Beranda / Pernikahan / Air Mata Maduku / Menolak Disentuh

Share

Menolak Disentuh

Penulis: Rina Novita
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Hai Clarissa! Keponakan uncle Ivan makin cantik aja. Bagaimana sekolahmu?" Ivan menyambut Clarisa hangat.

"Baik, Uncle." sahut Clarisssa seraya memeluk Ivan.

Ivan mencium kedua pipi chubby Clarissa.

"Hai, Om Dewa." Ternyata Clarisa juga menyapa Mas Dewa. Namun Mas Dewa hanya tersenyum sekilas pada gadis berkulit putih itu.

Pandangan Ivan beralih padaku.

"Ra ..., kenapa sih kamu selalu tampil mempesona?" Lagi-lagi Ivan menggodaku.

"Jangan mulai, Van. Malu sama Clarissa!" sanggahku dengan mata melotot pada sahabatku yang kali ini penampilannya nggak kalah tampan dari kakaknya.

"Aku serius. Tapi Sayang, sudah bersuami."

"Uhuk ... uhuk ...!"

Mas Dewa tiba-tiba terbatuk-batuk.

Ivan memang juga tidak tahu kalau Mas Dewa adalah suamiku. Sejak aku berhenti bekerja di perusahaan yang lama dulu, kami memang sudah jarang berhubungan. Pernikahanku dan Mas Dewa pun diadakan hanya sederhana. Cukup mengundang pihak keluarga dan tetangga terdekat

"Kalau aku jadi suaminya, aku akan ant
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Air Mata Maduku   Debaran Tak Biiasa

    Bagaimanapun juga Mas Dewa suamiku. Memang sudah seharusnya aku pulang dengannya. Tidak mungkin aku lebih memilih pulang dengan laki-laki lain. Walaupun Devan dan Ivan tidak mengetahuinya, tapi aku merasa bukan wanita yang baik, jika lebih memilih pulang bersama pria lain. "Nggak apa-apa, Dev. Lagian kasian Clarissa jika harus mengantarku pulang lebih dulu. Dia pasti lelah." Devan melirik Clarissa yang memang sudah kelihatan jenuh. Sejak tadi gadis itu sangat rewel minta segera pulang. Devan menghembus napas panjang. kemudian mendekatiku. "Take care ...," bisiknya seraya menatap lekat padaku. Aku hanya bisa mengangguk dan berusaha mengalihkan pandangan dari tatapan mata tegas yang selalu menciptakan debaran tak biasa di dadaku. Devan, pria itu tahu kami sama-sama telah memiliki pasangan. Tapi kenapa sikapnya selalu menciptakan rasa yang tak seharusnya aku rasakan. Tatapannya selalu membuat jantungku berdegup cepat tak beraturan. Apa memang begini sikapnya pada semua wanita yang

  • Air Mata Maduku   Keceplosan

    Pov Liana "Li ... Liana ...!" Entah yang ke berapa kalinya Ibu memanggilku hari ini. "Sial! Nggak bisa orang santai sedikit," gerutuku. Dengan langkah berat aku kembali ke kamar Ibu mertuaku. Aku mendongakkan wajahku dari balik pintu kamar. Aroma tidak sedap menyeruak dari dalam kamar ini. "Ooeeekkh! Ibu buang air lagi ya? Bau banget ih!" bentakku. Wanita tua yang sudah keriput itu mengangguk lemah. Nampak matanya berkaca-kaca. Dengan terpaksa, lagi-lagi aku harus membersihkan kotoran ibu yang membuat isi perutku ingin keluar. Dengan susah payah aku membawa Ibu ke kamar mandi dengan kursi rodanya. Walau ibu selalu pakai diaper, tapi wanita tua bangka ini maunya tetap ke kamar mandi. Katanya tidak bersih kalau dibersihkan di tempat tidur saja. "Liana, tidak bisakah kamu sedikit lembut memperlakukanku? Seperti Zahra, selalu memperlakukanku dengan baik dan lembut," lirih mertuaku ketika kami masih di kamar mandi. "Sudahlah, Bu. Nggak usah membanding-bandingkan aku dengan perempu

  • Air Mata Maduku   Permintaan Liana

    Pov LianaSebentar lagi Mas Dewa pulang. Aku harus minta penjelasan padanya tentang sekretaris barunya itu. Dewi bilang mereka berciuman di dalam lift. Ya Tuhan. Rasanya aku hampir gila oleh rasa cemburuku ini. Melihat Mas Dewa dekat-dekat dengan si Zahra saja aku rasanya kepanasan. Apalagi jika dia sampai berciuman dengan perempuan lain. Rasanya tubuhku ingin meledak karena cemburu. Sungguh aku tidak tenang. Sejak siang tadi berkali-kali aku menghubungi Mas Dewa. Namun dia bilang sedang rapat dengan Pak Devan. Kenapa aku tidak bisa percaya pada ucapannya. Bisa saja dia sedang asik bermesraaan dengan sekretarisnya itu. Sejak sore aku mondar-mandir di teras. Menunggu Mas Dewa pulang. Aku ingin mendengar penjelasan langsung darinya. Aku sedikiti bernapas lega melihat Mas Dewa membuka pagar. Tak lama mobilnya masuk ke halaman rumah. Mataku membulat ketika melihat seseorang yang aku kenali di dalam mobilnya. Kenapa Zahra bisa ada di dalam mobil Mas Dewa? Apa mereka janjian? Hatiku

  • Air Mata Maduku   Tangisan Saat Sarapan

    Hari ini Andri akan memberikan hasil test laboratorium minuman teh yang aku berikan padanya kemarin. Pagi ini aku harus kembali izin untuk datang terlambat ke kantor. Namun Devan sejak kemarin sedang berada di luar kota. Berarti mau tidak mau aku harus izin pada Mas Dewa. [Mas, Pagi ini aku izin datang terlambat, mau mampir ke rumah sakit] Pesanku pada Mas Dewa terkirim dan langsung di baca olehnya, di tandai adanya tanda centang biru. [Kamu sakit, Zahra? Ayo Aku antar ke rumah sakit!] Ck, apaan sih? Siapa yang sakit? Tumben banget sok perhatian gini. [Aku nggak sakit. Tapi Ada perlu sama teman yang kerja di rumah sakit] [Nggak apa-apa. Aku antar aja. Nanti berangkat bareng aku! Jangan membantah!] [Terserah!] Males banget jika harus berdebat pagi-pagi. Setelah mengurus semua keperluan Ibu pagi ini, Aku mulai bersiap-siap untuk berangkat. Aku memandang cermin dengan senyum tersungging dibibir. Saat ini aku memakai stelan desain terbaru yang sedang kekinian. Perpaduan kulot d

  • Air Mata Maduku   Teh Untuk Ibu

    Mas Dewa turun dan menghampiriku. "Ayo aku antar!" Ternyata dia menyusulku. Dengan langkah berat aku menuruti ajakannya. Mas Dewa membukakan pintu mobilnya untukku. Lagi-lagi dia melakukan hal yang belum pernah dia lakukan ketika Liana belum hadir di antara kami. Namun semua sudah terlambat. Semua sikap manisnya untukku seakan basi dan tak berarti lagi. Tak ada lagi getaran yang dulu kurasakan. Tak ada lagi rasa hangat yang dulu pernah kurindukan. Semua kini terasa hampa dan hambar. "Ke rumah sakit mana?" tanyanya ketika mulai melajukan mobilnya kembali. "Rumah sakit Nusa Indah," sahutku singkat. "Oke, siap," sahutnya bersemangat. Kenapa Mas Dewa tidak terlihat bete? Bukannya tadi Liana nangis meraung-raung dikamarnya? Tapi kenapa Mas Dewa terlihat biasa-biasa saja? Mobil memasuki area parkir rumah sakit. Menurut pesan dari Andri, sahabatku itu memintaku untuk menemuinya di gedung teratai lantai tiga. Aku dan Mas Dewa berjalan menuju lobby utama rumah sakit ini. "Pak, gedu

  • Air Mata Maduku   Ceraikan Aku

    Aku dan Mas Dewa menyusuri koridor rumah sakit menuju area parkir. Pasien dan petugas rumah sakit sudah mulai ramai lalu-lalang karena hari sudah semakin siang. Beberapa karyawan rumah sakit berpakaian seragam mengangguk ramah pada kami. Sepanjang jalan Mas Dewa tak banyak bicara. Wajahnya sangat tegang. Berkali-kali dia menghempas napas dengan kasar. Matanya nyalang menjelaskan aura kemarahan yang begitu mengguncang. Sementara aku hanya bisa mengimbangi langkah cepatnya dalam diam. Saat ini aku tak ingin bicara apapun. Mas Dewa mengetahui hasil test ini dengan sendirinya tanpa sengaja. Sejak awal sedikitpun tak ada niatku untuk memberitahukan hal ini padanya. Karena menurutku dia tidak akan mungkin percaya begitu saja. Namun Tuhan berkehendak lain. Ini adalah caraNya agar Mas Dewa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saat sampai di parkiran, Mas Dewa membukakan pintu mobil untukku. Kemudian dia memutar, lalu masuk dan duduk di kursi pengemudi. Mas Dewa tak langsung menyalakan mesin

  • Air Mata Maduku   Ternyata Liana

    Mas Dewa membuka pagar dengan sangat pelan hingga nyaris tak bersuara. Suamiku itu memberi kode padaku agar melepas sepatuku. Sepertinya aku mulai paham apa yang akan Mas Dewa lakukan. Aku menurutinya untuk melepas high heelsku. Dengan berjingkat kami melangkah di teras hingga sampai ke pintu. Suasana rumah tampak sangat sepi. Perlahan Mas Dewa memutar kenop pintu. Sepi. Kemana Liana? Apa dia sedang tidur? Perlahan kami melangkah memasuki ruang tamu, sepi. Mas Dewa mengintip dari balik pintu kamar Liana, namun kosong. Sempat kulirik kamar Liana yang berantakan. Pakaian bekas pakai bertebaran di mana-mana. Aroma tak sedap tercium dari dalam kamar itu. Meja makan dan ruang tamu saat ini masih berantakan. Piring dan gelas bekas Liana sarapan tadi pagi masih belum berpindah. Sementara televisi menyala begitu saja. Majalah dan buku-buku novel bertebaran di depan televisi. Bantal dan selimut berceceran di lantai. Berkali-kali Mas Dewa menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak kesal

  • Air Mata Maduku   Maafkan Aku, Bu!

    "Perempuan laknat! Kamu mau membunuh ibuku, hah?" Suara Mas Dewa menggema seakan merobohkan dinding kamar. Mas Dewa melangkah mendekati Liana yang sudah gemetar. Laki-laki berbadan tegap yang sudah dikuasai amarah itu merampas kasar minuman teh yang berada di tangan Liana, hingga teh itu sebagian tumpah berceceran ke lantai. "Aku minta, kamu yang minum teh ini. Cepat!" Dengan napas memburu dan dada naik turun, Mas Dewa kembali membentak Liana yang sudah mulai mengeluarkan air mata. Liana menggelengkan cepat kepalanya "Tidak mau, Mas!" sahutnya bergetar. Wajahnya semakin memucat bagai kapas. "Kenapa ?" Mas Dewa mendelikkan matanya. Liana terdiam. Seakan ragu hendak menjawab. Tubuhnya gemetar. Keringat mengalir di sekitar dahinya. "Jawaabb!" teriak Mas Dewa membuat Liana kembali terlonjak. "Aku ... Aku ..." "Jawab, Liana!" Mas Dewa mulai kehilangan kesabarannya. "A-aaku sedang hamil anakmu, Mas. Aku takut anak kita kenapa-kenapa," jawabnya. "Loh, memangnya kenapa? Bukankah i

Bab terbaru

  • Air Mata Maduku   Akhir yang Bahagia ( Tamat)

    Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom

  • Air Mata Maduku   Ternyata Clarissa

    "Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag

  • Air Mata Maduku   Tugas dari Clarissa

    Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "

  • Air Mata Maduku   SAH

    "Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad

  • Air Mata Maduku   Panggil Aku Mama

    Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke

  • Air Mata Maduku   Cuma Karyawan Biasa

    Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala

  • Air Mata Maduku   Demi Cinta

    POV IvanMobilku melambat saat melihat keramaian di depan sana. Jalanan penuh oleh orang-orang yang ingin melihat sesuatu di sungai itu Aku menepikan mobilku dan membuka kaca. "Maaf, Bu. Ada apa rame-rame di sana?" "Ada mobil jatuh ke sungai, Pak! Katanya sih yang bawa perempuan!" Ya Tuhan. Jantungku langsung berdetak cepat setelah mendengar berita dari ibu-ibu itu. Jangan-jangan ... Astaga! Bukankah itu mobil Devan? Aku segera turun dan berlari menghampiri Devan. "Dev ... Devan!" Devan tak mempedulikan panggilanku. Aku tersentak saat melihatnya hendak bersiap-siap turun ke sungai. "Stop, Dev! Mau apa kamu?" "Zahra di bawah sana. Mana mungkin aku hanya diam!" geram Devan melotot padaku. Mataku membelalak melihat mobil Kim yang saat ini sudah terjun hingga berada disungai. "Jangan nekad, Pak. Sangat berbahaya! Kita tunggu bantuan!" Beberapa warga mencoba mencegah Devan. Namun kakakku itu tidak menghiraukan. Devan melepaskan jasnya, kemudian tanpa ragu kakakku itu melompat

  • Air Mata Maduku   Diculik

    Pov Ivan Cahaya yang menyilaukan mata menembus jendela kaca besar yang berada di kamarku ini. Aku menghempas napas kasar memandang tirai jendela yang terbuka lebar sejak semalam. Ternyata sudah siang. Aku melirik arloji yang menempel ditanganku. Sepertinya masih ada waktu untuk bersiap-siap ke kantor. Rasa nyeri di sekujur tubuhku sudah mulai berkurang. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Aku melangkah keluar dari kamar. Sepiring nasi goreng dan segelas jus buah tersaji di atas meja makan. Siapa yang memasak? Mungkin pelayan Devan yang mengantarnya ke sini. Kebetulan, Aku memang sangat lapar. Sambil menikmati nasi goreng sosis ini, kubuka ponselku. Memeriksa pesan dan email yang masuk. Sebuah senyum terbit dibibirku saat membaca pesan dari Zahra. [ Makan yang banyak, semoga nasi goreng buatanku mampu menyembuhkan lukamu] Ternyata Zahra yang masak. Pantas rasanya sangat enak. Kunikmati setiap suapan yang masuk ke mulutku. Hatiku berd

  • Air Mata Maduku   Ancaman Kim

    "Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu

DMCA.com Protection Status