"Clarissa ... maaf, Sayang. Tante nggak bisa jadi bunda kamu. Mommy pasti bisa melakukan semua yang Clarissa inginkan. Clarissa tinggal ngomong aja sama Mommy, hmm ...," ujarku seraya melirik pada Kim yang masih memperhatikan kami dari ambang pintu. Aku memberikan penjelasan dengan lembut dan sangat hati-hati pada Clarisa. Iris mata coklat gadis itu menatapku sedih hingga tampak butiran-butiran embun di sana. Sungguh aku tidak sampai hati melihatnya seperti ini. Namun aku tidak mungkin bisa memenuhi permintaan gadis bermata bulat itu. Aku sangat paham dengan posisiku saat ini. Aku tidak mau menjadi duri dalam rumah tangga mereka. Devan dan Kim pasti bisa menyelesaikan masalah ini. Terlebih Clarissa masih kecil. Pasti sangat mudah bagi mereka untuk membujuknya. Kuraih beberapa lembar tissue yang berada pada meja kecil di samping tempat tidur, kemudian dengan lembut kuhapus air mata yang mulai menetes pada wajah Clarissa. "Clarisa .., Tante Zahra harus kembali ke kantor bersama Daddy
Setelah membalas pesan Devan dengan mengatakan bahwa aku akan ke kantor lebih dulu, bergegas aku memasuki lift yang sudah terbuka. Namun mataku membulat saat membalikkan badan. Devan telah berada di hadapanku dengan salah satu jarinya menekan tombol untuk menutup pintu lift kembali. Devan menatapku lekat. "Kenapa ninggalin aku?" lirihnya. Tatapan matanya begitu tajam dan lekat hingga menghunus manik mataku. "Aku .... untuk menjaga perasaan Kim tentunya," jawabku jujur. Devan bersandar pada dinding lift dengan kedua tangannya dimasukkan kedalam saku celananya. Tatapannya masih tertuju padaku. "Kamu cemburu?" senyum tipis terbit pada sudut bibirnya yang tipis. "Apaa? ah.. eh ... nggak, nggak kok!" Aku menggeleng cepat. Namun sialnya justru terlihat gugup. Devan kembali mengulum senyum menggodaku. Devan perlahan mendekat. "Mau apa kamu, Dev?" tanyaku seraya melangkah mundur hingga punggungku telah menempel pada dinding lift. Mataku melirik angka pada sisi kiri pintu lift dan b
POV Dewa. Aku tak menyangkan kelakuan Liana seperti ini. Bagai disambar petir di siang bolong, saat mendengar bahwa istri keduaku itu memasukkan sejenis obat penenang ke dalam minuman teh Ibuku. Bagaimana mungkin hal ini bisa aku maafkan. Kesalahan Liana sudah sangat fatal. Ditambah dia memperlakukan ibu dengan kasar. Ini sungguj membuatku kecewa. Ternyata Liana mempunyai sifat asli yang sangat buruk. Andai saja aku tahu kelakuannya seperti ini sejak dulu, aku tidak akan mendekatinya. Aku memang bodoh, mudah sekali tergoda oleh kecantikan dan tubuh seksinya. Padahal jika dilihat-lihat, Zahra jauh lebih cantik. Hanya Zahra tidak pandai merayu atau memancing hasratku. Tapi kenapa sekarang dadaku selalu berdegub kencang setiap bertemu istri pertamaku itu. Perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya terhadap Zahra. Andai saja ibu tak mencegahku, sudah kuusir Liana dari rumah ini. Sayangnya dia sedang hamil anakku. Tidak mungkin aku mengusir apalagi menceraikannya. Ternyata ibu s
