Mas Dewa turun dan menghampiriku. "Ayo aku antar!" Ternyata dia menyusulku. Dengan langkah berat aku menuruti ajakannya. Mas Dewa membukakan pintu mobilnya untukku. Lagi-lagi dia melakukan hal yang belum pernah dia lakukan ketika Liana belum hadir di antara kami. Namun semua sudah terlambat. Semua sikap manisnya untukku seakan basi dan tak berarti lagi. Tak ada lagi getaran yang dulu kurasakan. Tak ada lagi rasa hangat yang dulu pernah kurindukan. Semua kini terasa hampa dan hambar. "Ke rumah sakit mana?" tanyanya ketika mulai melajukan mobilnya kembali. "Rumah sakit Nusa Indah," sahutku singkat. "Oke, siap," sahutnya bersemangat. Kenapa Mas Dewa tidak terlihat bete? Bukannya tadi Liana nangis meraung-raung dikamarnya? Tapi kenapa Mas Dewa terlihat biasa-biasa saja? Mobil memasuki area parkir rumah sakit. Menurut pesan dari Andri, sahabatku itu memintaku untuk menemuinya di gedung teratai lantai tiga. Aku dan Mas Dewa berjalan menuju lobby utama rumah sakit ini. "Pak, gedu
Aku dan Mas Dewa menyusuri koridor rumah sakit menuju area parkir. Pasien dan petugas rumah sakit sudah mulai ramai lalu-lalang karena hari sudah semakin siang. Beberapa karyawan rumah sakit berpakaian seragam mengangguk ramah pada kami. Sepanjang jalan Mas Dewa tak banyak bicara. Wajahnya sangat tegang. Berkali-kali dia menghempas napas dengan kasar. Matanya nyalang menjelaskan aura kemarahan yang begitu mengguncang. Sementara aku hanya bisa mengimbangi langkah cepatnya dalam diam. Saat ini aku tak ingin bicara apapun. Mas Dewa mengetahui hasil test ini dengan sendirinya tanpa sengaja. Sejak awal sedikitpun tak ada niatku untuk memberitahukan hal ini padanya. Karena menurutku dia tidak akan mungkin percaya begitu saja. Namun Tuhan berkehendak lain. Ini adalah caraNya agar Mas Dewa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saat sampai di parkiran, Mas Dewa membukakan pintu mobil untukku. Kemudian dia memutar, lalu masuk dan duduk di kursi pengemudi. Mas Dewa tak langsung menyalakan mesin
Mas Dewa membuka pagar dengan sangat pelan hingga nyaris tak bersuara. Suamiku itu memberi kode padaku agar melepas sepatuku. Sepertinya aku mulai paham apa yang akan Mas Dewa lakukan. Aku menurutinya untuk melepas high heelsku. Dengan berjingkat kami melangkah di teras hingga sampai ke pintu. Suasana rumah tampak sangat sepi. Perlahan Mas Dewa memutar kenop pintu. Sepi. Kemana Liana? Apa dia sedang tidur? Perlahan kami melangkah memasuki ruang tamu, sepi. Mas Dewa mengintip dari balik pintu kamar Liana, namun kosong. Sempat kulirik kamar Liana yang berantakan. Pakaian bekas pakai bertebaran di mana-mana. Aroma tak sedap tercium dari dalam kamar itu. Meja makan dan ruang tamu saat ini masih berantakan. Piring dan gelas bekas Liana sarapan tadi pagi masih belum berpindah. Sementara televisi menyala begitu saja. Majalah dan buku-buku novel bertebaran di depan televisi. Bantal dan selimut berceceran di lantai. Berkali-kali Mas Dewa menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak kesal
"Perempuan laknat! Kamu mau membunuh ibuku, hah?" Suara Mas Dewa menggema seakan merobohkan dinding kamar. Mas Dewa melangkah mendekati Liana yang sudah gemetar. Laki-laki berbadan tegap yang sudah dikuasai amarah itu merampas kasar minuman teh yang berada di tangan Liana, hingga teh itu sebagian tumpah berceceran ke lantai. "Aku minta, kamu yang minum teh ini. Cepat!" Dengan napas memburu dan dada naik turun, Mas Dewa kembali membentak Liana yang sudah mulai mengeluarkan air mata. Liana menggelengkan cepat kepalanya "Tidak mau, Mas!" sahutnya bergetar. Wajahnya semakin memucat bagai kapas. "Kenapa ?" Mas Dewa mendelikkan matanya. Liana terdiam. Seakan ragu hendak menjawab. Tubuhnya gemetar. Keringat mengalir di sekitar dahinya. "Jawaabb!" teriak Mas Dewa membuat Liana kembali terlonjak. "Aku ... Aku ..." "Jawab, Liana!" Mas Dewa mulai kehilangan kesabarannya. "A-aaku sedang hamil anakmu, Mas. Aku takut anak kita kenapa-kenapa," jawabnya. "Loh, memangnya kenapa? Bukankah i
Ya, kali ini Liana menang satu angka diatasku. Dia hamil. Sedangkan aku, sudah dua tahun ini belum ada tanda-tanda apapun. Sepertinya aku sudah tidak dibutuhkan lagi disini. Lebih baik aku pergi dari sini. Tanpa kusadari bulir-bulir bening telah membasahi kedua pipiku. Sebaiknya aku kembali ke kantor sebelum ibu menyadari kehadiranku di sini. Perlahan aku membalikkan badan hendak melangkah meninggalkan kamar. Namun aku dikejutkan oleh suara dering ponselku. Sontak langkahku terhenti. "Zahra ...!" Terdengar suara ibu menyebut namaku. Buru-buru kuhapus air mata ini dengan kedua punggung tanganku. Tidak ada yang boleh melihatku menangis. Ya, aku tak ingin terlihat rapuh di depan siapapun. Lalu perlahan membalikkan badan ini. Semua mata kini tertuju padaku. "Zahra, kamu pulang?" ibu mengulang pertanyaannya. "Iy-iyaa, Bu. Ada yang tertinggal. Zahra kembali ke kantor dulu, Bu." jawabku dengan tetap berdiri di ambang pintu karena ponselku yang terus berbunyi. Tanpa menunggu jawaban da
Aku mengirim pesan pada Mas Dewa. Bagaimanapun juga aku ini masih istrinya. Setidaknya aku mengabarinya bahwa aku pergi dengan Devan. [Ngapain Devan ajak kamu ke apartemennya?] [ Clarissa mau ketemu aku ] Itu pesan terakhir Mas Dewa yang aku balas. Setelah itu ponsel aku masukkan ke dalam tas. Aku tak membuka lagi pesan berikutnya dari Mas Dewa. Karena jika aku balas pasti terus panjang dan tak akan berhenti. Rasanya sudah lelah jika harus berdebat lagi dengan suamiku itu. "Dev ..., ada apa dengan Clarissa? Kenapa dia ingin bertemu denganku?" Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya, demi membunuh rasa penasaranku. "Entahlah, sejak bertemu denganmu waktu itu, Clarissa berkali-kali memintaku untuk menemuimu lagi. Tapi karena aku keluar kota, baru hari ini aku bisa memenuhi permintaannya." Aku hanya menganggukkan kepala berkali-kali. Ingin rasannya menanyakan tentang ibu dari Clarissa. Namun entah kenapa lidahku terasa kelu setiap hendak menanyakan hal itu pada Devan. Apa mun
Wanita pirang itu menatap nanar padaku. Wajahya memancarkan rasa tak suka. Dia beranjak dari tempat tidur dan menghampiri kami yang masih berdirii di ambang pintu. "Ooh, jadi ini yang membuat putriku tak menginginkan kehadiranku?" Wanita itu menaikkan alisnya seraya menatap tajam padaku. "Jaga bicaramu, Kim! Ini Zahra. Salah satu manager di perusahaanku." "owwwh, cuma manager. Ternyata hanya seorang karyawan biasa," sahutnya dengan seringai dan tatapan meremehkan. "Kimi ...!" Devan kembali membentak wanita itu demi membelaku. Ya Tuhan, kenapa aku merasa seperti seorang pelakor di sini? Aku terus berusaha menarik jemariku yang saat ini masih berada dalam genggaman tangan kokoh milik Devan. Namun Devan menahannya dan malah semakin mempererat genggamannya. "Dev ..., sebaiknya aku keluar," bisikku. "Jangan. Kamu tetap bersamaku disini!" sahutnya pelan namun sangat tegas. "Tante Zahraaaa ...!" Clarissa histeris seraya tersenyum lebar melihat kedatanganku.. "Clarissa ...!" Aku mem
