"Din, sini!" Sena melambaikan tangan, memanggil Andina dari kejauhan.Langkah kaki wanita itu menapaki halaman rumah adik iparnya. "Kenapa, Sen?" tanya Andina. "Pas banget lo di depan rumah tadi. Ini, Dinda tadi buat kue bolu. Lo cobain ya!" Sena menyodorkan sepiring kue bolu rasa coklat. "Wah, kayaknya enak nih. Gue makan di sini aja ya?" Andina mendudukkan diri di kursi teras. Mulutnya sudah mengunyah kue bolu buatan adiknya. Rasanya sungguh enak, manis, dan empuk. Sena geleng-geleng kepala melihat kelakuan kakak iparnya yang sedang memakan bolu, mirip sekali seperti anak kecil. "Masuk aja!" ajak Sena. Andina mengangguk. Dia berjalan di belakang Sena. Mengekori langkah kaki pria itu. "Gue tinggal ke dalam ya. Mau ke dapur dulu.""Oke." Andina memilih duduk di sofa ruang tengah. Dia melanjutkan menikmati kue bolu buatan Adinda sembari menonton televisi. Mulutnya terus mengunyah, hingga tak terasa wanita itu merasakan haus akibat kebanyakan makan bolu. "Duh, haus." Andina merab
Hari ini cafe tempat Adinda bekerja sengaja ditutup, tapi para pegawainya tidak diliburkan. Gandhi sengaja menutup cafe karena dia akan merayakan ulang tahun anaknya yang pertama di sini. Kanaya namanya. Gadis cantik yang baru saja bisa berjalan itu mendekati seorang wanita, hendak menggapai tangan Adinda yang berada tepat di sampingnya.Merasa ada yang mencolek jemarinya, Adinda menoleh ke bawah. Ternyata gadis cilik itu yang memanggil dirinya. "Ada apa, Kanaya?" Adinda jongkok. Memposisikan dirinya agar sejajar dengan Kanaya. "A... Aaa..." Kanaya memang belum lancar berbicara, dia hanya menunjuk apa yang diinginkan. "Oh, kue. Kanaya mau kue?" tanya Adinda lembut. Gadis itu mengangguk. Matanya berbinar saat melihat kue ulang tahunnya dipindahkan ke meja depan. "Sabar ya, Kanaya. Nanti kuenya dipotong dulu. Sekarang Kanaya duduk di bangku itu ya!" tunjuk Adinda. Lagi-lagi gadis itu mengangguk patuh. Adinda menuntun Kanaya, lalu mendudukkannya di bangku yang telah disediakan. G
Rasa kesal yang masih menjalar di hatinya dia bawa sampai ke rumah. Enak saja dituduh pelakor. Memangnya siapa juga yang mau dengan pria itu? Bahkan yang ada di rumah jauh lebih menarik ketimbang pria itu. Brak!!! Pintu ditutup dengan keras. Menimbulkan bunyi 'bam'. Sena memicingkan mata. Dia sampai tersentak melihat kelakuan istrinya. Sena hanya membatin dan mengucapkan istighfar 'Astagfirullah.'Boro-boro tersenyum. Salam saja tidak Adinda ucapkan. Entahlah, setan seperti apa yang sedang membersamainya saat ini. "Hei... Hei... Jangan diterbangin piringnya" teriak Sena dari kejauhan saat melihat Adinda mengambil piring di dapur. Dia berlari dan mengambil piring yang Adinda pegang. "Siapa juga yang mau nerbangin piring. Memangnya aku sedang bermain akrobat, hah?" Adinda ikut berteriak. "Bisa-bisanya istrinya mau makan malah dibilang mau terbangin piring." Adinda rebut piring itu dari tangan Sena. Sena usap dadanya. Rasanya sungguh lega. Dia pikir istrinya ini akan membanting pir
Seorang pria berdiri di depan pintu sembari berkacak pinggang. Langkah kakinya ke kanan dan ke kiri. Mondar mandir seperti setrikaan.Ditatapnya jalanan di depan. Lagi-lagi Gandhi merasa kecewa karena sepertinya Adinda tidak berangkat bekerja, sama seperti malam-malam sebelumnya. Sudah satu minggu semenjak kejadian malam itu Adinda tidak menampakkan batang hidungnya di cafe ini. Gandhi merasa kehilangan sosok wanita yang telah bersemayam di hatinya itu. Gandhi juga kerap kali menghubungi Adinda, tapi nomor ponsel wanita itu tidak aktif. Mungkin saja Adinda sudah ganti nomor. Eh tunggu dulu! Bukankah Lani dan Adinda cukup dekat? Ya, Gandhi akan bertanya pada Lani mengenai Adinda. Siapa tahu Lani mengetahui sesuatu. "Lan, apa Dinda menitipkan pesan padamu? Sudah satu minggu ini dia tidak berangkat bekerja.""Apa Bapak nggak tahu kalau Dinda udah resign?""Resign?""Iya, Pak. Jadi Dinda belum pamitan sama Bapak?" tanya Lani lagi. Pria itu menggelengkan kepalanya. Pupus sudah harapan
"Sen, sebenarnya tadi Pak Gandhi ngomong apa sama kamu?" tanya Adinda.Mereka berdua saat ini tengah berbaring di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar mereka. Adinda sengaja menanyakan hal ini saat berdua saja dengan suaminya. Dia tidak mau jika teman-teman mereka tahu lebih banyak tentang persoalan yang tengah terjadi diantara keduanya."Dia minta kamu buat balik ke cafe lagi.""Aku nggak mau kerja di sana lagi, Sen.""Jadi kamu nggak nyesel kan sewaktu aku buat keputusan sepihak itu?" tanya Sena, menatap Adinda lekat. Adinda menggelengkan kepala. "Keputusan kamu buat nggak izinin aku kerja di sana udah tepat.""Syukurlah. Aku cuma nggak mau kamu ditampar lagi sama Bu Siska. Pasti sakit kan? Sini aku usap biar nggak sakit!" ledek Sena sembari mengusap kedua pipi Adinda. "Ih kamu mah." Adinda memukul lengan suaminya pelan. Sangat pelan hingga tak terasa. "Seharusnya dia itu tahu kalau suaminya yang keganjenan. Eh, ini malah main tampar aja. Padahal aku nggak tahu apa-apa, Sen.
Gandhi belum juga menyerah. Pria itu masih bersikeras agar Adinda bisa kembali bekerja di cafe. Akan sangat sulit mendekati wanita itu jika dia benar-benar pergi dari cafe ini. Apalagi mengingat kalau suaminya kian hari bertambah posesif. Pagi ini selepas memastikan suami Adinda pergi dari rumah, Gandhi memberanikan diri mengetuk pintu rumah Adinda. Tok... Tok... TokTidak perlu menunggu lama, si pemilik rumah membukakan pintu selang beberapa menit saja. Nampaknya dia juga akan pergi dari rumah. Terlihat dari penampilannya yang sudah rapi dengan membawa tas punggung berukuran minimalis. "Pak Gandhi?" tanya Adinda setengah terkejut dengan kehadiran Gandhi yang tiba-tiba. "Selamat pagi, Dinda. Bagaimana kabarmu?" Senyum sumringah menghiasai wajahnya. "Baik, Pak. Ada perlu apa Bapak ke sini?""Boleh saya masuk?" tunjuk Gandhi, menunjuk arah ruang tamu."Mohon maaf, Pak. Kalau duduk di kursi teras saja bagaimana? Suami saya sudah berangkat kerja soalnya. Tidak enak jika menerima tamu
Sudah satu minggu ini kedua insan itu selalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Keduanya saat ini memang sedang sibuk-sibuknya dengan kegiatan di kampus. Revisian skripsi yang menyita waktu juga jadwal kuliah yang sering kali tidak sesuai, menyebabkan keduanya jarang memiliki waktu bersama. Apalagi Sena yang waktunya terbagi-bagi untuk kuliah dan bekerja. Membuat pria itu sedikit kewalahan mengatur jadwalnya. Malam minggu ini menjadi waktu senggang diantara keduanya. Baik Sena mapun Adinda lebih memilih berada di rumah. Tidak seperti anak-anak muda lainnya yang menghabiskan waktu malam minggu mereka di luar rumah. Selepas isya tadi keduanya hanya menonton televisi di ruang tengah. Bosan dengan acara televisi yang itu-itu saja, membuat Adinda memilih untuk masuk ke dalam kamar. "Kenapa, Sayang?" tanya Sena begitu sampai di kamar. Menyusul istrinya yang tengah berbaring di atas ranjang. "Hmm. Nggak ada apa-apa, Sen." Gelengan di kepala Adinda membuat Sena tak bisa mempercayai ist
Setelah Gandhi pergi, Sena mengunci pintu rumahnya rapat-rapat dari dalam. Langkah kakinya dipercepat menghampiri istrinya yang berada di dalam kamar. "Sayang, buka!" Suara suaminya membuyarkan lamunannya. Adinda saat ini tengah melamun sembari memeluk kedua lututnya di pojokan kamar. Adinda setengah berlari ke arah pintu. "Sena..." panggil Adinda ketika mendapati suaminya di depan pintu kamar. Adinda merangsek ke dalam pelukan suaminya yang menenangkan."Udah. Jangan takut ya. Sekarang kamu udah aman." Sena mengelus punggung Adinda seraya menenangkannya. "Besok kalau kamu kerja terus Pak Gandhi ke sini lagi gimana? Aku takut dia bakalan lebih nekat dari tadi" ucap Adinda menunjukkan kekhawatirannya. "Yaudah. Sekarang kita berkemas ya. Buat sementara waktu kita tinggal di rumah Papa Abimanyu sama Mama Indah."Adinda mengangguk saja. Memang sepertinya akan lebih baik jika mereka berdua tinggal di sana sementara waktu. Lagipula jarak rumah orangtua Sena ke kampus lebih dekat. Adind
Suasana penuh kebahagiaan menyertai kediaman keluarga Wijaya. Hari ini ketiga keluarga besar itu berkumpul menjadi satu untuk merayakan kehamilan Adinda.Sena mulai kesal karena dari tadi tidak diperbolehkan berdampingan dengan Adinda. Sedari tadi Opa Gunandar tidak mau jauh dari Adinda. Istri Sena itu hari ini dikuasai oleh Opa Gunandar. Opa Gunandar hanya terlampau bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai cicit yang sudah lama didambakannya. "Perutnya Dinda jangan diusap terus dong, Opa. Lama-lama bisa mengikis entar," protes Sena. "Brisik! Ganggu orang lagi bahagia aja," kesal Opa Gunandar. "Ma, geseran dong! Sena pengen duduk sebelah Dinda," ucapnya pada Indah. "Nggak mau. Mama kan juga pengen dekat sama Dinda," tolak Indah. Sena mencebikkan bibirnya. Mama dan Opa-nya sama saja, paling hobi membuat Sena jengkel. Adinda terkekeh. "Sayang, ih... begitu aja masa ngambek," ledek Adinda. "Emang lebay banget tuh suami kamu. Tiap hari juga udah ngekepin, masih aja kurang," cibi
Satu minggu ini kelakuan Adinda membuat Sena pusing tujuh keliling. Setiap hari ada saja hal yang menguji kesabaran Sena. Seperti saat ini, di tengah malam seperti ini Adinda ingin pergi melihat air terjun.Adinda menarik-narik baju Sena. Merengek seperti bocah balita. Keinginannya harus segera terpenuhi. Bila tidak, Adinda tidak akan merasa lega. "Ayo, berangkat sekarang, Yang!""Enggak!" tegas Sena. Sudah berulang kali Adinda merengek, berulang kali pula Sena menolak permintaan Adinda. Semua dirasa tidak masuk akal bagi Sena. Mana ada tempat wisata yang sudah buka di jam pocong seperti saat ini. Adinda berbalik, meringkuk dan memunggungi Sena. Wajahnya sangat masam. Di dalam batinnya itu, Adinda sangat kesal dan terus menggerutu. "Hih, dasar nyebelin. Pengen lihat air terjun aja nggak diturutin."Meraih ponsel di atas nakas, Adinda membuka aplikasi berwarna merah. Menonton video air terjun. Netranya tampak berbinar-binar saat melihat video tersebut. Suara gemericik air membuat h
Melihat wajah-wajah ketakutan, Pak Ihsan menahan tawanya agar tidak meledak. 'Mungkin mereka pikir aku ini dukun yang bisa baca pikiran orang kali ya. Apa tampangku begitu? ha ha ha.'"Nah, ini rumahnya Pak Dullah," ujar Pak Ihsan. Sejenak, Sena menghembuskan napas penuh kelegaan. Pak Ihsan benar-benar membawanya ke rumah Pak Dullah. 'Astagfirullah. Maafkan aku, Ya Allah, sudah suudzon.'"Malah bengong, ayo diketuk pintunya!" ucap Pak Ihsan. Belum sempat Sena mengetuk pintu, pintu sudah dibuka lebih dulu. Menampakkan sang pemilik rumah yang sedang mengulum senyum. "Assalamualaikum..." sapa Pak Dullah. "Waalaikumussalam...""Mau cari buah strawberry yang warnanya hijau kan?" tebak Pak Dullah.Lagi dan lagi, Sena dan Arfan saling melempar pandang. Misteri tentang Pak Ihsan yang bisa membaca pikiran mereka saja belum terpecahkan, ini sudah bertambah Pak Dullah. Semakin membuat Sena dan Arfan pusing saja. "Dari mana Bapak tahu?" tanya Sena heran. Pak Dullah tidak menjawab, justru
"Sayang..." panggil Sena. "Kamu kenapa sih?" tanya Sena kesal karena sedari tadi diacuhkan. Takut mulut Sena beraroma bawang goreng, Adinda mendorong dada Sena. Enggan berdekatan dengan suaminya itu. Menutup hidung rapat-rapat. Biarlah menghindar dan menahan napas ketimbang muntah lagi."Kamu kenapa sih, Yang? Aku bau?""Awas ih, minggir!" teriak Adinda kesal. Menghembuskan napas ke udara, Sena mencium aroma dari dalam mulutnya sendiri. Sena rasa aroma napasnya masih segar. Tidak bau makanan atau apa, karena dia belum sempat makan tadi. Kembali duduk, Adinda sudah menjauhkan toples berisi bawang goreng itu dari jangkauannya. "Loh, bawang gorengnya ke mana, Yang?" tanya Sena. "Nggak ada, udah aku simpen.""Di mana?""Udah buruan duduk! Mau makan nggak?""Ya makan lah. Bentar, aku mau cari bawang goreng dulu.""Nggak ada. Awas ya kalau kamu berani makan bawang goreng, bakalan aku usir kamu dari rumah," ancam Adinda. "Yaelah, Yang. Bagi dikit doang. Jangan mentang-mentang kamu suk
Dua minggu berlalu. Adinda, Sena, dan Arfan duduk di depan ruang sidang. Harap-harap cemas tampak di raut wajah Adinda dan Arfan ketika menunggu giliran selanjutnya. Berbeda dengan keduanya, Sena tampak santai dan biasa-biasa saja. "Sayang, kenapa donat tengahnya bolong?""Kalau yang utuh namanya bolu.""Salah. Yang utuh itu cinta aku ke kamu wkwk."Satu pukulan mendarat di lengan Sena. "Ih, dasar jokes Bapak-bapak.""He he... Biar sedikit mencair suasananya loh, Sayang. Habisnya kamu dari tadi tegang mulu sih.""Ya gimana nggak tegang. Mau sidang juga. Emangnya kamu, daritadi santai begitu.""Ya buat apa pusing-pusing sih. Kalau ditanya ya tinggal di jawab. Begitu aja repot.""Heh, enak banget ya itu bibir kalau ngoceh.""Kalian ini... Udah mau sidang masih aja ribut," ucap Arfan kesal. "Ya gimana, Fan. Abisnya si Sena ngeselin.""Halah. Ngeselin begitu juga lo bucin," cibir Arfan. "He he he... Jelas kalau itu mah," ucap Adinda cengangas-cengenges. "Arfan Ardyatama..." panggil pe
Ditemani Sena dan pengacaranya, Adinda memasuki ruang sidang. Segala macam bukti sudah Adinda kumpulkan, termasuk hasil visum bekas luka cambuk. Begitu mendudukkan diri, Adinda merasa tidak karuan. Tatapan nanar tertuju kepada mantan kekasih Sena itu. Memori sewaktu penyekapan terus berputar-putar memenuhi pikiran Adinda. Bayangan pecutan cambuk menggores kulit tangan. Sekelebat, Adinda memejamkan mata. Napasnya jadi tersengal-sengal. Ngilu sekali rasanya bila teringat hari itu. Jemari Adinda berada dalam genggaman tangan Sena. Sejenak, keduanya beradu pandang. Tatapan mata Sena seolah menjadi penenang. Sena selalu meyakinkan Adinda bahwa kebahagiaan sebentar lagi akan mereka raih. Adinda tenang karenanya. Sidang putusan berlangsung. Mantan kekasih Sena itu dijerat pasal 333 KUHP tentang penyekapan dan penculikan. Hukuman berlangsung paling lama sembilan tahun.Menjerit histeris usai persidangan, Ella menangis tersedu-sedu. Memohon pengampunan kepada Adinda dan Sena. Meminta belas
"Tante Dinda... Om Sena..." teriak Andina girang. "Baby Rion..." pekik Andina.Gemas, Adinda hendak mencium pipi gembul baby Arion, tapi ujung sweaternya ditarik dari belakang oleh Wildan."Heh, cuci tangan sama cuci kaki dulu kalau mau dekat-dekat sama Rion," ucap Wildan. Adinda mencebikkan bibirnya. "Iya... Iya..."Setelah membasuh tangan dan kaki, Adinda dan Sena mendekati baby Arion. Menimang dan menciumi pipinya dengan gemas."Sen..." lirih Adinda. "Hmm..." Sena hanya bergumam. Sibuk menimang baby Arion. "Kamu pengen punya yang kayak gini?""Pengen banget. Nanti sampai di rumah kita buat ya," balas Sena tersenyum lebar. Tentu saja Sena sudah menginginkan memiliki baby sendiri. Sena merasa bahwa sekarang dirinya sudah siap dan mampu menjadi seorang ayah. Namun, Adinda masih dilanda kebimbangan. Disatu sisi Adinda juga menginginkan hadirnya buah hati, tapi disisi lain Adinda ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru memikirkan soal momongan. "Tapi gimana sama perjanj
Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi. Beberapa helai rambut rontok akibat kuatnya tarikan dari sang pemilik tubuh itu sendiri. Menjerit histeris layaknya orang kesurupan. Masih tidak bisa menerima bahwa dirinya bersalah dan harus merasakan buah dari akibat perbuatannya. "Arghhh..." teriaknya. "Diam! Berisik!" sentak wanita bertato. "Sumpal saja mulutnya dengan kaos kaki," ujar wanita kurus di sebelahnya mengompori. Wanita bertato mendekat, memandang tajam tahanan baru. Menelisik wajah cantik yang dipenuhi air mata. Merasa ngeri karena ditatap sedari tadi, Ella memalingkan wajahnya. Menghindari adu tatap lebih baik ketimbang cari perkara. "Heh, ada kasus apa sampai kau bisa masuk ke sini?" tanya wanita berambut keriting. Mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, Ella enggan membuka suara. Membuat wanita bertato geram karena temannya diacuhkan. "Heh, jawab!" sentak wanita bertato."Penculikan.""Menculik siapa?" kepo wanita berambut keriting. "Istri mantan pacarku
Mendengar suara gaduh, Ella tergopoh menghampiri. Dilihatnya Sena yang sedang dihajar orang bayarannya."Hentikan!" teriak Ella. "Bos?""Mundur semuanya!" perintah Ella. "Sen, lo gapapa?" tanya Ella penuh perhatian.Sena menggeleng lemah. Memegang perutnya yang terasa nyeri akibat kena pukulan. "Ayo, bangun!"Meraih lengan Sena, Ella hendak membantu mantan kekasihnya itu berdiri. Sena menepisnya. Sena bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Ella. Bukannya songong karena tidak mau dibantu, tapi mengingat Ella kerap kali mencelakai Adinda membuat Sena geram padanya."Lepasin, La. Gue bisa berdiri sendiri.""Tapi, Sen. Perut lo tadi kena pukulan.""Gapapa. Gue udah biasa dipukul kok," balas Sena ketus. Memandang tajam ketujuh orang bayarannya, Ella mengamuk seketika. "Dasar bodoh. Kenapa kalian menghajar Sena, hah?" maki Ella. Menundukkan kepala, para orang bayaran itu tidak berani berkutik. "Ma-maaf, Bos. Kami gak tahu.""Dasar tolol! Gue kan udah bilang jangan sakiti Sena."Sena m