Home / Pernikahan / Hasrat Seorang Ipar / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Hasrat Seorang Ipar: Chapter 31 - Chapter 40

66 Chapters

31

31            Tak terasa, kami telah bercengkrama selama kurang lebih satu jam lamanya. Malam semakin beranjak dan beberapa jam lagi fajar pun akan menyingsing. Mas Wisnu bagai segelas kafein yang membuat mata terjaga. Aku sama sekali tak merasa letih apalagi mengantuk, meski belum tertidur barang semenit pun.            “Mas, aku kembali dulu ke dalam. Takut-takut Mbak Mel terbangun dan menanyakan ke mana aku pergi.” Aku beranjak dari duduk. Lagipula, nyamuk mulai berdatangan dan menggerayangi kaki serta telinga.            “Oke, Dek. Mas di sini saja sampai pagi. Kalau Melani butuh sesuatu, telepon saja.” Mas Wisnu meraih tanganku saat kami akan berpisah. Tak disangka, pria itu mengecupnya dengan hangat.          &
Read more

32

32            “I-iya ....” Ucapan Mas Wisnu terbata. Langkahnya seperti enggan kala kembali ke arah kami.            “Maaf, apakah kalian saling mengenal?” tanyaku sembari menelisik perempuan tinggi dengan tubuh bak model dan berwajah sangat cantik tersebut. Dagunya lancip dengan pipi tirus, berbibir penuh dan menggoda, bagai menggunakan filler. Aku sebagai wanita jadi minder sendiri. Terlebih, ketika tahu bahwa dia mengenal suamiku. Apa hubungan keduanya?            “Tentu saja. Sebelum Wisnu menikah, kami berteman baik. Eh, sebentar. Istri Wisnu namanya Melani, bukan? Namun, yang kubaca di iklan itu owner dari Renjana adalah Rahayu. Ini yang namanya Mbak Rahayu, kan? Soalnya, seingat saya, Melani itu lebih tinggi dan tidak pakai hijab.” Perem
Read more

33

33            Dengan debaran jantung yang belum stabil, aku bergegas masuk ke rumah dan menghambur pada Dewi serta Arifin yang sedang sibuk bekerja.            “Yu, aku minta ma—”            “Ssst! Lupakan!” cegahku pada Arifin dengan suara pelan sembari meletakkan telunjuk di depan bibir. Wajah lelaki itu tampak penuh penyesalan akibat perkataannya di depan Septi tadi. Namun, sekarang aku tak lagi mempermasalahkannya. Mungkin ini adalah sebuah pembuka langkah bagiku untuk menyibak tabir misteri yang melingkupi kehidupan Mas Wisnu.            “Dew, tolong cepat cek followers Renjana di Instagram dengan nama Septi.” Aku memerintahkan Dewi yang tengah bekerja di depan layar laptopnya.
Read more

34

34            Sambil menguatkan hati, aku segera membuka aplikasi Telegram yang semula memang telah terpasang pada gawai. Kupilih fitur secret chat dan menambahkan kontak Septi sebagai si penerima pesan. Berharap, percakapan rahasia ini tak dapat bocor serta disadap oleh siapa pun termasuk Mas Wisnu.            [Mbak, ini aku, Ayu. Masalah Mas Wisnu. Apakah kalian sebelumnya memiliki sebuah hubungan spesial?]            Langsung saja aku to the point tanpa berbasa basi lagi. Tak sabaran hati ini untuk menerima segala apa pun yang bakal perempuan tersebut ceritakan. Benar atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting dapat informasi dahulu, baru kemudian cross check.            Tak berselang lama, pesan masu
Read more

35

35            “Terima kasih, Aunty. Ayo, kita duduk.” Septi duduk sembari memangku bocah yang terus menatapku dengan senyuman lebar itu. Sesekali, bayi berusia empat bulan tersebut tertawa geli memperlihatkan gusinya yang masih tak bergigi.            Aku masih sedikit syok. Dengan menguatkan diri, sebisa mungkin kusembunyikan rasa kaget yang begitu luar biasa. Kucoba untuk menatap ke arah Septi yang menenangkan Danendra yang terus ingin berdiri dan melonjak dari pangkuannya. Namun, hati ini ternyata begitu rapuh. Ada rasa sedih dan kecewa yang teramat dalam, hingga lelehan air mata ini entah mengapa tiba-tiba ingin mendesak keluar. Tahan, Ayu! Kamu harus kuat. Hadapi semua kenyataan, baik manis atau pahit sekalipun.            “Hei, Danendra. Apakah mau Om Ar gendong? S
Read more

36

36            “Mbak, maaf. Danendra kayanya haus.” Arifin datang sembari menggendong bayi lucu yang sedang menangis kencang tersebut.            “Oh, iya. Waktunya nenen, sih.” Septi meraih sang bayi dan mulai menenangkannya.            “Mbak, sepertinya aku dan Arifin langsung pamit saja dulu. Nanti, kalau gamisnya sudah jadi, kita bisa bertemu lagi, kan?”Aku bangkit dari duduk. Kulihat waktu di arloji pun sudah semakin sore.            “Tentu saja boleh. Hubungi via Telegram, ya.” Senyuman Septi mengembang, begitu ramah dan sarat akan persahabatan.            Sebelum pulang, aku meminta izin untuk mencium dan menggendong Dan
Read more

37

37            Usai salat dan berdoa cukup panjang, aku segera turun dari lantai dua dan menanti sosok Arifin di depan masjid. Lelaki itu ternyata baru keluar juga. Wajahnya terlihat bersinar dengan pancaran kesalehan yang begitu kuat. Dadaku berdebar. Cepat kualihkan pandangan agar tak terlihat gugup.            “Maaf lama, Yu. Aku berzikir dulu tadi.”Suara Arifin mengalun lembut, begitu sopan masuk ke telinga.            “Nggak apa-apa, Ar,” jawabku sembari berjalan pelan beriringan dengannya.            “Kita jadi ke bengkel yang kamu bilang tadi?” Arifin menoleh ke arahku. Entah mengapa, aku jadi gugup.            “Jadi.” K
Read more

38

38            “Sebaiknya kita pulang, Yu. Hari semakin malam dan resto ini akan tutup sebentar lagi.” Arifin bangkit dari duduknya. Lelaki itu berjalan duluan dan tak disangka dia malah berdiri di depan kasir.            “Ar, biar aku saja.” Aku mencegah lelaki itu untuk membayar makanan kami.            “Aku saja. Kali ini aku yang mentraktir.” Lelaki itu mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dan menyerahkannya ke kasir.            “Ini kembaliannya, Mas,” seorang kasir lelaki paruh baya menyerahkan selembar uang lima ribu pada Arifin. Tangan Arifin meraihnya dan ternyata uang tersebut dimasukkan ke dalam kotak amal yang berada di samping meja kasir.    &n
Read more

39

39            Dengan memantapkan diri dan mengusir segala takut, aku terpaksa mengangkat telepon dari Mas Wisnu. “Halo,” ucapku dengan suara yang agak dibuat parau layaknya baru bangun tidur.            “Dek, Mas lagi di jalan, nih. Tadi baru dari bengkel ngobrolin profit sama Eka. Sekitar lima belas menit lagi sampai rumah. Tolong bukakan pintu, ya.” Suara Mas Wisnu membuat degupan jantung ini semakin laju. Darah di tubuhku serasa naik semua ke ubun-ubun.            “Baik, Mas. Hati-hati di jalan, ya.” Berat betul bibirku berucap. Seakan tertahan oleh beban ratusan kilogram.            “Oke, Dek. Jangan tidur dulu. Mas mau ngobrol banyak hal. Sudah dulu, Dek Ayu. Bye!” Nada bica
Read more

40

40            “D-dek ....” Mbak Mel menatapku dengan wajah yang pucat pasi. Kertas yang semula dipegangnya jatuh dari genggaman.            “Katakan ini hanya bohong, Yu!” Ibu histeris. Suaranya memekik. Perempuan tua itu begitu syok.            “Aku mohon, maafkan aku, Mbak, Bu. Ini kesalahanku. Aku sungguh menyesal dan batunya telah menimpa diri ini.” Aku berlutut sembari mengankupkan dua tangan di dada, berharap rasa iba muncul dari hati Mbak Mel dan Ibu.            Mbak Mel bergeser dan turun dari ranjang. Aku kini memejamkan mata bersiap untuk menerima segala hukuman. Baik berupa pukulan, jambakan, atau hujan hujatan.            &ldq
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status