148 “Baru pulang?” tanya Dewa begitu menuruni tangga dan bertemu kembarannya di sana. Embusan napas kasar keluar dari mulut pemuda yang ditanya. Kini mereka berdiri berhadapan di sebuah anak tangga. Hingga sekilas pandang keduanya terlihat sedang saling bercermin. Saking mirip wajah mereka. “Dari mana? Kok, semalam ini?” tanya Dewa lagi dengan kedua tangan tenggelam di saku celana. “Nganter Dira.” Dewa menaikkan alis. “Tak kira nganter Inggit.” “Inggit juga.” Mata Dewa kini melebar. “Jadi, kalian jalan bertiga?” “Aku antar Inggit dulu, baru nyamperin Dira.” “Waw, sudah seperti poligami, ya.” Entah ledekan atau sanjungan yang Dewa lontarkan, yang pasti Nakula hanya mengembuskan napas kasar. Wajahnya terlihat sangat lelah. “Makanya jangan maruk-maruk, capek, kan?” Nakula meninju pelan pundak sang kembaran, sebelum memasang wajah memelas. “Besok, bisa minta tolong nggak?” tanya Nakula. “Apa?” “Tolong anterin Dira ke perpusnas, ya. Dia mau cari bahan tugas kuliah.” Dewa meng
Baca selengkapnya