Seorang pria berdiri di depan pintu sembari berkacak pinggang. Langkah kakinya ke kanan dan ke kiri. Mondar mandir seperti setrikaan.Ditatapnya jalanan di depan. Lagi-lagi Gandhi merasa kecewa karena sepertinya Adinda tidak berangkat bekerja, sama seperti malam-malam sebelumnya. Sudah satu minggu semenjak kejadian malam itu Adinda tidak menampakkan batang hidungnya di cafe ini. Gandhi merasa kehilangan sosok wanita yang telah bersemayam di hatinya itu. Gandhi juga kerap kali menghubungi Adinda, tapi nomor ponsel wanita itu tidak aktif. Mungkin saja Adinda sudah ganti nomor. Eh tunggu dulu! Bukankah Lani dan Adinda cukup dekat? Ya, Gandhi akan bertanya pada Lani mengenai Adinda. Siapa tahu Lani mengetahui sesuatu. "Lan, apa Dinda menitipkan pesan padamu? Sudah satu minggu ini dia tidak berangkat bekerja.""Apa Bapak nggak tahu kalau Dinda udah resign?""Resign?""Iya, Pak. Jadi Dinda belum pamitan sama Bapak?" tanya Lani lagi. Pria itu menggelengkan kepalanya. Pupus sudah harapan
"Sen, sebenarnya tadi Pak Gandhi ngomong apa sama kamu?" tanya Adinda.Mereka berdua saat ini tengah berbaring di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar mereka. Adinda sengaja menanyakan hal ini saat berdua saja dengan suaminya. Dia tidak mau jika teman-teman mereka tahu lebih banyak tentang persoalan yang tengah terjadi diantara keduanya."Dia minta kamu buat balik ke cafe lagi.""Aku nggak mau kerja di sana lagi, Sen.""Jadi kamu nggak nyesel kan sewaktu aku buat keputusan sepihak itu?" tanya Sena, menatap Adinda lekat. Adinda menggelengkan kepala. "Keputusan kamu buat nggak izinin aku kerja di sana udah tepat.""Syukurlah. Aku cuma nggak mau kamu ditampar lagi sama Bu Siska. Pasti sakit kan? Sini aku usap biar nggak sakit!" ledek Sena sembari mengusap kedua pipi Adinda. "Ih kamu mah." Adinda memukul lengan suaminya pelan. Sangat pelan hingga tak terasa. "Seharusnya dia itu tahu kalau suaminya yang keganjenan. Eh, ini malah main tampar aja. Padahal aku nggak tahu apa-apa, Sen.
Gandhi belum juga menyerah. Pria itu masih bersikeras agar Adinda bisa kembali bekerja di cafe. Akan sangat sulit mendekati wanita itu jika dia benar-benar pergi dari cafe ini. Apalagi mengingat kalau suaminya kian hari bertambah posesif. Pagi ini selepas memastikan suami Adinda pergi dari rumah, Gandhi memberanikan diri mengetuk pintu rumah Adinda. Tok... Tok... TokTidak perlu menunggu lama, si pemilik rumah membukakan pintu selang beberapa menit saja. Nampaknya dia juga akan pergi dari rumah. Terlihat dari penampilannya yang sudah rapi dengan membawa tas punggung berukuran minimalis. "Pak Gandhi?" tanya Adinda setengah terkejut dengan kehadiran Gandhi yang tiba-tiba. "Selamat pagi, Dinda. Bagaimana kabarmu?" Senyum sumringah menghiasai wajahnya. "Baik, Pak. Ada perlu apa Bapak ke sini?""Boleh saya masuk?" tunjuk Gandhi, menunjuk arah ruang tamu."Mohon maaf, Pak. Kalau duduk di kursi teras saja bagaimana? Suami saya sudah berangkat kerja soalnya. Tidak enak jika menerima tamu
Sudah satu minggu ini kedua insan itu selalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Keduanya saat ini memang sedang sibuk-sibuknya dengan kegiatan di kampus. Revisian skripsi yang menyita waktu juga jadwal kuliah yang sering kali tidak sesuai, menyebabkan keduanya jarang memiliki waktu bersama. Apalagi Sena yang waktunya terbagi-bagi untuk kuliah dan bekerja. Membuat pria itu sedikit kewalahan mengatur jadwalnya. Malam minggu ini menjadi waktu senggang diantara keduanya. Baik Sena mapun Adinda lebih memilih berada di rumah. Tidak seperti anak-anak muda lainnya yang menghabiskan waktu malam minggu mereka di luar rumah. Selepas isya tadi keduanya hanya menonton televisi di ruang tengah. Bosan dengan acara televisi yang itu-itu saja, membuat Adinda memilih untuk masuk ke dalam kamar. "Kenapa, Sayang?" tanya Sena begitu sampai di kamar. Menyusul istrinya yang tengah berbaring di atas ranjang. "Hmm. Nggak ada apa-apa, Sen." Gelengan di kepala Adinda membuat Sena tak bisa mempercayai ist
Setelah Gandhi pergi, Sena mengunci pintu rumahnya rapat-rapat dari dalam. Langkah kakinya dipercepat menghampiri istrinya yang berada di dalam kamar. "Sayang, buka!" Suara suaminya membuyarkan lamunannya. Adinda saat ini tengah melamun sembari memeluk kedua lututnya di pojokan kamar. Adinda setengah berlari ke arah pintu. "Sena..." panggil Adinda ketika mendapati suaminya di depan pintu kamar. Adinda merangsek ke dalam pelukan suaminya yang menenangkan."Udah. Jangan takut ya. Sekarang kamu udah aman." Sena mengelus punggung Adinda seraya menenangkannya. "Besok kalau kamu kerja terus Pak Gandhi ke sini lagi gimana? Aku takut dia bakalan lebih nekat dari tadi" ucap Adinda menunjukkan kekhawatirannya. "Yaudah. Sekarang kita berkemas ya. Buat sementara waktu kita tinggal di rumah Papa Abimanyu sama Mama Indah."Adinda mengangguk saja. Memang sepertinya akan lebih baik jika mereka berdua tinggal di sana sementara waktu. Lagipula jarak rumah orangtua Sena ke kampus lebih dekat. Adind
"Sen, bangun!" Adinda menguncangkan tubuh Sena yang tengah terlelap. "Hmm." Sena hanya mengumam. Alam mimpi nampaknya lebih menarik baginya sehingga dia enggan meninggalkannya. "Ih kebo banget sih. Ayo bangun!" Kali ini guncangan yang di terima tubuh Sena lebih dahsyat dari yang pertama. Namun, lagi-lagi Sena hanya mengumam dan enggan membuka kelopak matanya. Adinda pun berinisiatif untuk menyipratkan air di wajah tampan suaminya. "Apa sih, Sayang? Aku masih ngantuk tahu" keluhnya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. "Mandi dulu yuk, Sen! Mama sama Papa udah pulang. Kita diminta turun ke bawah buat quality time." Adinda menyeret paksa tangan Sena agar berdiri tegak."Halah. Enakan juga tidur." Sena kembali menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Menarik selimut tebalnya hingga menutupi seluruh anggota tubuhnya, termasuk kepalanya. Adinda menarik selimut Sena. Kembali menggoyangkan tubuh suaminya itu. "Ayo bangun! Nggak enak udah ditungguin Mama sama Papa.""Kiss dulu baru ba
Pagi itu Adinda sudah berada di kampus. Diantar oleh suaminya yang tampan itu tentunya. Langkah kakinya tertuju pada ruang dosen pembimbingnya. Sebelum masuk, hembusan napas kasar keluar dari mulutnya. Dia begitu gugup kali ini. Bayangan coretan-coretan pada skripsinya seakan menari-nari di pelupuk mata. Adinda segera menggelengkan kepalanya. Jangan sampai pikiran buruknya ini malah menjadi kenyataan.Adinda masih berusaha mengatur degup jantungnya, tapi suara Pak Dani-dosen pembimbingnya malah membuatnya tersentak. "Ngapain kamu diam aja di situ?" tanya Pak Dani ketus. "Ehm. Maaf mengganggu waktunya, Pak. Saya berniat mau melakukan bimbingan skripsi.""Duduk!" perintahnya tegas. Nyali mahasiswa manapun akan menciut saat melihat ketegasan dari dosen satu ini. Adinda menyodorkan skripsi miliknya. Judul skripsinya sudah di acc baik dengan dosen pembimbing satu maupun dosen pembimbing dua. Saat ini dia tengah masuk ke dalam bab satu. Raut wajah Pak Dani begitu serius saat membaca kata
"Biar gue yang traktir mereka ya, Do?" tanya Adinda lebih kepada sebuah permintaan."Udah nggak usah, Din." Aldo menolaknya. Dia sungguh tidak keberatan jika harus mentraktir mereka semua yang tadi ikut berkumpul di depan gedung. Adinda sungguh merasa tak enak pada Aldo. Bagaimana pun Aldo berniat menolongnya. "Tapi kan ini gara-gara gue, Do. Gue tahu kalau niat elo manggil mereka tadi buat ngancam Pak Gandhi. Eh jadinya malah begini." "Udah tenang aja. Hitung-hitung gue lagi bersedekah.""Tenang aja sih, Din. Aldo kan kaya. Kalau cuma traktir mereka di kantin nggak bakalan buat dia jadi miskin" celetuk Clara sembari melirik ke arah Aldo. "Tapi kan, Ra." Adinda masih merasa tak enak dengan Aldo. "Udah, Din. Duduk di sana yuk, kita makan sama-sama. Gue juga udah ajak Arfan, Bima, Rizal, sama Sasa." Aldo menunjuk bangku panjang paling pojok yang muat untuk sejumlah teman-temannya. "Lo ajakin Sasa, Do? Lo chat dia?" Clara mulai penasaran. "Iya. Emangnya kenapa?" balas Aldo santai.