161Sejak hari itu, Nakula benar-benar melarang Dinda untuk datang ke tempatnya mengantar makanan. Ia mewanti-wanti Indra agar tidak mengizinkan gadis itu masuk. Pandu juga tidak bisa berbuat banyak. Meski sangat ingin melihat anaknya yang satu itu segera move on dan membuka hati untuk perempuan lain, tetapi ia tidak bisa memaksa.Hanya anehnya, setelah melarang Dinda mengantar makanan, ia juga tidak datang untuk mengambilnya. Malah lebih sering memesan makanan via jasa antar.“Pak Bos, sejak melarang saya mengantar makanan, Mas Nakula juga tidak datang ke sini mengambil makanannya. Padahal dari awal ia mengatakan bisa mengambil sendiri, bukan?” Dinda yang duduk di hadapan pria paruh baya menyampaikan laporannya.Pandu menarik napas dalam lalu mengembusnya perlahan. “Anak itu memang susah. Kaku, tidak mudah menerima orang baru, apalagi hatinya baru saja terluka. Mohon dimaafkan, ya. Maaf sudah menyusahkanmu. Din.”“Saya minta maaf, Pak Bos. Saya tidak bisa menjalankan tugas dengan bai
162“Mas Naku demam.” Dinda bergumam setelah meraba kening pemuda yang tergolek lemah di atas tempat tidur.“Mas Indra, bisa minta tolong belikan obat ke apotek?” Gadis itu berbalik menghadap Indra yang berdiri di sampingnya.Indra mengangguk seraya menerima uang yang disodorkan Dinda. Lalu pergi setengah berlari.Dinda sendiri langsung kembali ke resto, mengambil handuk kecil dan baskom untuk mengompres Nakula. Tak lupa membuatkan bubur untuk makan pemuda itu. Ia yakin jika Nakula terkena typus. Terbukti dari suhu tubuhnya yang tinggi, juga kebiasaan hanya menyantap masakan instan kemasan.“Apa perlu saya telepon Pak Bos, Mbak?” tanya Indra setelah menyerahkan obat yang dipesan Dinda. Untunglah di dekat lokasi itu terdapat apotek yang buka 24 jam hingga Indra tidak perlu mencari jauh.Dinda sendiri tengah menempelkan handuk kecil di kening Nakula untuk mengompresnya.“Sepertinya jangan sekarang, Mas. Besok Pak Bos ada acara lamaran anaknya yang lain. Pasti konsentrasi mereka akan ter
163“Dindanya ke mana?” tanya Nakula pagi ini saat tak mendapati wanita itu di sofa. Namun, semangkuk bubur yang masih mengepulkan asap sudah tersaji di meja. Sementara Indra masih setia menemaninya di sana.“Mbak Dinda mau pulang dulu katanya, Bang. Semalaman kan, nggak ganti baju. Katanya nanti waktunya makan siang ke sini lagi.” Indra menjelaskan seraya menaruh gelas berisi air mineral di dekat mangkuk bubur.“Mbak Dinda berpesan, Abang harus habiskan makanannya. Obatnya juga jangan lupa dinimun biar cepat sembuh. Dan satu lagi, Abang jangan ke kampus dulu katanya. Istirahat saja.”Nakula tertegun mendengar ucapan Indra. Entah apa benar itu amanah dari Dinda, atau hanya perhatian dari karyawannya saja yang mengatasnamakan Dinda. Tidak ayahnya, tidak Indra memang terlihat sangat menyukai gadis itu, dan selalu berdiri di pihaknya seolah Dinda punya hipnotis yang dapat mempengaruhi orang.Tapi jika dipikir-pikir, gadis itu memang baik. Buktinya semalam mengurusinya dengan telaten. Pad
164Dinda menahan napas hanya agar udara yang keluar dari mulutnya tidak langsung menerpa wajah seseorang di hadapannya. Tangannya yang memegang sendok sedikit gemetar saat mengangkat benda berisi bubur itu untuk disodorkan ke arah mulut seseorang. Untunglah ini suapan terakhir. Bubur dalam mangkuk di tangannya sudah tandas. Seseorang yang katanya tadi tidak mau makan itu, kini sudah menghabiskan bubur dengan lahapnya.Dinda mengembuskan napas lega seraya membalikkan tubuh menjadi membelakangi pemuda yang baru selesai disuapinya. Kemudian meletakkan mangkuk kosong dan mengambil botol air mineral. Ia memejam sebentar sebelum kembali berbalik dan menyodorkan botol itu. Beberapa butir obat tidak lupa ia sodorkan juga.Seharusnya pekerjaannya sudah selesai, tapi sisa bubur yang menempel di sudut bibir pemuda itu membuat pandangan Dinda tidak nyaman. Ia mengambil selembar tisu yang juga ikut disodorkan.“Ada yang tertinggal, Mas,” ujarnya seraya menunjuk bibirnya sendiri sebagai kode agar
165“Dewa tidak ikut?” tanya Nakula saat mereka berkumpul melingkari meja besar di resto Pandu.Sore ini Pandu sengaja memerintahkan agar resto ditutup lebih awal. Ia mengajak keluarganya untuk makan bersama. Juga agar seluruh karyawan bisa istirahat lebih awal.“Dewa masih di rumah keluarga Inggit.” Nadira yang menjawab.“Sudahlah, kami datang untuk menjengukmu dan menemani kamu makan, Naku. Kamu senang kan, kami datang?” Alvina mengalihkan lagi obrolan untuk menghindarkan Nakula terbawa perasaan karena raut wajahnya mendadak berubah.Nakula menoleh dan menatap sang ibu, kemudiam tersenyum tipis untuk membuktikan jika dirinya baik-baik saja. Ia tidak mau terus-terusan membuat sang ibu khawatir hingga berujung memaksanya kembali ke rumah.Susah payah ia meyakinkan ibunya jika dirinya di sana sangat betah. Tadi, Nakula sampai harus melobi Dinda yang malah menunduk dengan wajah merahnya.“Dinda, tolong bilang kalau kamu akan terus ngurusin aku biar Bunda tetap ngizinin aku di sini.” Nak
166“Apa?” Dua gadis berseru bersamaan. Dinda dan Nadira.Nakula sendiri menelan ludah sebelum menekuri mangkuk buburnya. Entah bagaimana bisa ia mengucapkan kalimat barusan di depan seluruh keluarganya. Pemuda itu memejam. Sungguh, ia hanya ingin menghindari perjodohan yang mungkin akan dilakukan orang tuanya agar dirinya tidak lagi sendiri.Dinda? Yang benar saja. Ia bahkan baru mengenal gadis itu beberapa hari. Bertemu di galeri dalan waktu yang singkat-singkat kecuali tadi malam. Itu pun ia dalam keadaan tidak sadar. Tidak pernah ada obrolan pribadi. Apalagi rencana pernikahan.Siapa tahu gadis itu sudah punya kekasih, atau lebih parahnya suami. Ah, bodohnya dia. Tapi yang penting untuk sekarang ini bisa terlepas jadi jodoh-jodohan itu dan juga paksaan untuk kembali ke rumah.“Beneran nih? Bukan cuma akal-akalan kamu saja, Naku?” Alvina yang sangsi malah sengaja menggoda.Bola mata Nakula bergerak gelisah.“Beneran lho, ya. Karena kalau kami tahu ini cuma akal-akalan kamu aja. Kam
167Nakula mengikat tali sepatunya. Lalu berdiri seraya merenggangkan otot-ototnya. Kedua kakinya dibuka lebar. Tubuh bagian atasnya diputar ke kiri dan kanan. Berlari-lari kecil di tempat, sebelum akhirnya mulai berlari mengitari area restoran dan galeri.Sejak sembuh dari sakitnya, pemuda itu mulai rajin berolahraga walaupun hanya jogging di pagi hari sebelum mulai beraktivitas.Benarlah pepatah mengatakan jika nikmat sehat akan terasa sangat berharga setelah kita diserang sakit. Nakula kini lebih menghargai tubuhnya setelah merasakan jika sakit itu sama sekali tidak enak. Ia kini lebih memperhatikan asupan makanan dengan makan teratur dan makan makanan sehat. Juga rajin berolahraga mesksi hanya yang ringan-ringan.Skripsi yang tengah disusunnya jadi sedikit terbengkalai gegara sakit ini karena ia harus istirahat. Untungkah kini ia sudah pulih. Sang pemuda bukan hanya merasa tubuhnya yang kembali sehat, lebih dari itu ia merasa dilahirkan kembali. Bagaimana tidak? Di sisinya kini ad
168Nakula mengusap wajah dengan kasar entah untuk ke berapa kalinya. Sungguh, hari ini ia tidak bisa fokus. Percakapan tadi pagi dengan saudara kembarnya cukup mengganggu konsentrasinya. Bagaimana tidak? Dewa mengatakan jika sebenarnya Inggit tidak pernah menaruh perasaan apa pun terhadapnya. Semua gadis itu lakukan hanya karena mengira dirinya Sadewa.Diakuinya Dewa memang cukup populer di kampus walaupun ia mahasiswa yang malas dan minus prestasi. Pembawaannya yang ramah, supel dan ditunjang dengan fisik yang goodlooking serta fasilitas dari orang tua yang mentereng, membuat banyak mahasiswi tertarik padanya.Suatu kebanggan bagi para gadis jika mereka disukai Dewa dan ditembak menjadi pacarnya. Nakula baru menyadari itu. Ia memang tak sepopuler saudara kembarnya karena kepribadian mereka yang bertolak nelakang.Nakula tidak suka keramaian dan cenderung introvert. Tidak memiliki banyak teman karena ia lebih suka menyendiri. Ia juga tidak mudah dekat dengan seseorang apalagi seorang
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok