31
Tak terasa, kami telah bercengkrama selama kurang lebih satu jam lamanya. Malam semakin beranjak dan beberapa jam lagi fajar pun akan menyingsing. Mas Wisnu bagai segelas kafein yang membuat mata terjaga. Aku sama sekali tak merasa letih apalagi mengantuk, meski belum tertidur barang semenit pun.
“Mas, aku kembali dulu ke dalam. Takut-takut Mbak Mel terbangun dan menanyakan ke mana aku pergi.” Aku beranjak dari duduk. Lagipula, nyamuk mulai berdatangan dan menggerayangi kaki serta telinga.
“Oke, Dek. Mas di sini saja sampai pagi. Kalau Melani butuh sesuatu, telepon saja.” Mas Wisnu meraih tanganku saat kami akan berpisah. Tak disangka, pria itu mengecupnya dengan hangat.
&
32 “I-iya ....” Ucapan Mas Wisnu terbata. Langkahnya seperti enggan kala kembali ke arah kami. “Maaf, apakah kalian saling mengenal?” tanyaku sembari menelisik perempuan tinggi dengan tubuh bak model dan berwajah sangat cantik tersebut. Dagunya lancip dengan pipi tirus, berbibir penuh dan menggoda, bagai menggunakan filler. Aku sebagai wanita jadi minder sendiri. Terlebih, ketika tahu bahwa dia mengenal suamiku. Apa hubungan keduanya? “Tentu saja. Sebelum Wisnu menikah, kami berteman baik. Eh, sebentar. Istri Wisnu namanya Melani, bukan? Namun, yang kubaca di iklan itu owner dari Renjana adalah Rahayu. Ini yang namanya Mbak Rahayu, kan? Soalnya, seingat saya, Melani itu lebih tinggi dan tidak pakai hijab.” Perem
33 Dengan debaran jantung yang belum stabil, aku bergegas masuk ke rumah dan menghambur pada Dewi serta Arifin yang sedang sibuk bekerja. “Yu, aku minta ma—” “Ssst! Lupakan!” cegahku pada Arifin dengan suara pelan sembari meletakkan telunjuk di depan bibir. Wajah lelaki itu tampak penuh penyesalan akibat perkataannya di depan Septi tadi. Namun, sekarang aku tak lagi mempermasalahkannya. Mungkin ini adalah sebuah pembuka langkah bagiku untuk menyibak tabir misteri yang melingkupi kehidupan Mas Wisnu. “Dew, tolong cepat cek followers Renjana di Instagram dengan nama Septi.” Aku memerintahkan Dewi yang tengah bekerja di depan layar laptopnya.
34 Sambil menguatkan hati, aku segera membuka aplikasi Telegram yang semula memang telah terpasang pada gawai. Kupilih fitur secret chat dan menambahkan kontak Septi sebagai si penerima pesan. Berharap, percakapan rahasia ini tak dapat bocor serta disadap oleh siapa pun termasuk Mas Wisnu. [Mbak, ini aku, Ayu. Masalah Mas Wisnu. Apakah kalian sebelumnya memiliki sebuah hubungan spesial?] Langsung saja aku to the point tanpa berbasa basi lagi. Tak sabaran hati ini untuk menerima segala apa pun yang bakal perempuan tersebut ceritakan. Benar atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting dapat informasi dahulu, baru kemudian cross check. Tak berselang lama, pesan masu
35 “Terima kasih, Aunty. Ayo, kita duduk.” Septi duduk sembari memangku bocah yang terus menatapku dengan senyuman lebar itu. Sesekali, bayi berusia empat bulan tersebut tertawa geli memperlihatkan gusinya yang masih tak bergigi. Aku masih sedikit syok. Dengan menguatkan diri, sebisa mungkin kusembunyikan rasa kaget yang begitu luar biasa. Kucoba untuk menatap ke arah Septi yang menenangkan Danendra yang terus ingin berdiri dan melonjak dari pangkuannya. Namun, hati ini ternyata begitu rapuh. Ada rasa sedih dan kecewa yang teramat dalam, hingga lelehan air mata ini entah mengapa tiba-tiba ingin mendesak keluar. Tahan, Ayu! Kamu harus kuat. Hadapi semua kenyataan, baik manis atau pahit sekalipun. “Hei, Danendra. Apakah mau Om Ar gendong? S
36 “Mbak, maaf. Danendra kayanya haus.” Arifin datang sembari menggendong bayi lucu yang sedang menangis kencang tersebut. “Oh, iya. Waktunya nenen, sih.” Septi meraih sang bayi dan mulai menenangkannya. “Mbak, sepertinya aku dan Arifin langsung pamit saja dulu. Nanti, kalau gamisnya sudah jadi, kita bisa bertemu lagi, kan?”Aku bangkit dari duduk. Kulihat waktu di arloji pun sudah semakin sore. “Tentu saja boleh. Hubungi via Telegram, ya.” Senyuman Septi mengembang, begitu ramah dan sarat akan persahabatan. Sebelum pulang, aku meminta izin untuk mencium dan menggendong Dan
37 Usai salat dan berdoa cukup panjang, aku segera turun dari lantai dua dan menanti sosok Arifin di depan masjid. Lelaki itu ternyata baru keluar juga. Wajahnya terlihat bersinar dengan pancaran kesalehan yang begitu kuat. Dadaku berdebar. Cepat kualihkan pandangan agar tak terlihat gugup. “Maaf lama, Yu. Aku berzikir dulu tadi.”Suara Arifin mengalun lembut, begitu sopan masuk ke telinga. “Nggak apa-apa, Ar,” jawabku sembari berjalan pelan beriringan dengannya. “Kita jadi ke bengkel yang kamu bilang tadi?” Arifin menoleh ke arahku. Entah mengapa, aku jadi gugup. “Jadi.” K
38 “Sebaiknya kita pulang, Yu. Hari semakin malam dan resto ini akan tutup sebentar lagi.” Arifin bangkit dari duduknya. Lelaki itu berjalan duluan dan tak disangka dia malah berdiri di depan kasir. “Ar, biar aku saja.” Aku mencegah lelaki itu untuk membayar makanan kami. “Aku saja. Kali ini aku yang mentraktir.” Lelaki itu mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dan menyerahkannya ke kasir. “Ini kembaliannya, Mas,” seorang kasir lelaki paruh baya menyerahkan selembar uang lima ribu pada Arifin. Tangan Arifin meraihnya dan ternyata uang tersebut dimasukkan ke dalam kotak amal yang berada di samping meja kasir.&n
39 Dengan memantapkan diri dan mengusir segala takut, aku terpaksa mengangkat telepon dari Mas Wisnu. “Halo,” ucapku dengan suara yang agak dibuat parau layaknya baru bangun tidur. “Dek, Mas lagi di jalan, nih. Tadi baru dari bengkel ngobrolin profit sama Eka. Sekitar lima belas menit lagi sampai rumah. Tolong bukakan pintu, ya.” Suara Mas Wisnu membuat degupan jantung ini semakin laju. Darah di tubuhku serasa naik semua ke ubun-ubun. “Baik, Mas. Hati-hati di jalan, ya.” Berat betul bibirku berucap. Seakan tertahan oleh beban ratusan kilogram. “Oke, Dek. Jangan tidur dulu. Mas mau ngobrol banyak hal. Sudah dulu, Dek Ayu. Bye!” Nada bica
Bagian 66Ending POV WisnuEnding PoV WisnuVonis penjara seumur hidup bersama Miranti, Nizam, dan Gusti, membuatku benar-benar bagai kehilangan arah hidup. Masih melekat di ingatan, betapa pilunya tangis dari Ayah, Mama, dan Sintia yang turut hadir di persidangan terakhirku.“Mama nggak terima kamu dipenjara seumur hidup Wis!” Pelukan Mama sangat erat. Wanita yang tampak semakin kurus dan layu akibat mengalami banyak beban pikiran tersebut tersedu-sedu di dada. Sintia yang rela mengambil izin dari perkuliahannya, ikut memelukku dan menumpahkan tangis yang sama histeris.“Mas, kamu harus bebas. Kamu nggak bisa mendekam di dalam penjara selamanya. Aku nggak ikhlas!” Sintia menangis sangat histeris. Gadis berambut ikal hitam itu sampai pucat wajahnya. Aku begitu hancur melihat dua wanita ini sangat terpukul dengan nasib tragis yang menimpa.“Wis, siapa yang bantu perekonomian Ayah? Siapa lagi yang akan membiayai Sintia selanjutnya?” Ayah yang semula diam, kini ikut menangis memelukk
Bagian 65POV DimasSesampainya di depan kawasan masjid yang jaraknya tak jauh dari ruko sewaan Septi, Nizam dan Gusti yang sudah terlebih dahulu dihubungi oleh Miranti, ternyata sedang menunggu kedatangan kami di atas motor matik berwarna hitam yang kuduga adalah aset perusahaan milik Septi. Wajah kedua lelaki berusia 20 tahunan awal tersebut tampak semringah. Aku terpaksa turun dari mobil untuk menghampiri mereka.“Nizam, Gusti. Bisa masuk dulu ke mobil? Biar enak ngobrolnya.” Aku mengulas senyum pada keduanya. Nizam dan Gusti pun mengangguk dengan senyum yang semringah pula. Kedua mengikuti gerakku untuk masuk ke mobil. Mereka pun duduk dengan tenang di kursi penumpang nomor dua.“Nizam, Gusti.” Aku menoleh pada dua lelaki yang berada di belakangku. Keduanya tampak memberikan perhatian kepada ucapanku. Nizam yang bertubuh kurus tinggi, sedang Gusti sebaliknya (gemuk dan pendek), terlihat bersemangat saat menatapku. Nizam pasti telah menceritakan hal ini pada rekannya pasti, pikirku
