masih pada mengikuti cerita ini? seperti biasa ada pulsa 10k untuk komentar pertama
143“Bun, aku dengar Aldo sudah menikah dan kembali ke sini, ya?” Prisa bertanya saat mereka sedang perawatan di salon. Karena bangsal mereka bersisian dengan jarak yang tidak terlalu jauh, mereka bisa bebas mengobrol.“Ya.” Alvina hanya menjawab singkat tanpa menoleh. Rambutnya tengah dicuci pegawai salon. Ia sudah mendengar jika Aldo kembali tinggal di sini dengan membawa wanita yang dinikahinya di Kalimantan sana dari sang ibu. Namun, ia berpura-pura tidak tahu karena baginya itu tidak penting.“Al, kenapa sih, kamu dan Papa tidak bilang kalau Aldo itu mantan ….”“Dia bukan mantanku, Pris. Aku tidak pernah punya hubungan spesial dengannya.” Alvina memotong. Entah kenapa Prisa malah membahas masa lalu. Padahal masa-masa itu baginya yang paling kelam karena hubungan mereka tengah panas-panasnya.“Iya, maksudku kenapa kamu tidak bilang kalau Aldo teman kecilmu. Sandiwara kalian di depanku sangat sempurna. Kalian seolah tidak saling mengenal sebelumnya. Padahal jelas Aldo menyukai kamu
144“Apa ini?” Prisa memekik seraya berjongkok di samping tubuh Nino. Tangannya meraih tubuh mungil Nadira yang pulas di dada suaminya dengan botol susu masih menempel di bibirnya.Wanita itu kemudian menepuk pipi Nino dengan gemas hingga lelaki yang sedang mendengkur terlonjak kaget. Kemudian bangun dan ingin berteriak.“Mali—”Namun, teriakkan Nino tidak tuntas karena dengan gesit tangan Prisa membekapnya kuat. Sang wanita takut bayi dalam pelukannya kaget dan terbangun.“Apa yang kalian lakukan di sini? Lihatlah, semua barang sudah tidak berada di tempatnya. Pintu tidak dikunci. Bagaimana jika ada orang jahat masuk?” Semua kalimat itu diucapkan Prisa dengan tertahan agar Nadira tidak terbangun. Matanya melotot tajam ke arah suaminya yang masih mengumpulkan lelembutnya.“Sttt! Jangan berisik!” Alvina yang tengah mengambil salah satu bayi kembarnya dari dada sang suami melotot ke arah Prisa. Ia gemas, sejak masuk tadi anak sambung yang juga sahabatnya itu terus saja menggerutu tanpa
145 Dua puluh tahun kemudian. “Aku malas sama Papa,” keluh pemuda dua puluh tiga tahun dengan kaus oblong dan celana jeans belel seraya menyandar lemah di sofa. “Kenapa lagi?” Wanita usia empat puluhan menatap seraya melipat tangan di dada. “Apa yang aku lakukan selalu saja salah. Aku tidak pernah benar di mata Papa sama Bunda. Akak tahu sendiri sejak dulu hobiku selalu dilarang. Tidak seperti Naku yang apa pun keinginannya selalu dipenuhi.” Wanita yang masih melipat tangan di dada menarik napas panjang mendengar rentetan keluhan itu. Lalu duduk di sofa di hadapan sang pemuda. “Kamu tahu kenapa Papa selalu melarang hobimu tapi keinginan Naku selalu dipenuhi?” Pemuda berwajah suntuk melirik sekilas, sebelum mengibaskan tangan. “Itu karena permintaan dan keingunanmu selalu tidak masuk akal, Dewiii ….” “Akak, jangan sembarangan ganti-ganti nama orang!” Sang pemuda menegakkan punggugnya tidak terima. “Aku Sadewa dan aku ini laki-laki tulen!” “Kamu akan menjadi banci jika setiap k
146“Kenapa manyun?” tanya Dewa saat seorang gadis berambut panjang diikat ekor kuda masuk dengan bibir maju.“Sebel, Naku deket-deket cewek terus,” jawab gadis yang baru datang itu.“Dira, panggil Om Naku. Sudah berapa kali Mami katakan itu.” Prisa yang tengah menata makanan di meja makan berbalik dan menatap anak sulungnya yang baru saja pulang kuliah.“Abisnya kesel, Mi. Naku sekarang jadi tambah sibuk. Nggak bisa lagi anter-anter aku.”“Kan, ada aku. Kamu mau diantar ke mana, sih?” Dewa yang tengah menggado bakwan udang buatan sang kakak menghentikan aktifitasnya sejenak.“Males sama Dewa, suka tebar pesona di mana-mana. Bukannya nyaman, endingnya aku suka kesel.”Dewa terbahak mendengar gerutuan Nadira. Gadis yang usianya hanya satu tahun di bawahnya itu memang suka kesal kalau ia yang menemani. Endingnya tetap minta dijemput Nakula.Usia mereka yang tidak terlalu jauh, juga kedekatan secara emosi karena mereka bertiga tumbuh bersama, membuat Nadira sangat manja dengan dirinya da
