Share

4

Penulis: Meisya Jasmine
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kukaitkan liontin huruf A itu pada kalung emas dan memakainya. Leher jenjangku terlihat manis dengan perhiasan itu. Seketika bibirku tersungging menatap pantulan diri di cermin. Ternyata aku cantik juga jika memakai perhiasan seperti ini.

Perlahan kusisir rambutku yang sedikit berantakan. Sakit, ternyata saking jarangnya bersisir helai demi helai hitam di kepalaku jadi kusut begini. Saat memandangi rambut sebahuku tergerai, sekali lagi mengagumi kecantikanku. Apakah selama ini aku hanya kurang terawat sehingga belum satu pun lelaki yang berniat untuk mendekati?

Entah kenapa, malam itu aku sangat ingin mengenakan bedak dan lipstik yang selama ini tersimpan rapi di dalam laci lemari. Jarang tersentuh karena memang aku tak suka bersolek plus hanya sesekali keluar rumah.

Awalnya tangan ini sangat kaku menyapukan bedak, hingga rasanya mukaku jadi cemong karena bedaknya terlalu tebal. Pelan-pelan, aku memperbaiki polesan bubuk berwarna beige itu ke seluruh penjuru wajah mulusku. Ternyata, wajah oval ini semakin cerah dan berseri setelah diberi bedak. Usapan warna peach turut menyempurnakan bibirku yang tipis.

“Kurasa Mbak Mel tidak terlalu cantik jika dibandingkan denganku!” Senyumku semakin lebar. Berkali-kali aku memutar kepala ke kiri dan ke kanan untuk memastikan memanglah wajahku yang tergambar di cermin ini. Hanya polesan bedan dan lipstik ternyata dapat mengubah segalanya!

Kulihat jam di ponselku. Pukul dua belas malam tepat. Sudah larut malam. Di saat orang-orang terlelap, aku malah melakukan hal konyol seperti ini. Terlintas di benakku, bahwa Mas Wisnu dan Mbak Mel sedang tertidur pulas di atas kasur pegas empuk sambil berpelukan di dalam selimut hangat. Betapa indahnya. Entah, rasanya sesak sekali dadaku saat membayangkannya.

Saat pikiranku melang-lang buana memikirkan entah, tiba-tiba saja aku merasa haus dan ingin ke dapur untuk mengambil minum. Tanpa menghapus terlebih dahulu riasan di wajah, aku keluar kamar untuk mengambil segelas air di kulkas.

“Mas Wisnu?” Aku setengah mati kaget saat mendapatinya berada di dapur, tengah asyik minum kopi di meja makan.

“Dek Ayu? Kamu dari mana?” Mata Mas Wisnu membulat. Seolah kaget dengan apa yang dilihatnya.

Aku buru-buru membuang muka, grogi dan tak mampu berkata apa-apa. Ingin rasanya aku balik badan lalu kabur.

“Duduk sini!” Mas Wisnu melambaikan tangannya.

Malu-malu aku melangkah sambil menundukkan kepala. Ah, aku tidak siap jika bertatap dengan Mas Wisnu dalam keadaan berdandan seperti ini. Malu sekali rasanya.

“Aku mau ambil minum.” Kata-kataku rasanya kaku sekali. Sambil terus menunduk dan tak ingin menatap Mas Wisnu.

“Hei, kamu cantik sekali kalau pakai lipstik. Tumben?” Mas Wisnu memperhatikanku dengan posisi kepala yang maju. Jarak kami sangat dekat. Oh, tidak. Jangan sampai dia mendengar bunyi degup jantungku yang keras.

“Aku Cuma nyobain tutorial make up di YouTube.” Aku tidak tahan lagi untuk dekat-dekat dengannya. Akhirnya aku bangkit dan bergegas ke kulkas.

“Ayo, jalan-jalan. Kita makan gudeg di perempatan jalan sana.” Hampir saja aku melonjak kaget. Mas Wisnu sudah berada di samping, sambil memegang pergelangan kananku.

“Lepaskan, Mas!” Cepat aku menepis tangannya.

“Maaf, aku nggak maksud lancang kepadamu, Dek.” Wajah Mas Wisnu terlihat memerah.

Aku jadi menyesal telah berbuat kasar kepadanya. Setidaknya, aku berkata pelan saja.

“Mau nggak makan gudeg?”

Aku tak habis pikir. Semalam ini? Jam dua belas malam? Apa Mas Wisnu sudah gila?

“Mbak Mel?” Aku mulai meragu. Sejujurnya aku ingin sekali keluar untuk menikmati gudeg yang sangat terkenal dan hanya buka antara jam 22.00 hingga 04.00 dini hari itu. Terlebih, jika pergi dengan Mas Wisnu yang baik hati dan selalu membuatku nyaman.

“Dia sudah tidur. Nyenyak sekali. Aku yakin dia pasti bangun siang. Besok Minggu.”

Aku mengangguk pelan. Kapan lagi bisa jalan-jalan malam begini? Seumur-umur aku memang tidak pernah keluyuran apalagi saat tengah malam. Ibu selalu mengungkung kebebasanku, hingga saat dewasa pun aku jadi malas untuk bergaul karena terbiasa diam di rumah.

Mas Wisnu bergegas untuk mengambil jaket, kemudian mengeluarkan motornya dari garasi. Pelan, dia menuntun motor hingga kami telah berada sekitar 30 meter dari rumah. Alasannya agar suara mesin tidak membangunkan orang rumah.

“Pegangan ya, Dek.” Mas Wisnu memberikan instruksi.

Aku mendekat, duduk di atas motor sembari memegang tepi saku jaketnya.

“Mas, kenapa harus mengajakku jalan-jalan tengah malam begini?”

“Aku pengen makan gudeg, Dek. Tapi malas kalau sendiri. Melani mana mau nemenin.” Mas Wisnu memacu motornya dengan kecepatan sedang. Udara malam begitu dingin menusuk hingga tak sadar aku telah memeluk tubuh Mas Wisnu. Rasanya hangat, nyaman. Aku tak kuasa menempelkan kepala ke punggung bidangnya. Mbak Mel, mengapa suami sebaik dan segagah ini kau sia-siakan bagai kucing peliharaan yang sudah bosan kau maini? Apakah dia tak seberharga itu?

“Kamu ngantuk, ya Dek?” Suara Mas Wisnu samar kudengar, bercampur dengan deru angin.

“Sedikit!” Teriakku karena takut tak terdengar.

“Maaf, ya.” Seketika pipiku yang sedari tadi tertampar angin, merasa hangat saat mendengar ucapan lembut Mas Wisnu. Dia begitu peduli denganku.

Aku tersenyum. Sepanjang jalan kunikmati dengan hati yang penuh dengan bunga. Beginikah jatuh cinta? Apakah cinta semabuk ini?

***

Di malam yang dingin dan berkabut, sekumpulan orang duduk lesehan di trotoar jalanan dengan dialasi tikar anyaman. Orang-orang duduk sambil menikmati sepiring gudeg dan segelas teh manis hangat sembari berbincang-bincang.

Aku memperhatikan sekelilingku dengan tatapan gumun. Penuh keheranan. Apa yang dilakukan mereka ini? Tengah malam, makan di luar, ramai pula. Apa tidak dicari oleh sanak keluarga?

“Pernah ke sini sebelumnya, Dek?” Mas Wisnu bertanya padaku. Lelaki putih beraroma parfum yang maskulin itu merapatkan jaketnya. Sesekali dua tangan berbulu halus itu saling menggosok di depan dadanya.

“Baru sekali ini.” Aku menyeruput teh hangat yang baru saja diantarkan oleh pelayan.

“Gudeg di sini paling enak, lho. Menurutku, sih. Makanya banyak yang beli. Padahal bukanya tengah malam. Kamu suka gudeg kan?” Mas Wisnu semakin duduk mendekat ke arahku. Kini jarak kami berdua hanya dua puluh senti.

“Suka.” Aku memperhatikan ke arah lain. Ke arah seberang sana, di mana kendaraan parkir rapi. Masih saja aku gugup saat harus dekat dengan Mas Wisnu.

“Dek Ayu, kamu itu cantik. Kenapa belum punya pacar?”

Aku tercekat. Menelan liur. Haruskah Mas Wisnu menanyakan hal yang dia sendiri pun sebenarnya tahu?

