Home / Pernikahan / Hasrat Seorang Ipar / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Hasrat Seorang Ipar: Chapter 1 - Chapter 10

66 Chapters

1

Tibalah hari yang ditunggu-tunggu oleh keluarga besarku. Ya, hari itu adalah pernikahan Mbak Mel, putri kesayangan ibu dan almarhum bapak. Walau keduanya memiliki dua orang putri, Mbak Mel dan aku, namun jauh di relung hati ini aku sangat paham jika yang paling mereka cintai adalah Mbak Mel seorang.Sejak kecil, ibu dan bapak selalu saja mendahulukannya. Membelikan barang-barang mahal untuknya, sampai menyekolahkan perempuan cantik itu hingga S-1. Sedang aku? Selalu mendapat lungsuran barang darinya dan hanya berkesempatan berkuliah hingga D-3. Alasan klasik, uang ibu dan bapak sudah tidak cukup jika menguliahkan dua anaknya ke jenjang sarjana.Aku yang hanya berbeda usia setahun saja dengan Mbak Mel, sudah sangat paham dengan pembedaan perlakuan yang kami dapat dari kecil hingga dewasa. Jadi, aku tak akan heran lagi jika nikahan Mbak Mel hari ini sangat istimewa untuk keluarga kami. Dan dapat kupastikan, pernikahanku kelak mungkin akan disambut biasa saja oleh ibu dan
Read more

2

Seharian kuhabiskan mendekam dalam kamar. Rasa benci dan marah berkecamuk memenuhi kepala. Tumben sekali aku merasa seemosional ini. Padahal, lama sudah aku tak acuh pada sikap Ibu dan Mbak Mel. Mengganggap keduanya angin lalu. Tak patut untuk digubris. Namun, entah mengapa hari ini terasa berbeda. Niat awal ingin mempermalukan keduanya di hadapan orang baru, malah aku yang kalah telak terlebih dahulu.Pukul sebelas malam, aku masih saja berada di dalam kamar. Tanpa makan dan minum. Oh, bodohnya aku. Mana sifat cuek dan tegar Ayu yang dulu? Yang diam dan abai saat Ibu atau Mbak Mel melukai perasaan dengan kata-kata bak sembilu? Mengataiku tak laku, tak punya bakat, pengangguran atau patut jadi pembantu. Aku ingin seperti hari kemarin, yang beku dan abai pada kalimat pahit empedu.Saat aku masih merenung di atas tempat tidur dan mengabaikan ratusan pesan masuk di WhatsApp yang kebanyakan dari grup jual beli dan beberapa pelanggan yang memesan barang, tiba-tiba terdengar
Read more

3

Sejak Mbak Mel marah-marah melihat suaminya membantuku membereskan rumah, Mas Wisnu terlihat semakin canggung di rumah ini. Mereka berdua hanya menjadikan rumah sebagai tempat transit, terlebih setelah mulai masuk kantor.Mbak Mel masih seperti dulu. Bangun tidur, makan, pergi ke kantor, lalu pulang, makan lagi, terus masuk kamar. Tidak pernah sekalipun ikut bantu-bantu apalagi masak. Aku heran, mau sampai kapan? Apa dia tidak punya hasrat untuk melayani suaminya?Mas Wisnu pun begitu. Walau bangun sama awalnya dengan aku, dia terlihat takut-takut untuk ikut bantu-bantu di rumah. Dari gerak geriknya, terlihat Mas Wisnu itu adalah seorang yang rajin dan mandiri. Dia tampak tak nyaman jika hanya ongkang-ongkang kaki saja di rumah.Suatu hari, orderan gamis dan sepatu kulit yang kujual secara online sangat banyak. Aku sampai kewalahan untuk melakukan pengemasan. Sampai-sampai, hari itu aku tidak sempat untuk masak.“Lho, Yu, kok kamu nggak masak untuk
Read more

4

Kukaitkan liontin huruf A itu pada kalung emas dan memakainya. Leher jenjangku terlihat manis dengan perhiasan itu. Seketika bibirku tersungging menatap pantulan diri di cermin. Ternyata aku cantik juga jika memakai perhiasan seperti ini.Perlahan kusisir rambutku yang sedikit berantakan. Sakit, ternyata saking jarangnya bersisir helai demi helai hitam di kepalaku jadi kusut begini. Saat memandangi rambut sebahuku tergerai, sekali lagi mengagumi kecantikanku. Apakah selama ini aku hanya kurang terawat sehingga belum satu pun lelaki yang berniat untuk mendekati?Entah kenapa, malam itu aku sangat ingin mengenakan bedak dan lipstik yang selama ini tersimpan rapi di dalam laci lemari. Jarang tersentuh karena memang aku tak suka bersolek plus hanya sesekali keluar rumah.Awalnya tangan ini sangat kaku menyapukan bedak, hingga rasanya mukaku jadi cemong karena bedaknya terlalu tebal. Pelan-pelan, aku memperbaiki polesan bubuk berwarna beige itu ke seluruh penjuru waj
Read more

5

Sepanjang perjalanan pulang, aku memeluk Mas Wisnu di atas motor. Terpaan angin dini hari yang sejuk membuat tubuh Mas Wisnu mampu menghangatkan. Harum tubuhnya yang maskulin membuatku merasa begitu betah dan ingin berlama-lama berdua bersamanya. Terbesit di benak, coba Mas Wisnu adalah milikku. Takkan kubiarkan dia mengeluh tentang hidup sedikit pun. Kubebaskan dia bagai burung untuk terbang mengitari cakrawala dan kembali ke sarang saat senja tiba. Mbak Mel yang keras dan banyak mau, jelas bukan wanita idaman yang dibutuhkan lelaki tampan itu. Tuhan, bolehkah aku merebut suami mbakku sendiri?Kami tiba di rumah pukul satu lewat tiga puluh menit dini hari. Ini benar-benar pengalaman yang gila. Aku keluar rumah tengah malam dengan seorang lelaki pula. Pelan Mas Wisnu menuntun motor ke halaman. Jantungku tiba-tiba berdegup sangat kencang. Lampu ruang ramu yang tadinya kami matikan, kini terang benderang. Ada apa? Apakah Mbak Mel dan Ibu terbangun?“Mas....”
Read more

6

6            Kami berdua mengendara motor selama kurang lebih dua puluh menit di tengah malam buta yang cukup dingin ini. Mas Wisnu menghentikan laju kendaraannya di sebuah hotel bintang tiga yang lumayan terkenal di kota kami. Aku mengernyitkan kening. Hah? Hotel? Apakah mungkin iparku mengajak untuk check in di sini?            “Sementara kita menginap di sini ya, Dek?” Mas Wisnu memarkirkan motornya di halaman parkir hotel yang luas. Aku tak dapat banyak berkata, hanya mengangguk tanda mengiyakan saja.            Dengan penuh kelembutan, Mas Wisnu menggandeng tanganku sembari berjalan masuk ke hotel. Dua orang resepsionis menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Padahal, saat ini jam sudah menunjukkan pukul tiga. Mereka seakan tak mengantuk dan melayani kedatangan tam
Read more

7

7            Mas Wisnu cepat-cepat memakai pakaian, sedang aku membalik badan agar tak melihatnya tanpa busana. Gedoran pintu masih terdengar dan semakin kasar. Kedua kaki ini langsung terasa lemas. Sekonyong-konyong tubuhku terasa oleng dan mau pingsan.            “Sebentar!” teriak Mas Wisnu sambil terburu-buru berlari ke arah pintu.            “Mas Wisnu! Dek Ayu! Kalian jahat! Sungguh-sungguh kejam padaku!” Suara Mbak Mel menjerit histeris. Perempuan itu datang diiringi dengan tiga lelaki berpakaian santai dan seorang petugas berseragam hotel.            “Kami dari pihak kepolisian.” Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan rambut sebahu dan wajah sangar memperlihatkan kartu tanda anggota polri.
Read more

8

8            Kuhilangkan semua duka, kecewa, dan rasa malu yang telah mencoreng wajah. Sejenak aku beristirahat di sebuah cafe sambil menikmati segelas teh tarik dingin dan sepotong sandwich daging. Satu per satu siasat telah tersusun rapi di dalam pikiran. Mulai dari mencari tempat tinggal murah, kembali menjalankan bisnis, dan mencari tahu asal usulku melalui keluarga Bapak—itu pun jika mereka mau mengungkapkannya. Tahu betul bagaimana sikap keluarga besar Bapak pada diriku. Mereka kebanyakan dingin dan cuek. Tak pernah mau peduli terlebih lagi kala Bapak telah tiada. Jangankan mau bercengkrama, mampir ke rumah pun tak lagi sudi.            Kutimang-timang sertifikat tanah yang telah balik nama menjadi kepunyaanku tersebut. Ini adalah penguat langkah. Persetan dengan ancaman Mbak Mel. Jika tak bisa menjual, tentu saja benda ini bisa digunakan
Read more

9

9            Meski telah kuputus sambungan video call tadi, Mas Wisnu tak menyerah sampai di situ saja. Puluhan panggilan berikutnya terus berdatangan tanpa lelah, walaupun tak kunjung kuangkat. Tangisan ini kian menganak sungai bagaikan hujan lebat di penghujung bulan September. Sesak bagaikan dada ini ditimpa oleh beban berpuluh kilogram. Betapa sulit untuk terdefinisikan. Satu sisi aku begitu mencintai Mas Wisnu, tetapi di sisi lain sebisa mungkin kami harus saling menjauh agar tak terjadi kembali konflik antara aku dan dua betina iblis tersebut. Sudah... sudah cukup luka dalam yang mereka cipta. Tak kuat batin ini jika didera siksa tanpa kepastian akhir bahagia.            Beberapa pesan dari nomor baru milik Mas Wisnu pun menyerbu kotak masuk WhatsApp. Tak lagi kuhirau. Namun, meski mencoba untuk tak acuh, tetap saja hati ini mendesak agar mener
Read more

10

10            Mas Wisnu masih tercenung. Lisannya diam seribu bahasa. Kami terpaku beku seolah waktu telah berhenti berputar. Namun, tiba-tiba sejurus kemudian, lelaki berkemeja pendek model fisher biru laut tersebut menggenggam kedua tanganku. Kehangatan yang menjalar dari telapaknya dapat kurasa sampai ke dalam dada.            “Kalau itu permintaan Dek Ayu, baiklah. Mas akan segera cari penghulu yang dapat menikahkan secara siri.” Mas Wisnu menciumi punggung tanganku. Kecupan itu merupakan yang pertama kalinya. Ada tetes air mata yang kemudia mendesak keluar dari sudut pelupuk. Betapa harunya. Apakah ini serius? Atau hanya sekadar gurauan belaka?            “Apakah Mas betulan?” Keraguan menyeruak dari dasar hati.       
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status