Bagian 64POV Wisnu“Mas, sungguhankah?” Miranti kini melelehkan air matanya. Lebay! Bikin muak saja. Ayolah, cepat semua ini berakhir. Biar aku bisa segera pergi dan menjalankan aksi untuk mengenyahkan si Septi dan anak haramnya itu.“Iya, aku bersungguh-sungguh. Kamu mau bukti?” Kugenggam erat jemari kasar milik Miranti. Dasar babu, pikirku. Tangannya kasar sekali. Bagaimana rasanya kalau aku sungguhan meniduri anak ini? Ah, jijik! Wisnu Adhikara benar-benar tidak pantas dengan wanita hina seperti Miranti.“Apa itu, Mas?” Miranti gelagapan. Wajahnya seperti orang bodoh saja. “Sebaiknya makan dulu. Akan kubuktikan setelah kita makan.” Bersamaan dengan banyaknya hidangan yang kupesan, kuputus obrolan dan mengajak Miranti untuk menikmati santap siangnya.Miranti yang lugu dan kampungan tampak takjub dengan hidangan yang kupesan. Dia bahkan kesulitan dalam memakai pisau dan garpu. Bikin malu saja.“Santai, Mir. Tak perlu sungkan atau menggunakan table manner. Makan saja dengan caramu.”
Bagian 63POV WisnuSegera aku memasuki mobil dan duduk di depan kemudi. “Maaf, aku tadi ngobrol dulu dengan Nizam,” kataku sembari melempar senyum pada Miranti.Perempuan berjilbab itu tersenyum dengan manis. “Nggak apa-apa, Mas. Oh, iya, kita mau kemana?”“Makan siang dulu, ya? Sekalian ngobrol di resto hotel.” Aku membalas senyum Miranti. Menurunkan tuas rem tangan dan mulai memasukkan gigi pada persneling. “Aduh, aku jadi nggak enak hati, Mas. Makan di sana pasti mahal sekali.” Miranti menjawab dengan suara manjanya. “Ah, tidak seberapa, Mir. Murah saja bagiku. Tenang. Aku punya lumayan banyak uang, apalagi hanya sekadar mengajakmu makan di sana.” Aku mengedipkan mata ke arah perempuan itu. Senyum Miranti malah makin menjadi. Dia tampaknya sangat kesengsem dengan diriku. Wisnu dilawan! Perempuan mana pun kujamin akan bertekuk lutut dalam satu kedipan mata. Sepanjang perjalanan, kami mengobrolkan banyak hal. Mulai dari pekerjaan sehari-hari Miranti sebagai kasir dan sesekali ik
Bagian 62POV WisnuBerawal dari kedatangan Septi ke rumah yang kusewakan untuk Ayu, dari sanalah timbul sebuah niatan. Ya, aku tahu sekali perempuan ini sedang ingin 'bermain-main'. Tujuannya? Sudah pasti untuk menghancurkan kebahagiaan hidupku. Perempuan murah sialan! Sudah puas dia mengeruk pundi-pundi rupiah, kini dia malah datang untuk merecoki hubungan pernikahan 'tipu-tipu' yang kujalani bersama sang adik ipar. Sep, Sep! Kau tawari pisau, kuladeni kau dengan sebilah samurai. Aku tidak takut sama sekali! Yang kau hadapi adalah seorang Wisnu Adhikara! Bukan lelaki tolol yang selamanya bisa kau setir dengan seenak hati.Sepanjang Septi mengobrol dengan istri siriku di ruang tengah, aku sibuk memikirkan cara apa yang bisa menekuk balik perempuan itu. Hari ini juga dia harus tewas! Ya, hanya dengan cara itu aku bisa membungkam mulutnya rapat-rapat dan menghentikan segala tindak tanduk kurang ajar yang selama ini dia lakukan. Tak bakal ada lagi ancaman-ancaman yang hanya sebuah modus
Bagian 61POV DimasBenci sekali aku saat harus semalaman berada di rumah sakit untuk menunggui Melani begini. Seperti tidak ada pekerjaan lain saja. Membuat muak! Mana udara di luar terasa begitu dingin pula. Ya Tuhan, kapan sih pernikahan ini berakhir? Ah, kalau tidak mengingat banyaknya materi yang bisa terkucur dari saldo Melani, sudah barang tentu langkah ini kuangkat seribu.Saat asyik duduk sembari memejamkan mata di kursi panjang depan bangsal kebidanan, ponselku tiba-tiba berdering dari saku celana denim. Malas aku mengangkatnya. Orang gila mana yang menelepon tengah malam buta begini. Dasar tidak ada etika, pikirku.Berang betul aku saat melihat nama siapa yang tertera di layar. Sintia 2 alias nomor Septi yang berkamuflase sebagai adikku padahal bukan. Biar tidak ketahuan begitu. Perempuan sialan itu menelepon ke nomor rahasia yang kugunakan untuk menghubungi Ayu selama ini. Ya, bukan hanya menghubungi Ayu, sih. Beberapa kali jika menelpon atau mengirim pesan pada Septi, ak
Bagian 60POV DimasSepanjang perjalanan pulang, satu-satunya yang kupikirkan hanya taktik tentang penaklukan gadis polos bernama Rahayu alias Ayu yang tak lain adalah adik dari istriku sendiri. Terbayang dalam benak ini, betapa bahagianya aku jika bisa menguasai rumah dengan luas tanah yang lumayan. Hei, apa kau tidak tahu jika harga tanah semakin hari tambah gila saja nominalnya? Bayangkan jika sertifikatnya berhasil digadai. Bayangkan dulu aja, deh. Berapa rupiah yang bakal masuk ke dalam kantong? Belum lagi sawah Melani. Duh, betul-betul jadi miliarder aku! Beruntung sekali aku punya tampang setampan ini, pikirku. Perempuan tolol banyak yang terpikat. Satu orang telah masuk perangkap dan satunya lagi tinggal menunggu waktu. Meski wajahnya terkesan judes dan tak ramah, tetapi aku yakin bahwa anak itu bakal mudah untuk ditaklukkan. “Mas, kamu kok melamun, sih? Mikirin apa?” tanya Melani membuyarkan lamunan.“Ah, enggak. Lagi mikirin besok enaknya usaha apa, ya?” jawabku mengad
Bagian 59POV WisnuMelihat aku menangis, Septi yang sedari tadi telah menitikkan air mata pun, kini semakin menjadi guguannya. Betapa ajaibnya malaikat kecil yang baru saja hadir di tengah kami ini. Dia mampu membuat kerasnya hati dan ego runtub seketika. Menyatukan rekatan yang semula tercerai berai. “Sekarang kita jahit luka robekannya ya, Bu.” Suara bidan yang menolong persalinan Septi membuat kami sejenak menghentikan tangis haru.“Apa? Dijahit?” Aku syok. Panik sendiri. Setelah digunting, Septi kini harus kembali dijahit. “Iya, Pak. Biar rapi dan perdarahannya berhenti.” Bidan tersebut menjelaskan dengan sabar dan lembut. Meski tubuhnya tambun, wajahnya selalu saja tersenyum manis sehingga aura yang dia keluarkan begitu positif. Berbeda dengan rekannya yang lebih muda dan langsing tersebut. Jutek dan mudah terpancing. “Sep, kuat, ya.” Kuseka keringat yang membasahi kening dan pelipis Septi. Tangan perempuan itu memeluk tubuh bayinya yang sedang sibuk mengecap-ngecap dada si i
Bagian 58POV Wisnu“Jangan sinting kamu, Sep! Oke, aku akan ke sana. Tolong jangan kau lakukan ide gilamu itu.” Aku benar-benar menyerah. Kini Septi menjelma bak malaikat maut yang siap mencabut 'nyawaku' kapan pun dia mau. Benar-benar perempuan jahanam! “Makanya, jangan sekali-kali kamu mempermainkanku, Wisnu. Kamu pikir, kamu bisa lepas dari jeratan? Tidak sama sekali!” Suara Septi penuh jemawa. Kemenangan mutlak kini berada di dalam genggamannya. Aku kini bagaikan sepotong boneka kayu yang ditali. Gerakanku sempurna dimainkan oleh Septi. Ke kanan dan ke kiri, pokoknya semau hati betina culas itu. Biadab!“Sudahi omong kosongmu, Sep. Simpan tenagamu untuk melahirkan. Aku akan ke sana setelah mengantarkan Melani. Harusnya kau menghubungi lebih cepat agar aku bisa langsung ke rumah sakit.” Kutoleh ke belakang, ternyata Melani masih berdiri bersandar di samping motor. Gadis itu tengah sibuk memainkan gawainya. “Aku juga tidak tahu bakal melahirkan hari ini, bodoh! Seharusnya HPL-ku