“Mana ada yang mau denganku, Mas? Jarang keluar rumah, tidak punya banyak teman, apalagi pekerjaanku yang serabutan ini. Ingat, aku Cuma lulusan D-3. Tidak seperti Mbak Mel.” Jengkel aku menjawabnya. Sisi sensitif di diriku disentuh oleh Mas Wisnu. Aku paling benci jika ditanya masalah pasangan dan pekerjaan.

“Kurasa bukan itu masalahnya, Dek. Kamu Cuma kurang membuka diri saja. Ayolah, sebaiknya kamu lebih banyak bergaul lagi. Jangan terlalu memikirkan urusan rumah tangga. Jangan mau selalu diperintah-perintah Ibu dan Mbak Mel.”

Aku menatap sinis pada Mas Wisnu. “Mas saja mau-maunya kok diperintah ini itu oleh Mbak Mel. Kenapa sekarang malah menceramahiku?”

Mas Wisnu terdiam. Sepertinya dia merasa terskak mat.

“Betul juga katamu. Aku saja masih seperti ini. Seperti kerbau dicucuk hidungnya oleh Melani. Aku bingung, harus sampai kapan.”

“Ceraikan saja. Beres.” Tanpa sadar kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku.

“Tidak, mungkin belum. Keluargaku akan sangat malu.”

Aku mengendikkan bahu.

“Aku masih berharap agar dia berubah.” Mas Wisnu melempar pandangannya. Menatap kosong. Seperti memikirkan sesuatu.

“Dek Ayu, aku ingin bertanya sesuatu. Apakah boleh?” Mas Wisnu kembali membuka percakapan, bersamaan dengan dua piring gudeg yang dihidangkan di depan kami.

Aku meraih satu piring dan mulai menyuap. Enak, pikirku. Tidak kemanisan dan bikin enek.

“Apa itu?” tanyaku sembari mengunyah.

“Kenapa kamu bertahan di antara Ibu dan Melani, padahal mereka seperti itu? Dan kenapa sikap mereka tak pernah baik padamu? Padahal, kami sudah mengerjakan semua untuk mereka.”

Makanan yang awalnya terasa enak, kini menjadi hambar di lidahku.“Aku tidak tahu pasti, Mas. Sejak kecil perlakuan orangtuaku selalu beda kepada kami. Dari hal yang sederhana sampai hal-hal besar. Terlebih Ibu. Dia terlihat sekali begitu tak suka padaku. Dulu aku berpikir, apakah karena wajahku sama sekali tak mirip mereka berdua makanya diperlakukan tak adil? Apa jangan-jangan aku ini anak pungut? Atau anak simpanan Bapak? Tapi, mereka tidak pernah menjelaskan.” Rasa sesak menghimpit dadaku. Aku ingin menangis jika mengingat semuanya. Bentakan, caci maki, hingga tamparan dari Ibu yang selalu merusak masa kecilku. Bapak hanya mampu melihat dan membiarkan semua itu terjadi, tanpa membela sedikit pun.

“Apakah Almarhum Bapak kalian juga begitu?”

Aku menggeleng. “Bapak tidak pernah memukul dan mencaciku, tapi Bapak juga tidak pernah melihatkan kasih sayangnya seperti dia menyayangi Mbak Mel. Namun, saat Bapak terbaring lemah akibat stroke, aku yang mengurus beliau bertahun-tahun hingga akhirnya beliau tutup usia. Saat sakitlah, Bapak baru mau menunjukkan kasih sayangnya walau sudah terlambat.” Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya dengan berat. Yakin, Bapak pastilah sebenarnya menyayangiku, tetapi Ibu mungkin mencegahnya untuk mendekat.

“Karena selama tiga tahun aku mengorbankan masa mudaku untuk mengurus Bapak, maka beliau mewasiatkan rumah itu untukku. Sedang Mbak Mel mendapatkan sawah. Sejak itu, memang sikap Ibu telah berubah tak sejahat dulu. Namun, tetap saja kami tak bisa akur.”

Mas Wisnu mengusap air mata di pipiku yang tiba-tiba jatuh. Ketegaranku porak-poranda akibat mengingat semua kenangan pilu itu.

“A-aku t-tidak tahu ... s-salahku a-apa ....” Tangisku semakin menderu. Aku tergugu hingga dada ini naik turun.

“Cukup, Dek. Maaf aku sudah lancang bertanya.” Mas Wisnu mendekap tubuhku erat. Aku semakin menangis dalam dadanya.

“Dek Ayu, sabar. Sekarang ada aku yang akan menyayangi dan melindungimu. Aku masmu, kamu jangan takut lagi.” Mas Wisnu mengelus kepalaku beberapa lama hingga tangisku berhenti.

Setelah merasa tenang, aku melepaskan pelukan Mas Wisnu. Kusadari, beberapa orang melihat ke arah kami dan itu membuatku seketika malu.

“Mas, ayo kita pulang. Aku takut Mbak Mel dan Ibu terbangun.”

Aki berdiri dan beranjak dari tempat duduk. Tak kupedulikan gudeg yang masih separuh berada di piring.

Bab terkait

  • Hasrat Seorang Ipar   5

    Sepanjang perjalanan pulang, aku memeluk Mas Wisnu di atas motor. Terpaan angin dini hari yang sejuk membuat tubuh Mas Wisnu mampu menghangatkan. Harum tubuhnya yang maskulin membuatku merasa begitu betah dan ingin berlama-lama berdua bersamanya. Terbesit di benak, coba Mas Wisnu adalah milikku. Takkan kubiarkan dia mengeluh tentang hidup sedikit pun. Kubebaskan dia bagai burung untuk terbang mengitari cakrawala dan kembali ke sarang saat senja tiba. Mbak Mel yang keras dan banyak mau, jelas bukan wanita idaman yang dibutuhkan lelaki tampan itu. Tuhan, bolehkah aku merebut suami mbakku sendiri?Kami tiba di rumah pukul satu lewat tiga puluh menit dini hari. Ini benar-benar pengalaman yang gila. Aku keluar rumah tengah malam dengan seorang lelaki pula. Pelan Mas Wisnu menuntun motor ke halaman. Jantungku tiba-tiba berdegup sangat kencang. Lampu ruang ramu yang tadinya kami matikan, kini terang benderang. Ada apa? Apakah Mbak Mel dan Ibu terbangun?“Mas....”

  • Hasrat Seorang Ipar   6

    6 Kami berdua mengendara motor selama kurang lebih dua puluh menit di tengah malam buta yang cukup dingin ini. Mas Wisnu menghentikan laju kendaraannya di sebuah hotel bintang tiga yang lumayan terkenal di kota kami. Aku mengernyitkan kening. Hah? Hotel? Apakah mungkin iparku mengajak untuk check in di sini? “Sementara kita menginap di sini ya, Dek?” Mas Wisnu memarkirkan motornya di halaman parkir hotel yang luas. Aku tak dapat banyak berkata, hanya mengangguk tanda mengiyakan saja. Dengan penuh kelembutan, Mas Wisnu menggandeng tanganku sembari berjalan masuk ke hotel. Dua orang resepsionis menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Padahal, saat ini jam sudah menunjukkan pukul tiga. Mereka seakan tak mengantuk dan melayani kedatangan tam

  • Hasrat Seorang Ipar   7

    7 Mas Wisnu cepat-cepat memakai pakaian, sedang aku membalik badan agar tak melihatnya tanpa busana. Gedoran pintu masih terdengar dan semakin kasar. Kedua kaki ini langsung terasa lemas. Sekonyong-konyong tubuhku terasa oleng dan mau pingsan. “Sebentar!” teriak Mas Wisnu sambil terburu-buru berlari ke arah pintu. “Mas Wisnu! Dek Ayu! Kalian jahat! Sungguh-sungguh kejam padaku!” Suara Mbak Mel menjerit histeris. Perempuan itu datang diiringi dengan tiga lelaki berpakaian santai dan seorang petugas berseragam hotel. “Kami dari pihak kepolisian.” Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan rambut sebahu dan wajah sangar memperlihatkan kartu tanda anggota polri.

  • Hasrat Seorang Ipar   8

    8 Kuhilangkan semua duka, kecewa, dan rasa malu yang telah mencoreng wajah. Sejenak aku beristirahat di sebuah cafe sambil menikmati segelas teh tarik dingin dan sepotong sandwich daging. Satu per satu siasat telah tersusun rapi di dalam pikiran. Mulai dari mencari tempat tinggal murah, kembali menjalankan bisnis, dan mencari tahu asal usulku melalui keluarga Bapak—itu pun jika mereka mau mengungkapkannya. Tahu betul bagaimana sikap keluarga besar Bapak pada diriku. Mereka kebanyakan dingin dan cuek. Tak pernah mau peduli terlebih lagi kala Bapak telah tiada. Jangankan mau bercengkrama, mampir ke rumah pun tak lagi sudi. Kutimang-timang sertifikat tanah yang telah balik nama menjadi kepunyaanku tersebut. Ini adalah penguat langkah. Persetan dengan ancaman Mbak Mel. Jika tak bisa menjual, tentu saja benda ini bisa digunakan

  • Hasrat Seorang Ipar   9

    9 Meski telah kuputus sambungan video call tadi, Mas Wisnu tak menyerah sampai di situ saja. Puluhan panggilan berikutnya terus berdatangan tanpa lelah, walaupun tak kunjung kuangkat. Tangisan ini kian menganak sungai bagaikan hujan lebat di penghujung bulan September. Sesak bagaikan dada ini ditimpa oleh beban berpuluh kilogram. Betapa sulit untuk terdefinisikan. Satu sisi aku begitu mencintai Mas Wisnu, tetapi di sisi lain sebisa mungkin kami harus saling menjauh agar tak terjadi kembali konflik antara aku dan dua betina iblis tersebut. Sudah... sudah cukup luka dalam yang mereka cipta. Tak kuat batin ini jika didera siksa tanpa kepastian akhir bahagia. Beberapa pesan dari nomor baru milik Mas Wisnu pun menyerbu kotak masuk WhatsApp. Tak lagi kuhirau. Namun, meski mencoba untuk tak acuh, tetap saja hati ini mendesak agar mener

  • Hasrat Seorang Ipar   10

    10 Mas Wisnu masih tercenung. Lisannya diam seribu bahasa. Kami terpaku beku seolah waktu telah berhenti berputar. Namun, tiba-tiba sejurus kemudian, lelaki berkemeja pendek model fisher biru laut tersebut menggenggam kedua tanganku. Kehangatan yang menjalar dari telapaknya dapat kurasa sampai ke dalam dada. “Kalau itu permintaan Dek Ayu, baiklah. Mas akan segera cari penghulu yang dapat menikahkan secara siri.” Mas Wisnu menciumi punggung tanganku. Kecupan itu merupakan yang pertama kalinya. Ada tetes air mata yang kemudia mendesak keluar dari sudut pelupuk. Betapa harunya. Apakah ini serius? Atau hanya sekadar gurauan belaka? “Apakah Mas betulan?” Keraguan menyeruak dari dasar hati. 

  • Hasrat Seorang Ipar   11

    11 Dengan nekat, aku berdiri mendekati Bulek yang duduk di sofa seberang, lalu berlutut di hadapannya. Kusentuh kedua lutut perempuan itu, berharap dia mau memecah segala bisu dan rahasia yang ditutup dengan rapat. “Katakan, Bulek. Ceritakan semuanya. Aku sudah tahu jika aku ini adalah anak haram dari perempuan yang antah berantah.” Hatiku terasa patah berkeping-keping saat mengatakan kalimat tadi. Hancur perasaan ini. Tak tega nian aku menyebut ibu yang telah mengandung dan melahirkan sebagai perempuan antah berantah. Maafkan anakmu ini, bu. Meski tak kutahu siapa dirimu sebenarnya, tetapi sungguh di lubuk hati terdalam, tersimpan rindu akan sosok yang disembunyikan orang-orang selama ini. “Mengapa tak kamu tanyakan pada Mulyani saja?” Bule

  • Hasrat Seorang Ipar   12

    12 Siang hari itu, aku dan Bulek Sarminah menumpang ojek untuk diantarkan ke kampung yang konon menjadi tempat tinggal sekaligus kuburan dari ibu Jayanti. Kampung itu hanya berjarak lima kilometer dari kampung kami. Tak jauh dan aku ternyata sedari kecil dulu kerap lewat daerah ini. Namun, tak ada satu pun yang memberitahu jika di sinilah ibuku pernah lahir, besar, lalu kemudian dikuburkan. Sesampainya di sebuah pemakaman umum yangtak jauh dari bangunan masjid, kami singgah dan bermaksud untuk ziarah. Ini adalah atas permintaanku. Awalnya, Bulek Sarminah enggan untuk menunjukkan di mana ibu Jayanti dikebumikan. Namun, dengan bujuk dan tangisan pilu, akhirnya Bulek mau juga diajak ke sini. Kami berjalan tanpa alas kaki, menyusuri gundukan tanah bernisan yang membuat

Bab terbaru

  • Hasrat Seorang Ipar   66

    Bagian 66Ending POV WisnuEnding PoV WisnuVonis penjara seumur hidup bersama Miranti, Nizam, dan Gusti, membuatku benar-benar bagai kehilangan arah hidup. Masih melekat di ingatan, betapa pilunya tangis dari Ayah, Mama, dan Sintia yang turut hadir di persidangan terakhirku.“Mama nggak terima kamu dipenjara seumur hidup Wis!” Pelukan Mama sangat erat. Wanita yang tampak semakin kurus dan layu akibat mengalami banyak beban pikiran tersebut tersedu-sedu di dada. Sintia yang rela mengambil izin dari perkuliahannya, ikut memelukku dan menumpahkan tangis yang sama histeris.“Mas, kamu harus bebas. Kamu nggak bisa mendekam di dalam penjara selamanya. Aku nggak ikhlas!” Sintia menangis sangat histeris. Gadis berambut ikal hitam itu sampai pucat wajahnya. Aku begitu hancur melihat dua wanita ini sangat terpukul dengan nasib tragis yang menimpa.“Wis, siapa yang bantu perekonomian Ayah? Siapa lagi yang akan membiayai Sintia selanjutnya?” Ayah yang semula diam, kini ikut menangis memelukk

  • Hasrat Seorang Ipar   65

    Bagian 65POV DimasSesampainya di depan kawasan masjid yang jaraknya tak jauh dari ruko sewaan Septi, Nizam dan Gusti yang sudah terlebih dahulu dihubungi oleh Miranti, ternyata sedang menunggu kedatangan kami di atas motor matik berwarna hitam yang kuduga adalah aset perusahaan milik Septi. Wajah kedua lelaki berusia 20 tahunan awal tersebut tampak semringah. Aku terpaksa turun dari mobil untuk menghampiri mereka.“Nizam, Gusti. Bisa masuk dulu ke mobil? Biar enak ngobrolnya.” Aku mengulas senyum pada keduanya. Nizam dan Gusti pun mengangguk dengan senyum yang semringah pula. Kedua mengikuti gerakku untuk masuk ke mobil. Mereka pun duduk dengan tenang di kursi penumpang nomor dua.“Nizam, Gusti.” Aku menoleh pada dua lelaki yang berada di belakangku. Keduanya tampak memberikan perhatian kepada ucapanku. Nizam yang bertubuh kurus tinggi, sedang Gusti sebaliknya (gemuk dan pendek), terlihat bersemangat saat menatapku. Nizam pasti telah menceritakan hal ini pada rekannya pasti, pikirku

  • Hasrat Seorang Ipar   64

    Bagian 64POV Wisnu“Mas, sungguhankah?” Miranti kini melelehkan air matanya. Lebay! Bikin muak saja. Ayolah, cepat semua ini berakhir. Biar aku bisa segera pergi dan menjalankan aksi untuk mengenyahkan si Septi dan anak haramnya itu.“Iya, aku bersungguh-sungguh. Kamu mau bukti?” Kugenggam erat jemari kasar milik Miranti. Dasar babu, pikirku. Tangannya kasar sekali. Bagaimana rasanya kalau aku sungguhan meniduri anak ini? Ah, jijik! Wisnu Adhikara benar-benar tidak pantas dengan wanita hina seperti Miranti.“Apa itu, Mas?” Miranti gelagapan. Wajahnya seperti orang bodoh saja. “Sebaiknya makan dulu. Akan kubuktikan setelah kita makan.” Bersamaan dengan banyaknya hidangan yang kupesan, kuputus obrolan dan mengajak Miranti untuk menikmati santap siangnya.Miranti yang lugu dan kampungan tampak takjub dengan hidangan yang kupesan. Dia bahkan kesulitan dalam memakai pisau dan garpu. Bikin malu saja.“Santai, Mir. Tak perlu sungkan atau menggunakan table manner. Makan saja dengan caramu.”

  • Hasrat Seorang Ipar   63

    Bagian 63POV WisnuSegera aku memasuki mobil dan duduk di depan kemudi. “Maaf, aku tadi ngobrol dulu dengan Nizam,” kataku sembari melempar senyum pada Miranti.Perempuan berjilbab itu tersenyum dengan manis. “Nggak apa-apa, Mas. Oh, iya, kita mau kemana?”“Makan siang dulu, ya? Sekalian ngobrol di resto hotel.” Aku membalas senyum Miranti. Menurunkan tuas rem tangan dan mulai memasukkan gigi pada persneling. “Aduh, aku jadi nggak enak hati, Mas. Makan di sana pasti mahal sekali.” Miranti menjawab dengan suara manjanya. “Ah, tidak seberapa, Mir. Murah saja bagiku. Tenang. Aku punya lumayan banyak uang, apalagi hanya sekadar mengajakmu makan di sana.” Aku mengedipkan mata ke arah perempuan itu. Senyum Miranti malah makin menjadi. Dia tampaknya sangat kesengsem dengan diriku. Wisnu dilawan! Perempuan mana pun kujamin akan bertekuk lutut dalam satu kedipan mata. Sepanjang perjalanan, kami mengobrolkan banyak hal. Mulai dari pekerjaan sehari-hari Miranti sebagai kasir dan sesekali ik

  • Hasrat Seorang Ipar   62

    Bagian 62POV WisnuBerawal dari kedatangan Septi ke rumah yang kusewakan untuk Ayu, dari sanalah timbul sebuah niatan. Ya, aku tahu sekali perempuan ini sedang ingin 'bermain-main'. Tujuannya? Sudah pasti untuk menghancurkan kebahagiaan hidupku. Perempuan murah sialan! Sudah puas dia mengeruk pundi-pundi rupiah, kini dia malah datang untuk merecoki hubungan pernikahan 'tipu-tipu' yang kujalani bersama sang adik ipar. Sep, Sep! Kau tawari pisau, kuladeni kau dengan sebilah samurai. Aku tidak takut sama sekali! Yang kau hadapi adalah seorang Wisnu Adhikara! Bukan lelaki tolol yang selamanya bisa kau setir dengan seenak hati.Sepanjang Septi mengobrol dengan istri siriku di ruang tengah, aku sibuk memikirkan cara apa yang bisa menekuk balik perempuan itu. Hari ini juga dia harus tewas! Ya, hanya dengan cara itu aku bisa membungkam mulutnya rapat-rapat dan menghentikan segala tindak tanduk kurang ajar yang selama ini dia lakukan. Tak bakal ada lagi ancaman-ancaman yang hanya sebuah modus

  • Hasrat Seorang Ipar   61

    Bagian 61POV DimasBenci sekali aku saat harus semalaman berada di rumah sakit untuk menunggui Melani begini. Seperti tidak ada pekerjaan lain saja. Membuat muak! Mana udara di luar terasa begitu dingin pula. Ya Tuhan, kapan sih pernikahan ini berakhir? Ah, kalau tidak mengingat banyaknya materi yang bisa terkucur dari saldo Melani, sudah barang tentu langkah ini kuangkat seribu.Saat asyik duduk sembari memejamkan mata di kursi panjang depan bangsal kebidanan, ponselku tiba-tiba berdering dari saku celana denim. Malas aku mengangkatnya. Orang gila mana yang menelepon tengah malam buta begini. Dasar tidak ada etika, pikirku.Berang betul aku saat melihat nama siapa yang tertera di layar. Sintia 2 alias nomor Septi yang berkamuflase sebagai adikku padahal bukan. Biar tidak ketahuan begitu. Perempuan sialan itu menelepon ke nomor rahasia yang kugunakan untuk menghubungi Ayu selama ini. Ya, bukan hanya menghubungi Ayu, sih. Beberapa kali jika menelpon atau mengirim pesan pada Septi, ak

  • Hasrat Seorang Ipar   60

    Bagian 60POV DimasSepanjang perjalanan pulang, satu-satunya yang kupikirkan hanya taktik tentang penaklukan gadis polos bernama Rahayu alias Ayu yang tak lain adalah adik dari istriku sendiri. Terbayang dalam benak ini, betapa bahagianya aku jika bisa menguasai rumah dengan luas tanah yang lumayan. Hei, apa kau tidak tahu jika harga tanah semakin hari tambah gila saja nominalnya? Bayangkan jika sertifikatnya berhasil digadai. Bayangkan dulu aja, deh. Berapa rupiah yang bakal masuk ke dalam kantong? Belum lagi sawah Melani. Duh, betul-betul jadi miliarder aku! Beruntung sekali aku punya tampang setampan ini, pikirku. Perempuan tolol banyak yang terpikat. Satu orang telah masuk perangkap dan satunya lagi tinggal menunggu waktu. Meski wajahnya terkesan judes dan tak ramah, tetapi aku yakin bahwa anak itu bakal mudah untuk ditaklukkan. “Mas, kamu kok melamun, sih? Mikirin apa?” tanya Melani membuyarkan lamunan.“Ah, enggak. Lagi mikirin besok enaknya usaha apa, ya?” jawabku mengad

  • Hasrat Seorang Ipar   59

    Bagian 59POV WisnuMelihat aku menangis, Septi yang sedari tadi telah menitikkan air mata pun, kini semakin menjadi guguannya. Betapa ajaibnya malaikat kecil yang baru saja hadir di tengah kami ini. Dia mampu membuat kerasnya hati dan ego runtub seketika. Menyatukan rekatan yang semula tercerai berai. “Sekarang kita jahit luka robekannya ya, Bu.” Suara bidan yang menolong persalinan Septi membuat kami sejenak menghentikan tangis haru.“Apa? Dijahit?” Aku syok. Panik sendiri. Setelah digunting, Septi kini harus kembali dijahit. “Iya, Pak. Biar rapi dan perdarahannya berhenti.” Bidan tersebut menjelaskan dengan sabar dan lembut. Meski tubuhnya tambun, wajahnya selalu saja tersenyum manis sehingga aura yang dia keluarkan begitu positif. Berbeda dengan rekannya yang lebih muda dan langsing tersebut. Jutek dan mudah terpancing. “Sep, kuat, ya.” Kuseka keringat yang membasahi kening dan pelipis Septi. Tangan perempuan itu memeluk tubuh bayinya yang sedang sibuk mengecap-ngecap dada si i

  • Hasrat Seorang Ipar   58

    Bagian 58POV Wisnu“Jangan sinting kamu, Sep! Oke, aku akan ke sana. Tolong jangan kau lakukan ide gilamu itu.” Aku benar-benar menyerah. Kini Septi menjelma bak malaikat maut yang siap mencabut 'nyawaku' kapan pun dia mau. Benar-benar perempuan jahanam! “Makanya, jangan sekali-kali kamu mempermainkanku, Wisnu. Kamu pikir, kamu bisa lepas dari jeratan? Tidak sama sekali!” Suara Septi penuh jemawa. Kemenangan mutlak kini berada di dalam genggamannya. Aku kini bagaikan sepotong boneka kayu yang ditali. Gerakanku sempurna dimainkan oleh Septi. Ke kanan dan ke kiri, pokoknya semau hati betina culas itu. Biadab!“Sudahi omong kosongmu, Sep. Simpan tenagamu untuk melahirkan. Aku akan ke sana setelah mengantarkan Melani. Harusnya kau menghubungi lebih cepat agar aku bisa langsung ke rumah sakit.” Kutoleh ke belakang, ternyata Melani masih berdiri bersandar di samping motor. Gadis itu tengah sibuk memainkan gawainya. “Aku juga tidak tahu bakal melahirkan hari ini, bodoh! Seharusnya HPL-ku

DMCA.com Protection Status