan mengakhiri panggilan ponselnya ketika aku sudah berada di dekatnya. "Sudah makan siang?" tanyanya padaku. "Sudah. Oh, ya, terima kasih kiriman makan siangnya," balasku. "Kamu suka?" "Suka," sahutku seraya melempar senyum padanya. Aku mengulum senyum ketika melihat perubahan pada raut wajah Mas Dewa. "Kita berangkat sekarang, Dev?" "Tunggu sebentar, aku sedang menunggu seseorang." "Ok. Baiklah." "Saya ambil mobil dulu, Pak, Saya dan Zahra jalan duluan saja," ujar Mas Dewa membuatku terkesiap. "Silakan. Nanti saya kirim alamatnya. Tapi Zahra ikut saya," sahut Devan tegas seraya melirikku. Mas Dewa tak mungkin membantah. Sementara raut wajah suamiku itu tampak semakin kesal. Terdengar beberapa kali dia menghembuskan napas kasar. Dengan langkah gontai suamiku itu berjalan menuju parkira
Baca selengkapnya

Menolak Disentuh

"Hai Clarissa! Keponakan uncle Ivan makin cantik aja. Bagaimana sekolahmu?" Ivan menyambut Clarisa hangat. "Baik, Uncle." sahut Clarisssa seraya memeluk Ivan. Ivan mencium kedua pipi chubby Clarissa. "Hai, Om Dewa." Ternyata Clarisa juga menyapa Mas Dewa. Namun Mas Dewa hanya tersenyum sekilas pada gadis berkulit putih itu. Pandangan Ivan beralih padaku. "Ra ..., kenapa sih kamu selalu tampil mempesona?" Lagi-lagi Ivan menggodaku. "Jangan mulai, Van. Malu sama Clarissa!" sanggahku dengan mata melotot pada sahabatku yang kali ini penampilannya nggak kalah tampan dari kakaknya. "Aku serius. Tapi Sayang, sudah bersuami." "Uhuk ... uhuk ...!" Mas Dewa tiba-tiba terbatuk-batuk. Ivan memang juga tidak tahu kalau Mas Dewa adalah suamiku. Sejak aku berhenti bekerja di perusahaan yang lama dulu, kami memang sudah jarang berhubungan. Pernikahanku dan Mas Dewa pun diadakan hanya sederhana. Cukup mengundang pihak keluarga dan tetangga terdekat "Kalau aku jadi suaminya, aku akan ant
Baca selengkapnya

Debaran Tak Biiasa

Bagaimanapun juga Mas Dewa suamiku. Memang sudah seharusnya aku pulang dengannya. Tidak mungkin aku lebih memilih pulang dengan laki-laki lain. Walaupun Devan dan Ivan tidak mengetahuinya, tapi aku merasa bukan wanita yang baik, jika lebih memilih pulang bersama pria lain. "Nggak apa-apa, Dev. Lagian kasian Clarissa jika harus mengantarku pulang lebih dulu. Dia pasti lelah." Devan melirik Clarissa yang memang sudah kelihatan jenuh. Sejak tadi gadis itu sangat rewel minta segera pulang. Devan menghembus napas panjang. kemudian mendekatiku. "Take care ...," bisiknya seraya menatap lekat padaku. Aku hanya bisa mengangguk dan berusaha mengalihkan pandangan dari tatapan mata tegas yang selalu menciptakan debaran tak biasa di dadaku. Devan, pria itu tahu kami sama-sama telah memiliki pasangan. Tapi kenapa sikapnya selalu menciptakan rasa yang tak seharusnya aku rasakan. Tatapannya selalu membuat jantungku berdegup cepat tak beraturan. Apa memang begini sikapnya pada semua wanita yang
Baca selengkapnya

Keceplosan

Pov Liana "Li ... Liana ...!" Entah yang ke berapa kalinya Ibu memanggilku hari ini. "Sial! Nggak bisa orang santai sedikit," gerutuku. Dengan langkah berat aku kembali ke kamar Ibu mertuaku. Aku mendongakkan wajahku dari balik pintu kamar. Aroma tidak sedap menyeruak dari dalam kamar ini. "Ooeeekkh! Ibu buang air lagi ya? Bau banget ih!" bentakku. Wanita tua yang sudah keriput itu mengangguk lemah. Nampak matanya berkaca-kaca. Dengan terpaksa, lagi-lagi aku harus membersihkan kotoran ibu yang membuat isi perutku ingin keluar. Dengan susah payah aku membawa Ibu ke kamar mandi dengan kursi rodanya. Walau ibu selalu pakai diaper, tapi wanita tua bangka ini maunya tetap ke kamar mandi. Katanya tidak bersih kalau dibersihkan di tempat tidur saja. "Liana, tidak bisakah kamu sedikit lembut memperlakukanku? Seperti Zahra, selalu memperlakukanku dengan baik dan lembut," lirih mertuaku ketika kami masih di kamar mandi. "Sudahlah, Bu. Nggak usah membanding-bandingkan aku dengan perempu
Baca selengkapnya

Permintaan Liana

Pov LianaSebentar lagi Mas Dewa pulang. Aku harus minta penjelasan padanya tentang sekretaris barunya itu. Dewi bilang mereka berciuman di dalam lift. Ya Tuhan. Rasanya aku hampir gila oleh rasa cemburuku ini. Melihat Mas Dewa dekat-dekat dengan si Zahra saja aku rasanya kepanasan. Apalagi jika dia sampai berciuman dengan perempuan lain. Rasanya tubuhku ingin meledak karena cemburu. Sungguh aku tidak tenang. Sejak siang tadi berkali-kali aku menghubungi Mas Dewa. Namun dia bilang sedang rapat dengan Pak Devan. Kenapa aku tidak bisa percaya pada ucapannya. Bisa saja dia sedang asik bermesraaan dengan sekretarisnya itu. Sejak sore aku mondar-mandir di teras. Menunggu Mas Dewa pulang. Aku ingin mendengar penjelasan langsung darinya. Aku sedikiti bernapas lega melihat Mas Dewa membuka pagar. Tak lama mobilnya masuk ke halaman rumah. Mataku membulat ketika melihat seseorang yang aku kenali di dalam mobilnya. Kenapa Zahra bisa ada di dalam mobil Mas Dewa? Apa mereka janjian? Hatiku
Baca selengkapnya

Tangisan Saat Sarapan

Hari ini Andri akan memberikan hasil test laboratorium minuman teh yang aku berikan padanya kemarin. Pagi ini aku harus kembali izin untuk datang terlambat ke kantor. Namun Devan sejak kemarin sedang berada di luar kota. Berarti mau tidak mau aku harus izin pada Mas Dewa. [Mas, Pagi ini aku izin datang terlambat, mau mampir ke rumah sakit] Pesanku pada Mas Dewa terkirim dan langsung di baca olehnya, di tandai adanya tanda centang biru. [Kamu sakit, Zahra? Ayo Aku antar ke rumah sakit!] Ck, apaan sih? Siapa yang sakit? Tumben banget sok perhatian gini. [Aku nggak sakit. Tapi Ada perlu sama teman yang kerja di rumah sakit] [Nggak apa-apa. Aku antar aja. Nanti berangkat bareng aku! Jangan membantah!] [Terserah!] Males banget jika harus berdebat pagi-pagi. Setelah mengurus semua keperluan Ibu pagi ini, Aku mulai bersiap-siap untuk berangkat. Aku memandang cermin dengan senyum tersungging dibibir. Saat ini aku memakai stelan desain terbaru yang sedang kekinian. Perpaduan kulot d
Baca selengkapnya

Teh Untuk Ibu

Mas Dewa turun dan menghampiriku. "Ayo aku antar!" Ternyata dia menyusulku. Dengan langkah berat aku menuruti ajakannya. Mas Dewa membukakan pintu mobilnya untukku. Lagi-lagi dia melakukan hal yang belum pernah dia lakukan ketika Liana belum hadir di antara kami. Namun semua sudah terlambat. Semua sikap manisnya untukku seakan basi dan tak berarti lagi. Tak ada lagi getaran yang dulu kurasakan. Tak ada lagi rasa hangat yang dulu pernah kurindukan. Semua kini terasa hampa dan hambar. "Ke rumah sakit mana?" tanyanya ketika mulai melajukan mobilnya kembali. "Rumah sakit Nusa Indah," sahutku singkat. "Oke, siap," sahutnya bersemangat. Kenapa Mas Dewa tidak terlihat bete? Bukannya tadi Liana nangis meraung-raung dikamarnya? Tapi kenapa Mas Dewa terlihat biasa-biasa saja? Mobil memasuki area parkir rumah sakit. Menurut pesan dari Andri, sahabatku itu memintaku untuk menemuinya di gedung teratai lantai tiga. Aku dan Mas Dewa berjalan menuju lobby utama rumah sakit ini. "Pak, gedu
Baca selengkapnya

Ceraikan Aku

Aku dan Mas Dewa menyusuri koridor rumah sakit menuju area parkir. Pasien dan petugas rumah sakit sudah mulai ramai lalu-lalang karena hari sudah semakin siang. Beberapa karyawan rumah sakit berpakaian seragam mengangguk ramah pada kami. Sepanjang jalan Mas Dewa tak banyak bicara. Wajahnya sangat tegang. Berkali-kali dia menghempas napas dengan kasar. Matanya nyalang menjelaskan aura kemarahan yang begitu mengguncang. Sementara aku hanya bisa mengimbangi langkah cepatnya dalam diam. Saat ini aku tak ingin bicara apapun. Mas Dewa mengetahui hasil test ini dengan sendirinya tanpa sengaja. Sejak awal sedikitpun tak ada niatku untuk memberitahukan hal ini padanya. Karena menurutku dia tidak akan mungkin percaya begitu saja. Namun Tuhan berkehendak lain. Ini adalah caraNya agar Mas Dewa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saat sampai di parkiran, Mas Dewa membukakan pintu mobil untukku. Kemudian dia memutar, lalu masuk dan duduk di kursi pengemudi. Mas Dewa tak langsung menyalakan mesin
Baca selengkapnya

Ternyata Liana

Mas Dewa membuka pagar dengan sangat pelan hingga nyaris tak bersuara. Suamiku itu memberi kode padaku agar melepas sepatuku. Sepertinya aku mulai paham apa yang akan Mas Dewa lakukan. Aku menurutinya untuk melepas high heelsku. Dengan berjingkat kami melangkah di teras hingga sampai ke pintu. Suasana rumah tampak sangat sepi. Perlahan Mas Dewa memutar kenop pintu. Sepi. Kemana Liana? Apa dia sedang tidur? Perlahan kami melangkah memasuki ruang tamu, sepi. Mas Dewa mengintip dari balik pintu kamar Liana, namun kosong. Sempat kulirik kamar Liana yang berantakan. Pakaian bekas pakai bertebaran di mana-mana. Aroma tak sedap tercium dari dalam kamar itu. Meja makan dan ruang tamu saat ini masih berantakan. Piring dan gelas bekas Liana sarapan tadi pagi masih belum berpindah. Sementara televisi menyala begitu saja. Majalah dan buku-buku novel bertebaran di depan televisi. Bantal dan selimut berceceran di lantai. Berkali-kali Mas Dewa menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak kesal
Baca selengkapnya

Maafkan Aku, Bu!

"Perempuan laknat! Kamu mau membunuh ibuku, hah?" Suara Mas Dewa menggema seakan merobohkan dinding kamar. Mas Dewa melangkah mendekati Liana yang sudah gemetar. Laki-laki berbadan tegap yang sudah dikuasai amarah itu merampas kasar minuman teh yang berada di tangan Liana, hingga teh itu sebagian tumpah berceceran ke lantai. "Aku minta, kamu yang minum teh ini. Cepat!" Dengan napas memburu dan dada naik turun, Mas Dewa kembali membentak Liana yang sudah mulai mengeluarkan air mata. Liana menggelengkan cepat kepalanya "Tidak mau, Mas!" sahutnya bergetar. Wajahnya semakin memucat bagai kapas. "Kenapa ?" Mas Dewa mendelikkan matanya. Liana terdiam. Seakan ragu hendak menjawab. Tubuhnya gemetar. Keringat mengalir di sekitar dahinya. "Jawaabb!" teriak Mas Dewa membuat Liana kembali terlonjak. "Aku ... Aku ..." "Jawab, Liana!" Mas Dewa mulai kehilangan kesabarannya. "A-aaku sedang hamil anakmu, Mas. Aku takut anak kita kenapa-kenapa," jawabnya. "Loh, memangnya kenapa? Bukankah i
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
11
DMCA.com Protection Status