Bagian 66Ending POV WisnuEnding PoV WisnuVonis penjara seumur hidup bersama Miranti, Nizam, dan Gusti, membuatku benar-benar bagai kehilangan arah hidup. Masih melekat di ingatan, betapa pilunya tangis dari Ayah, Mama, dan Sintia yang turut hadir di persidangan terakhirku.“Mama nggak terima kamu dipenjara seumur hidup Wis!” Pelukan Mama sangat erat. Wanita yang tampak semakin kurus dan layu akibat mengalami banyak beban pikiran tersebut tersedu-sedu di dada. Sintia yang rela mengambil izin dari perkuliahannya, ikut memelukku dan menumpahkan tangis yang sama histeris.“Mas, kamu harus bebas. Kamu nggak bisa mendekam di dalam penjara selamanya. Aku nggak ikhlas!” Sintia menangis sangat histeris. Gadis berambut ikal hitam itu sampai pucat wajahnya. Aku begitu hancur melihat dua wanita ini sangat terpukul dengan nasib tragis yang menimpa.“Wis, siapa yang bantu perekonomian Ayah? Siapa lagi yang akan membiayai Sintia selanjutnya?” Ayah yang semula diam, kini ikut menangis memelukk
Tibalah hari yang ditunggu-tunggu oleh keluarga besarku. Ya, hari itu adalah pernikahan Mbak Mel, putri kesayangan ibu dan almarhum bapak. Walau keduanya memiliki dua orang putri, Mbak Mel dan aku, namun jauh di relung hati ini aku sangat paham jika yang paling mereka cintai adalah Mbak Mel seorang.Sejak kecil, ibu dan bapak selalu saja mendahulukannya. Membelikan barang-barang mahal untuknya, sampai menyekolahkan perempuan cantik itu hingga S-1. Sedang aku? Selalu mendapat lungsuran barang darinya dan hanya berkesempatan berkuliah hingga D-3. Alasan klasik, uang ibu dan bapak sudah tidak cukup jika menguliahkan dua anaknya ke jenjang sarjana.Aku yang hanya berbeda usia setahun saja dengan Mbak Mel, sudah sangat paham dengan pembedaan perlakuan yang kami dapat dari kecil hingga dewasa. Jadi, aku tak akan heran lagi jika nikahan Mbak Mel hari ini sangat istimewa untuk keluarga kami. Dan dapat kupastikan, pernikahanku kelak mungkin akan disambut biasa saja oleh ibu dan
Seharian kuhabiskan mendekam dalam kamar. Rasa benci dan marah berkecamuk memenuhi kepala. Tumben sekali aku merasa seemosional ini. Padahal, lama sudah aku tak acuh pada sikap Ibu dan Mbak Mel. Mengganggap keduanya angin lalu. Tak patut untuk digubris. Namun, entah mengapa hari ini terasa berbeda. Niat awal ingin mempermalukan keduanya di hadapan orang baru, malah aku yang kalah telak terlebih dahulu.Pukul sebelas malam, aku masih saja berada di dalam kamar. Tanpa makan dan minum. Oh, bodohnya aku. Mana sifat cuek dan tegar Ayu yang dulu? Yang diam dan abai saat Ibu atau Mbak Mel melukai perasaan dengan kata-kata bak sembilu? Mengataiku tak laku, tak punya bakat, pengangguran atau patut jadi pembantu. Aku ingin seperti hari kemarin, yang beku dan abai pada kalimat pahit empedu.Saat aku masih merenung di atas tempat tidur dan mengabaikan ratusan pesan masuk di WhatsApp yang kebanyakan dari grup jual beli dan beberapa pelanggan yang memesan barang, tiba-tiba terdengar
Sejak Mbak Mel marah-marah melihat suaminya membantuku membereskan rumah, Mas Wisnu terlihat semakin canggung di rumah ini. Mereka berdua hanya menjadikan rumah sebagai tempat transit, terlebih setelah mulai masuk kantor.Mbak Mel masih seperti dulu. Bangun tidur, makan, pergi ke kantor, lalu pulang, makan lagi, terus masuk kamar. Tidak pernah sekalipun ikut bantu-bantu apalagi masak. Aku heran, mau sampai kapan? Apa dia tidak punya hasrat untuk melayani suaminya?Mas Wisnu pun begitu. Walau bangun sama awalnya dengan aku, dia terlihat takut-takut untuk ikut bantu-bantu di rumah. Dari gerak geriknya, terlihat Mas Wisnu itu adalah seorang yang rajin dan mandiri. Dia tampak tak nyaman jika hanya ongkang-ongkang kaki saja di rumah.Suatu hari, orderan gamis dan sepatu kulit yang kujual secara online sangat banyak. Aku sampai kewalahan untuk melakukan pengemasan. Sampai-sampai, hari itu aku tidak sempat untuk masak.“Lho, Yu, kok kamu nggak masak untuk
Kukaitkan liontin huruf A itu pada kalung emas dan memakainya. Leher jenjangku terlihat manis dengan perhiasan itu. Seketika bibirku tersungging menatap pantulan diri di cermin. Ternyata aku cantik juga jika memakai perhiasan seperti ini.Perlahan kusisir rambutku yang sedikit berantakan. Sakit, ternyata saking jarangnya bersisir helai demi helai hitam di kepalaku jadi kusut begini. Saat memandangi rambut sebahuku tergerai, sekali lagi mengagumi kecantikanku. Apakah selama ini aku hanya kurang terawat sehingga belum satu pun lelaki yang berniat untuk mendekati?Entah kenapa, malam itu aku sangat ingin mengenakan bedak dan lipstik yang selama ini tersimpan rapi di dalam laci lemari. Jarang tersentuh karena memang aku tak suka bersolek plus hanya sesekali keluar rumah.Awalnya tangan ini sangat kaku menyapukan bedak, hingga rasanya mukaku jadi cemong karena bedaknya terlalu tebal. Pelan-pelan, aku memperbaiki polesan bubuk berwarna beige itu ke seluruh penjuru waj
Sepanjang perjalanan pulang, aku memeluk Mas Wisnu di atas motor. Terpaan angin dini hari yang sejuk membuat tubuh Mas Wisnu mampu menghangatkan. Harum tubuhnya yang maskulin membuatku merasa begitu betah dan ingin berlama-lama berdua bersamanya. Terbesit di benak, coba Mas Wisnu adalah milikku. Takkan kubiarkan dia mengeluh tentang hidup sedikit pun. Kubebaskan dia bagai burung untuk terbang mengitari cakrawala dan kembali ke sarang saat senja tiba. Mbak Mel yang keras dan banyak mau, jelas bukan wanita idaman yang dibutuhkan lelaki tampan itu. Tuhan, bolehkah aku merebut suami mbakku sendiri?Kami tiba di rumah pukul satu lewat tiga puluh menit dini hari. Ini benar-benar pengalaman yang gila. Aku keluar rumah tengah malam dengan seorang lelaki pula. Pelan Mas Wisnu menuntun motor ke halaman. Jantungku tiba-tiba berdegup sangat kencang. Lampu ruang ramu yang tadinya kami matikan, kini terang benderang. Ada apa? Apakah Mbak Mel dan Ibu terbangun?“Mas....”
6 Kami berdua mengendara motor selama kurang lebih dua puluh menit di tengah malam buta yang cukup dingin ini. Mas Wisnu menghentikan laju kendaraannya di sebuah hotel bintang tiga yang lumayan terkenal di kota kami. Aku mengernyitkan kening. Hah? Hotel? Apakah mungkin iparku mengajak untuk check in di sini? “Sementara kita menginap di sini ya, Dek?” Mas Wisnu memarkirkan motornya di halaman parkir hotel yang luas. Aku tak dapat banyak berkata, hanya mengangguk tanda mengiyakan saja. Dengan penuh kelembutan, Mas Wisnu menggandeng tanganku sembari berjalan masuk ke hotel. Dua orang resepsionis menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Padahal, saat ini jam sudah menunjukkan pukul tiga. Mereka seakan tak mengantuk dan melayani kedatangan tam
7 Mas Wisnu cepat-cepat memakai pakaian, sedang aku membalik badan agar tak melihatnya tanpa busana. Gedoran pintu masih terdengar dan semakin kasar. Kedua kaki ini langsung terasa lemas. Sekonyong-konyong tubuhku terasa oleng dan mau pingsan. “Sebentar!” teriak Mas Wisnu sambil terburu-buru berlari ke arah pintu. “Mas Wisnu! Dek Ayu! Kalian jahat! Sungguh-sungguh kejam padaku!” Suara Mbak Mel menjerit histeris. Perempuan itu datang diiringi dengan tiga lelaki berpakaian santai dan seorang petugas berseragam hotel. “Kami dari pihak kepolisian.” Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan rambut sebahu dan wajah sangar memperlihatkan kartu tanda anggota polri.
Bagian 66Ending POV WisnuEnding PoV WisnuVonis penjara seumur hidup bersama Miranti, Nizam, dan Gusti, membuatku benar-benar bagai kehilangan arah hidup. Masih melekat di ingatan, betapa pilunya tangis dari Ayah, Mama, dan Sintia yang turut hadir di persidangan terakhirku.“Mama nggak terima kamu dipenjara seumur hidup Wis!” Pelukan Mama sangat erat. Wanita yang tampak semakin kurus dan layu akibat mengalami banyak beban pikiran tersebut tersedu-sedu di dada. Sintia yang rela mengambil izin dari perkuliahannya, ikut memelukku dan menumpahkan tangis yang sama histeris.“Mas, kamu harus bebas. Kamu nggak bisa mendekam di dalam penjara selamanya. Aku nggak ikhlas!” Sintia menangis sangat histeris. Gadis berambut ikal hitam itu sampai pucat wajahnya. Aku begitu hancur melihat dua wanita ini sangat terpukul dengan nasib tragis yang menimpa.“Wis, siapa yang bantu perekonomian Ayah? Siapa lagi yang akan membiayai Sintia selanjutnya?” Ayah yang semula diam, kini ikut menangis memelukk
Bagian 65POV DimasSesampainya di depan kawasan masjid yang jaraknya tak jauh dari ruko sewaan Septi, Nizam dan Gusti yang sudah terlebih dahulu dihubungi oleh Miranti, ternyata sedang menunggu kedatangan kami di atas motor matik berwarna hitam yang kuduga adalah aset perusahaan milik Septi. Wajah kedua lelaki berusia 20 tahunan awal tersebut tampak semringah. Aku terpaksa turun dari mobil untuk menghampiri mereka.“Nizam, Gusti. Bisa masuk dulu ke mobil? Biar enak ngobrolnya.” Aku mengulas senyum pada keduanya. Nizam dan Gusti pun mengangguk dengan senyum yang semringah pula. Kedua mengikuti gerakku untuk masuk ke mobil. Mereka pun duduk dengan tenang di kursi penumpang nomor dua.“Nizam, Gusti.” Aku menoleh pada dua lelaki yang berada di belakangku. Keduanya tampak memberikan perhatian kepada ucapanku. Nizam yang bertubuh kurus tinggi, sedang Gusti sebaliknya (gemuk dan pendek), terlihat bersemangat saat menatapku. Nizam pasti telah menceritakan hal ini pada rekannya pasti, pikirku
Bagian 64POV Wisnu“Mas, sungguhankah?” Miranti kini melelehkan air matanya. Lebay! Bikin muak saja. Ayolah, cepat semua ini berakhir. Biar aku bisa segera pergi dan menjalankan aksi untuk mengenyahkan si Septi dan anak haramnya itu.“Iya, aku bersungguh-sungguh. Kamu mau bukti?” Kugenggam erat jemari kasar milik Miranti. Dasar babu, pikirku. Tangannya kasar sekali. Bagaimana rasanya kalau aku sungguhan meniduri anak ini? Ah, jijik! Wisnu Adhikara benar-benar tidak pantas dengan wanita hina seperti Miranti.“Apa itu, Mas?” Miranti gelagapan. Wajahnya seperti orang bodoh saja. “Sebaiknya makan dulu. Akan kubuktikan setelah kita makan.” Bersamaan dengan banyaknya hidangan yang kupesan, kuputus obrolan dan mengajak Miranti untuk menikmati santap siangnya.Miranti yang lugu dan kampungan tampak takjub dengan hidangan yang kupesan. Dia bahkan kesulitan dalam memakai pisau dan garpu. Bikin malu saja.“Santai, Mir. Tak perlu sungkan atau menggunakan table manner. Makan saja dengan caramu.”
Bagian 63POV WisnuSegera aku memasuki mobil dan duduk di depan kemudi. “Maaf, aku tadi ngobrol dulu dengan Nizam,” kataku sembari melempar senyum pada Miranti.Perempuan berjilbab itu tersenyum dengan manis. “Nggak apa-apa, Mas. Oh, iya, kita mau kemana?”“Makan siang dulu, ya? Sekalian ngobrol di resto hotel.” Aku membalas senyum Miranti. Menurunkan tuas rem tangan dan mulai memasukkan gigi pada persneling. “Aduh, aku jadi nggak enak hati, Mas. Makan di sana pasti mahal sekali.” Miranti menjawab dengan suara manjanya. “Ah, tidak seberapa, Mir. Murah saja bagiku. Tenang. Aku punya lumayan banyak uang, apalagi hanya sekadar mengajakmu makan di sana.” Aku mengedipkan mata ke arah perempuan itu. Senyum Miranti malah makin menjadi. Dia tampaknya sangat kesengsem dengan diriku. Wisnu dilawan! Perempuan mana pun kujamin akan bertekuk lutut dalam satu kedipan mata. Sepanjang perjalanan, kami mengobrolkan banyak hal. Mulai dari pekerjaan sehari-hari Miranti sebagai kasir dan sesekali ik
Bagian 62POV WisnuBerawal dari kedatangan Septi ke rumah yang kusewakan untuk Ayu, dari sanalah timbul sebuah niatan. Ya, aku tahu sekali perempuan ini sedang ingin 'bermain-main'. Tujuannya? Sudah pasti untuk menghancurkan kebahagiaan hidupku. Perempuan murah sialan! Sudah puas dia mengeruk pundi-pundi rupiah, kini dia malah datang untuk merecoki hubungan pernikahan 'tipu-tipu' yang kujalani bersama sang adik ipar. Sep, Sep! Kau tawari pisau, kuladeni kau dengan sebilah samurai. Aku tidak takut sama sekali! Yang kau hadapi adalah seorang Wisnu Adhikara! Bukan lelaki tolol yang selamanya bisa kau setir dengan seenak hati.Sepanjang Septi mengobrol dengan istri siriku di ruang tengah, aku sibuk memikirkan cara apa yang bisa menekuk balik perempuan itu. Hari ini juga dia harus tewas! Ya, hanya dengan cara itu aku bisa membungkam mulutnya rapat-rapat dan menghentikan segala tindak tanduk kurang ajar yang selama ini dia lakukan. Tak bakal ada lagi ancaman-ancaman yang hanya sebuah modus
Bagian 61POV DimasBenci sekali aku saat harus semalaman berada di rumah sakit untuk menunggui Melani begini. Seperti tidak ada pekerjaan lain saja. Membuat muak! Mana udara di luar terasa begitu dingin pula. Ya Tuhan, kapan sih pernikahan ini berakhir? Ah, kalau tidak mengingat banyaknya materi yang bisa terkucur dari saldo Melani, sudah barang tentu langkah ini kuangkat seribu.Saat asyik duduk sembari memejamkan mata di kursi panjang depan bangsal kebidanan, ponselku tiba-tiba berdering dari saku celana denim. Malas aku mengangkatnya. Orang gila mana yang menelepon tengah malam buta begini. Dasar tidak ada etika, pikirku.Berang betul aku saat melihat nama siapa yang tertera di layar. Sintia 2 alias nomor Septi yang berkamuflase sebagai adikku padahal bukan. Biar tidak ketahuan begitu. Perempuan sialan itu menelepon ke nomor rahasia yang kugunakan untuk menghubungi Ayu selama ini. Ya, bukan hanya menghubungi Ayu, sih. Beberapa kali jika menelpon atau mengirim pesan pada Septi, ak
Bagian 60POV DimasSepanjang perjalanan pulang, satu-satunya yang kupikirkan hanya taktik tentang penaklukan gadis polos bernama Rahayu alias Ayu yang tak lain adalah adik dari istriku sendiri. Terbayang dalam benak ini, betapa bahagianya aku jika bisa menguasai rumah dengan luas tanah yang lumayan. Hei, apa kau tidak tahu jika harga tanah semakin hari tambah gila saja nominalnya? Bayangkan jika sertifikatnya berhasil digadai. Bayangkan dulu aja, deh. Berapa rupiah yang bakal masuk ke dalam kantong? Belum lagi sawah Melani. Duh, betul-betul jadi miliarder aku! Beruntung sekali aku punya tampang setampan ini, pikirku. Perempuan tolol banyak yang terpikat. Satu orang telah masuk perangkap dan satunya lagi tinggal menunggu waktu. Meski wajahnya terkesan judes dan tak ramah, tetapi aku yakin bahwa anak itu bakal mudah untuk ditaklukkan. “Mas, kamu kok melamun, sih? Mikirin apa?” tanya Melani membuyarkan lamunan.“Ah, enggak. Lagi mikirin besok enaknya usaha apa, ya?” jawabku mengad
Bagian 59POV WisnuMelihat aku menangis, Septi yang sedari tadi telah menitikkan air mata pun, kini semakin menjadi guguannya. Betapa ajaibnya malaikat kecil yang baru saja hadir di tengah kami ini. Dia mampu membuat kerasnya hati dan ego runtub seketika. Menyatukan rekatan yang semula tercerai berai. “Sekarang kita jahit luka robekannya ya, Bu.” Suara bidan yang menolong persalinan Septi membuat kami sejenak menghentikan tangis haru.“Apa? Dijahit?” Aku syok. Panik sendiri. Setelah digunting, Septi kini harus kembali dijahit. “Iya, Pak. Biar rapi dan perdarahannya berhenti.” Bidan tersebut menjelaskan dengan sabar dan lembut. Meski tubuhnya tambun, wajahnya selalu saja tersenyum manis sehingga aura yang dia keluarkan begitu positif. Berbeda dengan rekannya yang lebih muda dan langsing tersebut. Jutek dan mudah terpancing. “Sep, kuat, ya.” Kuseka keringat yang membasahi kening dan pelipis Septi. Tangan perempuan itu memeluk tubuh bayinya yang sedang sibuk mengecap-ngecap dada si i
Bagian 58POV Wisnu“Jangan sinting kamu, Sep! Oke, aku akan ke sana. Tolong jangan kau lakukan ide gilamu itu.” Aku benar-benar menyerah. Kini Septi menjelma bak malaikat maut yang siap mencabut 'nyawaku' kapan pun dia mau. Benar-benar perempuan jahanam! “Makanya, jangan sekali-kali kamu mempermainkanku, Wisnu. Kamu pikir, kamu bisa lepas dari jeratan? Tidak sama sekali!” Suara Septi penuh jemawa. Kemenangan mutlak kini berada di dalam genggamannya. Aku kini bagaikan sepotong boneka kayu yang ditali. Gerakanku sempurna dimainkan oleh Septi. Ke kanan dan ke kiri, pokoknya semau hati betina culas itu. Biadab!“Sudahi omong kosongmu, Sep. Simpan tenagamu untuk melahirkan. Aku akan ke sana setelah mengantarkan Melani. Harusnya kau menghubungi lebih cepat agar aku bisa langsung ke rumah sakit.” Kutoleh ke belakang, ternyata Melani masih berdiri bersandar di samping motor. Gadis itu tengah sibuk memainkan gawainya. “Aku juga tidak tahu bakal melahirkan hari ini, bodoh! Seharusnya HPL-ku