Pov DewaDevan memiliki wajah tampan bak artis eropa, serta hidup yang jauh lebih mapan dariku. Namun tetap saja aku selangkah lebih maju darinya. Zahra sudah menjadi istriku. Dan sampai kapanpun dia akan tetap menjadi istriku. Aku tidak akan pernah menceraikannya. Aku tersenyum lebar. Bagaimanapun juga aku menang dari Devan. Yang harus aku lakukan sekarang adalah mengambil lagi hati Zahra yang sempat aku abaikan. Aku tidak boleh membuatnya justru membenciku. Tunggu Zahra, kamu akan kembali jatuh cinta padaku. Mobilku baru saja terparkir sempurna di area parkir kantor ini Tepat di sebelahku adalah tempat parkir CEO. Aku menyipitkan mata melihat mobil yang mesinnya masih menyala itu terparkir di sana. Mataku melebar ketika tak lama kemudian laki-laki yang tadi aku pikirkan keluar dari mobil sport berwarna biru gelap. Laki-laki itu memutar mobilnya dan membukakan pintu satunya lagi. Mataku lebih melebar lagi melihat istriku keluar dari mobil mewah itu. Ya, hatiku bagai tercabik
Devan, pria yang belakangan ini memporak-porandakan hatiku. Pria yang menghilangkan akal sehatku. Namun pria itu juga yang membuat hari-hariku lebih berwarna. Setiap sikap manisnya selalu membuatku lupa bahwa aku ini adalah seorang wanita yang masih memiliki suami. Kadang aku berpikir mungkin memang seperti itulah sikapnya pada setiap wanita. Dengan segala kerendahan hati aku berusaha menganggap sikap Devan ini adalah hal yang sudah biasa dia lakukan pada teman-teman wanitanya, dan aku harus membuang jauh-jauh rasa manis yang mulai menguasai hatiku. Bagaimanapun juga aku tetap melihat sikap pria tampan dan mapan itu adalah sesuatu yang sangat istimewa. Karena aku belum pernah merasakan rasa manis itu dari suamiku sebelumnya, laki-laki yang seharusnya bisa membuatku bahagia. Laki-laki yang seharusnya membuat hari-hariku menjadi indah. Namun suamiku itu justru menciptakan luka yang menganga dan menghasilkan rasa sakit. Ya, sakit tak berdarah. Sejak ibu mulai berbaik hati memaafkan
Astaga! Sesaat aku melihat sekeliling dan baru tersadar. Devan ternyata memberhentikan mobilnya di tepi jalan tol. Pantas saja petugas itu menghampiri kami. Huh! Untung saja kaca mobil ini gelap. "Maaf, Pak. Tadi istri saya pusing. Maklum sedang hamil," sahut Devan dengan seringainya. Aku melotot pada nya. Eh, dia malah mengedipkan sebelah matanya padaku. "Di depan ada rest area, Pak. Silakan jika ingin beristirahat di sana!" jelas petugas itu sebelum berpamitan meninggalkan kami. Devan kembali menutup kaca dan menyalakan mesin mobil. Spontan kami tertawa mengingat kekonyolan kami barusan. "Kamu sembarangan bilang aku hamil! Awas ucapan itu doa, loh!" aku pura-pura memarahinya. "Kalau begitu, semoga Tuhan mengabulkan doaku." "Eehh . .." jeritku seraya melotot. "Tapi hamilnya sama aku ya!" bisiknya sambil mendekat ke telingaku. "Devaaaaan!" Devan kembali terkekeh mendengar jeritanku dan pasraah ketika lengan atasnya aku pukuli bertubi-tubi. Mobil kembali melaju membelah
"Devaaan ...!" Aku terpekik melihat seseorang memukul Devan dari belakang hingga laki-laki itu meringis kesakitan. "Ivaaaan ...! Jangan ...! Lepasin!" Aku berusaha menarik tubuh Ivan yang terus menghajar Devan dengan membabi buta. Namun tubuh sebesar itu tak akan mungkin sanggup aku menahannya untuk tidak terus memukuli Devan. "Aku dah ingatkan kamu berkali-kali, Dev! Zahra itu punya suami. Tega banget kamu mempermainkan dia!" teriak Ivan berapi-api. Devan tidak melawan. Pria itu hanya berusaha menghindar. Padahal jika mau, aku yakin Devan pasti bisa melawan. Tapi Devan tampak hanya mengalah. Aku tak tega melihatnya terus dipukuli oleh Ivan. Selintas nampak ada cairan berwarna merah di sudut bibirnya. Untunglah ruangan ini tertutup. Hingga suara keributan ini tidak terdengar sampai keluar. "Vaaan, please ... udaah!" Sekuat tenaga aku menarik tubuh Ivan agar menjauh dari Devan.. "Vaaan, Devan nggak sepenuhnya salah. Aku juga meresponnya selama ini. Jadi kamu bisa marahin ak
"Kamu mau bicara apa sih sebenarnya, Mas?" sinisku dengan jantung yang mulai berdetak cepat. Mas Dewa memandang tajam padaku hingga menghunus iris mataku. "Jawab yang jujur! Sudah berapa kali kamu tidur dengan Devan?" "Apaaa?" Sontak aku berdiri. Plaak!! Reflek tanganku menampar wajah tampan menyebalkan yang saat ini berada tepat di hadapanku. Tubuhku bergetar menahan emosi yang semakin memuncak. Sungguh aku tak terima suamiku sendiri menuduhku serendah itu. Napasku memburu karena detak jantungku yang semakin cepat . Aliran darahku seakan naik hingga ke ubun-ubun. "Kurang ajar!' Mas Dewa sontak berdiri seraya memegang pipinya yang memerah. Sepertinya dia tidak terima karena aku baru saja menamparnya cukup keras. "Mas Dewa keterlaluan. Jangan samakan aku dengam istri barumu itu, Mas!Berbagi ranjang seenaknya sebelum ada ikatan pernikahan!" geramku dengan dada kembang kempis menahan amarah yang meluap-luap. Pria di hadapanku ini menyeringai. "Aku tidak habis pikir dengan Deva
Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom
"Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag
Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "
"Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad
Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke
Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala
POV IvanMobilku melambat saat melihat keramaian di depan sana. Jalanan penuh oleh orang-orang yang ingin melihat sesuatu di sungai itu Aku menepikan mobilku dan membuka kaca. "Maaf, Bu. Ada apa rame-rame di sana?" "Ada mobil jatuh ke sungai, Pak! Katanya sih yang bawa perempuan!" Ya Tuhan. Jantungku langsung berdetak cepat setelah mendengar berita dari ibu-ibu itu. Jangan-jangan ... Astaga! Bukankah itu mobil Devan? Aku segera turun dan berlari menghampiri Devan. "Dev ... Devan!" Devan tak mempedulikan panggilanku. Aku tersentak saat melihatnya hendak bersiap-siap turun ke sungai. "Stop, Dev! Mau apa kamu?" "Zahra di bawah sana. Mana mungkin aku hanya diam!" geram Devan melotot padaku. Mataku membelalak melihat mobil Kim yang saat ini sudah terjun hingga berada disungai. "Jangan nekad, Pak. Sangat berbahaya! Kita tunggu bantuan!" Beberapa warga mencoba mencegah Devan. Namun kakakku itu tidak menghiraukan. Devan melepaskan jasnya, kemudian tanpa ragu kakakku itu melompat
Pov Ivan Cahaya yang menyilaukan mata menembus jendela kaca besar yang berada di kamarku ini. Aku menghempas napas kasar memandang tirai jendela yang terbuka lebar sejak semalam. Ternyata sudah siang. Aku melirik arloji yang menempel ditanganku. Sepertinya masih ada waktu untuk bersiap-siap ke kantor. Rasa nyeri di sekujur tubuhku sudah mulai berkurang. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Aku melangkah keluar dari kamar. Sepiring nasi goreng dan segelas jus buah tersaji di atas meja makan. Siapa yang memasak? Mungkin pelayan Devan yang mengantarnya ke sini. Kebetulan, Aku memang sangat lapar. Sambil menikmati nasi goreng sosis ini, kubuka ponselku. Memeriksa pesan dan email yang masuk. Sebuah senyum terbit dibibirku saat membaca pesan dari Zahra. [ Makan yang banyak, semoga nasi goreng buatanku mampu menyembuhkan lukamu] Ternyata Zahra yang masak. Pantas rasanya sangat enak. Kunikmati setiap suapan yang masuk ke mulutku. Hatiku berd
"Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu