Istirahatlah barang sejenak jika kamu merasa lelah. Pikiran yang suntuk perlu direhatkan. Jangan terlalu memaksa untuk terus berjalan. Terkadang kamu perlu menikmati keindahan dalam keheningan.***Sabtu, waktu yang banyak dinantikan oleh para kaula muda untuk melepaskan penat setelah enam hari dilalui dengan sebuah kesibukan. Puncak adalah salah satu tempat yang banyak dikunjungi oleh sebagian warga ibukota untuk melepaskan penat. Seperti halnya Adinda, Sena, dan teman-temannya yang memilih puncak sebagai tempat beristirahat dari lelahnya aktivitas yang dijalani. Siang ini Adinda dan teman-temannya sedang berkemas, memasukkan barang bawaan mereka yang akan dibawa selama berkemah nanti. "Din, Sena jadi sewa tenda kan?" tanya Arfan yang baru saja datang bersama dengan Aldo, Bima, dan Rizal. "Jadi dong. Kalau enggak, ya nggak jadi camping nanti" jawab Adinda tanpa mengalihkan pandangannya. Fokusnya masih kepada makanan ringan dan beberapa minuman kemasan yang dia masukkan ke dalam ta
Kurang lebih tiga jam lamanya mereka berkendara dari ibukota menuju puncak Bogor. Di depan sana terlihat tumbuhan hijau yang menyegarkan mata. Hawa dingin mulai menusuk pori-pori. Sejuknya terasa hingga ke sanubari. Mendamaikan hati dan menenangkan jiwa. "Akhirnya sampai juga." Adinda turun dari mobil, membentangkan kedua tangannya. Matanya terpejam. Menghirup sejuknya udara sekitar yang masih bersih, bebas dari polusi. Sena berdiri di sampingnya. "Suka?" tanya Sena. Adinda mengangguk. "Pemandangannya bagus banget" ucapnya penuh dengan kekaguman. "Kapan-kapan ke sini berdua mau?" tanya Sena serupa ajakan. Adinda menjawab dengan antusias. "Mau lah. Beneran ya ke sini lagi. Janji?" Adinda menunjukkan jari kelingkingnya. Belum sempat jari kelingking itu saling bertautan, suara Karin membuyarkan keduanya. "Woi... Pacaran mulu ya lo pada. Buruan bantuin diriin tenda" teriak Karin dari kejauhan. "Siapa yang pacaran sih?" gerutu Adinda sebal, tapi dia tetap berjalan ke arah teman-tema
Suara berisik jangkrik yang saling bersahutan seakan menjadi alunan harmoni nan sedap didengar dalam kesunyian malam. Pucuk-pucuk cemara meliuk-liuk karena terkena hempasan angin. Hawa dingin mulai membersamai. Jaket tebal yang melekat pada tubuh seakan tak ada artinya sama sekali, sebab angin malam masih bisa menembusnya. "Gila dingin banget. Nggak kuat gue lama-lama di luar tenda" keluh Sasa. Tangan polos tanpa sarung tangan itu seakan membeku."Buat api unggun aja yuk biar nggak terlalu dingin. Sekalian bakar jagung manis" usul Bima. "Kita lupa nggak bawa jagung, Bim. Kayu bakar aja juga lupa nggak kebeli" sahut Sasa. "Beli di sini aja kalau gitu. Di bawah bukit ini ada yang jual. Sekalian beli kayu bakar. Setuju nggak?" tanya Bima meminta pendapat teman-temannya. Mereka semua mengangguk setuju. Bima kembali ke tenda mengambil senter. Dia akan berjalan ke bawah bukit membeli jagung manis dan kayu bakar. Arfan menyusul langkah kaki Bima yang hendak berlalu. "Gue temenin, Bim."
Hawa dingin membuat dua insan meringkuk di dalam sleeping bag. Tangan Sena terjulur keluar. Direngkuhnya tubuh mungil yang berada di dalam kantong itu. "Masih dingin?" tanyanya."Hmm. Lumayan.""Sini aku peluk!"Adinda merapatkan tubuhnya. Menempelkan wajahnya pada dada bidang suaminya. Kini tidak ada lagi sekat diantara mereka berdua untuk saling berbagi kehangatan. "Sayang..." Panggilan itu mengisyaratkan pada Adinda untuk memperhatikan si pemilik suara. Adinda mendongak. Menatap wajah tampan suaminya. Jemarinya terulur mengusap rahang Sena yang kini ditumbuhi bulu-bulu halus. Membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. "Hmm?"Digengamnya tangan Adinda. Dikecupnya punggung tangan itu secara dalam. "Terima kasih," ucapnya seraya tersenyum.Adinda mengerutkan keningnya. "Untuk?" tanyanya. "Selalu ada di sisiku.""Sudah kewajibanku untuk selalu menemanimu dalam suka dan duka."Pandangannya menerawang jauh. Akhir-akhir ini pikirannya memang sedang ruwet. Banyak sekali perso
Akhir pekan telah berlalu. Kini waktunya kembali ke aktivitas semula. Tugas kuliah dan pekerjaan sudah menanti untuk dikerjakannya. Sena mulai membiasakan diri bekerja secara teratur. Bukankah segala sesuatu harus ditata sedemikian rupa agar tetap berjalan seimbang? Termasuk dalam hal pekerjaan.Ada banyak hal yang harus dibenahi. Menurut Sena sistem kerja dari Manajer sebelumnya tidak sesuai dengan SOP perusahaan.Sena menghembuskan napasnya berat. Agak sedikit dongkol rupanya. Hal sekecil ini saja tidak diperhatikan.Lihatlah! Dokumen-dokumen lama yang sudah tidak terpakai teronggok begitu saja. Memenuhi seisi rak. Parahnya dibiarkan sampai berdebu dan menjadi sarang laba-laba. Dipisahkannya dokumen-dokumen lama. Dia letakkan di atas lantai agar nanti segera dipindahkan ke dalam gudang. Belum selesai pekerjaan bersih-bersihnya, ketukan pada pintu menarik atensinya. "Masuk!""Permisi, Pak. Saya mau mengantarkan minuman." Office boy membawa nampan berisi teh hangat dan air putih.
"Mau direvisi sepuluh kali pun gue rasa nggak bakalan sempurna di mata itu dosen," keluh Adinda pada Sasa. "Elo minta jadwal bimbingan tambahan aja coba, Din. Biar bisa diskusi gitu sewaktu bimbingan. Nggak cuma main corat-coret revisian lo aja," usul Sasa. "Duh, mana berani gue ngajuin bimbingan tambahan. Belum apa-apa udah dimaki-maki duluan kali."Drrrttt Drrrttt"Ya, hallo... Siapa ini?""........""Baik, saya akan segera ke sana."Netranya memerah, hidungnya sudah kembang kempis sedari menerima kabar itu, apalagi kini pikirannya jauh melayang.Sasa menepuk pundaknya. "Din...""Sa..." Adinda memeluk Sasa. Meluapkan segala yang bergejolak di hatinya. "Tenang dulu, Din. Sebenarnya ada apa?" Sasa mengusap lembut punggung temannya.Adinda menggigit bibirnya. "Sena, Sa... Sena...""Iya, Sena kenapa? Coba jelasin sama gue pelan-pelan."Adinda menggelengkan kepalanya. Tak terasa netra yang sedari tadi sudah memerah kini menjatuhkan bulir bening hingga ke pipi. "Jangan banyak tanya, S
"Sa, istri gue kenapa?" tanya Sena begitu masuk ke dalam rumahnya. "Duduk dulu, Sen!" Sasa menepuk sisi sofa yang kosong di sebelahnya. Sena menjatuhkan tubuhnya di sebelah Sasa. Sasa menceritakan apa yang telah terjadi. "Tadi Dinda dapat telepon dari seseorang kalau elo selingkuh di taman kota. Kita berdua akhirnya ke sana buat buktiin..." Cerita Sasa masih berlanjut sebenarnya, tapi Sena sudah memotong ucapannya. "Ya ampun, Sa. Gue nggak selingkuh. Dari tadi di kantor," jelas Sena. "Iya, Sen. Gue percaya sama elo kok. Dengerin gue dulu ya," pinta Sasa. Sena mengangguk. Mendengarkan penuturan Sasa dengan seksama. "Gue rasa Dinda udah dijebak. Pak Gandhi yang rencanain ini semua biar Dinda ada di taman kota itu. Sewaktu kita mau pergi dari taman, tiba-tiba Pak Gandhi samperin kita. Dia lamar Dinda. Dia minta Dinda buat jadi istri keduanya.""Gila!" Amarahnya serasa berada di ubun-ubun. Sena mengepalkan kedua tangannya. Buku-buku jarinya sampai memutih akibat terlalu kuatnya kep
Seperti yang mereka janjikan tadi, sehabis pulang dari kampus Sena menemui teman-temannya di basecamp. "Arfan mana?" tanya Sena. Dia baru saja sampai basecamp. "Belum datang" jawab Bima. Rizal dan Bima sedang bermain catur. Sedangkan Aldo tengah memainkan game di ponselnya. Sena sendiri lebih memilih tiduran di sofa. Pikirannya sedang ruwet. Masalah pekerjaan, belum lagi rumah tangganya yang selalu ada saja penganggunya. Aldo, Bima, dan Rizal belum menyadari jika temannya yang satu ini sedang ruwet. Mereka hanya mengira jika Sena hanya kelelahan saja. Jadi dibiarkan begitu saja. Arfan baru saja datang. Dia menyadari temannya yang satu itu tidak tertidur, melainkan hanya berbaring di sofa sembari menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Arfan menepuk pundaknya. "Ada masalah apa, Sen?" Lamunan Sena buyar karenanya. "Oh, lo udah datang, Fan?" Sena balik bertanya pada Arfan."Heh, lo belum jawab pertanyaan gue, kampret." Arfan memukul lengan Sena. Sena yang semula berbaring
Suasana penuh kebahagiaan menyertai kediaman keluarga Wijaya. Hari ini ketiga keluarga besar itu berkumpul menjadi satu untuk merayakan kehamilan Adinda.Sena mulai kesal karena dari tadi tidak diperbolehkan berdampingan dengan Adinda. Sedari tadi Opa Gunandar tidak mau jauh dari Adinda. Istri Sena itu hari ini dikuasai oleh Opa Gunandar. Opa Gunandar hanya terlampau bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai cicit yang sudah lama didambakannya. "Perutnya Dinda jangan diusap terus dong, Opa. Lama-lama bisa mengikis entar," protes Sena. "Brisik! Ganggu orang lagi bahagia aja," kesal Opa Gunandar. "Ma, geseran dong! Sena pengen duduk sebelah Dinda," ucapnya pada Indah. "Nggak mau. Mama kan juga pengen dekat sama Dinda," tolak Indah. Sena mencebikkan bibirnya. Mama dan Opa-nya sama saja, paling hobi membuat Sena jengkel. Adinda terkekeh. "Sayang, ih... begitu aja masa ngambek," ledek Adinda. "Emang lebay banget tuh suami kamu. Tiap hari juga udah ngekepin, masih aja kurang," cibi
Satu minggu ini kelakuan Adinda membuat Sena pusing tujuh keliling. Setiap hari ada saja hal yang menguji kesabaran Sena. Seperti saat ini, di tengah malam seperti ini Adinda ingin pergi melihat air terjun.Adinda menarik-narik baju Sena. Merengek seperti bocah balita. Keinginannya harus segera terpenuhi. Bila tidak, Adinda tidak akan merasa lega. "Ayo, berangkat sekarang, Yang!""Enggak!" tegas Sena. Sudah berulang kali Adinda merengek, berulang kali pula Sena menolak permintaan Adinda. Semua dirasa tidak masuk akal bagi Sena. Mana ada tempat wisata yang sudah buka di jam pocong seperti saat ini. Adinda berbalik, meringkuk dan memunggungi Sena. Wajahnya sangat masam. Di dalam batinnya itu, Adinda sangat kesal dan terus menggerutu. "Hih, dasar nyebelin. Pengen lihat air terjun aja nggak diturutin."Meraih ponsel di atas nakas, Adinda membuka aplikasi berwarna merah. Menonton video air terjun. Netranya tampak berbinar-binar saat melihat video tersebut. Suara gemericik air membuat h
Melihat wajah-wajah ketakutan, Pak Ihsan menahan tawanya agar tidak meledak. 'Mungkin mereka pikir aku ini dukun yang bisa baca pikiran orang kali ya. Apa tampangku begitu? ha ha ha.'"Nah, ini rumahnya Pak Dullah," ujar Pak Ihsan. Sejenak, Sena menghembuskan napas penuh kelegaan. Pak Ihsan benar-benar membawanya ke rumah Pak Dullah. 'Astagfirullah. Maafkan aku, Ya Allah, sudah suudzon.'"Malah bengong, ayo diketuk pintunya!" ucap Pak Ihsan. Belum sempat Sena mengetuk pintu, pintu sudah dibuka lebih dulu. Menampakkan sang pemilik rumah yang sedang mengulum senyum. "Assalamualaikum..." sapa Pak Dullah. "Waalaikumussalam...""Mau cari buah strawberry yang warnanya hijau kan?" tebak Pak Dullah.Lagi dan lagi, Sena dan Arfan saling melempar pandang. Misteri tentang Pak Ihsan yang bisa membaca pikiran mereka saja belum terpecahkan, ini sudah bertambah Pak Dullah. Semakin membuat Sena dan Arfan pusing saja. "Dari mana Bapak tahu?" tanya Sena heran. Pak Dullah tidak menjawab, justru
"Sayang..." panggil Sena. "Kamu kenapa sih?" tanya Sena kesal karena sedari tadi diacuhkan. Takut mulut Sena beraroma bawang goreng, Adinda mendorong dada Sena. Enggan berdekatan dengan suaminya itu. Menutup hidung rapat-rapat. Biarlah menghindar dan menahan napas ketimbang muntah lagi."Kamu kenapa sih, Yang? Aku bau?""Awas ih, minggir!" teriak Adinda kesal. Menghembuskan napas ke udara, Sena mencium aroma dari dalam mulutnya sendiri. Sena rasa aroma napasnya masih segar. Tidak bau makanan atau apa, karena dia belum sempat makan tadi. Kembali duduk, Adinda sudah menjauhkan toples berisi bawang goreng itu dari jangkauannya. "Loh, bawang gorengnya ke mana, Yang?" tanya Sena. "Nggak ada, udah aku simpen.""Di mana?""Udah buruan duduk! Mau makan nggak?""Ya makan lah. Bentar, aku mau cari bawang goreng dulu.""Nggak ada. Awas ya kalau kamu berani makan bawang goreng, bakalan aku usir kamu dari rumah," ancam Adinda. "Yaelah, Yang. Bagi dikit doang. Jangan mentang-mentang kamu suk
Dua minggu berlalu. Adinda, Sena, dan Arfan duduk di depan ruang sidang. Harap-harap cemas tampak di raut wajah Adinda dan Arfan ketika menunggu giliran selanjutnya. Berbeda dengan keduanya, Sena tampak santai dan biasa-biasa saja. "Sayang, kenapa donat tengahnya bolong?""Kalau yang utuh namanya bolu.""Salah. Yang utuh itu cinta aku ke kamu wkwk."Satu pukulan mendarat di lengan Sena. "Ih, dasar jokes Bapak-bapak.""He he... Biar sedikit mencair suasananya loh, Sayang. Habisnya kamu dari tadi tegang mulu sih.""Ya gimana nggak tegang. Mau sidang juga. Emangnya kamu, daritadi santai begitu.""Ya buat apa pusing-pusing sih. Kalau ditanya ya tinggal di jawab. Begitu aja repot.""Heh, enak banget ya itu bibir kalau ngoceh.""Kalian ini... Udah mau sidang masih aja ribut," ucap Arfan kesal. "Ya gimana, Fan. Abisnya si Sena ngeselin.""Halah. Ngeselin begitu juga lo bucin," cibir Arfan. "He he he... Jelas kalau itu mah," ucap Adinda cengangas-cengenges. "Arfan Ardyatama..." panggil pe
Ditemani Sena dan pengacaranya, Adinda memasuki ruang sidang. Segala macam bukti sudah Adinda kumpulkan, termasuk hasil visum bekas luka cambuk. Begitu mendudukkan diri, Adinda merasa tidak karuan. Tatapan nanar tertuju kepada mantan kekasih Sena itu. Memori sewaktu penyekapan terus berputar-putar memenuhi pikiran Adinda. Bayangan pecutan cambuk menggores kulit tangan. Sekelebat, Adinda memejamkan mata. Napasnya jadi tersengal-sengal. Ngilu sekali rasanya bila teringat hari itu. Jemari Adinda berada dalam genggaman tangan Sena. Sejenak, keduanya beradu pandang. Tatapan mata Sena seolah menjadi penenang. Sena selalu meyakinkan Adinda bahwa kebahagiaan sebentar lagi akan mereka raih. Adinda tenang karenanya. Sidang putusan berlangsung. Mantan kekasih Sena itu dijerat pasal 333 KUHP tentang penyekapan dan penculikan. Hukuman berlangsung paling lama sembilan tahun.Menjerit histeris usai persidangan, Ella menangis tersedu-sedu. Memohon pengampunan kepada Adinda dan Sena. Meminta belas
"Tante Dinda... Om Sena..." teriak Andina girang. "Baby Rion..." pekik Andina.Gemas, Adinda hendak mencium pipi gembul baby Arion, tapi ujung sweaternya ditarik dari belakang oleh Wildan."Heh, cuci tangan sama cuci kaki dulu kalau mau dekat-dekat sama Rion," ucap Wildan. Adinda mencebikkan bibirnya. "Iya... Iya..."Setelah membasuh tangan dan kaki, Adinda dan Sena mendekati baby Arion. Menimang dan menciumi pipinya dengan gemas."Sen..." lirih Adinda. "Hmm..." Sena hanya bergumam. Sibuk menimang baby Arion. "Kamu pengen punya yang kayak gini?""Pengen banget. Nanti sampai di rumah kita buat ya," balas Sena tersenyum lebar. Tentu saja Sena sudah menginginkan memiliki baby sendiri. Sena merasa bahwa sekarang dirinya sudah siap dan mampu menjadi seorang ayah. Namun, Adinda masih dilanda kebimbangan. Disatu sisi Adinda juga menginginkan hadirnya buah hati, tapi disisi lain Adinda ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru memikirkan soal momongan. "Tapi gimana sama perjanj
Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi. Beberapa helai rambut rontok akibat kuatnya tarikan dari sang pemilik tubuh itu sendiri. Menjerit histeris layaknya orang kesurupan. Masih tidak bisa menerima bahwa dirinya bersalah dan harus merasakan buah dari akibat perbuatannya. "Arghhh..." teriaknya. "Diam! Berisik!" sentak wanita bertato. "Sumpal saja mulutnya dengan kaos kaki," ujar wanita kurus di sebelahnya mengompori. Wanita bertato mendekat, memandang tajam tahanan baru. Menelisik wajah cantik yang dipenuhi air mata. Merasa ngeri karena ditatap sedari tadi, Ella memalingkan wajahnya. Menghindari adu tatap lebih baik ketimbang cari perkara. "Heh, ada kasus apa sampai kau bisa masuk ke sini?" tanya wanita berambut keriting. Mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, Ella enggan membuka suara. Membuat wanita bertato geram karena temannya diacuhkan. "Heh, jawab!" sentak wanita bertato."Penculikan.""Menculik siapa?" kepo wanita berambut keriting. "Istri mantan pacarku
Mendengar suara gaduh, Ella tergopoh menghampiri. Dilihatnya Sena yang sedang dihajar orang bayarannya."Hentikan!" teriak Ella. "Bos?""Mundur semuanya!" perintah Ella. "Sen, lo gapapa?" tanya Ella penuh perhatian.Sena menggeleng lemah. Memegang perutnya yang terasa nyeri akibat kena pukulan. "Ayo, bangun!"Meraih lengan Sena, Ella hendak membantu mantan kekasihnya itu berdiri. Sena menepisnya. Sena bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Ella. Bukannya songong karena tidak mau dibantu, tapi mengingat Ella kerap kali mencelakai Adinda membuat Sena geram padanya."Lepasin, La. Gue bisa berdiri sendiri.""Tapi, Sen. Perut lo tadi kena pukulan.""Gapapa. Gue udah biasa dipukul kok," balas Sena ketus. Memandang tajam ketujuh orang bayarannya, Ella mengamuk seketika. "Dasar bodoh. Kenapa kalian menghajar Sena, hah?" maki Ella. Menundukkan kepala, para orang bayaran itu tidak berani berkutik. "Ma-maaf, Bos. Kami gak tahu.""Dasar tolol! Gue kan udah bilang jangan sakiti Sena."Sena m