Gandhi belum juga menyerah. Pria itu masih bersikeras agar Adinda bisa kembali bekerja di cafe. Akan sangat sulit mendekati wanita itu jika dia benar-benar pergi dari cafe ini. Apalagi mengingat kalau suaminya kian hari bertambah posesif. Pagi ini selepas memastikan suami Adinda pergi dari rumah, Gandhi memberanikan diri mengetuk pintu rumah Adinda. Tok... Tok... TokTidak perlu menunggu lama, si pemilik rumah membukakan pintu selang beberapa menit saja. Nampaknya dia juga akan pergi dari rumah. Terlihat dari penampilannya yang sudah rapi dengan membawa tas punggung berukuran minimalis. "Pak Gandhi?" tanya Adinda setengah terkejut dengan kehadiran Gandhi yang tiba-tiba. "Selamat pagi, Dinda. Bagaimana kabarmu?" Senyum sumringah menghiasai wajahnya. "Baik, Pak. Ada perlu apa Bapak ke sini?""Boleh saya masuk?" tunjuk Gandhi, menunjuk arah ruang tamu."Mohon maaf, Pak. Kalau duduk di kursi teras saja bagaimana? Suami saya sudah berangkat kerja soalnya. Tidak enak jika menerima tamu
Sudah satu minggu ini kedua insan itu selalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Keduanya saat ini memang sedang sibuk-sibuknya dengan kegiatan di kampus. Revisian skripsi yang menyita waktu juga jadwal kuliah yang sering kali tidak sesuai, menyebabkan keduanya jarang memiliki waktu bersama. Apalagi Sena yang waktunya terbagi-bagi untuk kuliah dan bekerja. Membuat pria itu sedikit kewalahan mengatur jadwalnya. Malam minggu ini menjadi waktu senggang diantara keduanya. Baik Sena mapun Adinda lebih memilih berada di rumah. Tidak seperti anak-anak muda lainnya yang menghabiskan waktu malam minggu mereka di luar rumah. Selepas isya tadi keduanya hanya menonton televisi di ruang tengah. Bosan dengan acara televisi yang itu-itu saja, membuat Adinda memilih untuk masuk ke dalam kamar. "Kenapa, Sayang?" tanya Sena begitu sampai di kamar. Menyusul istrinya yang tengah berbaring di atas ranjang. "Hmm. Nggak ada apa-apa, Sen." Gelengan di kepala Adinda membuat Sena tak bisa mempercayai ist
Setelah Gandhi pergi, Sena mengunci pintu rumahnya rapat-rapat dari dalam. Langkah kakinya dipercepat menghampiri istrinya yang berada di dalam kamar. "Sayang, buka!" Suara suaminya membuyarkan lamunannya. Adinda saat ini tengah melamun sembari memeluk kedua lututnya di pojokan kamar. Adinda setengah berlari ke arah pintu. "Sena..." panggil Adinda ketika mendapati suaminya di depan pintu kamar. Adinda merangsek ke dalam pelukan suaminya yang menenangkan."Udah. Jangan takut ya. Sekarang kamu udah aman." Sena mengelus punggung Adinda seraya menenangkannya. "Besok kalau kamu kerja terus Pak Gandhi ke sini lagi gimana? Aku takut dia bakalan lebih nekat dari tadi" ucap Adinda menunjukkan kekhawatirannya. "Yaudah. Sekarang kita berkemas ya. Buat sementara waktu kita tinggal di rumah Papa Abimanyu sama Mama Indah."Adinda mengangguk saja. Memang sepertinya akan lebih baik jika mereka berdua tinggal di sana sementara waktu. Lagipula jarak rumah orangtua Sena ke kampus lebih dekat. Adind
"Sen, bangun!" Adinda menguncangkan tubuh Sena yang tengah terlelap. "Hmm." Sena hanya mengumam. Alam mimpi nampaknya lebih menarik baginya sehingga dia enggan meninggalkannya. "Ih kebo banget sih. Ayo bangun!" Kali ini guncangan yang di terima tubuh Sena lebih dahsyat dari yang pertama. Namun, lagi-lagi Sena hanya mengumam dan enggan membuka kelopak matanya. Adinda pun berinisiatif untuk menyipratkan air di wajah tampan suaminya. "Apa sih, Sayang? Aku masih ngantuk tahu" keluhnya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. "Mandi dulu yuk, Sen! Mama sama Papa udah pulang. Kita diminta turun ke bawah buat quality time." Adinda menyeret paksa tangan Sena agar berdiri tegak."Halah. Enakan juga tidur." Sena kembali menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Menarik selimut tebalnya hingga menutupi seluruh anggota tubuhnya, termasuk kepalanya. Adinda menarik selimut Sena. Kembali menggoyangkan tubuh suaminya itu. "Ayo bangun! Nggak enak udah ditungguin Mama sama Papa.""Kiss dulu baru ba
Pagi itu Adinda sudah berada di kampus. Diantar oleh suaminya yang tampan itu tentunya. Langkah kakinya tertuju pada ruang dosen pembimbingnya. Sebelum masuk, hembusan napas kasar keluar dari mulutnya. Dia begitu gugup kali ini. Bayangan coretan-coretan pada skripsinya seakan menari-nari di pelupuk mata. Adinda segera menggelengkan kepalanya. Jangan sampai pikiran buruknya ini malah menjadi kenyataan.Adinda masih berusaha mengatur degup jantungnya, tapi suara Pak Dani-dosen pembimbingnya malah membuatnya tersentak. "Ngapain kamu diam aja di situ?" tanya Pak Dani ketus. "Ehm. Maaf mengganggu waktunya, Pak. Saya berniat mau melakukan bimbingan skripsi.""Duduk!" perintahnya tegas. Nyali mahasiswa manapun akan menciut saat melihat ketegasan dari dosen satu ini. Adinda menyodorkan skripsi miliknya. Judul skripsinya sudah di acc baik dengan dosen pembimbing satu maupun dosen pembimbing dua. Saat ini dia tengah masuk ke dalam bab satu. Raut wajah Pak Dani begitu serius saat membaca kata
"Biar gue yang traktir mereka ya, Do?" tanya Adinda lebih kepada sebuah permintaan."Udah nggak usah, Din." Aldo menolaknya. Dia sungguh tidak keberatan jika harus mentraktir mereka semua yang tadi ikut berkumpul di depan gedung. Adinda sungguh merasa tak enak pada Aldo. Bagaimana pun Aldo berniat menolongnya. "Tapi kan ini gara-gara gue, Do. Gue tahu kalau niat elo manggil mereka tadi buat ngancam Pak Gandhi. Eh jadinya malah begini." "Udah tenang aja. Hitung-hitung gue lagi bersedekah.""Tenang aja sih, Din. Aldo kan kaya. Kalau cuma traktir mereka di kantin nggak bakalan buat dia jadi miskin" celetuk Clara sembari melirik ke arah Aldo. "Tapi kan, Ra." Adinda masih merasa tak enak dengan Aldo. "Udah, Din. Duduk di sana yuk, kita makan sama-sama. Gue juga udah ajak Arfan, Bima, Rizal, sama Sasa." Aldo menunjuk bangku panjang paling pojok yang muat untuk sejumlah teman-temannya. "Lo ajakin Sasa, Do? Lo chat dia?" Clara mulai penasaran. "Iya. Emangnya kenapa?" balas Aldo santai.
Istirahatlah barang sejenak jika kamu merasa lelah. Pikiran yang suntuk perlu direhatkan. Jangan terlalu memaksa untuk terus berjalan. Terkadang kamu perlu menikmati keindahan dalam keheningan.***Sabtu, waktu yang banyak dinantikan oleh para kaula muda untuk melepaskan penat setelah enam hari dilalui dengan sebuah kesibukan. Puncak adalah salah satu tempat yang banyak dikunjungi oleh sebagian warga ibukota untuk melepaskan penat. Seperti halnya Adinda, Sena, dan teman-temannya yang memilih puncak sebagai tempat beristirahat dari lelahnya aktivitas yang dijalani. Siang ini Adinda dan teman-temannya sedang berkemas, memasukkan barang bawaan mereka yang akan dibawa selama berkemah nanti. "Din, Sena jadi sewa tenda kan?" tanya Arfan yang baru saja datang bersama dengan Aldo, Bima, dan Rizal. "Jadi dong. Kalau enggak, ya nggak jadi camping nanti" jawab Adinda tanpa mengalihkan pandangannya. Fokusnya masih kepada makanan ringan dan beberapa minuman kemasan yang dia masukkan ke dalam ta
Kurang lebih tiga jam lamanya mereka berkendara dari ibukota menuju puncak Bogor. Di depan sana terlihat tumbuhan hijau yang menyegarkan mata. Hawa dingin mulai menusuk pori-pori. Sejuknya terasa hingga ke sanubari. Mendamaikan hati dan menenangkan jiwa. "Akhirnya sampai juga." Adinda turun dari mobil, membentangkan kedua tangannya. Matanya terpejam. Menghirup sejuknya udara sekitar yang masih bersih, bebas dari polusi. Sena berdiri di sampingnya. "Suka?" tanya Sena. Adinda mengangguk. "Pemandangannya bagus banget" ucapnya penuh dengan kekaguman. "Kapan-kapan ke sini berdua mau?" tanya Sena serupa ajakan. Adinda menjawab dengan antusias. "Mau lah. Beneran ya ke sini lagi. Janji?" Adinda menunjukkan jari kelingkingnya. Belum sempat jari kelingking itu saling bertautan, suara Karin membuyarkan keduanya. "Woi... Pacaran mulu ya lo pada. Buruan bantuin diriin tenda" teriak Karin dari kejauhan. "Siapa yang pacaran sih?" gerutu Adinda sebal, tapi dia tetap berjalan ke arah teman-tema