Beranda / Romansa / Bukan Siti Nurbaya / Bab 51 - Bab 60

Semua Bab Bukan Siti Nurbaya: Bab 51 - Bab 60

101 Bab

Tak Berkesudahan 2

Setelah Gandhi pergi, Sena mengunci pintu rumahnya rapat-rapat dari dalam. Langkah kakinya dipercepat menghampiri istrinya yang berada di dalam kamar. "Sayang, buka!" Suara suaminya membuyarkan lamunannya. Adinda saat ini tengah melamun sembari memeluk kedua lututnya di pojokan kamar. Adinda setengah berlari ke arah pintu. "Sena..." panggil Adinda ketika mendapati suaminya di depan pintu kamar. Adinda merangsek ke dalam pelukan suaminya yang menenangkan."Udah. Jangan takut ya. Sekarang kamu udah aman." Sena mengelus punggung Adinda seraya menenangkannya. "Besok kalau kamu kerja terus Pak Gandhi ke sini lagi gimana? Aku takut dia bakalan lebih nekat dari tadi" ucap Adinda menunjukkan kekhawatirannya. "Yaudah. Sekarang kita berkemas ya. Buat sementara waktu kita tinggal di rumah Papa Abimanyu sama Mama Indah."Adinda mengangguk saja. Memang sepertinya akan lebih baik jika mereka berdua tinggal di sana sementara waktu. Lagipula jarak rumah orangtua Sena ke kampus lebih dekat. Adind
Baca selengkapnya

Menginap Di Rumah Mertua

"Sen, bangun!" Adinda menguncangkan tubuh Sena yang tengah terlelap. "Hmm." Sena hanya mengumam. Alam mimpi nampaknya lebih menarik baginya sehingga dia enggan meninggalkannya. "Ih kebo banget sih. Ayo bangun!" Kali ini guncangan yang di terima tubuh Sena lebih dahsyat dari yang pertama. Namun, lagi-lagi Sena hanya mengumam dan enggan membuka kelopak matanya. Adinda pun berinisiatif untuk menyipratkan air di wajah tampan suaminya. "Apa sih, Sayang? Aku masih ngantuk tahu" keluhnya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. "Mandi dulu yuk, Sen! Mama sama Papa udah pulang. Kita diminta turun ke bawah buat quality time." Adinda menyeret paksa tangan Sena agar berdiri tegak."Halah. Enakan juga tidur." Sena kembali menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Menarik selimut tebalnya hingga menutupi seluruh anggota tubuhnya, termasuk kepalanya. Adinda menarik selimut Sena. Kembali menggoyangkan tubuh suaminya itu. "Ayo bangun! Nggak enak udah ditungguin Mama sama Papa.""Kiss dulu baru ba
Baca selengkapnya

Menemui Adinda Di Kampus

Pagi itu Adinda sudah berada di kampus. Diantar oleh suaminya yang tampan itu tentunya. Langkah kakinya tertuju pada ruang dosen pembimbingnya. Sebelum masuk, hembusan napas kasar keluar dari mulutnya. Dia begitu gugup kali ini. Bayangan coretan-coretan pada skripsinya seakan menari-nari di pelupuk mata. Adinda segera menggelengkan kepalanya. Jangan sampai pikiran buruknya ini malah menjadi kenyataan.Adinda masih berusaha mengatur degup jantungnya, tapi suara Pak Dani-dosen pembimbingnya malah membuatnya tersentak. "Ngapain kamu diam aja di situ?" tanya Pak Dani ketus. "Ehm. Maaf mengganggu waktunya, Pak. Saya berniat mau melakukan bimbingan skripsi.""Duduk!" perintahnya tegas. Nyali mahasiswa manapun akan menciut saat melihat ketegasan dari dosen satu ini. Adinda menyodorkan skripsi miliknya. Judul skripsinya sudah di acc baik dengan dosen pembimbing satu maupun dosen pembimbing dua. Saat ini dia tengah masuk ke dalam bab satu. Raut wajah Pak Dani begitu serius saat membaca kata
Baca selengkapnya

Kucing Dan Tikus

"Biar gue yang traktir mereka ya, Do?" tanya Adinda lebih kepada sebuah permintaan."Udah nggak usah, Din." Aldo menolaknya. Dia sungguh tidak keberatan jika harus mentraktir mereka semua yang tadi ikut berkumpul di depan gedung. Adinda sungguh merasa tak enak pada Aldo. Bagaimana pun Aldo berniat menolongnya. "Tapi kan ini gara-gara gue, Do. Gue tahu kalau niat elo manggil mereka tadi buat ngancam Pak Gandhi. Eh jadinya malah begini." "Udah tenang aja. Hitung-hitung gue lagi bersedekah.""Tenang aja sih, Din. Aldo kan kaya. Kalau cuma traktir mereka di kantin nggak bakalan buat dia jadi miskin" celetuk Clara sembari melirik ke arah Aldo. "Tapi kan, Ra." Adinda masih merasa tak enak dengan Aldo. "Udah, Din. Duduk di sana yuk, kita makan sama-sama. Gue juga udah ajak Arfan, Bima, Rizal, sama Sasa." Aldo menunjuk bangku panjang paling pojok yang muat untuk sejumlah teman-temannya. "Lo ajakin Sasa, Do? Lo chat dia?" Clara mulai penasaran. "Iya. Emangnya kenapa?" balas Aldo santai.
Baca selengkapnya

Persiapan Berkemah

Istirahatlah barang sejenak jika kamu merasa lelah. Pikiran yang suntuk perlu direhatkan. Jangan terlalu memaksa untuk terus berjalan. Terkadang kamu perlu menikmati keindahan dalam keheningan.***Sabtu, waktu yang banyak dinantikan oleh para kaula muda untuk melepaskan penat setelah enam hari dilalui dengan sebuah kesibukan. Puncak adalah salah satu tempat yang banyak dikunjungi oleh sebagian warga ibukota untuk melepaskan penat. Seperti halnya Adinda, Sena, dan teman-temannya yang memilih puncak sebagai tempat beristirahat dari lelahnya aktivitas yang dijalani. Siang ini Adinda dan teman-temannya sedang berkemas, memasukkan barang bawaan mereka yang akan dibawa selama berkemah nanti. "Din, Sena jadi sewa tenda kan?" tanya Arfan yang baru saja datang bersama dengan Aldo, Bima, dan Rizal. "Jadi dong. Kalau enggak, ya nggak jadi camping nanti" jawab Adinda tanpa mengalihkan pandangannya. Fokusnya masih kepada makanan ringan dan beberapa minuman kemasan yang dia masukkan ke dalam ta
Baca selengkapnya

Berkemah

Kurang lebih tiga jam lamanya mereka berkendara dari ibukota menuju puncak Bogor. Di depan sana terlihat tumbuhan hijau yang menyegarkan mata. Hawa dingin mulai menusuk pori-pori. Sejuknya terasa hingga ke sanubari. Mendamaikan hati dan menenangkan jiwa. "Akhirnya sampai juga." Adinda turun dari mobil, membentangkan kedua tangannya. Matanya terpejam. Menghirup sejuknya udara sekitar yang masih bersih, bebas dari polusi. Sena berdiri di sampingnya. "Suka?" tanya Sena. Adinda mengangguk. "Pemandangannya bagus banget" ucapnya penuh dengan kekaguman. "Kapan-kapan ke sini berdua mau?" tanya Sena serupa ajakan. Adinda menjawab dengan antusias. "Mau lah. Beneran ya ke sini lagi. Janji?" Adinda menunjukkan jari kelingkingnya. Belum sempat jari kelingking itu saling bertautan, suara Karin membuyarkan keduanya. "Woi... Pacaran mulu ya lo pada. Buruan bantuin diriin tenda" teriak Karin dari kejauhan. "Siapa yang pacaran sih?" gerutu Adinda sebal, tapi dia tetap berjalan ke arah teman-tema
Baca selengkapnya

Berkemah 2

Suara berisik jangkrik yang saling bersahutan seakan menjadi alunan harmoni nan sedap didengar dalam kesunyian malam. Pucuk-pucuk cemara meliuk-liuk karena terkena hempasan angin. Hawa dingin mulai membersamai. Jaket tebal yang melekat pada tubuh seakan tak ada artinya sama sekali, sebab angin malam masih bisa menembusnya. "Gila dingin banget. Nggak kuat gue lama-lama di luar tenda" keluh Sasa. Tangan polos tanpa sarung tangan itu seakan membeku."Buat api unggun aja yuk biar nggak terlalu dingin. Sekalian bakar jagung manis" usul Bima. "Kita lupa nggak bawa jagung, Bim. Kayu bakar aja juga lupa nggak kebeli" sahut Sasa. "Beli di sini aja kalau gitu. Di bawah bukit ini ada yang jual. Sekalian beli kayu bakar. Setuju nggak?" tanya Bima meminta pendapat teman-temannya. Mereka semua mengangguk setuju. Bima kembali ke tenda mengambil senter. Dia akan berjalan ke bawah bukit membeli jagung manis dan kayu bakar. Arfan menyusul langkah kaki Bima yang hendak berlalu. "Gue temenin, Bim."
Baca selengkapnya

Malam Yang Indah

Hawa dingin membuat dua insan meringkuk di dalam sleeping bag. Tangan Sena terjulur keluar. Direngkuhnya tubuh mungil yang berada di dalam kantong itu. "Masih dingin?" tanyanya."Hmm. Lumayan.""Sini aku peluk!"Adinda merapatkan tubuhnya. Menempelkan wajahnya pada dada bidang suaminya. Kini tidak ada lagi sekat diantara mereka berdua untuk saling berbagi kehangatan. "Sayang..." Panggilan itu mengisyaratkan pada Adinda untuk memperhatikan si pemilik suara. Adinda mendongak. Menatap wajah tampan suaminya. Jemarinya terulur mengusap rahang Sena yang kini ditumbuhi bulu-bulu halus. Membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. "Hmm?"Digengamnya tangan Adinda. Dikecupnya punggung tangan itu secara dalam. "Terima kasih," ucapnya seraya tersenyum.Adinda mengerutkan keningnya. "Untuk?" tanyanya. "Selalu ada di sisiku.""Sudah kewajibanku untuk selalu menemanimu dalam suka dan duka."Pandangannya menerawang jauh. Akhir-akhir ini pikirannya memang sedang ruwet. Banyak sekali perso
Baca selengkapnya

Senin Yang Berat

Akhir pekan telah berlalu. Kini waktunya kembali ke aktivitas semula. Tugas kuliah dan pekerjaan sudah menanti untuk dikerjakannya. Sena mulai membiasakan diri bekerja secara teratur. Bukankah segala sesuatu harus ditata sedemikian rupa agar tetap berjalan seimbang? Termasuk dalam hal pekerjaan.Ada banyak hal yang harus dibenahi. Menurut Sena sistem kerja dari Manajer sebelumnya tidak sesuai dengan SOP perusahaan.Sena menghembuskan napasnya berat. Agak sedikit dongkol rupanya. Hal sekecil ini saja tidak diperhatikan.Lihatlah! Dokumen-dokumen lama yang sudah tidak terpakai teronggok begitu saja. Memenuhi seisi rak. Parahnya dibiarkan sampai berdebu dan menjadi sarang laba-laba. Dipisahkannya dokumen-dokumen lama. Dia letakkan di atas lantai agar nanti segera dipindahkan ke dalam gudang. Belum selesai pekerjaan bersih-bersihnya, ketukan pada pintu menarik atensinya. "Masuk!""Permisi, Pak. Saya mau mengantarkan minuman." Office boy membawa nampan berisi teh hangat dan air putih.
Baca selengkapnya

Dilamar Gandhi

"Mau direvisi sepuluh kali pun gue rasa nggak bakalan sempurna di mata itu dosen," keluh Adinda pada Sasa. "Elo minta jadwal bimbingan tambahan aja coba, Din. Biar bisa diskusi gitu sewaktu bimbingan. Nggak cuma main corat-coret revisian lo aja," usul Sasa. "Duh, mana berani gue ngajuin bimbingan tambahan. Belum apa-apa udah dimaki-maki duluan kali."Drrrttt Drrrttt"Ya, hallo... Siapa ini?""........""Baik, saya akan segera ke sana."Netranya memerah, hidungnya sudah kembang kempis sedari menerima kabar itu, apalagi kini pikirannya jauh melayang.Sasa menepuk pundaknya. "Din...""Sa..." Adinda memeluk Sasa. Meluapkan segala yang bergejolak di hatinya. "Tenang dulu, Din. Sebenarnya ada apa?" Sasa mengusap lembut punggung temannya.Adinda menggigit bibirnya. "Sena, Sa... Sena...""Iya, Sena kenapa? Coba jelasin sama gue pelan-pelan."Adinda menggelengkan kepalanya. Tak terasa netra yang sedari tadi sudah memerah kini menjatuhkan bulir bening hingga ke pipi. "Jangan banyak tanya, S
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
11
DMCA.com Protection Status