"Clarissa ... maaf, Sayang. Tante nggak bisa jadi bunda kamu. Mommy pasti bisa melakukan semua yang Clarissa inginkan. Clarissa tinggal ngomong aja sama Mommy, hmm ...," ujarku seraya melirik pada Kim yang masih memperhatikan kami dari ambang pintu. Aku memberikan penjelasan dengan lembut dan sangat hati-hati pada Clarisa. Iris mata coklat gadis itu menatapku sedih hingga tampak butiran-butiran embun di sana. Sungguh aku tidak sampai hati melihatnya seperti ini. Namun aku tidak mungkin bisa memenuhi permintaan gadis bermata bulat itu. Aku sangat paham dengan posisiku saat ini. Aku tidak mau menjadi duri dalam rumah tangga mereka. Devan dan Kim pasti bisa menyelesaikan masalah ini. Terlebih Clarissa masih kecil. Pasti sangat mudah bagi mereka untuk membujuknya. Kuraih beberapa lembar tissue yang berada pada meja kecil di samping tempat tidur, kemudian dengan lembut kuhapus air mata yang mulai menetes pada wajah Clarissa. "Clarisa .., Tante Zahra harus kembali ke kantor bersama Daddy
Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom
"Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag
Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "
"Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad
Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke
Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala
POV IvanMobilku melambat saat melihat keramaian di depan sana. Jalanan penuh oleh orang-orang yang ingin melihat sesuatu di sungai itu Aku menepikan mobilku dan membuka kaca. "Maaf, Bu. Ada apa rame-rame di sana?" "Ada mobil jatuh ke sungai, Pak! Katanya sih yang bawa perempuan!" Ya Tuhan. Jantungku langsung berdetak cepat setelah mendengar berita dari ibu-ibu itu. Jangan-jangan ... Astaga! Bukankah itu mobil Devan? Aku segera turun dan berlari menghampiri Devan. "Dev ... Devan!" Devan tak mempedulikan panggilanku. Aku tersentak saat melihatnya hendak bersiap-siap turun ke sungai. "Stop, Dev! Mau apa kamu?" "Zahra di bawah sana. Mana mungkin aku hanya diam!" geram Devan melotot padaku. Mataku membelalak melihat mobil Kim yang saat ini sudah terjun hingga berada disungai. "Jangan nekad, Pak. Sangat berbahaya! Kita tunggu bantuan!" Beberapa warga mencoba mencegah Devan. Namun kakakku itu tidak menghiraukan. Devan melepaskan jasnya, kemudian tanpa ragu kakakku itu melompat
Pov Ivan Cahaya yang menyilaukan mata menembus jendela kaca besar yang berada di kamarku ini. Aku menghempas napas kasar memandang tirai jendela yang terbuka lebar sejak semalam. Ternyata sudah siang. Aku melirik arloji yang menempel ditanganku. Sepertinya masih ada waktu untuk bersiap-siap ke kantor. Rasa nyeri di sekujur tubuhku sudah mulai berkurang. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Aku melangkah keluar dari kamar. Sepiring nasi goreng dan segelas jus buah tersaji di atas meja makan. Siapa yang memasak? Mungkin pelayan Devan yang mengantarnya ke sini. Kebetulan, Aku memang sangat lapar. Sambil menikmati nasi goreng sosis ini, kubuka ponselku. Memeriksa pesan dan email yang masuk. Sebuah senyum terbit dibibirku saat membaca pesan dari Zahra. [ Makan yang banyak, semoga nasi goreng buatanku mampu menyembuhkan lukamu] Ternyata Zahra yang masak. Pantas rasanya sangat enak. Kunikmati setiap suapan yang masuk ke mulutku. Hatiku berd
"Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu