Beranda / Romansa / Bukan Siti Nurbaya / Bab 41 - Bab 50

Semua Bab Bukan Siti Nurbaya: Bab 41 - Bab 50

101 Bab

Kecelakaan

Diangkatnya tubuh yang terbaring tak berdaya ke atas pangkuan. Adinda mendekap tubuh pria yang dia cintai erat-erat. Luruh sudah air mata yang sedari tadi dia tahan, bahkan air mata itu menetesi wajah Sena. "Sena, bangun!" Adinda terus mengoncangkan tubuh Sena. Berharap pria itu bangun seketika. Adinda terus berteriak meski tak ada satu orangpun yang melintasi jalanan ini. "Siapapun tolong kami. Tolong... Tolong!" Suara Adinda bahkan sudah parau karena terus-terusan berteriak, ditambah dengan menangisi Sena. "Please, Sen. Jangan mati dulu! Aku belum siap jadi janda." Adinda terus saja mengoceh sendiri, sudah seperti orang gila. Sena yang sudah tidak tahan untuk tertawa karena mendengar ocehan Adinda, membuka mata. Sedetik kemudian pria itu tertawa lepas. Menertawakan ucapan Adinda barusan. "Tenang aja, gue belum mati kok" celetuk Sena diselingi dengan tawa yang keluar dari mulutnya. Adinda memukul dada Sena. Ia sangat kesal dengan pria itu. Mengapa tidak? Jantungnya hampir saja m
Baca selengkapnya

Kekhawatiran Yang Berujung Pertengkaran

Memar di kepala Sena sudah cukup memudar, tapi goresan-goresan luka di tubuh pria itu masih terlukis secara sempurna.Jalannya tertatih, menahan rasa perih akibat luka di tulang kering. Adinda meringis sendiri melihatnya. Tak tega dia melihat Sena. Pria yang biasanya terlihat garang dan pecicilan kini lemah tak berdaya. "Sen, hari ini libur kerja dulu ya! Nanti biar Dinda yang izinin ke Papa Abimanyu kalau kamu lagi sakit.""Enggak ah" tolak Sena. Merasa dirinya masih sanggup untuk bekerja. Lagipula hanya luka ringan. Setidaknya itu yang Sena rasa. "Kamu lagi sakit, Sen. Jangan ngeyel ah."Sena masih ngeyel. Ia harus tetap bekerja karena merasa sungkan dengan papanya jika baru pertama kali bekerja sudah meminta izin. "Udah, gpp. Di kantor kerjanya juga sambil duduk, jadi nggak capek lah."Adinda pasrah, mengiyakan. Dia tahu suaminya itu keras kepala. "Yaudah nanti aku antar ke kantor ya?""Nggak usah. Pakai taksi online aja" tolak Sena. Dia tahu Adinda akan pergi ke kampus pagi-pagi
Baca selengkapnya

Bimbang

Kisah baru telah dimulai. Hati yang sempat patah, kembali lagi. Meski tak utuh seperti semula. Telah dia kubur lara itu sendirian. Biarlah, semua sudah terjadi. Menangisi hal yang sudah berlalu pun serasa percuma. Termasuk halnya cinta. Andina sudah memulai hidupnya yang baru. Dia tak mau terlalu mengandalkan Wildan. Dia sadar, suaminya sekarang bukan hanya miliknya seorang, tapi juga milik wanita lain. Hari ini Andina mulai berjualan baju secara online. Dibantu dengan adiknya. Disela-sela waktu luang, Adinda secara suka rela membantu kakaknya. "Baju model terbaru nih bos! Kualitas bagus pol, jangan diragukan lagi. Pengemasan juga oke. Siapa yang nyangka harganya bakalan semurah ini. Nggak sampai dua ratus ribu loh. Pokonya kalian wajib beli sekarang! Nggak mau tahu. Stok tinggal sedikit. Harus gercep!" Adinda berbicara sendiri. Dia sedang melakukan siaran langsung di salah satu aplikasi. Mempromosikan dagangan Andina menggunakan akun miliknya. "Oke. Beberapa nama pembeli udah gu
Baca selengkapnya

Kebersamaan Sena dan Andina

"Din, sini!" Sena melambaikan tangan, memanggil Andina dari kejauhan.Langkah kaki wanita itu menapaki halaman rumah adik iparnya. "Kenapa, Sen?" tanya Andina. "Pas banget lo di depan rumah tadi. Ini, Dinda tadi buat kue bolu. Lo cobain ya!" Sena menyodorkan sepiring kue bolu rasa coklat. "Wah, kayaknya enak nih. Gue makan di sini aja ya?" Andina mendudukkan diri di kursi teras. Mulutnya sudah mengunyah kue bolu buatan adiknya. Rasanya sungguh enak, manis, dan empuk. Sena geleng-geleng kepala melihat kelakuan kakak iparnya yang sedang memakan bolu, mirip sekali seperti anak kecil. "Masuk aja!" ajak Sena. Andina mengangguk. Dia berjalan di belakang Sena. Mengekori langkah kaki pria itu. "Gue tinggal ke dalam ya. Mau ke dapur dulu.""Oke." Andina memilih duduk di sofa ruang tengah. Dia melanjutkan menikmati kue bolu buatan Adinda sembari menonton televisi. Mulutnya terus mengunyah, hingga tak terasa wanita itu merasakan haus akibat kebanyakan makan bolu. "Duh, haus." Andina merab
Baca selengkapnya

Dituduh Sebagai Pelakor

Hari ini cafe tempat Adinda bekerja sengaja ditutup, tapi para pegawainya tidak diliburkan. Gandhi sengaja menutup cafe karena dia akan merayakan ulang tahun anaknya yang pertama di sini. Kanaya namanya. Gadis cantik yang baru saja bisa berjalan itu mendekati seorang wanita, hendak menggapai tangan Adinda yang berada tepat di sampingnya.Merasa ada yang mencolek jemarinya, Adinda menoleh ke bawah. Ternyata gadis cilik itu yang memanggil dirinya. "Ada apa, Kanaya?" Adinda jongkok. Memposisikan dirinya agar sejajar dengan Kanaya. "A... Aaa..." Kanaya memang belum lancar berbicara, dia hanya menunjuk apa yang diinginkan. "Oh, kue. Kanaya mau kue?" tanya Adinda lembut. Gadis itu mengangguk. Matanya berbinar saat melihat kue ulang tahunnya dipindahkan ke meja depan. "Sabar ya, Kanaya. Nanti kuenya dipotong dulu. Sekarang Kanaya duduk di bangku itu ya!" tunjuk Adinda. Lagi-lagi gadis itu mengangguk patuh. Adinda menuntun Kanaya, lalu mendudukkannya di bangku yang telah disediakan. G
Baca selengkapnya

Jadi, Siapa Yang Pelakor?

Rasa kesal yang masih menjalar di hatinya dia bawa sampai ke rumah. Enak saja dituduh pelakor. Memangnya siapa juga yang mau dengan pria itu? Bahkan yang ada di rumah jauh lebih menarik ketimbang pria itu. Brak!!! Pintu ditutup dengan keras. Menimbulkan bunyi 'bam'. Sena memicingkan mata. Dia sampai tersentak melihat kelakuan istrinya. Sena hanya membatin dan mengucapkan istighfar 'Astagfirullah.'Boro-boro tersenyum. Salam saja tidak Adinda ucapkan. Entahlah, setan seperti apa yang sedang membersamainya saat ini. "Hei... Hei... Jangan diterbangin piringnya" teriak Sena dari kejauhan saat melihat Adinda mengambil piring di dapur. Dia berlari dan mengambil piring yang Adinda pegang. "Siapa juga yang mau nerbangin piring. Memangnya aku sedang bermain akrobat, hah?" Adinda ikut berteriak. "Bisa-bisanya istrinya mau makan malah dibilang mau terbangin piring." Adinda rebut piring itu dari tangan Sena. Sena usap dadanya. Rasanya sungguh lega. Dia pikir istrinya ini akan membanting pir
Baca selengkapnya

Memaksa

Seorang pria berdiri di depan pintu sembari berkacak pinggang. Langkah kakinya ke kanan dan ke kiri. Mondar mandir seperti setrikaan.Ditatapnya jalanan di depan. Lagi-lagi Gandhi merasa kecewa karena sepertinya Adinda tidak berangkat bekerja, sama seperti malam-malam sebelumnya. Sudah satu minggu semenjak kejadian malam itu Adinda tidak menampakkan batang hidungnya di cafe ini. Gandhi merasa kehilangan sosok wanita yang telah bersemayam di hatinya itu. Gandhi juga kerap kali menghubungi Adinda, tapi nomor ponsel wanita itu tidak aktif. Mungkin saja Adinda sudah ganti nomor. Eh tunggu dulu! Bukankah Lani dan Adinda cukup dekat? Ya, Gandhi akan bertanya pada Lani mengenai Adinda. Siapa tahu Lani mengetahui sesuatu. "Lan, apa Dinda menitipkan pesan padamu? Sudah satu minggu ini dia tidak berangkat bekerja.""Apa Bapak nggak tahu kalau Dinda udah resign?""Resign?""Iya, Pak. Jadi Dinda belum pamitan sama Bapak?" tanya Lani lagi. Pria itu menggelengkan kepalanya. Pupus sudah harapan
Baca selengkapnya

Bukan Kisah Siti Nurbaya

"Sen, sebenarnya tadi Pak Gandhi ngomong apa sama kamu?" tanya Adinda.Mereka berdua saat ini tengah berbaring di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar mereka. Adinda sengaja menanyakan hal ini saat berdua saja dengan suaminya. Dia tidak mau jika teman-teman mereka tahu lebih banyak tentang persoalan yang tengah terjadi diantara keduanya."Dia minta kamu buat balik ke cafe lagi.""Aku nggak mau kerja di sana lagi, Sen.""Jadi kamu nggak nyesel kan sewaktu aku buat keputusan sepihak itu?" tanya Sena, menatap Adinda lekat. Adinda menggelengkan kepala. "Keputusan kamu buat nggak izinin aku kerja di sana udah tepat.""Syukurlah. Aku cuma nggak mau kamu ditampar lagi sama Bu Siska. Pasti sakit kan? Sini aku usap biar nggak sakit!" ledek Sena sembari mengusap kedua pipi Adinda. "Ih kamu mah." Adinda memukul lengan suaminya pelan. Sangat pelan hingga tak terasa. "Seharusnya dia itu tahu kalau suaminya yang keganjenan. Eh, ini malah main tampar aja. Padahal aku nggak tahu apa-apa, Sen.
Baca selengkapnya

Mantan Bos Menyebalkan

Gandhi belum juga menyerah. Pria itu masih bersikeras agar Adinda bisa kembali bekerja di cafe. Akan sangat sulit mendekati wanita itu jika dia benar-benar pergi dari cafe ini. Apalagi mengingat kalau suaminya kian hari bertambah posesif. Pagi ini selepas memastikan suami Adinda pergi dari rumah, Gandhi memberanikan diri mengetuk pintu rumah Adinda. Tok... Tok... TokTidak perlu menunggu lama, si pemilik rumah membukakan pintu selang beberapa menit saja. Nampaknya dia juga akan pergi dari rumah. Terlihat dari penampilannya yang sudah rapi dengan membawa tas punggung berukuran minimalis. "Pak Gandhi?" tanya Adinda setengah terkejut dengan kehadiran Gandhi yang tiba-tiba. "Selamat pagi, Dinda. Bagaimana kabarmu?" Senyum sumringah menghiasai wajahnya. "Baik, Pak. Ada perlu apa Bapak ke sini?""Boleh saya masuk?" tunjuk Gandhi, menunjuk arah ruang tamu."Mohon maaf, Pak. Kalau duduk di kursi teras saja bagaimana? Suami saya sudah berangkat kerja soalnya. Tidak enak jika menerima tamu
Baca selengkapnya

Tak Berkesudahan

Sudah satu minggu ini kedua insan itu selalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Keduanya saat ini memang sedang sibuk-sibuknya dengan kegiatan di kampus. Revisian skripsi yang menyita waktu juga jadwal kuliah yang sering kali tidak sesuai, menyebabkan keduanya jarang memiliki waktu bersama. Apalagi Sena yang waktunya terbagi-bagi untuk kuliah dan bekerja. Membuat pria itu sedikit kewalahan mengatur jadwalnya. Malam minggu ini menjadi waktu senggang diantara keduanya. Baik Sena mapun Adinda lebih memilih berada di rumah. Tidak seperti anak-anak muda lainnya yang menghabiskan waktu malam minggu mereka di luar rumah. Selepas isya tadi keduanya hanya menonton televisi di ruang tengah. Bosan dengan acara televisi yang itu-itu saja, membuat Adinda memilih untuk masuk ke dalam kamar. "Kenapa, Sayang?" tanya Sena begitu sampai di kamar. Menyusul istrinya yang tengah berbaring di atas ranjang. "Hmm. Nggak ada apa-apa, Sen." Gelengan di kepala Adinda membuat Sena tak bisa mempercayai ist
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
11
DMCA.com Protection Status