155Kening Nakula berkerut dalam. Tatapan tajam ia hujamkan ke wajah gadis yang beberapa hari lalu masih membuatnya tergila-gila.Untuk beberapa lama sang pemuda menatap, hingga akhirnya melepaskan lengan yang ditahan Inggit tanpa berkata-kata. Setelahnya ia pergi begitu saja. Meninggalkan Inggit dan Sadewa yang mengikuti kepergiannya dengan tatapan yang tak lepas.Nakula memukul handel setir begitu masuk mobilnya. Sungguh, darahnya mendidih melihat kemesraan saudara kembarnya dengan mantan calon istrinya. Terlebih sikap Inggit yang baginya sangat tidak tahu diri. Namun, logikanya masih bekerja. Nakula tidak mau sampai harus ribut-ribut di tempat umum. Apalagi dengan saudara sendiri.Pemuda itu langsung melajukan mobilnya menuju galeri yang letaknya bersebelahan dengan rumah makan utama milik sang ayah.Pandu sebenarnya memeliki beberapa cabang rumah makan yang tersebar di beberapa penjuru ibu kota termasuk kota tetangga. Tapi Nakula dibangunkan galeri di sebelah rumah makan utama aga
156“Papa ngapain nyuruh-nyuruh orang buat antar makanan?” Nakula tengah menelepon sang ayah malam ini. Sejak tadi ingin protes, tetapi perut yang lapar memerintahnya untuk makan terlebih dulu.Walaupun tidak suka dilayani oleh orang asing, karena ia bisa mengambil sendiri makanannya, tetapi tak ayal makanan itu ia habiskan. Terlebih semua yang ada di baki adalah masakan kesukaannya.“Bilang Pak Bosmu tidak perlu mengantar makanan lagi untukku. Aku bisa ambil sendiri,” ujarnya tadi kepada gadis yang mengantar makanannya. Raut dingin ia suguhkan semata untuk menutupi rasa malunya karena ketahuan berbohong. Siapa sangka Indra, karyawannya akan datang di waktu yang tidak tepat.“Aku bisa ambil sendiri ke samping, Pa. Aku masih punya tangan dan kaki,” lanjut Nakula lagi tidak suka. “Lagian, resto Papa cuma di sebelah. Nggak jauh juga.”“Tidak apa-apa, Naku. Sejak hari ini, Papa sudah tugaskan Dinda mengantar makanan buat kamu setiap waktu makan.”“Apa? Setiap waktu makan?”“Ya, karena kam
157Nakula percaya sekarang jika ada yang mengatakan wanita makhluk aneh di muka bumi. Lihat saja gadis yang dipanggil Dinda oleh ayahnya. Kakinya gemetar, tangannya juga. Bahkan baki yang dipegangnya hampir terjatuh.Apa? Kenapa?Dia yang masuk sendiri ke sarang penyamun, dia yang lihat-lihat aurat orang, tapi dia yang teriak, dia juga yang gemeteran. Emang aku apain? Bathin Nakula kesal.Bukan apa-apa, ia takut gadis itu pingsan di sana. Siapa yang akan disalahin? Siapa yang susah?“Kau!” panggil Nakula akhirnya dengan kesal. “Taruh lagi di meja itu makanannya. Lalu cepat pergi. Jangan pingsan di sini!” Terdengar sangat ketus suaranya.Dengan kepala kaku dan sangat perlahan, gadis bernama Dinda menoleh, hingga Nakula dapat menangkap kepucatan di wajahnya. Namun, kemudian ketegangannya memudar. Mungkin karena melihat Nakula sudah berpakaian.Gadis itu berjalan perlahan melewati Nakula. Walaupun tidak segemetaran tadi, tetapi bakinya masih sedikit bergoyang. Ditaruhnya baki berisi mak
158 “Naku!” Seseorang memanggil namanya sesaat setelah sang pemuda turun dari mobilnya. Nakula menoleh dan mendapati seorang gadis setengah berlari menghampirinya. “Kata Opa, Naku udah pindah ke galeri?” tanya sang gadis begitu tiba dan berdiri di hadapan Nakula. “Sementara aja, sih. Kan, lagi proses skripsi juga. Butuh ketenangan, kan?” Nakula menjawab santai. “Beneran cuma karena itu? Bukan karena Dewa?” Nakula menarik kedua sudut bibirnya ke samping hingga tercipta sebuah lengkungan senyum yang bagi Nadira tetap saja terlihat dipaksakan. Kedua tangan Nakula memegang pundak sang keponakan. Tubuhnya membungkuk agar wajahnya sejajar dengan Dira. “Udah, ya. Nggak usah dibahas lagi. Kesannya aku nggak bisa move on.” “Tapi Naku belum move on, kok. Kelihatan dari matanya.” Nakula kembali menegakkan tubuhnya, lalu membuang napas kasar. Nadira benar, ia belum bisa move on. Itu karena Inggit satu-satunya gadis yang pernah dekat dengannya secara intens dan serius. Mereka bahkan sudah m
159“Dira! Inggit! Ada apa?” Dewa muncul entah dari mana. Langsung mendekat karena melihat dua wajah wanita itu sangat tegang. Ia bahkan meringis ngilu melihat dada kedua wanita itu saling bergesekkan. Ia ngeri terjadi perang dunia.“Di—” Ucapan Dewa terpotong, karena sebelah tangan Nadira terangkat tepat di depan wajahnya.Nadira menarik diri, hingga berjarak dengan Inggit. Tapi tatapan tajamnya tetap terhunus di wajah Inggit. Tak lama gadis itu beranjak pergi tanpa berkata-kata lagi. Bahkan tidak sedikit pun melirik ke arah Dewa.Dewa yang merasa diabaikan, gegas mengejar Nadira dan menarik tangannya.“Ada apa antara kamu sama Inggit?” tanyanya setelah berhasil menahan keponakannya itu.Nadira membuang pandangan dengan jengah. “Kenapa kamu nggak nanya pacar kamu aja?”“Di, kalian tidak apa-apa, kan?” Dewa menatap cemas.“Memangnya kalau ada, kenapa? Kamu takut?” tantang Nadira.“Bukan begitu, Di. Kelak kalian akan menjadi saudara. Kalau aku jadi menikahi Inggit, dia akan menjadi bag
160“Apa?”Seperti hantu? Tidak kebalik? Justru kamulah yang seperti hantu. Datang ke tempatku selalu tanpa kabar dan menjerit-jerit pula. Seperti kuntilanak. Membuat jantungku hampir copot.Ingin rasanya Nakula melontarkan kalimat itu, tapi ia tidak sampai hati. Apalagi gadis itu terus menunduk sambil memilin jarinya satu sama lain. Lalu saat Dinda hendak berjongkok, mungkin ingin membersihkan isi baki yang tercecer di lantai, gegas Nakula mencegahnya.“Tidak perlu! Biar Indra yang bersihkan,” ujarnya ketus. “Kau kembali saja ke resto Papa. Lalukan apa yang seharusnya kau lakukan.”Dinda menghentikan gerakan tubuhnya, kemudian menoleh dan menengadah hingga tatapan mereka saling bertemu. Sorot heran dan kecewa di matanya dapat Nakula tangkap. Namun, pemuda itu tidak peduli. Ia berlalu meninggalkan Dinda.Naku mencari keberadaan Indra di sekitar galerinya, lalu menyuruhnya membersihkan lantai.“Jika gadis itu masih di sana, kau suruh kembali ke resto Papa. Dan ingat, sejak saat ini jan
161Sejak hari itu, Nakula benar-benar melarang Dinda untuk datang ke tempatnya mengantar makanan. Ia mewanti-wanti Indra agar tidak mengizinkan gadis itu masuk. Pandu juga tidak bisa berbuat banyak. Meski sangat ingin melihat anaknya yang satu itu segera move on dan membuka hati untuk perempuan lain, tetapi ia tidak bisa memaksa.Hanya anehnya, setelah melarang Dinda mengantar makanan, ia juga tidak datang untuk mengambilnya. Malah lebih sering memesan makanan via jasa antar.“Pak Bos, sejak melarang saya mengantar makanan, Mas Nakula juga tidak datang ke sini mengambil makanannya. Padahal dari awal ia mengatakan bisa mengambil sendiri, bukan?” Dinda yang duduk di hadapan pria paruh baya menyampaikan laporannya.Pandu menarik napas dalam lalu mengembusnya perlahan. “Anak itu memang susah. Kaku, tidak mudah menerima orang baru, apalagi hatinya baru saja terluka. Mohon dimaafkan, ya. Maaf sudah menyusahkanmu. Din.”“Saya minta maaf, Pak Bos. Saya tidak bisa menjalankan tugas dengan bai
162“Mas Naku demam.” Dinda bergumam setelah meraba kening pemuda yang tergolek lemah di atas tempat tidur.“Mas Indra, bisa minta tolong belikan obat ke apotek?” Gadis itu berbalik menghadap Indra yang berdiri di sampingnya.Indra mengangguk seraya menerima uang yang disodorkan Dinda. Lalu pergi setengah berlari.Dinda sendiri langsung kembali ke resto, mengambil handuk kecil dan baskom untuk mengompres Nakula. Tak lupa membuatkan bubur untuk makan pemuda itu. Ia yakin jika Nakula terkena typus. Terbukti dari suhu tubuhnya yang tinggi, juga kebiasaan hanya menyantap masakan instan kemasan.“Apa perlu saya telepon Pak Bos, Mbak?” tanya Indra setelah menyerahkan obat yang dipesan Dinda. Untunglah di dekat lokasi itu terdapat apotek yang buka 24 jam hingga Indra tidak perlu mencari jauh.Dinda sendiri tengah menempelkan handuk kecil di kening Nakula untuk mengompresnya.“Sepertinya jangan sekarang, Mas. Besok Pak Bos ada acara lamaran anaknya yang lain. Pasti konsentrasi mereka akan ter
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok