10
Mas Wisnu masih tercenung. Lisannya diam seribu bahasa. Kami terpaku beku seolah waktu telah berhenti berputar. Namun, tiba-tiba sejurus kemudian, lelaki berkemeja pendek model fisher biru laut tersebut menggenggam kedua tanganku. Kehangatan yang menjalar dari telapaknya dapat kurasa sampai ke dalam dada.
“Kalau itu permintaan Dek Ayu, baiklah. Mas akan segera cari penghulu yang dapat menikahkan secara siri.” Mas Wisnu menciumi punggung tanganku. Kecupan itu merupakan yang pertama kalinya. Ada tetes air mata yang kemudia mendesak keluar dari sudut pelupuk. Betapa harunya. Apakah ini serius? Atau hanya sekadar gurauan belaka?
“Apakah Mas betulan?” Keraguan menyeruak dari dasar hati.
 
11 Dengan nekat, aku berdiri mendekati Bulek yang duduk di sofa seberang, lalu berlutut di hadapannya. Kusentuh kedua lutut perempuan itu, berharap dia mau memecah segala bisu dan rahasia yang ditutup dengan rapat. “Katakan, Bulek. Ceritakan semuanya. Aku sudah tahu jika aku ini adalah anak haram dari perempuan yang antah berantah.” Hatiku terasa patah berkeping-keping saat mengatakan kalimat tadi. Hancur perasaan ini. Tak tega nian aku menyebut ibu yang telah mengandung dan melahirkan sebagai perempuan antah berantah. Maafkan anakmu ini, bu. Meski tak kutahu siapa dirimu sebenarnya, tetapi sungguh di lubuk hati terdalam, tersimpan rindu akan sosok yang disembunyikan orang-orang selama ini. “Mengapa tak kamu tanyakan pada Mulyani saja?” Bule
12 Siang hari itu, aku dan Bulek Sarminah menumpang ojek untuk diantarkan ke kampung yang konon menjadi tempat tinggal sekaligus kuburan dari ibu Jayanti. Kampung itu hanya berjarak lima kilometer dari kampung kami. Tak jauh dan aku ternyata sedari kecil dulu kerap lewat daerah ini. Namun, tak ada satu pun yang memberitahu jika di sinilah ibuku pernah lahir, besar, lalu kemudian dikuburkan. Sesampainya di sebuah pemakaman umum yangtak jauh dari bangunan masjid, kami singgah dan bermaksud untuk ziarah. Ini adalah atas permintaanku. Awalnya, Bulek Sarminah enggan untuk menunjukkan di mana ibu Jayanti dikebumikan. Namun, dengan bujuk dan tangisan pilu, akhirnya Bulek mau juga diajak ke sini. Kami berjalan tanpa alas kaki, menyusuri gundukan tanah bernisan yang membuat
13 “Saya terima nikahnya Rahayu dengan mas kawin sebuah cincin emas seberat tiga gram dibayar tunai.” Suara Mas Wisnu terdengar lantang saat berjabat tangan dengan seeorang penghulu nikah. “Sah!” Dua orang saksi yakni Pak Bambang, ketua RT komplek rumah baru kami, dan Pak Aziz, pengurus masjid setempat, mengucapkan sebuah kata yang begitu kunanti. “Alhamdulillah.” Aku dan Mas Wisnu saling mengucap syukur, menadahkan tangan dan ikut mengaminkan doa-doa yang dilantunkan oleh penghulu. Meski pernikahan ini belum resmi dicatatkan secara hukum, digelar sederhana di dalam rumah yang Mas Wisnu hadiahi tempo lalu, serta hanya dihadiri oleh penghulu dan dua saksi, t
14 Mas Wisnu hanya dapat membisu. Pandangannya nanar. Cukup lama dia melamun, seolah memikirkan beban yang begitu berat. Jujur saja, hancur hati membayangkan jika Mbak Mel sungguhan hamil. Akan banyak pertimbangan Mas Wisnu untuk meninggalkan perempuan itu. Aku hanya tak sanggup dengan kenyataan, jika suami siriku itu malah berubah pikiran dan tak jadi menceraikan Mbak Mel. Bisa saja anak menjadi perekat di antara mereka, membuat keduanya saling semakin mencintai lagi, lalu Mas Wisnu meninggalkanku untuk selamanya. “Mas, jika Mbak Mel hamil, akankah kau meninggalkanku?” Kupeluk Mas Wisnu dengan erat, tidak... aku tak mau kehilangan dirinya. Dia adalah cinta pertama dan terakhirku. Lelaki itu akan menjadi milikku seutuhnya, selama-lamanya. “Aku tid
15 Kulalui malam dengan sepi dan tak bersemangat. Seharusnya, kami berdua saat ini tengah memadu cinta meneruskan ronde kedua. Namun, apa daya. Berbagi suami ternyata tak semudah yang aku bayangkan. Ternyata rasanya lebih sakit ketimbang sebelum aku pernah mengenal cinta. Layar ponsel yang penuh dengan pesan teks berkaitan dengan bisnis yang kugeluti, kini terlihat begitu membosankan. Puluhan chat terbengkalai tak kusentuh sama sekali. Rasanya aku Cuma ingin berbaring di atas bahu Mas Wisnu yang kokoh. Hanya itu saja, titik. Tuhan, sampai kapan harus kutelan nestapa merindu ini? Saking tak tahannya lagi, aku nekat untuk menelepon nomor rahasia milik Mas Wisnu yang digunakannya khusus hanya untuk menghubungiku. Sialnya, ternyata sedang tak aktif. Tentu saja
16 “Jadi, bagaimana, Mas? Apa kamu akan selamanya bertahan dengan Melani? Kamu nggak bakal menceraikan dia?” Mataku berkaca, membayangkan hal buruk yang akan terjadi di depan mata. Baru saja merengkuh bahagia, masa nasibku akan malang kembali seperti dulu kala? Mas Wisnu memegang kedua pipiku seraya berujar, “Dek Ayu, jangan berpikir yang tidak-tidak. Kita akan menjalani semua komitmen yang sudah Mas dan Dek Ayu buat sebelum pernikahan ini terjadi.” Tetap saja hati ini dipenuhi oleh rasa was-was. Berulang kali kecewa, aku menjadi mudah cemas dan selalu memikirkan kemungkinan terburuk. “Baiklah kalau begitu, aku akan memercayai kata-kata Mas Wisnu.” Aku lalu
17 Pukul empat pagi, alarm ponsel Mas Wisnu berbunyi dengan nyaring, membuat tidur pulas kami terganggu seketika. Setengah sebal, aku meraih benda tersebut dan mematikan bunyinya yang memekakkan telinga. “Mas, bangun,” kataku sembari menggoyangkan pundaknya. Lelaki yang sedang bertelanjang dada itu menggeliat di atas tempat tidur. “Udah jam empat, katamu mau pulang subuh.” Sembari menahan kantuk, aku berusaha membangunkan Mas Wisnu. Lelaki itu gelagapan saat aku menyebutkan pukul berapa saat ini. “Aduh, udah jam segini aja. Mas pulang ya, Dek.” Mas Wisnu langsung bergegas mengenakan pakaiannya. Tanpa mandi dan gosok gigi, lelaki itu langsung menciumku, kemu
BAGIAN 18 “Fan? Kamu nggak lagi kemasukan, kan?” tanyaku dengan setengah sebal. Lelaki itu akhirnya mengangkat kepala perlahan. Tampak dia menarik napasnya dalam-dalam sambil mengatupkan dua bibir erat. “Mbak ….” Dia menggantung kalimat. Membuatku hampir tak sabaran. Ada apa, sih? Apa susahnya buat to the point! “Kenapa? Kamu minta libur? Mau kas bon? Atau apa?” “Mau nggak … kalau kukhitbah?” Lelaki itu menatapku dengan wajah yang pucat pasi. Seketika mataku langsung membuka besar-besar. Arfan mau mengkhitbahku? Dia?&nbs
Bagian 66Ending POV WisnuEnding PoV WisnuVonis penjara seumur hidup bersama Miranti, Nizam, dan Gusti, membuatku benar-benar bagai kehilangan arah hidup. Masih melekat di ingatan, betapa pilunya tangis dari Ayah, Mama, dan Sintia yang turut hadir di persidangan terakhirku.“Mama nggak terima kamu dipenjara seumur hidup Wis!” Pelukan Mama sangat erat. Wanita yang tampak semakin kurus dan layu akibat mengalami banyak beban pikiran tersebut tersedu-sedu di dada. Sintia yang rela mengambil izin dari perkuliahannya, ikut memelukku dan menumpahkan tangis yang sama histeris.“Mas, kamu harus bebas. Kamu nggak bisa mendekam di dalam penjara selamanya. Aku nggak ikhlas!” Sintia menangis sangat histeris. Gadis berambut ikal hitam itu sampai pucat wajahnya. Aku begitu hancur melihat dua wanita ini sangat terpukul dengan nasib tragis yang menimpa.“Wis, siapa yang bantu perekonomian Ayah? Siapa lagi yang akan membiayai Sintia selanjutnya?” Ayah yang semula diam, kini ikut menangis memelukk
Bagian 65POV DimasSesampainya di depan kawasan masjid yang jaraknya tak jauh dari ruko sewaan Septi, Nizam dan Gusti yang sudah terlebih dahulu dihubungi oleh Miranti, ternyata sedang menunggu kedatangan kami di atas motor matik berwarna hitam yang kuduga adalah aset perusahaan milik Septi. Wajah kedua lelaki berusia 20 tahunan awal tersebut tampak semringah. Aku terpaksa turun dari mobil untuk menghampiri mereka.“Nizam, Gusti. Bisa masuk dulu ke mobil? Biar enak ngobrolnya.” Aku mengulas senyum pada keduanya. Nizam dan Gusti pun mengangguk dengan senyum yang semringah pula. Kedua mengikuti gerakku untuk masuk ke mobil. Mereka pun duduk dengan tenang di kursi penumpang nomor dua.“Nizam, Gusti.” Aku menoleh pada dua lelaki yang berada di belakangku. Keduanya tampak memberikan perhatian kepada ucapanku. Nizam yang bertubuh kurus tinggi, sedang Gusti sebaliknya (gemuk dan pendek), terlihat bersemangat saat menatapku. Nizam pasti telah menceritakan hal ini pada rekannya pasti, pikirku
Bagian 64POV Wisnu“Mas, sungguhankah?” Miranti kini melelehkan air matanya. Lebay! Bikin muak saja. Ayolah, cepat semua ini berakhir. Biar aku bisa segera pergi dan menjalankan aksi untuk mengenyahkan si Septi dan anak haramnya itu.“Iya, aku bersungguh-sungguh. Kamu mau bukti?” Kugenggam erat jemari kasar milik Miranti. Dasar babu, pikirku. Tangannya kasar sekali. Bagaimana rasanya kalau aku sungguhan meniduri anak ini? Ah, jijik! Wisnu Adhikara benar-benar tidak pantas dengan wanita hina seperti Miranti.“Apa itu, Mas?” Miranti gelagapan. Wajahnya seperti orang bodoh saja. “Sebaiknya makan dulu. Akan kubuktikan setelah kita makan.” Bersamaan dengan banyaknya hidangan yang kupesan, kuputus obrolan dan mengajak Miranti untuk menikmati santap siangnya.Miranti yang lugu dan kampungan tampak takjub dengan hidangan yang kupesan. Dia bahkan kesulitan dalam memakai pisau dan garpu. Bikin malu saja.“Santai, Mir. Tak perlu sungkan atau menggunakan table manner. Makan saja dengan caramu.”
Bagian 63POV WisnuSegera aku memasuki mobil dan duduk di depan kemudi. “Maaf, aku tadi ngobrol dulu dengan Nizam,” kataku sembari melempar senyum pada Miranti.Perempuan berjilbab itu tersenyum dengan manis. “Nggak apa-apa, Mas. Oh, iya, kita mau kemana?”“Makan siang dulu, ya? Sekalian ngobrol di resto hotel.” Aku membalas senyum Miranti. Menurunkan tuas rem tangan dan mulai memasukkan gigi pada persneling. “Aduh, aku jadi nggak enak hati, Mas. Makan di sana pasti mahal sekali.” Miranti menjawab dengan suara manjanya. “Ah, tidak seberapa, Mir. Murah saja bagiku. Tenang. Aku punya lumayan banyak uang, apalagi hanya sekadar mengajakmu makan di sana.” Aku mengedipkan mata ke arah perempuan itu. Senyum Miranti malah makin menjadi. Dia tampaknya sangat kesengsem dengan diriku. Wisnu dilawan! Perempuan mana pun kujamin akan bertekuk lutut dalam satu kedipan mata. Sepanjang perjalanan, kami mengobrolkan banyak hal. Mulai dari pekerjaan sehari-hari Miranti sebagai kasir dan sesekali ik
Bagian 62POV WisnuBerawal dari kedatangan Septi ke rumah yang kusewakan untuk Ayu, dari sanalah timbul sebuah niatan. Ya, aku tahu sekali perempuan ini sedang ingin 'bermain-main'. Tujuannya? Sudah pasti untuk menghancurkan kebahagiaan hidupku. Perempuan murah sialan! Sudah puas dia mengeruk pundi-pundi rupiah, kini dia malah datang untuk merecoki hubungan pernikahan 'tipu-tipu' yang kujalani bersama sang adik ipar. Sep, Sep! Kau tawari pisau, kuladeni kau dengan sebilah samurai. Aku tidak takut sama sekali! Yang kau hadapi adalah seorang Wisnu Adhikara! Bukan lelaki tolol yang selamanya bisa kau setir dengan seenak hati.Sepanjang Septi mengobrol dengan istri siriku di ruang tengah, aku sibuk memikirkan cara apa yang bisa menekuk balik perempuan itu. Hari ini juga dia harus tewas! Ya, hanya dengan cara itu aku bisa membungkam mulutnya rapat-rapat dan menghentikan segala tindak tanduk kurang ajar yang selama ini dia lakukan. Tak bakal ada lagi ancaman-ancaman yang hanya sebuah modus
Bagian 61POV DimasBenci sekali aku saat harus semalaman berada di rumah sakit untuk menunggui Melani begini. Seperti tidak ada pekerjaan lain saja. Membuat muak! Mana udara di luar terasa begitu dingin pula. Ya Tuhan, kapan sih pernikahan ini berakhir? Ah, kalau tidak mengingat banyaknya materi yang bisa terkucur dari saldo Melani, sudah barang tentu langkah ini kuangkat seribu.Saat asyik duduk sembari memejamkan mata di kursi panjang depan bangsal kebidanan, ponselku tiba-tiba berdering dari saku celana denim. Malas aku mengangkatnya. Orang gila mana yang menelepon tengah malam buta begini. Dasar tidak ada etika, pikirku.Berang betul aku saat melihat nama siapa yang tertera di layar. Sintia 2 alias nomor Septi yang berkamuflase sebagai adikku padahal bukan. Biar tidak ketahuan begitu. Perempuan sialan itu menelepon ke nomor rahasia yang kugunakan untuk menghubungi Ayu selama ini. Ya, bukan hanya menghubungi Ayu, sih. Beberapa kali jika menelpon atau mengirim pesan pada Septi, ak
Bagian 60POV DimasSepanjang perjalanan pulang, satu-satunya yang kupikirkan hanya taktik tentang penaklukan gadis polos bernama Rahayu alias Ayu yang tak lain adalah adik dari istriku sendiri. Terbayang dalam benak ini, betapa bahagianya aku jika bisa menguasai rumah dengan luas tanah yang lumayan. Hei, apa kau tidak tahu jika harga tanah semakin hari tambah gila saja nominalnya? Bayangkan jika sertifikatnya berhasil digadai. Bayangkan dulu aja, deh. Berapa rupiah yang bakal masuk ke dalam kantong? Belum lagi sawah Melani. Duh, betul-betul jadi miliarder aku! Beruntung sekali aku punya tampang setampan ini, pikirku. Perempuan tolol banyak yang terpikat. Satu orang telah masuk perangkap dan satunya lagi tinggal menunggu waktu. Meski wajahnya terkesan judes dan tak ramah, tetapi aku yakin bahwa anak itu bakal mudah untuk ditaklukkan. “Mas, kamu kok melamun, sih? Mikirin apa?” tanya Melani membuyarkan lamunan.“Ah, enggak. Lagi mikirin besok enaknya usaha apa, ya?” jawabku mengad
Bagian 59POV WisnuMelihat aku menangis, Septi yang sedari tadi telah menitikkan air mata pun, kini semakin menjadi guguannya. Betapa ajaibnya malaikat kecil yang baru saja hadir di tengah kami ini. Dia mampu membuat kerasnya hati dan ego runtub seketika. Menyatukan rekatan yang semula tercerai berai. “Sekarang kita jahit luka robekannya ya, Bu.” Suara bidan yang menolong persalinan Septi membuat kami sejenak menghentikan tangis haru.“Apa? Dijahit?” Aku syok. Panik sendiri. Setelah digunting, Septi kini harus kembali dijahit. “Iya, Pak. Biar rapi dan perdarahannya berhenti.” Bidan tersebut menjelaskan dengan sabar dan lembut. Meski tubuhnya tambun, wajahnya selalu saja tersenyum manis sehingga aura yang dia keluarkan begitu positif. Berbeda dengan rekannya yang lebih muda dan langsing tersebut. Jutek dan mudah terpancing. “Sep, kuat, ya.” Kuseka keringat yang membasahi kening dan pelipis Septi. Tangan perempuan itu memeluk tubuh bayinya yang sedang sibuk mengecap-ngecap dada si i
Bagian 58POV Wisnu“Jangan sinting kamu, Sep! Oke, aku akan ke sana. Tolong jangan kau lakukan ide gilamu itu.” Aku benar-benar menyerah. Kini Septi menjelma bak malaikat maut yang siap mencabut 'nyawaku' kapan pun dia mau. Benar-benar perempuan jahanam! “Makanya, jangan sekali-kali kamu mempermainkanku, Wisnu. Kamu pikir, kamu bisa lepas dari jeratan? Tidak sama sekali!” Suara Septi penuh jemawa. Kemenangan mutlak kini berada di dalam genggamannya. Aku kini bagaikan sepotong boneka kayu yang ditali. Gerakanku sempurna dimainkan oleh Septi. Ke kanan dan ke kiri, pokoknya semau hati betina culas itu. Biadab!“Sudahi omong kosongmu, Sep. Simpan tenagamu untuk melahirkan. Aku akan ke sana setelah mengantarkan Melani. Harusnya kau menghubungi lebih cepat agar aku bisa langsung ke rumah sakit.” Kutoleh ke belakang, ternyata Melani masih berdiri bersandar di samping motor. Gadis itu tengah sibuk memainkan gawainya. “Aku juga tidak tahu bakal melahirkan hari ini, bodoh! Seharusnya HPL-ku