147Dewa menghentikan mobil di area parkir restoran sang ayah, di mana di sebelahnya kini berdiri bangunan lain yang selalu membuatnya iri. Bangunan galeri Nakula yang hari ini lumayan terlihat ramai.Pemuda itu langsung turun dan menyusul Nadira yang sudah lebih dulu masuk. Bukan ke restoran sang ayah, melainkan ke galeri Nakula.“Dira, tunggu!” Dewa berseru saat langkah Nadira hampir tak terkejar. Begitu cepat gadis itu berlalu. Nadira sendiri langsung mengedarkan pandangan begitu masuk, terlihat beberapa pengunjung sedang melihat-lihat lukisan Nakula yang dipajang di dinding. Sang gadis langsung menuju sebuah kursi di mana seorang pemuda tengah duduk di sana. Hatinya panas menyadari jika di samping pemuda itu berdiri seorang gadis memperhatikan apa yang tengah dikerjakan si pemuda.“Naku!” Dira langsung memanggil. Pemuda yang duduk menghadap kanvas pun, menoleh. Lalu berdiri setelah meletakkan kuas yang dipegangnya.“Dira? Sama siapa ke sini?” tanya pemuda memakai apron belepotan c
148 “Baru pulang?” tanya Dewa begitu menuruni tangga dan bertemu kembarannya di sana. Embusan napas kasar keluar dari mulut pemuda yang ditanya. Kini mereka berdiri berhadapan di sebuah anak tangga. Hingga sekilas pandang keduanya terlihat sedang saling bercermin. Saking mirip wajah mereka. “Dari mana? Kok, semalam ini?” tanya Dewa lagi dengan kedua tangan tenggelam di saku celana. “Nganter Dira.” Dewa menaikkan alis. “Tak kira nganter Inggit.” “Inggit juga.” Mata Dewa kini melebar. “Jadi, kalian jalan bertiga?” “Aku antar Inggit dulu, baru nyamperin Dira.” “Waw, sudah seperti poligami, ya.” Entah ledekan atau sanjungan yang Dewa lontarkan, yang pasti Nakula hanya mengembuskan napas kasar. Wajahnya terlihat sangat lelah. “Makanya jangan maruk-maruk, capek, kan?” Nakula meninju pelan pundak sang kembaran, sebelum memasang wajah memelas. “Besok, bisa minta tolong nggak?” tanya Nakula. “Apa?” “Tolong anterin Dira ke perpusnas, ya. Dia mau cari bahan tugas kuliah.” Dewa meng
149 “Sial!” Nakula menendang ban mobilnya yang gembos. Kemudian mengembuskan napas kasar seraya bertolak pinggang. “Kenapa Naku?” Nadira yang menyusulnya turun bertanya seraya memandang ban mobil dan wajah Nakula bergantian. “Gembos?” “Ya, dan aku tidak membawa ban serep, Dira.” Nakula tampak putus asa. Waktu yang dijanjikan untuk bertemu orang tua Inggit sudah sangat mepet. Ia takut tidak sampai di sana tepat waktu. Apa yang akan dipikirkan Inggit dan keluarganya jika sampai ia terlambat bahkan batal datang? “Lalu, bagaimana?” Nadira terlihat khawatir. Bukan karena ikut mencemaskan hubungan dan pandangan Inggit dan keluarganya terhada Nakula, tetapi karena mobil mereka mogok di tempat yang lumayan sepi. Jangankan bengkel, pemukiman penduduk saja sepertinya lumayan jauh dari sana. “Aku sudah bilang tidak perlu sampai ke Bogor segala, Di. Hari ini aku tidak punya banyak waktu. Aku kan, sudah bilang ada janji sama Inggit dan keluarganya.” “Kamu nyalahin aku?” Nadira menatap tak p
150[Inggit, maaf aku terlambat. Ini masih di perjalanan. Sebentar lagi aku sampai.]Inggit menyipitkan matanya, sebelum membaca pesan berikutnya.[Kamu dan keluargamu masih di sana, kan? Tolong sampaikan maafku untuk mereka.][Maaf, aku baru bisa menghubungimu. Baru nemu jaringan internet.]Inggit melumat bibirnya yang mendadak kering. Tangan yang memegang ponsel mendadak gemetar. Ia mendongak dan menatap pemuda yang duduk di sampingnya. Dadanya seketika sesak. Nakula mengirim kabar jika ia masih dalam perjalanan, lalu pemuda ini ….“Inggit ….” Gadis itu menoleh ke arah pintu masuk restoran saat mendengar seseorang memanggil namanya dari sana. Gegas ia berdiri dengan kedua mata melebar saat pandangannya mendapati pemuda dengan tampang kusut berdiri di sana.Bukan hanya Inggit yang menoleh ke asal suara. Tapi juga ketiga orang tuanya, dan juga … pemuda yang duduk di sampingnya.Kerutan kompak menghiasi ketiga kening orang-orang yang duduk di meja itu. Ketiganya menatap pemuda bertampa
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok