148 “Baru pulang?” tanya Dewa begitu menuruni tangga dan bertemu kembarannya di sana. Embusan napas kasar keluar dari mulut pemuda yang ditanya. Kini mereka berdiri berhadapan di sebuah anak tangga. Hingga sekilas pandang keduanya terlihat sedang saling bercermin. Saking mirip wajah mereka. “Dari mana? Kok, semalam ini?” tanya Dewa lagi dengan kedua tangan tenggelam di saku celana. “Nganter Dira.” Dewa menaikkan alis. “Tak kira nganter Inggit.” “Inggit juga.” Mata Dewa kini melebar. “Jadi, kalian jalan bertiga?” “Aku antar Inggit dulu, baru nyamperin Dira.” “Waw, sudah seperti poligami, ya.” Entah ledekan atau sanjungan yang Dewa lontarkan, yang pasti Nakula hanya mengembuskan napas kasar. Wajahnya terlihat sangat lelah. “Makanya jangan maruk-maruk, capek, kan?” Nakula meninju pelan pundak sang kembaran, sebelum memasang wajah memelas. “Besok, bisa minta tolong nggak?” tanya Nakula. “Apa?” “Tolong anterin Dira ke perpusnas, ya. Dia mau cari bahan tugas kuliah.” Dewa meng
149 “Sial!” Nakula menendang ban mobilnya yang gembos. Kemudian mengembuskan napas kasar seraya bertolak pinggang. “Kenapa Naku?” Nadira yang menyusulnya turun bertanya seraya memandang ban mobil dan wajah Nakula bergantian. “Gembos?” “Ya, dan aku tidak membawa ban serep, Dira.” Nakula tampak putus asa. Waktu yang dijanjikan untuk bertemu orang tua Inggit sudah sangat mepet. Ia takut tidak sampai di sana tepat waktu. Apa yang akan dipikirkan Inggit dan keluarganya jika sampai ia terlambat bahkan batal datang? “Lalu, bagaimana?” Nadira terlihat khawatir. Bukan karena ikut mencemaskan hubungan dan pandangan Inggit dan keluarganya terhada Nakula, tetapi karena mobil mereka mogok di tempat yang lumayan sepi. Jangankan bengkel, pemukiman penduduk saja sepertinya lumayan jauh dari sana. “Aku sudah bilang tidak perlu sampai ke Bogor segala, Di. Hari ini aku tidak punya banyak waktu. Aku kan, sudah bilang ada janji sama Inggit dan keluarganya.” “Kamu nyalahin aku?” Nadira menatap tak p
150[Inggit, maaf aku terlambat. Ini masih di perjalanan. Sebentar lagi aku sampai.]Inggit menyipitkan matanya, sebelum membaca pesan berikutnya.[Kamu dan keluargamu masih di sana, kan? Tolong sampaikan maafku untuk mereka.][Maaf, aku baru bisa menghubungimu. Baru nemu jaringan internet.]Inggit melumat bibirnya yang mendadak kering. Tangan yang memegang ponsel mendadak gemetar. Ia mendongak dan menatap pemuda yang duduk di sampingnya. Dadanya seketika sesak. Nakula mengirim kabar jika ia masih dalam perjalanan, lalu pemuda ini ….“Inggit ….” Gadis itu menoleh ke arah pintu masuk restoran saat mendengar seseorang memanggil namanya dari sana. Gegas ia berdiri dengan kedua mata melebar saat pandangannya mendapati pemuda dengan tampang kusut berdiri di sana.Bukan hanya Inggit yang menoleh ke asal suara. Tapi juga ketiga orang tuanya, dan juga … pemuda yang duduk di sampingnya.Kerutan kompak menghiasi ketiga kening orang-orang yang duduk di meja itu. Ketiganya menatap pemuda bertampa
151“Naku …?” Alvina bergumam lirih. Tatapan nanar menyapu wajah merah nan kusut itu. Hatinya teriris mendengar tuduhan sang anak. Bagaimana bisa Nakula berpikiran hingga ke sana.“Sejak kecil kalian memang selalu membela Sadewa. Kalian selalu saja memintaku mengalah untuknya hanya karena aku lahir lebih dulu. Ok, aku sudah lakukan. Aku terus saja mengalah. Apa sekarang pun aku masih harus mengalah dengan memberikan wanita yang kusuka untuknya?” Nakula terus melontarkan protesnya. Membuat kedua orang tuanya meradang.Apa sebegitu sakitnya hati Nakula? Mereka akui sejak kecil sering meminta Nakula mengalah dalam segala hal. Karena keras kepalanya Sadewa, hingga mereka pikir harus ada salah seorang yang mengalah. Jika sama-sama keras kepala, rasanya rumah tidak akan sepi dari keributan yang mereka ciptakan.Sebenarnya, semua berjalan normal. Nakula tidak pernah mengungkit hingga terjadi kesalahpahaman ini.“Naku, tenanglah dulu. Duduklah dulu. Mungkin ini hanya kesalahpahaman, Nak.” Pan
152“Kamu yakin, Git?” tanya Nakula dengan suara parau. Tatapannya menyapu lekat wajah gadis yang kehadirannya belakangan mewarnai hari-harinya. Raut tak percaya berpendar dari kedua bola mata pemuda itu.Awalnya gadis yang duduk di hadapan dua pemuda diam saja. Wajahnya menunduk dalam, tapi lama-kelamaan kepalanya bergerak. Gadis itu perlahan mengangguk.Hening. Nakula tak melepaskan tatapannya dari wajah gadis itu. Pendar tak percaya sudah berubah nanar. Separuh napasnya terasa terbang hingga menyisakan sesak di dada. Irisan sembilu mengoyak hatinya. Bagaimana tidak, gadis yang semula diyakini akan menjadi Pelabuhan cintanya, dalam waktu beberapa jam saja tetiba berubah.Bagai dicerabut jantung, Nakula merasa nyawanya juga hampir melayang. Inggit sudah memutuskan hubungan mereka berdua. Tanpa ada kesalahan, hanya karena ia terlambat datang menemui orang tuanya.Tak akan terlalu menyakitkan bagi Nakula jika pemutusan hubungan ini karena alasan kesalahan dirinya yang jelas. Nyatanya,
153“Maaf Naku. Ini semua gara-gara aku. Kalau aku tidak membuat Naku terlambat. Semua ini tidak akan terjadi. Dewa tidak akan menemui Inggit, dan Inggit tidak akan memilih Dewa. Naku dan Inggit ….”“Sudahlah Dira, semua sudah terjadi. Ini hanya jalannyaa saja. Mungkin aku sama Inggit memang tidak berjodoh. Maka dibukakan jalan seperti ini.”“Semua gara-gara aku.”“Tidak. Ini bukan salahmu. Jika Inggit memiliki pendirian kuat, sebesar apa pun terpaan yang coba memisahakn kami, ia tidak akan goyah. Terlepas keluarganya terlanjur menyukai Dewa, ia pasti akan berjuang meyakinkan jika Dewa bukan aku. Nyatanya, dia lebih meneruskan kesalahfahaman dengan Dewa daripada meluruskan masalahnya. Jika Inggit mau tetap bersamaku, ia akan berusaha menjelaskan kepada keluarganya. Tapi lihatlah, ia lebih memilih Dewa, bukan?”“Naku.” Nadira memasang wajah menyesal. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak menyangka jika Nakula akan sedewasa dan berbesar hati seperti itu. Nakula tidak menyalahkan dirinya sama s
154Dewa melirik Nakula yang bersiap memasukkan beberapa barang ke dalam mobil. Entah apa yang dibawanya. Mungkin keperluan untuk galerinya. Ia sendiri juga bersiap dengan motor Ninja merahnya.Dewa sudah memutuskan akan kembali ke kampus pagi ini. Sebagai salah satu syarat hubungannya dengan Inggit. Ya, ia harus mulai berbenah karena tidak lama lagi akan segera menikah. Tidak mungkin terus luntang-lantung dan seenak jidat. Karena nanti akan memiliki tanggung jawab yang besar sebagai kepala keluarga.Mulai hari ini ia akan serius melanjutkan kuliah, juga akan mulai bekerja membatu di rumah makan sang ayah. Tentu saja demi Inggit. Demi dapat menikahinya. Gadis itu tidak akan mau jika dirinya hanya pengangguran yang putus kuliah.Sementara Nakula langsung masuk ke dalam mobil, tanpa melirik Sadewa sama sekali. Lalu melajukan kendaraan itu meninggalkan halaman rumah mereka.Sadewa menatap mobil itu hingga menghilang dari pandangan. Dewa bukan tidak tahu jika Nakula sekarang mendiamkanny
155Kening Nakula berkerut dalam. Tatapan tajam ia hujamkan ke wajah gadis yang beberapa hari lalu masih membuatnya tergila-gila.Untuk beberapa lama sang pemuda menatap, hingga akhirnya melepaskan lengan yang ditahan Inggit tanpa berkata-kata. Setelahnya ia pergi begitu saja. Meninggalkan Inggit dan Sadewa yang mengikuti kepergiannya dengan tatapan yang tak lepas.Nakula memukul handel setir begitu masuk mobilnya. Sungguh, darahnya mendidih melihat kemesraan saudara kembarnya dengan mantan calon istrinya. Terlebih sikap Inggit yang baginya sangat tidak tahu diri. Namun, logikanya masih bekerja. Nakula tidak mau sampai harus ribut-ribut di tempat umum. Apalagi dengan saudara sendiri.Pemuda itu langsung melajukan mobilnya menuju galeri yang letaknya bersebelahan dengan rumah makan utama milik sang ayah.Pandu sebenarnya memeliki beberapa cabang rumah makan yang tersebar di beberapa penjuru ibu kota termasuk kota tetangga. Tapi Nakula dibangunkan galeri di sebelah rumah makan utama aga
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok